pengkategorikan kadar debu tidak dapat di kategorikan menjadi dua kategori data tak dapat dikategorikan. Oleh karena kadar debu tak dapat dikategorikan maka
hubungan kadar debu dengan fungsi paru tidak dapat di uji secara statistik dengan menggunakan uji chi-square karena syarat menggunakan uji chi-square data variabel
independen dan variabel dependen harus bersifat kategori Murti, 1997. Meskipun kadar debu di usaha penampungan butut dibawah Nilai Ambang Batas, bukan berarti
kondisi lingkungan kerja mutlak aman bagi pekerja, karena hasil pemeriksaan fungsi paru menunjukkan adanya pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru restriktif
akibat menginhalasi debu anorganik. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmatullah 2009 yang menyatakan bahwa pekerja yang menginhalasi debu anorganik dapat
menimbulkan pneumokoniosis, dimana pada umumnya pneumokoniosis dapat menimbulkan gangguan fungsi paru restriktif. Namun, jika debu anorganik
terdeposittertumpuk dalam waktu yang lama di saluran nafas kecil dan menimbulkan inflamasi kronis maka dapat terjadi gangguan fungsi paru obstruktif.
5.4. Hubungan Umur dengan Fungsi Paru Pekerja Proses
Press-Packing
Berdasarkan analisis bivariat menunjukan hasil uji yang tidak signifikan antara umur dengan fungsi paru, dengan nilai p = 1,000 p 0,05. Hal ini selaras
dengan penelitian Khumaidah 2009 bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan fungsi paru dengan nilai p = 0,355 p 0,05. Pada individu
normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya. Mulai pada fase anak sampai umur
Universitas Sumatra Utara
kira-kira 22-24 tahun terjadi pertumbuhan paru, sehingga pada waktu nilai fungsi paru semakin besar dan bersamaan dengan pertambahan umur membuat nilai fungsi
paru mencapai maksimal pada umur 22-24 tahun. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap kemudian menurun secara perlahan-lahan dan pada umur 30 tahun biasanya
sudah mulai terjadi penurunan, setelah itu nilai fungsi paru KVP = Kapasitas Vital Paksa dan VEP
1
= Volume ekspirasi paksa satu detik pertama mengalami penurunan rata-rata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun umur individu
Rahmatullah, 2009. Menurut naskah lengkap workshop COPD pada pertemuan ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi 2003 dalam Sardjanto 2010
menyatakan bahwa meskipun fungsi paru menurun selaras dengan bertambahnya usia, namun hal tersebut tidak pernah berhubungan langsung dengan kejadian
gangguan fungsi paru, sehingga memerlukan variabel lain untuk bersama-sama berkorelasi dengan gangguan fungsi paru.
Dengan demikian dapat dipahami apabila dalam penelitian ini tidak terdapat adanya hubungan antara umur pekerja dengan fungsi paru, meskipun lebih banyak
pekerja yang berusia di atas 31 tahun.
5.5. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru Pekerja Proses
Press-Packing
Berdasarkan analisis bivariat menunjukan bahwa dari 19 pekerja terdapat 3 orang 37,5 yang memiliki kebiasaan merokok mengalami gangguan fungsi paru
dan 1 orang 9,1 yang tidak memiliki kebiasaan merokok mengalami gangguan
Universitas Sumatra Utara
fungsi paru. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru, dengan nilai p = 0,033
p 0,05. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanri 1996, yang telah melakukan penelitian tentang pengaruh debu semen terhadap kelainan
fungsi paru dan penyakit paru di Semen Padang, mendapatkan adanya hubungan yang kuat antara merokok dengan kejadian penyakit paru pada para pekerja. Demikian juga
dengan hasil penelitian Sardjanto 2010 didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian kelainan fungsi paru dengan
nilai p = 0,000 p 0,05. Menurut Rahajoe dkk 1994 kebiasaan merokok dapat menimbulkan
gangguan ventilasi paru karena dapat menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosiler
dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri. Asap rokok dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit
bronkitis dan kanker paru Yunus, 1997. Menurut hasil penelitian Suyono 2001 yang menyebutkan inhalasi asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat
menyebabkan penyakit saluran pernapasan pada orang dewasa. Asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih merendahkan
kapasitas vital paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pada pengaruh debu hanya sekitar sepertiga dari
pengaruh buruk rokok Depkes RI, 2003. Menurut Dhaise dan Rabi 1997 tenaga kerja yang perokok dan berada di lingkungan yang berdebu cenderung mengalami
Universitas Sumatra Utara
gangguan saluran pernapasan dibanding dengan tenaga kerja yang berada pada lingkungan yang sama tetapi tidak merokok.
Pada penelitian ini terdapat 3 tiga orang pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru memiliki kebiasaan merokok. Dari ketiga orang tersebut terdapat 2 orang
yang mengalami gangguan fungsi paru obstruktif. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan gangguan fungsi paru obstruktif yang umumnya ditandai dengan
penurunan Forced Expiration Volume in 1 secon FEV
1
Volume Ekspirasi Paksa detik pertama VEP
1
, hal ini selaras dengan pendapat Rahmatullah 2009 yang menyatakan bahwa besarnya penurunan fungsi paru FEV
1
berhubungan langsung dengan kebiasaan merokok konsumsi rokok. Pada orang dengan fungsi paru normal
dan tidak merokok mengalami penurunan FEV
1
20 ml pertahun, sedangkan pada orang yang merokok perokok akan mengalami penurunan FEV
1
lebih dari 50 ml pertahunnya Rahmatullah, 2009. Oleh karena itu sebaiknya pekerja menghentikan
kebiasaan merokok untuk mencegah laju penurunan FEV
1
. Disamping pengaruh rokok, paparan debu dalam waktu lama di lingkungan kerja dapat menyebabkan
terjadinya gangguan fungsi paru obstruktif. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Aditama 2006 bahwa pada pekerja yang berada di lingkungan
dengan konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama 10 tahun memiliki risiko lebih tinggi terkena gangguan fungsi paru obstruktif.
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik berganda didapat bahwa kebiasaan merokok tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan fungsi paru dengan nilai
p = 0,655. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pendataan tentang lamanya kebiasaan merokok para pekerja yang menjadi subyek penelitian, sehingga bukan tidak mungkin
Universitas Sumatra Utara
terdapat banyak perokok yang memulai kebiasaanya kurang dari masa yang diperlukan untuk terjadinya gangguan fungsi paru.
5.6. Hubungan Masa Kerja dengan Fungsi Paru Pekerja Proses