Studi Public Private Partnership Dalam Proyek Infrastruktur: Kasus Jalan Tol Tanjung. Morawa – Tebing Tinggi.

(1)

STUDI PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP

DALAM PROYEK INFRASTRUKTUR:

KASUS JALAN TOL TG. MORAWA - TEBING TINGGI

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh

ujian sarjana teknik sipil

Disusun Oleh:

EGY RICHARDO SARAGIH

040404092

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ABSTRAK

Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur, dibutuhkan dana yang sangat besar. Bahkan negara tidak bisa menutupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Sehingga negara harus melakukan pinjaman-pinjaman yang menyebabkan hutang negara bertambah. Sejak awal tahun 1980-an telah ada realisasi yang makin bertumbuh dari batasan pendanaan publik untuk pembangunan infrastruktur, dalam negara industri dan negara yang sedang membangun. Disamping masalah keuangan dan efisiensi yang selalu mengarah pada tingginya kebutuhan konsumen, pendanaan publik yang berhubungan secara politik yang mengarah ke pelaksanaan pendanaan yang buruk dan harga yang tidak ekonomis, yang menyebabkan tekanan yang hebat pada anggaran pemerintah.

Pembangunan jalan tol yang awalnya dibiayai oleh Pemerintah, kini sudah tidak memungkinkan lagi. Hal ini disebabkan oleh besarnya rencana pembangunan yang akan dilakukan. Sehingga Pemerintah tidak dapat membiayai seluruh biaya yang diperlukan untuk pembangunan jalan tol. Untuk proyek Jalan Tol Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi memerlukan biaya pembebasan lahan sebesar Rp.436 milyar sedangkan Pemerintah hanya mengalokasikan dana APBN TA. 2010 untuk pembebasan lahan sebesar Rp.20 milyar.

Untuk menanggulangi masalah diatas, dilakukan metode pembiayaan yang disebut dengan Public Private Partnership (PPP)


(3)

melibatkan investasi yang besar dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan Pemerintah sebagai mitra yang menangani pengaturan pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik aset dan pengendali pelaksanaan kerjasama.


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan bimbingan dan kasih sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul “Studi Public Private Partnership Dalam Proyek Infrastruktur: Kasus Jalan Tol Tanjung. Morawa – Tebing Tinggi”. Tugas Akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Sipil yang telah ditetapkan menurut kurikulum Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya kepada beebagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Ir. Muslim Tampubolon, M.Eng, sebagai dosen pembimbing sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Irwan Suranta Sembiring, ST, MT sebagai dosen co-pembimbing sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.

3. Bapak Ketua Departemen Teknik Sipil Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan 4. Bapak Ir. Teruna Jaya, Msc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil

Fakultas Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Ridwan Anas, ST, MT, selaku dosen pembanding yang telah memberikan saran dan masukan yang berguna dalam penyempurnaan Tugas Akhir ini.


(5)

6. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc, selaku dosen pembanding yang telah memberikan saran dan masukan yang berguna dalam penyempurnaan Tugas Akhir ini.

7. Bapak Ir. Indra Jaya Pandia, selaku dosen pembanding yang telah memberikan saran dan masukan yang berguna dalam penyempurnaan Tugas Akhir ini.

8. Seluruh Staf pengajar dan pegawai jurusan yang telah banyak membantu dalam proses perkuliahan maupun dalam proses administrasi.

9. Kedua orang tua ku, Dr. Effendy Saragih dan Novita Purba, saudara-saudaraku tercinta Edo Saragih, Elisabeth Saragih, Edgar Saragih, Dessy Juliana Manis, terima kasih atas semangat, dorongan, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis serta doa dan kasih sayang.

10. Sahabat stambuk 2004 dan adik-adik semua stambuk di jurusan Teknik Sipil yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan dukungan, semangat dan masukan yang berguna bagi penulis.

Disamping itu, penulis menyadari dalam Tugas Akhir ini masih terdapat banyak kekurangan maupun kelemahan yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Untuk ini penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan Tugas Akhir ini.


(6)

Akhir kata, penulis berharap semoga dengan adanya Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat-Nya untuk kita semua. Amin.

Medan, Desember 2010 Penulis

Egy Richardo Saragih 040404092


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….………..i

KATA PENGANTAR………..iii

DAFTAR ISI……….………….vi

DAFTAR GAMBAR……….ix

DAFTAR TABEL………...x

DAFTAR GRAFIK………...xi

BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum ………..1

I.2 Latar Belakang……….4

I.3 Tujuan Penelitian……….8

I.4 Pembatasan Masalah………...8

I.5 Tinjauan Pustaka………...8

I.6 Metodologi Penelitian……….9

I.7 Sistematika Penulisan………10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Infrastruktur………...12

II.1.1 Latar Belakang……….……..12

II.2 Public Private Partnership……….13

II.2.1 Pengenalan……….13


(8)

II.2.3 Perkembangan PPP dan Dampaknya terhadap APBN….………..21

II.2.4 Syarat Proyek PPP……….27

II.3 Permasalahan Yang Terjadi Pada Kerjasama PPP……….…...…29

II.3.1 Negara-Negara berkembang………..28

II.3.2 Di Indonesia………..31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Umum……….34

III.2 Teknik Pengumpulan Data……….34

III.3 Tahapan Analisis dalam Penelitian………35

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN IV.1 Peraturan dan Kebijakan Pembiayaan Jalan Tol………37

IV.1.1 Regulasi jalan Tol menurut UU 38/2004 dan PP 15/2005………39

IV.2 Investasi Jalan Tol……….40

IV.2.1 Pengelolaan Jalan Tol………44

IV.3 Kebijakan Investasi Berdasarkan Undang-undang………45

IV.3.1 Prosedur Investasi………..45

IV.3.2 Pengusahaan Jalan Tol………...45

IV.4 Peran Pemerintah dan Swasta dalam Mendanai Pembangunan Jalan Tol………..……46

IV.4.1 Sumber-Sumber Pendanaan Jalan Tol………...47


(9)

IV.4.2 Partisipasi Swasta dalam Pembangunan Jalan

Tol di Indonesia……….…51

IV.4.2.1 PT.Jasa Marga………..………51

IV.4.2.2 PT.Citra Marga Nusaphala Persada Tbk……….………51

IV.4.2.3 PT.Margabumi Matraraya (MBMR) ………..…52

IV.4.2.4 PT.Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JLJ) ………52

IV.5 Kendala-Kendala Dalam Pembiayaan Pembangunan Jalan Tol…………52

IV.5.1 Kendala Pembebasan Lahan………...55

IV.5.2 Kendala Pembiayaan Bank……….56

IV.5.3 Kendala Aspek Resiko………57

IV.6 Upaya Mengatasi Kendala Pendanaan………...59

IV.6.1 Pembebasan Lahan Jalan Tol……….…….60

IV.6.2 Upaya Mengatasi Kendala Pendanaan Pembangunan Jalan Tol……….…64

IV.6.3 Aspek Resiko dalam Pendanaan Pembangunan Jalan Tol……….67

IV.6.4 Peran Pemerintah dalam Mengatasi Kendala Pendanaan………..68

IV.7 Implementasi dalam Kasus Jalan Tol Tanjung Morawa- Tebing Tinggi………69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan………74


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Skema kemitraan Public Private Partnerships Gambar.II.2 Proses Pemilihan Investor Jalan Tol

Gambar III.1 Bagan Alir Tahapan Penelitian

Gambar.IV.1 Peta Rencana Jaringan Jalan Tol Ruas Medan - Kuala Namu - Tebing Tinggi

Gambar IV.2 Kesepakatan Pemerintah Dan Swasta Terhadap Investasi Gambar IV.3 Data Proyek Jalan Tol Medan – Kuala Namu – Tebing Tinggi

Gambar IV.4 Peta Rute Jalan Tol Ruas Medan – Kuala Namu – Tebing Tinggi dan Akses Kuala Namu


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel IV.1 Kebutuhan Biaya Lahan Jalan Tol Medan - Kuala Namu - Tebing Tinggi

Tabel IV.2 Persentase Kepemilikan Lahan Jalan Tol Medan – Kuala Namu - Tebing Tinggi


(12)

DAFTAR GRAFIK

Grafik IV.1 Persentase Kepemilikan Lahan Jalan Tol Medan – Kuala Namu - Tinggi


(13)

ABSTRAK

Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur, dibutuhkan dana yang sangat besar. Bahkan negara tidak bisa menutupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Sehingga negara harus melakukan pinjaman-pinjaman yang menyebabkan hutang negara bertambah. Sejak awal tahun 1980-an telah ada realisasi yang makin bertumbuh dari batasan pendanaan publik untuk pembangunan infrastruktur, dalam negara industri dan negara yang sedang membangun. Disamping masalah keuangan dan efisiensi yang selalu mengarah pada tingginya kebutuhan konsumen, pendanaan publik yang berhubungan secara politik yang mengarah ke pelaksanaan pendanaan yang buruk dan harga yang tidak ekonomis, yang menyebabkan tekanan yang hebat pada anggaran pemerintah.

Pembangunan jalan tol yang awalnya dibiayai oleh Pemerintah, kini sudah tidak memungkinkan lagi. Hal ini disebabkan oleh besarnya rencana pembangunan yang akan dilakukan. Sehingga Pemerintah tidak dapat membiayai seluruh biaya yang diperlukan untuk pembangunan jalan tol. Untuk proyek Jalan Tol Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi memerlukan biaya pembebasan lahan sebesar Rp.436 milyar sedangkan Pemerintah hanya mengalokasikan dana APBN TA. 2010 untuk pembebasan lahan sebesar Rp.20 milyar.

Untuk menanggulangi masalah diatas, dilakukan metode pembiayaan yang disebut dengan Public Private Partnership (PPP) dimana PPP ini merupakan kemitraan Pemerintah - Swasta yang


(14)

melibatkan investasi yang besar dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan Pemerintah sebagai mitra yang menangani pengaturan pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik aset dan pengendali pelaksanaan kerjasama.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Umum

Infrastruktur berperan penting, tidak hanya sebagai penunjang ekonomi, tetapi juga merupakan bagian dari penyediaan pelayanan dasar yang diperlukan dalam rangka mencapai standar minimum hidup masyarakat, meningkatkan daya saing global, dan memperbaiki iklim investasi secara keseluruhan.

Sasarannya adalah membaiknya infrastruktur yang ditunjukkan dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai sarana penunjang pembangunan. Upaya ini dilakukan terutama pada perbaikan infrastruktur dengan titik berat pada pertanian dan perdesaan, ekonomi strategis yang menghubungkan antar daerah. Infrastruktur konservasi ditujukan untuk mewujudkan keberlanjutan kapasitas persediaan sumber daya air, penyediaan air irigasi. Dalam pembangunan transportasi meliputi memperbaiki kondisi kualitas sarana dan prasarana terutama pemeliharaan dan rehabilitasi seperti prasarana dan angkutan jalan, prasarana dan sarana kereta api, angkutan sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut dan udara, memperbaiki pelayanan sesuai dengan standar pelayanan yang memenuhi standar internasional, mendukung pemerataan dan keadilan pelayanan transportasi baik antar wilayah maupun antar golongan masyarakat. Sasaran pembangunan perumahan diprioritaskan pada upaya untuk meningkatkan jumlah penduduk yang memiliki dan mendiami rumah layak huni, mengembangkan pembangunan rumah susun, sederhana, sewa bagi masyarakat berpendapatan rendah baik yang dibiayai oleh pemerintah maupun swasta serta mengurangi luasan kawasan kumuh di


(16)

kawasan perkotaan. Untuk kelancaran pembangunan tersebut, perlu juga dilakukan pembangunan telematika. Sasaran pembangunan telematika adalah meningkatkan kemampuan masyarakat dan industri dalam negeri dalam pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya. Mengembangkan sistem informasi statistik, sistem informasi geografis, diseminasi informasi statistik dan sistem informasi manajemen guna mendukung kelancaran penyelenggaraan statistik dasar dan memenuhi kebutuhan informasi dan data statistik bagi pemerintah maupun masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.

Untuk mencapai sasaran tersebut ditetapkan dengan 5 (lima) prioritas utama dan arah kebijakan sebagai berikut :

1. Peningkatan dan percepatan pembangunan prasarana dan sarana transportasi darat, laut dan udara.

2. Peningkatan dan percepatan pembangunan sumber daya air dan energi.

3. Percepatan pembangunan kawasan tertinggal dan perbatasan. 4. Pengendalian dan pemanfaatan tata ruang.

5. Penyempurnaan dan pengembangan statistik secara relatif.(8)

Kondisi infrastruktur Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk. Sebelum krisis finansial tahun 1997/1998, Indonesia bahkan oleh Bank Dunia dinilai lebih bagus dibandingkan Thailand, Taiwan, China, dan Sri Lanka. Dari 12 negara di Asia, Indonesia urutan 11 untuk tingkat elektrifikasi, terbawah untuk sambungan akses telepon tetap, urutan 9 untuk akses telepon seluler, ke-7 untuk akses sanitasi


(17)

telah menyalip Indonesia (2). Krisis tersebut membuat pembangunan infrastruktur menjadi terbengkalai. Pada 2002, perhatian pada pembangunan infrastruktur mulai meningkat, ditandai dengan meningkatnya anggaran secara nominal untuk infrastruktur setiap tahun. Namun masih sangat jauh dari memadai.

Secara umum, perkembangan infrastruktur kita, dinilai jalan di tempat dan tidak mampu mengejar pertumbuhan ekonomi serta kemajuan di negara lain. Dalam Global Competitiveness Report 2008-2009, Indonesia berada di urutan ke-86 dari 134 negara. Tertinggal dibandingkan Malaysia (23), Thailand (29), China (47), India (72), Sri Lanka (65) dan Pakistan (85) (2). Kondisi infrastruktur secara umum diperkirakan belum akan banyak berubah, kendati beberapa langkah terobosan sudah ditempuh. Diperkirakan listrik merupakan infrastruktur yang akan lebih dulu pulih disusul dengan jalan raya, terutama jalan tol, tetapi yang lain masih jauh tertinggal dengan negara lain. Telekomunikasi mungkin yang paling mapan karena ditolong oleh teknologi seluler. Gambaran lebih buruk terlihat pada infrastruktur yang terkait pada masyarakat, seperti pengairan, sanitasi, air bersih, dan angkutan umum massal, yang semestinya menjadi prioritas.

Pembangunan fasilitas infrastruktur dalam negara-negara industri pada permulaan abad keduapuluh, sebagian besar didanai oleh modal pemerintah. Namun demikian, pada masa ini berubah dan selama abad keduapuluh, dana-dana dari swasta telah mendominasi keuangan infrastruktur. Ketentuan fasilitas infrastruktur di dunia yang sedang berkembang pada saat itu masih belum sempurna. Kebanyakan dari negara-negara ini merupakan beberapa bentuk ataupun dominansi kolonial lainnya. Pemerintah kolonial telah mengembangkan fasilitas intrastruktur yang terbatas terutama untuk memenuhi ketentuan-ketentuan


(18)

administrasinya. Tidak ada usaha yang dibuat untuk mengembangkan fasilitas infrastruktur sosial dimana tujuan primernya memenuhi kebutuhan masyarakat. Setelah akhir perang dunia kedua, banyak negara ini memperoleh kemerdekaan, terjadi peningkatan dalam permintaan untuk fasilitas infrastruktur. Maka metode yang sering digunakan dalam melakukan pendanaan publik untuk infrastruktur pada saat itu untuk mengantisipasi tingginya biaya pengembangan fasilitas infrastruktur, adalah membentuk organisasi yang baru untuk bertanggung-jawab dalam pengembangan infrastruktur.

Tidak baiknya kondisi pasar modal di negara-negara ini juga mengartikan bahwa pendanaan swasta bukan sebuah pilihan. Pemerintah di negara-negara yang sedang membangun bertumpu pada ukuran fiskal (pajak dan non pajak) dan pendanaan eksternal, melalui bantuan pembangunan resmi, untuk mendanai proyek ini. (1).

I.2 Latar Belakang

Untuk memajukan tingkat ekonomi, maka harus diiringi dengan kemajuan infrastruktur. Karena setiap faktor yang berfungsi memajukan ekonomi itu sendiri sangat bergantung kepada berbagai infrastruktur itu sendiri. Sebagai contoh, listrik merupakan infrastruktur yang memegang peranan yang sangat penting dalam berbagai kegiatan ekonomi. Bagaimana ekonomi dapat meningkat apabila kegiatan ekonomi itu sendiri selalu terganggu karena kurang baiknya kondisi listrik sebagai fasilitas infrastruktur.


(19)

dikeluarkan. Sehingga negara harus melakukan pinjaman-pinjaman yang menyebabkan hutang negara bertambah. Sejak awal tahun 1980-an telah ada realisasi yang makin bertumbuh dari batasan pendanaan publik untuk pembangunan infrastruktur, dalam negara industri dan negara yang sedang membangun. Disamping masalah keuangan dan efisiensi yang selalu mengarah pada tingginya kebutuhan konsumen, pendanaan publik yang berhubungan secara politik yang mengarah ke pelaksanaan pendanaan yang buruk dan harga yang tidak ekonomis, yang menyebabkan tekanan yang hebat pada anggaran pemerintah.

Dengan dibangunnya bandara Kuala Namu yang merupakan bandara Internasional maka sudah semestinya didukung oleh prasarana yang baik. Dengan itu dilaksanakan pembangunan-pembangunan infrastruktur. Salah satunya adalah rencana proyek yang menjadi studi kasus tugas akhir ini yaitu jalan tol Tg.Morawa-Tebing Tinggi, yang termasuk dalam Proyek Jalan Tol Medan – Kuala Namu – Tebing Tinggi.

Pembangunan infrastrukutur merupakan tanggung jawab pemerintah namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami penundaan pembangunan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan anggaran belanja pemerintah. Pascakrisis (2002) belanja pemerintah menjadi US$ 4,5 miliar, dan hanya 30% yang ditujukan untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini juga dikarenakan oleh kurangnya peran swasta (7). Telah banyak dilakukan usaha-usaha untuk menanggulangi pembiayaan pembangunan infrastruktur di negara ini. Salah satunya adalah metode public private partnership.


(20)

Oleh karena itu dicari metode lain untuk membiayai pembangunan infrastruktur tersebut. Dalam tugas akhir ini dibahas metode pembiayaan Public Private Partnership. Menurut William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, definisi PPP adalah ”an agreement or contract, between a public entity and a private party, under which : (a) private party undertakes government function for specified period of time, (b) the private party receives compensation for performing the function, directly or indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private party” (3) atau persetujuan atau kontrak, antara suatu kesatuan publik dan perusahaan swasta, dimana perusahaan swasta menganbil alih fungsi pemerintah untuk jangka waktu tertentu dan pihak swasta diberikan dukungan untuk melakukan fungsi tersebut, secara langsung ataupun tidak langsung, pihak swasta bertanggung-jawab atas resiko melakukan fungsi tersebut dan fasilitas publik, tanah dan fasilitas lainnya dapat dipindahkan atau dibuat menjadi berfungsi untuk perusahaan swasta tersebut. Hal itu menguntungkan karena konsepnya secara bertahap berkembang sebagai teknik pendanaan yang spesifik dimana pinjaman proyek hanya melihat arus kas dan pendapatan proyek sebagai sumber dana untuk pembayaran investasinya, dan bukan pinjaman kredit dari badan sponsor. Hal ini membuka sejumlah peluang untuk mendanai proyek-proyek dengan kebutuhan dana yang sangat besar.

Logika dalam pembiayaan proyek infrastruktur pihak swasta itu sederhana. Dalam kebanyakan kasus, proyek demikian akan terhambat atau mungkin tidak


(21)

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, ekonomi dan non ekonomi, iklim investasi di Indonesia haruslah diakui sangat potensial, namun juga rentan. Beberapa faktor penunjang, seperti penyediaan infrastruktur melalui model public private partnership, mencari sumber pembiayaan selain pinjaman, kebijakan stabilisasi yang konsisten dan menumbuhkan kepercayaan, baik dari masyarakat maupun investor swasta asing dan domestik sangat dibutuhkan. (6).

Langkah pertama yang dilakukan dalam proyek pembiayaan ini adalah dengan mendirikan Special Purpose Vehicle (SPV), yaitu sebuah badan atau entitas yang berbeda, terpisah dari penyelenggara, dan mendapat konsesi dari pemerintah. (5). Dengan demikian proyek tidak berpengaruh terhadap keseimbangan penyelenggara atau pinjaman kredit dari sponsor. Hubungan antara beberapa pihak dalam pendanaan proyek dibentuk melalui berbagai rangkaian kontraktual.

Public Private Partnership bukanlah metode baru. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas menerima usulan 60 proyek infrastruktur baru yang akan dimasukkan dalam buku Public Private Partnership (PPP) atau buku tentang proyek-proyek infrastruktur yang didukung oleh pemerintah pusat dan dikerjasamakan dengan swasta. Pada edisi perdana buku PPP tersebut, pemerintah menawarkan 87 proyek senilai 34,139 miliar dollar Amerika Serikat atau setara Rp 375,529 triliun, yang sebagian di antaranya merupakan proyek yang benar-benar siap dijalankan. Bandingkan dengan proyek yang ditawarkan dalam Indonesia Infrastructure Summit, ada 99 proyek yang ditawarkan, tetapi hanya satu yang dijalankan. Proyek lainnya banyak diminati, tetapi tidak berjalan karena masih banyak masalah.


(22)

Berbeda dengan daftar proyek yang diusulkan dalam Indonesia Infrastructure Summit 2006 dan 2007, proyek yang ditawarkan melalui buku PPP dibagi atas tiga kategori. Pertama, proyek yang siap ditawarkan. Kedua, proyek prioritas. Ketiga proyek potensial. Jenis pertama merupakan proyek yang paling matang persiapannya. Proyek kategori prioritas merupakan proyek yang sudah punya studi kelayakan, tergolong layak secara hukum, teknis, maupun keuangannya. Sementara proyek yang tergolong potensial antara lain proyek yang sudah terkonfirmasi kebutuhannya, baik di tingkat lokal maupun nasional dan lokasi diketahui. (4).

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui potensi penerapan Public Private Partnership

(PPP) atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam proyek

jalan tol.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor kendala yang mempengaruhi

pembiayaan infrastruktur model Public Private Partnership.

3. Untuk berupaya mendapatkan penyelesaian atas kendala-kendala yang

ada dalam pelaksanaan pembiayaan infrastruktur model Public

Private Partnership

I.4 Pembatasan Masalah


(23)

2. Pembahasan dikhususkan pada pembiayaan infrastruktur pada proyek tersebut.

I.5 Tinjauan Pustaka

Terminologi ”Public-Private Partnerships” sendiri dalam dua tahun terakhir ini memang terasa cukup akrab bagi kita yang memang berhubungan dalam dunia fiskal. Istilah ini mengemuka saat kapasitas fiskal pemerintah dalam penyediaan infrastruktur bagi publik sangat terbatas jumlahnya. Di sisi lain kuantitas dan kualitas tingkat kerusakan infrastruktur yang ada terus meningkat. Tulisan ini akan mencoba membahas sekitar definisi dan gambaran umum pelaksanaan PPP.

Di Indonesia, konsep PPP ini dipilih sebagai alternatif oleh pemerintah semenjak pembangunan infrastruktur mulai agak tersendat karena datangnya krisis moneter. Begitu kondisi Indonesia semakin terpuruk karena krisis, saat itu Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur: “Bahwa dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan keuangan negara, dan sebagai upaya untuk terus meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional, diperlukan langkah-langkah guna mendorong keikutsertaan badan usaha swasta dalam pembangunan dan atau pengelolaan infrastruktur, dalam suatu kerjasama yang erat antara Pemerintah dan badan usaha swasta”. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil. Apalagi, kondisi moneter dalam negeri saat itu belum stabil sehingga terjadi capital flight yang cukup besar.


(24)

I.6 Metodologi Penelitian

Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Studi literatur yakni pengumpulan data-data yang berhubungan dengan tugas akhir ini yang bersumberkan buku-buku serta referensi lainnya sebagai pendekatan teori maupun sebagai perbandingan untuk mengkaji penelitian ini.

2. Pengambilan data diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Utara, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT)

I.7 Sistematika Penulisan

Untuk mencapai tujuan penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yang dianggap perlu. Metode dan prosedur pelaksanaannya secara garis besar adalah sebagai berikut.

BAB.I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian ini, ruang lingkup pembahasan dan sistematika penulisan.

BAB.II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini meliputi pengambilan teori dari beberapa sumber bacaan yang mendukung analisa permasalahan yang berkaitan dengan Tugas Akhir ini.


(25)

BAB.III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas tentang pendiskripsian dan langkah – langkah kerja yang akan dilakukan dengan cara memperoleh data – data yang relevan dengan penelitian ini.

BAB.IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang penerapan pendanaan jalan tol di Indonesia, yang menguraikan tentang peraturan dan kebijakan pendanaan jalan tol dengan metode

Public Private Partnership dan kebijakan investasi berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2010.

BAB.V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan logis berdasarkan analisa data dan bukti yang disajikan sebelumnya yang menjadi dasar untuk menyusun suatu saran sebagai suatu usulan.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Infrastruktur

Infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara, dan ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Pembangunan infrastruktur adalah merupakan Public Service Obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah. Keberadaan infrastruktur sangat penting bagi pembangunan, sehingga pada tahap awal pembangunan disuatu negara hal tersebut akan dipikul sepenuhnya oleh Pemerintah, yaitu dari APBN murni.

Pada saat itupun infrastruktur masih bersifat sebagai pure public good, dengan dua ciri pokok yaitu non-rivalry (masyarakat pengguna tidak saling bersaing) dan non-excludable (siapapun dapat menggunakannya, tidak hanya sekelompok masyarakat tertentu). Pada tahap selanjutnya akan berkembang menjadi semi public good (sudah mulai bersaing). Data empiris menunjukkan hubungan yang kuat antara ketersediaan infrastruktur dasar dengan pendapatan per kapita masyarakat di berbagai negara. Dan permintaan terhadap pelayanan infrastruktur akan meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Permasalahannya justru peningkatan permintaan ″diimbangi″ dengan penurunan kemampuan Pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan berakibat pada semakin meningkatnya kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi, kekurang


(27)

mampuan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang dapat mengakibatkan banyaknya kerugian antara lain :

1. kemacetan lalu lintas 2. polusi lingkungan 3. ketidaknyamanan hidup 4. persaingan usaha, dll

Yang pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan fisik kawasan perkotaan. Pertumbuhan perekonomian yang cepat akan membawa ketersediaan prasarana dan sarana perkotaan yang diperlukan.

II.1.1 Infrastruktur Jalan Tol

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang Jalan Tol, disebutkan bahwa jalan tol

adalah jalan umum yang merupakan bagian dari sistem jaringan jalan dan dengan

status sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol, serta

wewenang penyelenggaraan jalan tol ada pada Pemerintah.

Dalam pembangunan infrastruktur jalan tol terdapat beberapa pos biaya

(pengeluaran) yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah. Secara garis besar yaitu:

1. Biaya material, meliputi harga material dan biaya pemindahannya ke

lokasi pekerjaan. Harga material tersebut dipengaruhi oleh jenis bahan dan

fluktuasi harga pembelian.

2. Biaya peralatan meliputi:

a. Biaya pemilikan yang dibedakan atas tiga hal, yaitu akibat membeli,


(28)

biaya bunga modal, pajak, asuransi, biaya penyimpanan, biaya

perbaikan alat, dan depresiasi.

b. Sedangkan dalam biaya konstruksi bangunan yaitu biaya operasional

terdiri atas biaya operator, bahan bakar, pelumas dan fitter, perbaikan

ringan, penyetelan ringan, dan pemeliharaan, serta biaya perbaikan

dan penggantian ban.

3. Biaya upah tenaga kerja dapat tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis

tenaga kerja, waktu kerja, lokasi pekerjaan, persaingan tenaga kerja,

kepadatan penduduk, tenaga kerja pinjaman dan pendatang, dan fluktuasi

upah tenaga kerja.

4. Overhead Cost

II.2 Public Private Partnership

II.2.1 Pengenalan

Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur diakui secara luas. Namun, dalam menghadapi penurunan pengeluaran publik yang ada disebagian besar industri dan negara-negara berkembang dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah memerlukan dana untuk membiayai baru dan memelihara infrastruktur yang ada untuk dukungan pertumbuhan ekonomi jangka-panjang. Kebutuhan untuk menemukan cara-cara alternatif infrastruktur mempromosikan skema pembiayaan mendukung kerjasama antara publik dan swasta bidang dalam menyediakan barang publik. Kerjasama ini berbentuk Public Private Partnership (PPP) atau sering disebut Kemitraan Pemerintah Swasta


(29)

(KPS) dilakukan, di mana prinsip-prinsip fungsi perusahaan swasta diimplementasikan dalam administrasi publik.

Kemitraan Pemerintah Swasta disingkat KPS atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Public Private Partnership atau disingkat PPP atau P3 adalah suatu perjanjian kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) dikerjasamakan dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini risiko dan manfaat potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dipilah/dibagi kepada pemerintah dan swasta.

PPP merupakan kemitraan Pemerintah - Swasta yang melibatkan investasi yang besar/ padat modal dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan pemerintah sebagai mitra yang menangani pengaturan pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik asset dan pengendali pelaksanaan kerjasama.

Pemerintah

Masyarakat

Badan


(30)

Gambar II.1 Skema kemitraan Public Private Partnerships

Ada banyak definisi PPP mulai dari pembukaan hubungan kegiatan umum negara dengan kompetisi sektor swasta melalui kerjasama antara publik dan sektor swasta untuk usaha investasi dalam pengadaan infrastruktur, contohnya jalan tol. Dalam kerjasama tersebut melibatkan perusahaan swasta untuk tujuan tertentu, sedangkan risiko ditanggung bersama-sama. Singkatnya, fitur kunci dari PPP dapat dicirikan sebagai kemitraan antara sektor publik dan swasta yang biasanya melibatkan sektor swasta untuk melakukan investasi proyek-proyek yang secara telah dilaksanakan dan dimiliki oleh sektor publik.

Tujuan partisipasi sektor swasta dibidang infrastruktur adalah :

1. Mencari modal swasta untuk menjembatani modal pembiayaan yang besar dibutuhkan investasi infrastruktur pelayanan umum

2. Memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan sarana pelayanan 3. Mengimpor alih teknologi

4. Memperluas dan mengembangkan layanan bagi pelanggan 5. Meningkatkan efisiensi operasi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan kerjasama antara Pemerintah dan Swasta antara lain adalah :

1. Penting bagi semua pihak untuk saling memahami, misi, fungsi dan tugas, hak, kewajiban masing-masing sebagai pelaku pembangunan. 2. Melakukan persepsi dalam negoisasi kegiatan kemitraan, sangat


(31)

3. Perlunya keterlibatan langsung seluruh pihak, terutama Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat, karyawan dll.

4. Keberadaan dan akses data yang relevan, mudah, benar dan konsisten. 5. Dukungan yang jelas dan benar kepada pemberi keputusan baik

tingkat Pusat, Propinsi ataupun Daerah (Kabupaten/ Kota).

6. Kriteria persyaratan lelang/ negoisasi yang jelas, transparan dan konsisten.

7. Struktur dan tugas Tim Negoisasi yang jelas dan kemampuan dalam penguasaan materi bidang Hukum, Teknis dan Keuangan. (13)

Dalam pemenuhan infrastruktur atau fasilitas publik, diperlukan investasi yang cukup besar dan pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu, manajemen operasionalnya juga membutuhkan cost yang tinggi. Permasalahan inilah yang menjadi kendala bagi kebanyakan negara-negara berkembang dalam pemenuhan infrastruktur.

Namun kendala keterbatasan pembiayaan dari Pemerintah tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan pola kerjasama yang bersifat Public Private Partnership yang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Pendekatan baru untuk dapat mengurangi masalah ini melibatkan peran-peran stakeholder. Public-private partnership merupakan salah satu cara untuk mengkolaborasikan peran-peran tersebut. Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komprehensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta melalui PPP, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada. Sekalipun nantinya swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur yang merupakan


(32)

utilitas umum perlu dikendalikan oleh Pemerintah, maka rambu-rambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan Pemerintah dalam penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak.

Public-private partnership dapat digambarkan pada sebuah spektrum dan kemungkinan hubungan-hubungan antara publik dan sektor swasta untuk bekerjasama dalam pembangunan. Keuntungan yang dapat diperoleh pada hubungan ini adalah inovasi, kemudahan keuangan, kemampuan pada ilmu teknologi, kemampuan pada pengaturan efisiensi, semangat kewirausahaan, yang dikombinasikan dengan tanggung jawab sosial, kepedulian pada lingkungan, dan pengetahuan dan budaya lokal.

Kerjasama seperti itu sudah banyak diimplementasikan di berbagai negara berkembang, terutama di proyek-proyek infrastruktur, antara lain Tate’s Cairn Tunnel di Hongkong, Jalan Tol di China dan Indonesia, Airport, Railway, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri pola kerjasama seperti ini sudah banyak diterapkan, antara lain Power Plant Paiton dan jalan tol, yang merupakan kerjasama antara PT Jasa Marga sebagai instansi yang ditunjuk Pemerintah sebagai regulator jalan tol di Indonesia dengan investor. Total 31.24% dari ruas jalan tol yang sudah dioperasikan di Indonesia ini menerapkan kerjasama Public Private Partnership.

Di satu sisi, Public Private Partnership ini dapat berjalan dan berkembang dengan baik yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai dan pemasukan. Hal itu terjadi terutama di sektor-sektor jalan raya, jembatan, bandar udara, jalan kereta


(33)

Initiative (PFI) di Inggris (United Kingdom), dimana terdapat penghematan sebanyak 15% bila dibandingkan dengan kontrak traditional. Contoh lainnya adalah income yang kontinyu didapat selama periode konsesi pada sektor jalan tol di Indonesia (14).

Namun di sisi lainnya, berbagai masalah/kendala terjadi selama pelaksanaan kerjasama dengan pola ini. Salah satu masalah yang terjadi adalah kebijakan Pemerintah yang kurang kondusif atau kekuatan oposisi Pemerintah yang terlalu mendominasi. Kendala lainnya dapat berupa kondisi politik yang tidak stabil. Sebenarnya masalah-masalah tersebut wajar terjadi, mengingat banyaknya resiko dan ketidakpastian sepanjang implementasi Public Private Partnership (PPP), banyaknya pihak-pihak/partisipan yang terlibat dalam kerjasama ini, serta tidak banyak pengalaman yang dimiliki oleh negara atau daerah yang menggunakan pola PPP.

Di Indonesia, banyak terdapat gedung-gedung yang merupakan fasilitas publik, yang menggunakan pola PPP. Berbagai kendala juga terjadi selama implementasi kerjasama, antara lain investor tidak mendapat profit seperti yang diharapkan, yang disebabkan tidak stabilnya kondisi perekonomian di Indonesia. Terjadinya pemutusan kontrak oleh investor sebelumnya yang telah menjalani masa konsesi selama jangka waktu tertentu, dengan alasan tidak tercapainya tujuan investor juga terjadi. Namun hal itu belum tercakup dalam klausul perjanjian kerjasama, sehingga aturan tambahan jika hal-hal seperti tersebut diatas terjadi, belum ada klausul yang mengatur dan memerlukan perjanjian tambahan. Dari fenomena tersebut, maka perlu kiranya diidentifikasi faktor-faktor yang


(34)

menentukan keberhasilan pada pelaksanaan PPP sehingga dapat menjadi pedoman bagi kontrak PPP selanjutnya.

Pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing. Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparansi dan persaingan, manfaat yang dapat diraih adalah :

1. Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP;

2. Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees;

3. Mengurangi risiko kegagalan proyek;

4. Dapat membantu tertariknya bidders yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi;

5. Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

Tujuan pelaksanaan PPP adalah untuk :

1. Mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta;

2. Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat;

3. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur serta

4. Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna. (3)


(35)

II.2.2 Kebutuhan-kebutuhan PPP (Public Private Partnership)

Kota-kota Metropolitan di Indonesia seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, Denpasar, Medan dan kota-kota besar lainnya berpandangan sama bagaimana mengatasi masalah terbatasnya penyediaan infrastruktur bagi daerahnya, dengan terbatas pula dari sisi pembiayaan pemerintah daerah.

Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komprehensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta melalui PPP, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada. Sekalipun nantinya swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur yang merupakan utilitas umum perlu dikendalikan oleh Pemerintah, maka rambu-rambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan Pemerintah dalam penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak.

Pola kerjasama pun dapat dicari, setelah dilakukan kajian terhadap pengalaman beberapa negara dalam melakukan kerjasama pembangunan dengan pihak swasta yang dipandang cocok diterapkan dalam investasi jangka panjang, selama masa konsesinya dengan membiayai, membangun dan mengoperasikan. Bentuk badan usaha yang akan melakukan kerjasama tersebut bisa dilakukan dalam bentuk Joint Venture (usaha patungan) atau Joint Operation (kerjasama operasi gabungan). Biaya pengadaan tanah/lahan yang dibutuhkan ditanggung oleh Pemerintah atau sekaligus oleh pihak Swasta yang akan diperhitungkan


(36)

dalam masa konsesi, hal tersebut telah dilakukan sejak tahun 1994 karena terbatasnya dana APBN/APBD.

Beberapa contoh alur inisiasi proyek infrastruktur diuraikan berikut ini. Contoh pertama adalah dalam sub-sektor jalan tol, yaitu sebagai berikut :

Gambar.II.2 Proses Pemilihan Investor Jalan Tol

Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :

a. Dapat mewujudkan beberapa proyek dalam waktu yang lebih singkat.

Dalam kurun waktu tertentu, misalnya 5 tahun, sistem konvensional

hanya dapat menyelesaikan satu proyek, sedangkan dalam sistem PPP

dengan waktu yang sama dapat menyelesaikan lebih dari satu proyek.

b. Dapat digunakan untuk proyek berskala besar, karena kekuatan modal Letter of Intent (Pernyataan Minat) & Company Profile Pernyataan

minat dari Investor

Evaluasi berdasarkan Kriteria Pra Seleksi Pra seleksi calon

Evaluasi berdasarkan Kriteria Pra Seleksi Seleksi calon

Keputusan/Pe nunjukan


(37)

c. Pola kerjasama ini memperkecil risiko jika pengoperasian

sarana/prasarana tidak berjalan baik.

Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :

a. Tidak diberikan secara otomatis, perlu mengikuti proses tender,

penilaian dst.

b. Seringkali mensyaratkan dana pendamping.

c. Penggunaan hanya untuk sarana/prasarana tertentu.

II.2.3 Perkembangan PPP dan Dampaknya terhadap APBN

Di Indonesia, sejatinya konsep PPP ini dipilih sebagai alternatif oleh pemerintah semenjak pembangunan infrastruktur mulai agak tersendat karena datangnya krisis moneter. Begitu kondisi Indonesia semakin terpuruk karena krisis, saat itu Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil. Apalagi, kondisi moneter dalam negeri saat itu belum stabil sehingga terjadi capital flight yang cukup besar.

Baru pada tahun 2005, Pemerintah mulai serius untuk menerapkan konsep PPP. Diawali dengan diselenggarakannya Indonesia Infrastructure Summit I pada pertengahan Januari 2005. Saat itu, ada sebanyak 91 proyek yang ditawarkan pemerintah kepada investor swasta untuk menjadi proyek kerjasama Pemerintah-Swasta. Sedangkan pada Indonesia Infrastructure Summit II (Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition 2006) pemerintah menawarkan 111 proyek (termasuk 10 model proyek yang diunggulkan). Ternyata, untuk


(38)

”mengawal” proyek-proyek tersebut supaya layak dikerjasamakan membutuhkan kerja super keras pemerintah. Banyak hal yang harus diperbaiki atau dibentuk.

Secara garis besar, terdapat tiga hal yang harus segera diselesaikan pemerintah. Kesatu, membentuk kelembagaan baru yang mendukung pelaksanaan PPP; kedua, melakukan harmonisasi, reformasi dan revisi terhadap berbagai aturan yang bertentangan dan yang menghambat masuknya investasi; dan ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Untuk tugas pertama, pemerintah telah membentuk apa yang disebut dengan Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian pada Mei 2005. Komite ini mempunyai tugas :

a. merumuskan strategi dalam rangka koordinasi pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur;

b. mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur oleh Menteri Terkait dan Pemerintah Daerah; c. merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pelayanan umum

(Public Service Obligation) dalam percepatan penyediaan infrastruktur;

d. menetapkan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur.

Selain KKPPI, beberapa institusi pendukung dalam rangka PPP juga sedang dan telah dibentuk seperti :


(39)

b. Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral masing-masing telah membentuk Simpul PPP (PPP Node).

c. Pemerintah juga membentuk Pusat Pengembangan PPP Transparansi dan kompetisi melalui PPP yaitu:

a. Jaminan “harga pasar”, tol, retribusi, dan sebagainya yang terendah. b. Memperbaiki kemungkinan diterimanya proyek tersebut oleh

masyarakat umum.

c. Meningkatkan kesediaan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan, sedapat mungkin tanpa jaminan pemerintah.

d. Menurunkan biaya pendanaan.

e. Mengurangi resiko kegagalan proyek.

f. Meningkatkan kemudahan memperoleh perijinan untuk proyek.

g. Membantu untuk menarik pihak swasta yang lebih berkualitas dan berpengalaman.

h. Melindungi pejabat pemerintah dari tuduhan melakukan “KKN”. i. Meningkatkan investasi dalam proyek infrastruktur dan menciptakan

pertumbuhan ekonomi.

Dasar Hukum Pelaksanaan PPP adalah :

a. Seharusnya, dipayungi oleh undang-undang khusus, misal: PPP Law. b. Seringkali, diatur melalui peraturan pemerintah atau undang-undang

komersial biasa.

c. Kadangkala, dimungkinkan hanya karena “tidak dilarang” dalam undang-undang yang berlaku.


(40)

d. Di indonesia, sementara ini, diatur melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur Situasi yang Kondusif untuk PPP antara lain:

a. Peraturan yang mendukung

b. Kerangka kebijakan yang berpihak c. Prosedur yang jelas, dan terinci d. Budaya kompetisi yang sehat e. Transparansi dalamsetiap transaksi f. Pasar modal yang baik

g. Pemerintah yang cukup paham tentang PPP Adapun struktur sebuah PPP yaitu:

a. Strategi untuk mencapai suatu hasil yang tertentu. b. Proses pembuatan keputusan yang logis/rasional.

c. Pemilihan suatu “model” atau “kendaraan” untuk menghubungkan kebutuhan pembiayaan dengan persyaratan teknis.

Beberapa bentuk PPP yakni : 1. Kontrak Servis

Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee.


(41)

b. Pengumpulan dan pembuangan sampah c. Pemeliharaan jalan

d. Pengerukan kali e. Jasa mobil Derek 2. Kontrak Manajemen

Pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation & maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/fixed fee.

Beberapa contoh Kontrak Manajemen: a. Perbaikan dan pemeliharaan jalan

b. Pembuangan dan pengurugan sampah (solid waste landfill) c. Pengoperasian instalasi pengolahan air (water treatment plant)

d. Pengelolaan fasilitas umum (rumah sakit, stadion olahraga, tempat parkir, sekolah)

e. Kontrak Sewa (lease)

Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun.

Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease):

a. Taman hiburan (entertainment complex) b. Terminal Udara/bandara


(42)

c. Armada bis atau transportasi lainnya d. Kontrak Build-Operate-Transfer/BOT

BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan(O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.

Beberapa contoh Kontrak BOT:

a. Pembangkit Listrik (Independent Power Producer/IPP) b. Jalan Tol

c. Terminal Udara (Airports) d. Bendungan & bulk water supply

e. Instalasi Pengolahan Air (water/wastewater treatment plant) f. Pelabuhan Laut (Sea Ports)

g. Fasilitas IT (Information Technology) h. Kontrak Konsesi

Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan tanggungjawab penuh kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan, memelihara, dan membangun suatu aset infrastruktur, dan memberikan hak untuk mengembangkan, membangun, dan mengoperasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsesi berlaku antara 20 sampai 35 tahun.


(43)

a. Pelabuhan Udara (keseluruhan atau sebagian) b. Jalan Toll

c. Pelabuhan Laut

d. Penyediaan dan distribusi air bersih e. Rumah Sakit

f. Fasilitas olahraga

II.2.4 Syarat Proyek PPP

Agar suatu proyek dapat dibiayai oleh PPP, proyek yang dibiayai oleh

kerjasama Pemerintah dan Swasta, maka proyek tersebut harus merupakan proyek

seperti yang tercantum pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005

Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan

Infrastruktur, seperti dibawah ini

a. Infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan,

penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan

prasarana perkeretaapian;

b. Infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;

c. Infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;

d. Infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air

baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air


(44)

e. Infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah,

jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan

yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan;

f. Infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan

telekomunikasi dan infrastruktur e-government;

g. Infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk

pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi,

atau distribusi tenaga listrik; dan

h. Infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau

distribusi minyak dan gas bumi.

Infrastruktur-infrastruktur tersebut, dikerjasamakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di sektor bersangkutan. Syarat

lainnya agar PPP dapat terlaksana yaitu, dari segi ekonomis semua pihak

(pemerintah dan swasta) memperoleh keuntungan.

Dari segi finansial pemerintah mendapat manfaat yaitu adanya

ketersediaan modal yang berasal dari pihak lain selain pemerintah. dimana kita

ketahui bahwa pemerintah memiliki keterbatasan modal (keuangan) dalam

membiayai proyek-proyek umum, terutama proyek yang membutuhkan modal

sangat besar. Dari segi finansial dapat juga dipelajari bagaimana pemerintah dapat

meningkatkan, mengalokasi, dan menggunakan sumber daya moneter sejalan

dengan waktu, dan juga menghitung risiko dalam menjalankan proyek umum.

Dengan kata lain bagaimana manajemen proyek tersebut dapat dilaksanakan


(45)

pekerjaan proyek tersebut. apakah menguntungkan atau tidak. Hal ini dapat kita

simpulkan dari rencana pengeluaran atau investasi, semua biaya yang diperlukan

selama masa pengerjaan proyek mulai dari pembebasan lahan, biaya konstruksi,

biaya design sampai pemeliharaan. Setelah itu dapat kita perhitungkan berapa

lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali modal atau bahkan memperoleh

keuntungan. Dapat dipelajari mengenai keuntungan yang didapat dari suatu

proyek PPP, mis. bandara, jalan tol, pelabuhan tanpa mengeluarkan biaya secara

penuh.

II.3 Permasalahan Yang Terjadi Pada Kerjasama PPP II.3.1 Negara-Negara berkembang

Argentina: Jalan tol program konsesi dialihkan ke operator swasta sepertiga dari sistem jalan antar kota dan sebagian besar jalan akses ke Buenos Aires. Masalah utama adalah kompleks penawaran kriteria dan aturan untuk renegosiasi kontrak; angka waktu periode konsesi; respon publik negatif; perlunya hukum yang jelas dan peraturan rezim, dan pentingnya lembaga.

China: Perkiraan lebih dari 70 persen perkiraan peningkatan lalu lintas di 1994-2000 telah memicu pembangunan 130.000 km jalan baru pada tahun 2000, yang membutuhkan lebih dari US $ 150 miliar investasi.Meskipun tetap ada kekurangan substansial dalam pembiayaan untuk implementasi, Cina telah meletakkan dasar untuk substansial yang panjang. Masalah sektor swasta adalah: memanfaatkan aset yang ada untuk jalan raya dana baru di pasar modal; perlunya peraturan hukum dan lingkungan kondusif untuk pembiayaan swasta untuk jalan raya tol baru; kebutuhan kapasitas kelembagaan yang memadai dan kompensasi


(46)

atas pembebasan tanah dan pemukiman kembali; kredit dan komitmem dari entitas publik; perlukan untuk mengisi formulir yang fleksibel perusahaan proyek dalam rangka memfasilitasi; investasi asing, dan kebutuhan akan prosedur kontrak transparan.

Perancis: Pembangunan jalan-kinerja tinggi di Perancis dapat dibagi menjadi empat fase. Pada tahap pertama, 1955-69, Perancis membuat komitmen untuk penggunaan tol untuk konstruksi jalan raya pembiayaan oleh perusahaan-perusahaan publik. Tahap kedua, salah satu liberalisasi dan privatisasi, berlangsung 1969-1981. Tahap ketiga, dari tahun 1982 sampai 1993, melibatkan manajemen krisis melalui pengambilalihan negara dan sistem nasional subsidi silang. Tahap saat ini, dimulai pada tahun 1993, merupakan salah satu kesepakatan dan perencanaan konsolidasi dalam sektor publik. Masalah utama adalah: keuntungan relatif dan kekurangan pembiayaan motorway melalui subsidi silang, keuntungan relatif dan kekurangan pembiayaan tol jalan raya; efisiensi konsesi swasta untuk jalan bebas hambatan; dilema mengatur tarif tol dari pemegang konsesi; pentingnya menjaga terhadap potensi konflik kepentingan ketika perusahaan konstruksi berpartisipasi dalam konsesi; dan relatif kemampuan perusahaan swasta dan publik untuk mengambil pertimbangan lingkungan ke rekening.

II.3.2 Di Indonesia

Pelaksanaan proyek KPS di Indonesia dimulai sejak awal tahun 1990-an sampai dengan akhir tahun 1997. Proyek KPS yang dilakukan antara lain dalam


(47)

pada periode ini belum tertata dengan baik. Kelemahan-kelemahan yang ada pada proyek KPS ini antara lain karena kurangnya reformasi struktural, peraturan yang kurang mendukung, kurangnya persaingan serta kurangnya perhatian pada aspek governance dalam pengadaan proyek KPS.

Selanjutnya, dalam rangka penataan terhadap proyek KPS, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 1998 tentang Kerjasama antara Pemerintah dan Perusahaan Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur (Keppres 7/1998). Keppres ini dibuat dalam rangka perbaikan governance dari proyek, terutama pada aspek keterbukaan dan persaingan, serta perlindungan pada kepentingan investor dan konsumen. Agar proyek dapat memberikan manfaat yang optimal (greater value for money), Keppres mengatur bagaimana proyek KPS harus dijalankan serta menetapkan mekanisme pemantauan atas proyek-proyek tersebut.

Selain untuk menciptakan iklim investasi untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat, Perpres 67/2005 dibentuk untuk menciptakan keseimbangan yang adil antara kepentingan konsumen, masyarakat dan badan usaha. Perpres tersebut menetapkan mekanisme yang memungkinkan terciptanya keseimbangan tersebut. Prepres menetapkan mekanisme pelelangan yang akan menciptakan persaingan yang sehat dan menghasilkan pelayanan yang berkualitas dan efisien. Sedangkan dari kepentingan Badan Usaha, Perpres memberikan insentif kepada swasta serta memberikan kepastian pengembalian investasi.

Badan Usaha yang dapat bekerjasama dengan Pemerintah adalah badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara


(48)

(BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan koperasi. Perpres ini memperluas definisi badan usaha. Keppres 7/98 hanya mencakup badan usaha swasta yang berbentuk badan hukum Indonesia. Sehingga, saat ini, BUMN, BUMD dan koperasi dapat berpartisipasi dalam pengadaan infrastruktur.

Partisipasi sektor swasta atau disebut ‘Badan Usaha’ dalam Perpres dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu ‘Perjanjian Kerjasama’ (Konsesi) atau ’Izin Pengusahaan’ (Lisensi). Dalam perjanjian kerjasama, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah mengadakan perjanjian tertulis dengan Badan Usaha untuk menyediakan infrastruktur melalui pelelangan umum. Sedangkan Izin pengusahaan ditetapkan melalui pelelangan izin (auction) dan dilakukan apabila penguraian (unbundling) infrastruktur dan jasa pelayanan tidak mungkin atau sulit dilaksanakan, misalnya pada sektor telekomunikasi, pemipaan minyak dan gas, dan transmisi tenaga listrik.

Kerjasama penyediaan infrastruktur dilakukan antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dan Badan Usaha. Kedua belah pihak ini menentukan bentuk kerjasama yang akan dilakukan, apakah melalui perjanjian kerjasama atau izin pengusahaan. Dalam melakukan kerjasama ini para pihak harus memperhatikan prinsip-prinsip: adil, terbuka, transparan, bersaing, bertanggung-gugat, saling menguntungkan, saling membutuhkan serta saling mendukung.


(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Umum

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode studi literatur dengan melakukan kajian kebijakan pendanaan pembangunan jalan tol dan menggunakan metode penelitian terapan mengenai kebijakan pendanaan jalan tol di Indonesia yang dianalisis menggunakan analisis kualitatif.

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran pemerintah dalam kebijakan pendanaan pembangunan jalan tol serta partisipasi swasta dalam pembangunan dan pengelolaan jalan tol, serta merumuskan persoalan-persoalan berkaitan dengan pendanaan pembangunan infrastruktur jalan tol, sehingga dapat dirumuskan pula upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mengatasi kendala berkaitan dengan pendanaan pembangunan infrastruktur jalan tol.

III.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengunakan data sekunder yaitu mengumpulkan data-data seperti dokumentasi-dokumentasi perencanaan, program dan kebijakan pembangunan jalan tol, data-data tentang lokasi jalan tol, pengelolaan jalan tol. Data-data sekunder ini akan digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam tahap analisis. Analisis dilakukan menggunakan data base dan literatur yang ada yang dijadikan landasan dalam menganalisis baik kajian terhadap kepustakaan, maupun kajian terhadap data yang diperoleh dari hasil dokumentasi.


(50)

III.3 Tahapan Analisis dalam Penelitian

Selanjutnya data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam, dan studi literatur dianalisis secara kualitatif untuk mencapai tujuan studi yaitu membuat suatu studi atas kebijakan pendanaan pembangunan jalan tol.

Tahapan analisis dalam penelitian ini dibuat secara sistematis dan teratur seperti digambarkan dalam diagram alir pada Gambar III.1

Penelitian ini akan menggabungkan penggunaan wawancara, pengumpulan bahan literatur dan studi kasus untuk mengumpulkan informasi dan data tentang PPP. Data yang dikumpulkan akan memberikan kontribusi bagi pengembangan kerangka kerja praktek terbaik dan kesimpulan dan rekomendasi final laporan. Penelitian kerangka ditampilkan pada gambar di bawah ini. Literatur pada praktek internasional saat ini PPP akan ditinjau secara luas, termasuk buku, jurnal, majalah, newsletter, dari konferensi, lokakarya, seminar dan sumber lainnya. Lalu praktek saat ini PPP akan didokumentasikan. Kajian tersebut akan mencakup pengembangan suatu instrumen untuk melakukan wawancara. Informasi yang dikumpulkan dari wawancara akan sepenuhnya didokumentasikan secara individu tetapi dianalisis secara kolektif untuk pertama melakukan verifikasi studi literatur dilakukan dan kedua mencapai tujuan penelitian yang diajukan. Di samping sebagai hasil dari tinjauan literatur studi kasus yang sesuai akan diidentifikasi untuk analisis.


(51)

Gambar III.1 Bagan Alir Tahapan Penelitian Mengidentifikasi

Perkembangan Jalan Tol

Mengidentifikasi Penerapan Kebijakan Pembiayaan dan

pelaksanaan pembangunan

Kajian Peran Pemerintah dalam Pembiayaan

Pembangunan Jalan Tol

Kajian Peran Swasta dalam Pembiayaan n

Pembangunan Jalan Tol

Rumusan Kendala-Kendala dalam Pembiayaan

Pembangunan Jalan Tol

Rumusan Upaya Mengatasi Kendala dalam Pembiayaan

Pembangunan Jalan Tol

Rumusan Rencana Pembangunan Jalan Tol

Tanjung Morawa – Tebing Tinggi


(52)

Bab IV

Analisis dan Pembahasan

Dalam menganalisis permasalahan pembiayaan pembangunan jalan tol ini, terlebih dahulu harus diidentifikasi penerapan kebijakan pembiayaan pembangunan jalan tol mengenai permasalahan-permasalahan apa saja yang dialami oleh para pihak kepentingan (stake holders), yaitu pemerintah sebagai regulator, pengusaha/investor sebagai pelaku bisnis jalan tol, dan masyarakat sebagai pengguna jasa dalam merumuskan kendala-kendala sekaligus upaya-upayanya dalam pembiayaan pembangunan jalan tol.

Permasalahan yang dialami oleh masing-masing pihak kepentingan tersebut tentu berbeda karena mereka mempunyai peran dan kepentingan yang berbeda dalam industri jalan tol. Dan setelah semua permasalahan dapat diidentifikasi maka kemudian permasalahan tersebut di analisis dari sisi kebijakan dari regulasi pemerintah yang berlaku saat ini.

IV.1 Peraturan dan Kebijakan Pembiayaan Jalan Tol

Sesuai Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang Jalan Tol, disebutkan bahwa jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian dari sistem jaringan jalan dan dengan status sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol, serta wewenang penyelenggaraan jalan tol ada pada Pemerintah.


(53)

dan komprehensif baik secara ekonomi maupun finansial. Pembangunan jalan tol harus selektif dan hanya untuk daerah dengan volume lalu lintas memadai dan memiliki prioritas tinggi dalam pengadaannya. untuk daerah yang masih rendah volume lalu lintasnya dapat memanfaatkan jaringan jalan non-tol yang ada. Penyelenggara jalan tol ini meliputi: pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan.

Untuk mengetahui konsep formal jalan tol maka dapat diperhatikan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pembiayaan pembangunan jalan tol. Peraturan tersebut mencakup prosedur dan persyaratan tender, kriteria evaluasi penawaran, ketentuan-ketentuan mengenai negosiasi kontrak, kondisi dan syarat-syarat kontrak, jaminan bagi komplain kontraktor, prosedur penyesuaian tarif, serta ketentuan-ketentuan mengenai penghentian kontrak termasuk alokasi risiko yang jelas antara pemerintah selaku pemilik aset dan pihak swasta sebagai pengelola.

Kebijakan pemerintah untuk privatisasi pada industri jalan tol sejak tahun 1987 terus berkembang. Pada program privatisasi tersebut, pola pengadaan pembangunan jalan tol dinataranya dapat dilakukan dengan cara Build Operate Transfer (BOT). Bentuk usahanya sendiri dapat berupa kerjasama usaha patungan (joint venture), kerjasama usaha gabungan (joint operation), kerjasama pembiayaan bagi hasil (revenue sharing), dan kerjasama pembiayaan pembangunan (modified turnkey). Sedangkan beberapa bentuk pendanaan infrastruktur pembangunan jalan tol dapat dilakukan melalui saham, reksadana, Obligasi/Surat Hutang Perusahaan dan Sekuritisasi Aset (Asset Backed Security).


(54)

IV.1.1 Regulasi jalan Tol menurut UU 38/2004 dan PP 15/2005

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan tol telah memberikan cakrawala baru dalam penyelenggaraan jalan tol. Keberadaan badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) diharapkan dapat lebih mendorong partisipasi aktif dari sektor swasta dalam investasi jalan tol demi terwujudnya percepatan penyelenggaraan jalan tol. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam peraturan tersebut antara lain:

1. Sebagai dasar pembangunan jalan tol, Pemerintah menyusun Rencana Induk Jaringan jalan tol dan ruas Jalan Tol yang ditetapkan oleh Menteri. 2. Pendanaan pengusahaan jalan tol dapat berasal dari Pemerintah dan/atau

Badan Usaha yang memenuhi persyaratan. Pendanaan yang berasal dari pemerintah diperuntukkan bagi ruas jalan tol yang layak secara ekonomi, tetapi belum layak secara financial. Pendanaan yang berasal dari Badan Usaha diperuntukkan bagi ruas jalan tol yang layak secara ekonomi dan financial.

3. Dalam keadaan tertentu yang menyababkan pengembangan jaringan jalan tol tidak dapat diwujudkan oleh Badan Usaha, Pemerintah dapat mengambil langkah sesuai kewenangannya.

4. Pengadaan sebagian atau seluruh lingkup pengusahaan jalan tol dilakukan melalui pelelangan secara terbuka dan transparan.

5. Badan usaha yang mendapatkan hak pengusahaan jalan tol berdasarkan hasil pelelangan mengadakan perjanjian pengusahaan jalan tol dengan


(55)

6. Pemerintah melaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol dapat berasal dari pemerintah dan/atau badan usaha.

IV.2 Investasi Jalan Tol

Bagi investor, pengusahaan jalan tol pada dasarnya harus layak secara finansial yaitu : self financing, return yang wajar pada investor serta resiko terkendali dan memenuhi persyaratan perbankan. Untuk itu segera dicanangkan percepatan pembangunan jalan tol yang meliputi 1642 km jalan tol di Pulau Jawa sedangkan di luar Pulau Jawa sepanjang 56 km dengan total kebutuhan investasi sekitar 94,5 triliun.

Membangun jalan tol di Indonesia terlihat sepeti investasi yang menguntungkan. Namun anggapan ini belum tentu benar, sebab resiko yang mungkin timbul juga ternyata banyak, seperti resiko akibat jumlah volume lalu-lintas yang jauh dari prediksi awal, biaya tanah, suku bunga, inflasi yang diakibatkan lambatnya pembebasan lahan, biaya konstruksi lainnya, yang bisa berubah tiba-tiba. Investasi jalan tol tergolong memiliki resiko yang unik jika dibandingkan dengan investasi bidang infrastruktur lainnya, dimana lama pengembalian dapat mencapai 25-35 tahun.

Untuk kasus Jalan Tol Tanjung Morawa – Tebing Tinggi yang termasuk dalam rencana pembangunan Jalan Tol Medan – Kuala Namu – Tebing Tinggi kebutuhan biaya lahannya dapat kita lihat pada tabel berikut:


(56)

Tabel IV.1 Kebutuhan Biaya Lahan Jalan Tol Medan - Kuala Namu - Tebing Tinggi

No Seksi Luas

total (Ha) Lahan Terbebaskan (Ha) Lahan belum terbebaskan (Ha)

Kebutuhan Biaya lahan Yang telah bebas Yang belum bebas 1 2

Medan – kualu Namu (seksi – 1)

Kuala Namu – Tebing Tinggi (seksi – 2)

197,96 240,21 3,70 0 194,26 240,21 17,5 Milyar 0 142,5 Milyar 276 Milyar

TOTAL 438,17 3,70 434,47 17,5 Milyar 418.5 Milyar

Sedangkan alokasi dana APBN TA. 2010 untuk pembebasan lahan sebesar Rp.20 milyar.

Keputusan swasta untuk berinvestasi selalu berlandaskan kelayakan, ada biaya modal harus yang diperhitungkan yang berhubungan dengan tingkat resiko. Secara teoritis, investor mengacu pada resiko (risk averse), artinya semakin tinggi resiko (ketidakpastian), semakin tinggi pula biaya modal.

Sejarah jalan tol di Indonesia diawali pada Tahun 1978, yaitu dengan dibangunnya jalan tol pertama “Jagorawi” (16), kemudian pada Tahun 1083 ada dana APBN plus surat utang (bond) dalam pembangunan jalan tol, Tahun 1987 lahir Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1987, Tahun 1991/1992 lahir tol swasta, Tahun 1994 tender Internasional 770 km jalan tol. dan 1997 tender internasional 435 jalan tol lainnya. Berdasarkan pengoperasiannya, jalan tol publik yang dikelola oleh Jasa Marga 354 km, jalan tol swasta atau dikelola swasta 166 km, sehingga. Salah satu fokus usaha Perseroan tahun 2009 adalah menambah panjang jalan tol dengan cara mempercepat pengerjaan proyek jalan tol yang dimiliki Perseroan. Hingga akhir 2009, Perseroan mengoperasikan 14 ruas jalan tol dengan panjang 531 km.


(57)

Di Sumatera Utara sedang direncanakan pembangunan jalan tol. Salah satunya adalah Jalan Tol Medan - Kuala Namu - Tebing Tinggi. Adapun data-data teknis rencana seperti berikut:

Panjang: 25.10 Km (Medan – Kualanamu – Lubuk Pakam)

31.40 Km (Lubuk Pakam – Tebing Tinggi) Kecepatan Rencana : 100 km/jam

Jumlah lajur : 2 x 2 lajur (tahap akhir 2x3 lajur)

Lebar lajur : 3,6 m

Lebar median : 5,5 m Lebar bahu dalam : 1,5 m Lebar bahu luar : 3,0 m Lebar Rumija : + 60,0 m

Volume Lalu Lintas : 12.568 kend/hari (2011) Kebutuhan Lahan : 442,86 Ha

Biaya Pembebasan Lahan : Rp 436 M Biaya Investasi : Rp 4.755 M Tarif toll awal (2011) : Rp. 600/km

EIRR : ± 22.02%


(58)

(59)

Sejauh ini, pola kerja sama pengelolaan tol oleh swasta adalah dengan Build Operate Transfer (BOT) model. Dengan model ini swasta membangun, mengoperasikan atas biaya dan resiko sendiri dan setelah masa konsesi menyerahkan kembali ke pemerintah. Biaya pembangunan jalan tol sendiri, tergantung banyak faktor meliputi jenis struktur, lokasi dan lainnya, dengan rata-rata investasi dibutuhkan Rp 30 miliar untuk setiap km.

Resiko timbul karena adanya ketidakpastian penghasilan, biaya operasi, biaya konstruksi dan lainnya. Dalam investasi, resiko berhubungan dengan biaya modal (capital cost). Semakin tinggi resiko, semakin tinggi biaya modal. Investasi yang bebas resiko itu biaya modal sama dengan tingkat suku bunga yang relatif tanpa resiko. Biaya modal harus dibedakan dengan biaya operasi atau biaya konstruksi. Ada hubungan dengan resiko dan nilai waktu dari uang. Biaya modal: kompensasi menerima resiko.

IV.2.1 Pengelolaan Jalan Tol

Setelah jalan tol dibangun dan ditetapkan sebagai jalan tol oleh Pemerintah, maka jalan tol tersebut mulai diopersikan. Pada tahap ini investor menghadapi risiko pendapatan yang akan berjalan dalam kurun waktu yang panjang. Bila pada bisnis lainnya investor dapat memaksimalkan penjualan dengan menggunakan harga dan volume sebagai variabel bebas, tidak demikian halnya dengan bisnis jalan tol.


(60)

IV.3 Kebijakan Investasi Berdasarkan Undang-undang

Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2009 tentang Jalan Tol, terbuka kemungkinan bagi Pemerintah untuk bekerjasama dengan investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dalam penyelenggaraan jalan tol.

IV.3.1 Prosedur Investasi

Prosedur investasi saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 telah lebih transparan dan sederhana, karena investor tidak perlu meminta persetujuan pihak Jasa Marga jika ingin berinvestasi di bidang jalan tol. Selain itu, investor yang ditetapkan sebagai pemenang tender tidak perlu membentuk sebuah perusahaan kerjasama dengan PT.Jasa Marga, melainkan langsung membuat perusahaan jalan tol yang akan menandatangani Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dengan BPJT. Dengan prosedur investasi yang ditetapkan oleh BPJT ini, diharapkan dapat lebih mendorong minat investasi di bidang jalan tol.

IV.3.2 Pengusahaan Jalan Tol

Pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan. Pengusahaan jalan tol ini dilakukan oleh Pemerintah dan atau badan usaha yang memenuhi persyaratan. Pengusahaan jalan tol oleh pemerintah bila ruas jalan tol tersebut layak secara ekonomi tapi belum layak secara finansial. Pengusahaah oleh Pemerintah meliputi


(61)

kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi jalan tol, yang selanjutnya pengoperasian dan pemeliharaanya dilakukan oleh badan usaha.

Pengusahaan jalan tol oleh badan usaha meliputi:

a. Seluruh lingkup pengusahaan jalan tol yang layak secara ekonomi dan finansial;

b. Pengoperasian dan pengelolaan jalan tol yang dibangun oleh pemerintah; dan

c. Meneruskan bagian jalan tol yang dibangun Pemerintah, dan pengoperasian dan pemeliharaan keseluruhan jalan tol.

Seluruh lingkup pengusahaan jalan tol oleh badan usaha tersebut meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan. Pengusahaan jalan tol yang telah dibangun Pemerintah harus memperhitungkan pengembalian investasi Pemerintah.

IV.4 Peran Pemerintah dan Swasta dalam Mendanai Pembangunan Jalan Tol

Jalan tol merupakan kesatuan dengan jaringan jalan non tol, dan dapat berfungsi baik jalan alternatif maupun bukan jalan alternatif. Jalan tol ditujukan terutama untuk mempertahankan tingkat pelayanan level of service, mengurangi infisiensi akibat kemacetan pada ruas jalan utama, serta untuk meningkatkan pelayanan jasa distribusi untuk menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya. Namun penyediaan jaringan jalan tol tidak sebanding dengan pertumbuhan lalu lintas. Hal


(62)

ini disebabkan karena dana Pemerintah yang terbatas sementara kebutuhan jalan tol semakin meningkat.

Peran swasta dan masyarakat dalam pembiayaan infrastruktur dilakukan dengan upaya-upaya terobosan dalam bentuk KSO (Kerjasama Operasi), Privatisasi, Divestasi Asset, dan lain-lain. Sedangkan peran Pemerintah dalam mendorong peningkatan pembangunan jalan tol dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan investasi swasta yang”equality based investment”, dana pemerintah hanya leverage agar swasta investasi (PSO, public goods), memperbaiki kerangka peraturan perundang-undangan, melakukan pemberian insetif investasi, dan membangun persepsi public tentang PPP.

IV.4.1 Sumber-Sumber Pendanaan Jalan Tol

Pada dasarnya pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Oleh karenanya APBN dan APBD merupakan sumber pembiayaan utama untuk pembangunan jalan tol. Namun mengingat keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah, terutama setelah terjadi krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997, APBN dan APBD sulit diharapkan untuk dapat menyediakan dana sebagai sumber pembiayaan seluruh infrastruktur yang diperlukan masyarakat. Sementara itu, pembangunan jalan tol perlu dilaksanakan dalam rangka peningkatan perekonomian ataupun peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dapat mencari sumber pembiayaan lain di luar APBN dan APBD, yaitu dengan mencari pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri atau menggandeng pihak swata


(63)

Namu - Tebing Tinggi terdapat kesepakatan antara pihak pemerintah dan pihak swasta yaitu dalam hal kesepakatan terhadap investasi yang dapat dilihat dibawah ini:

Gambar IV.2 Kesepakatan Pemerintah Dan Swasta Terhadap Investasi

Pinjaman pada dasarnya dapat diperoleh dari lembaga perbankan, lembaga non perbankan, atau masyarakat. Pinjaman dari lembaga perbankan atau lembaga nonbank biasanya berbentuk kredit investasi. Pinjaman dari masyarakat biasanya berbentuk Obligasi. Sementara itu, pihak swasta dapat dilibatkan dalam


(64)

operate, and transfer (BOT). Selain dibiayai dari APBD. Pembangunan infrastruktur daerah dapat dibiayai dari beberapa sumber lain seperti pinjaman dari perbankan, development sharing, BOT, dan pinjaman dalam bentuk obligasi daerah.

Perbankan dapat menyediakan dana yang cukup memadai untuk pembangunan infrastruktur, namun mengingat waktu pengmbalian yang panjang menyebabkan minat perbankan untuk membiayai infrastruktur menjadi rendah. Development sharing dan BOT melibatkan pihak swasta yang diharapkan tertarik untuk berinvestasi infrastruktur daerah. Namun sayangnya tidak banyak pihak swasta yang memiliki cukup banyak dana dan berkeinginan untuk membangun infrastruktur. Pembiayaan infrastruktur melalui penerbitan obligasi mampu menyediakan dana dalam jumlah besar, karena melibatkan banyak pihak. Pembiayaan ini memiliki resiko terhadap perubahan kurs rendah, karena tingkat bunga dapat ditetapkan pada saat penerbitan obligasi.

IV.4.1.1 Kredit Investasi

Pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur pada umumnya memerlukan dana yang relatif besar bila dibandingkan dengan pembiayaan untuk nasabah bank pada umumnya. Karena besarnya dana yang harus dikeluarkan, dalam banyak kasus pendanaan untuk pembangunan infrastruktur diperoleh melalui konsorsium yang merupakan gabungan dari beberapa bank atau gabungn dari bank dan lembaga non-bank, baik dari dalam maupun luar negeri. hal ini menyebabkan pembiayaan infrastruktur dari melalui kredit investasi menjadi


(65)

IV.4.1.2 Development Sharing

Pembangunan infrastruktur daerah dengan metode development sharing melibatkan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur daerah. Pemerintah daerah bekerja sama dengan pihak swasta membangun infrastruktur tertentu, dengan komposisi penyertaan modal dan bagi hasil pendapatan tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Metode ini efektif untuk mengatasi keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah daerah untuk membangun infrastruktur. Hal yang menguntungkan dari metode ini adalah rendahnya biaya perolehan dan tingkat bunga, rendahnya resiko terhadap perubahan kurs. Namun perusahaan sebagai entitas bisnis pada umumnya juga memiliki keterbatasan dana, sehingga dalam prakteknya, pembangunan infrastruktur dengan metode development sharing tidak mudah diterapkan oleh pemerintah daerah. Metode ini menarik bagi pemerintah daerah karena resiko terhadap perubahan kurs relatif tidak ada, karena modal berasal dari pasar dalam negeri.

Pola development sharing merupakan pola yang menarik bagi investor, karena hak penguasaan investor terhadap infrastruktur yang dibangun relatif tinggi, namun besarnya dana yang harus disediakan investor pada umumnya menjadi kendala pihak swasta umtuk ambil bagian dalam pembangunan infrastruktur dengan pola development sharing. Kendala lainnya adalah pemerintah daerah, disamping sebagai partner bisnis juga sebagai regulator, sehingga investor mengahadapi resiko terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang cukup signifikan.


(66)

IV.4.2 Partisipasi Swasta dalam Pembangunan Jalan Tol di Indonesia

Dalam proyek-proyek pembangunan jalan tol di Indonesia saat ini, peran perusahaan-perusahaan swasta sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh besarnya biaya yang diperlukan untuk melaksanakan proyek-proyek pembangunan jalan tol tersebut. Adapun beberapa dari perusahaan-perusahaan swasta tersebut seperti diuraikan dibawah ini.

IV.4.2.1 PT.Jasa Marga

PT.Jasa Marga (Persero) didirikan tahun 1978 sebagai BUMN mewakili peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol. Fungsi jalan tol dalam membangun perekonmian wilayah sudah dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat baik itu asperk percepatan arus barang dan jasa. Wilayah yang dilalui jalan tol setiap tahunnya selalu berkembang. Saat ini Jasa marga mengoperasikan 80 persen atau 527,15 km dan 665,70 km jalan tol yang beroperasi di Indonesia. Jalan tol ini dioperasikan oleh 9 Kantor Cabang dan 1 anak perusahaan yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara.

IV.4.2.2 PT.Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP)

Merupakan perusahaan swasta pertama yang terjun di industri jalan tol semenjak tahun 1987 dan saat ini telah mengoperasikan 31 km jalan tol di dalam kota Jakarta. Selain turut mengelola Metro Manila Skyway di Filipina. CMNP juga turut berinvestasi mengembangkan usaha pembanguna jalan tol di Indonesia


(67)

antara lain Jalan Tol Simpang Susun Waru-Bandara Juanda di Surabaya, Depok-Antasari, Bogor-Ring Road (melalu Jasa Sarana).

IV.4.2.3 PT.Margabumi Matraraya (MBMR)

MBMR mengoperasikan jalan tol Surabaya-Gresik sepanjang 21 km. Jalan tol yang dibangun tahun 1991 dan dioperasikan tahun 1993 ini menghubungkan wilayah industry di Gresik menuju ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

IV.4.2.4 PT.Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JLJ)

JLJ mengoperasikan Jalan Tol Lingkar Jakarta (JORR) sepanjang 43,10 km dari Ulujami sampai dengan Cilincing. Perusahaan yang berdiri tahun 2000 ini mayoritas sahamnya dimiliki oleh Jasa Marga.

IV.5 Kendala-Kendala Dalam Pembiayaan Pembangunan Jalan Tol

Gambaran umum pembangunan infrastruktur di Indonesia pasca krisis bisa dikatakan jalan di tempat, dalam arto tidak ada kemajuan yang dicapai secara signifikan. Anggaran yang disediakan untuk pembangunan infrastruktur baru sangat minim, demikian pula anggaran untuk pemeliharaan ada, keterbatasan dana yang dialokasikan untuk infrastruktur merupakan kendala utama. Sebagai ilustrasi, apabila sebelum krisis pemerintah masih dapat mengalokasikan dana APBN/APBD untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur sebesar + 5%


(1)

menangani pengaturan pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik aset dan pengendali pelaksanaan kerjasama.

3. Sudah ada payung hukum yang dapat dipakai untuk melaksanakan PPP. Antara lain kebijakan pendanaan pembangunan jalan tol di Indonesia sampai saat ini sudah dilakukan oleh pemerintah, antara lain dengan mereformasi perundangan yang ada. Dengan disahkannya Undang-undang No. 38 tahun 2004, Peraturan Pemerintah No.15 tahun 2005 tentang Jalan Tol dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 295/PRT/M/2005 tentang Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), terbuka kemungkinan bagi Pemerintah untuk bekerjasama dengan swasta (investor), baik dari dalam maupun luar negeri dalam pengadaan jalan tol. Yang dilakukan pemerintah yaitu mengoptimalkan peran swasta.

4. Sesuai dengan UU No. 38 Tahun 2004, swasta bertanggungjawab dalam beberapa aspek, diantaranya pembebasan lahan, penyesuaian tarif, antisipasi resiko dan memberikan stimulan investasi. Sedangkan peran pemerintah dalam mendorong peningkatan pembangunan jalan tol di Indonesia dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan investasi swasta yang “equity based investment”, memperbaiki kerangka peraturan perundang-undangan, melakukan pemberian insentif investasi, dan membangun persepsi publik tentang Public Private Partnership (PPP).

5. Upaya mengatasi kendala pendanaan pembangunan jalan tol di Indonesia dalam upaya mempercepat pembangunan jalan adalah dilakukannya reformasi peraturan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor


(2)

38 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol Terutama Berkaitan Dengan Pengaturan Wewenang Penyelenggaraan Jalan Tol oleh Badan Pengatur Jalan Tol (Bpjt). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

V.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, dapat diajukan saran-saran hasil penelitian sebagai berikut:

1. Pemerintah disarankan tetap konsisten dalam menjalankan aturan yang ada, dan fleksibel dalam mengatur berbagai permasalahan yang ada karena masing-masing ruas memiliki karakteristik permasalahan yang relatif berbeda. Untuk ruas-ruas jalan tol yang tidak laku sebaiknya pemerintah memberikan perangsang (stimulan) untuk menarik investor.

2. Penetapan tarif sebaiknya dilakukan sebelum pembangunan jalan dimulai dan harus sesuai dengan bisnis plan yang diajukan oleh pihak investor. Penyesuaian tarif disarankan tetap konsisten sesuai aturan, yaitu kenaikan setiap 2 tahun proporsional dengan laju inflasi. Agar pihak investor merasa aman dengan penyesuaian tarif, karena apabila tarif tidak sesuai atau rendah maka akan mempengaruhi pengembalian investasi.

3. Proses seleksi terhadap kelayakan calon investor harus diperketat. Artinya, kesiapan sumber dana sendiri harus menjadi pertimbangan penting


(3)

sebelum meluluskan layak tidaknya calon investor. Mengingat banyaknya ruas tol yang sudah PPJT tetapi belum dikerjakan oleh investor.

4. Risiko dalam pendanaan pembangunan jalan tol harus ditanggung bersama dan seadil-adilnya, bilamana diantara pihak (pemerintah atau investor) melakukan wanprestasi maka resiko ditimpakan pada yang melakukan kesalahan. Pemerintah pun bisa dinggap default bila melakukan wanprestasi atas PPJT.

5. Upaya mengatasi dan memperluas sumber pendanaan, perlu dikembangkan berbagai alternatif pendanaan jalan tol yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, serta memiliki mekanisme diversifikasi resiko.


(4)

Daftar Pustaka

1. M. Tony dan N. Cyrus, 2007. Construction Management Series : Financing infrastructure Projects. J,Telford.

2. Global Competitiveness Report 2008-2009

3. Junedi, Praptono (2007). Implementasi Public-Private Partnership dan dampaknya ke APBN . Dari: http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/ kajian%5Cartikel_PPP_ prap.pdf, 3 Maret 2010

4. Basuki, Orin (Kompas, 2010). 60 Proyek Baru Masuk Buku “PPP”. Dari: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/15/

4091140/60.Proyek.Baru.Masuk.Buku.PPP., 3 Maret 2010

5. Kompas (2009). PLN Umumkan Tender PLTU Pemalang. Dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/06/22/09052641/PLN.Umu mkan. Tender.PLTU.Pemalang, 3 Maret 2010

6. Setyari, Ni Putu Wiwin., Purwanti, Putu Ayu Pramitha., Meydianawathi., & Widanta, Anak Agung Bagus Putu(2008). DETERMINAN INVESTASI DI INDONESIA. Dari: http://jurnalmanajemenn. blogspot.com/2009/07/ determinan-investasi-di-indonesia.html, 3 Maret 2010

7. Nugroho, Ugie (Trust, 2010) Disetujui tapi Sulit Dicairkan. Dari: http://www.majalahtrust.com/danlainlain/ kolom /1479.php., 25 April 2010


(5)

9. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur.

11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.

12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005.

13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. 14. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

15. Kurdi, Yasin. Pengembangan Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Bidang Infrastruktur. Dari http://www.diskimrum.jabarprov .go.id/etc/artikel/KERJASAMA_ PEMERINTAH_DAN_SWASTA.pdf

16. Jasa Marga (2009). Laporan Tahunan Jasa Marga. http://jasamarga.com/annual_report/ar2009/index.html

17. Pages, Tate’s Cairn Tunnel. http://www.facebook.com/pages/Tates-Cairn-Tunnel/137583169597290.

18. Wikipedia. Jalan Tol Jagorawi. http://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Tol_ Jagorawi.


(6)

19. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (2010) tentang Pembangunan Jalan Tol di Sumatera Utara.