Kadar Debu Total (TSP) dan Gejala ISPA Pada Pekerja Departemen Pemintalan di Industri Tekstil PT.Unitex Tbk Bogor

(1)

TAHUN 2014

SKRIPSI

Oleh :

Alya Mutiara Basti 1110101000056

PEMINATAN KESEHATAN LNGKUNGAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLLAH

JAKARTA

1435 H/ 2014 M


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah safu persyaratan memperoleh gelar strata

I

di Fakultas Kedokteran dan

Ilmu

Kesehatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber ylmg saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

di

Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UfN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya

asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka

saya bersedia menerima' sanksi yang berlaku

di

Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri rufN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(3)

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Agustus 2014

Alya Mutiara Basti, NIM : 1110101000056

KADAR DEBU TOTAL DAN GEJALA ISPA RINGAN PADA PEKERJA DEPARTEMEN PEMINTALAN DI INDUSTRI TEKSTIL PT. UNITEX Tbk BOGOR TAHUN 2014

xv + 95 halaman + 4 tabel + 4 lampiran

ABSTRAKSI

Latar Belakang: Data statistik dari RPJMD kota Bogor tahun 2010-2014 menunjukkan, ISPA merupakan penyakit dengan presentasi tertinggi dari 10 penyakit utama. Selain itu berdasarkan data dinas kesehatan Bogor, telah terjadi kenaikan jumlah penderita ISPA pada tahun 2012 jika dibandingkan dengan tahun 2011. Kemudian, data klinik PT.Unitex dalam lima bulan tahun terakhir tahun 2013 penyakit ISPA merupakan penyakit pertama dari 6 penyakit dengan kunjungan pasien paling banyak pada bulan tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar debu total dan sebaran gejala ISPA ringan pada pekerja non-shift departemen pemintalan PT.Unitex.

Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional.

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan sampel, sehingga semua pekerja non-shift departemen pemintalan PT.Unitex diteliti. Penelitian ini menggunakan data primer yaitu gejala ISPA ringan, kadar debu total dan karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, bagian kerja, perilaku merokok dan lama pajanan). Gejala ISPA ringan dan karakteristik individu pekerja diambil dengan menggunakan kuesioner. Kadar debu total diukur dengan menggunakan High Volume Sampler atau HVS dengan metode gravimetri. Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan kadar debu total di ring spinning

sebesar 188,6 mg/m3 dan di blowing & carding sebesar 379,4 mg/m3. Kemudian, sebanyak 57,4% pekerja mengalami gejala ISPA ringan. Selain itu sebaran gejala ISPA ringan juga dilihat menurut karakteristik individu pekerja. Berdasarkan umur, pekerja <36 maupun ≥36 tahun lebih dari setengahnya mengalami gejala ISPA ringan. Berdasarkan masa kerja pekerja dengan masa kerja <12 tahun sebesar 66,7% mengalami gejala ISPA ringan, dan pekerja perempuan lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan. Adapun pekerja dengan tingkat pendidikan rendah sebanyak 42,9% mengalami gejala ISPA ringan. Pekerja ring spinning sebanyak 76% mengalami gejala ISPA dibandingkan dengan pekerja

blowing & carding sebesar 41,4%. Pekerja dengan perilaku merokok sebanyak setengahnya mengalami gejala ISPA ringan. Dari pekerja dengan lama pajanan ≥jam kerja normal sebanyak 55,6% (25 dari 45 orang) mengalami gejala ISPA ringan.


(4)

iii

Simpulan : Jumlah pekerja yang mengalami gejala ISPA ringan sebanyak 57,4%, dengan demikian diharapkan supaya dilakukan peningkatan kesehatan pekerja. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan pada kesehatan dan kenyamanan lingkungan kerja bagi kesehatan pernapasan. Seperti melakukan evaluasi dan perawatan berkala pada peralatan untuk mengurangi debu di tempat kerja seperti alat penghisap debu otomatis dan ventilasi udara di area kerja. Selain itu dapat dibatasi jam kerja lembur pekerja, dan meningkatkan kesadaran pekerja akan perilaku preventif yang dapat mencegah gejala ISPA ringan seperti penggunaan masker di lingkungan kerja.

Kata Kunci : ISPA pekerja, kadar debu total, tekstil, Bogor Daftar Bacaan : 68 (1984-2014)


(5)

iv

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ISLAMIC STATE UNIVERSITY FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH, MAJOR ENVIRONMENTAL HEALTH A Thesis, August 2014

Alya Mutiara Basti, Student Identification Number : 1110101000056

TOTAL SUSPENDED PARTICLES AND MILD ARI (ACUTE

RESPIRATORY INFECTION) SYMPTOMS AMONG SPINNING

WORKERS AT TEXTILE INDUSTRY PT.UNITEX TBK, BOGOR 2014 xv + 95 pages + 4 tables + 4 appendix

ABSTRACT

Background: Statistical report from RPJMD Bogor in 2010-2014 showed that, ARI is the highest percentages disease among 10 other diseases. After that, referred to Bogor health department report, number of ARI’s patients has been increased in 2012 compared in 2011. And according to Unitex’s clinic report in 2013’s last five months, ARI ranked first from six disease with most patient visit each month. This research was conducted to determine total suspended particles and the spread of mild ARI symptoms among spinning department non-shift workers.

Methods: This study was using a cross sectional study. In this study, sampling was not done, so that all of non-shift workers in spinning department investigated. This study used mild ARI symptoms, total suspended particles and workers individual characteristic as primary data. Workers individual characteristic including mild ARI symptoms, age, sex, level of education, years of service, work place, smoking behavior and length of exposure. ARI symptoms and workers individual characteristic had been taken using questionare according to respiratory symptoms by british medical council and total suspended particles had been taken using high volume sampler or HVS with gravimetric.

Results: The results of this study showed that, total suspended particles were measured 188,6 mg/m3 in ring spinning and 379,4 mg/m3 in blowing & carding. And then, as many as 57,4% of workers had mild ARI symptoms. Beside that, the spread of mild ARI symptoms also looked by worker individual characteristics. Based on age, more than half <36 years and ≥36 workers had mild ARI symptoms. Based on the years of service, among workers with less than 12 years years of service, 66.7% had mild ARI symptoms, and more female workers who had mild respiratory infection symptoms. As for workers with low education levels as many as 42.9% had mild ARI symptoms. Ring spinning workers as many as 76% had symptoms of mild ARI than blowing & carding workers by 41.4%. Workers with smoking behavior as many as half had mild ARI symptoms. Workers with long exposure ≥ normal working hour as many as 55.6% (25 of 45) had a mild ARI symptoms.


(6)

v

Conclusion: About 57,4% workers had mild ARI symptoms, thus expected to make better improvements to the health and ease of work environment. An evaluation and periodic maintenance on equipment such as automatic vacuum cleaner and air ventilation in workplace needed, to reduce dust in the workplace. Moreover, overtime hours work must be restricted and increase workers awareness of preventive behaviors that could prevent mild ARI Symptoms such as the use of mask in the workplace.

Keywords : Workers ARI, total suspended particles, textile, Bogor Reading list : 68 (1984-2014).


(7)

PERI{YATAAN PERSETUJUAN

KADAR DEBU TOTAL DAN GEJALA ISPA RINGAN PADA PEKERJA DEPARTEMEN PNUTTNTA.LAN INDUSTRI TEKSTIL

PT.UNTTEX

tit

, BOGOR TATTUN 2014

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

,

DISUSUN OLEH :

ALYA MUTIARA BASTI

1110101000056

Jakarta, Agustus 2014

MengeJahui

Pernbimbing II

;t

-,(/

*

3 i d

I

l

Dr. EIa Laelasari. SKM. M.Kes Pembimbing I


(8)

PANITIA SIDAI\IG SKRIPSI

PR,OGRAM STUDI KESEHATAII MASYARAKAT TAKULTAS KEDOIffERAN D,AT'{ ILMU KESEIIATAIY

I}NTVERSITAS ISLA1U NEGERI SYARItr' HIDAYATULLAH JAKARTA Iakartq Agustus 2014

Mengetahui

Penguji

I

NrP.19790421 200s01 2 00s

Penguji

II

! .x

-j

:=

*

19811 1 001

,.


(9)

viii Tempat, tanggal, lahir : Jakarta, 27 Agustus 2014 Usia : 22 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Golongan Darah : O

Alamat : Perumahan Puri Gading Vila Tampak Siring Blok B2 no.1 Jatimelati Pondok Melati, Bekasi, 17415

Nomor Telepon : 085697141229

Email : alya.basti3@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN 1996-1998 : TK Islam Yasfi Buaran

1998-2004 : SD Islam As-Syafi’iyah Jatiwaringin

2004-2007 : Pesantren Al-Qur’an As-Syafi’iyah Sukabumi 2007-2010 : MAN 3 Malang

2010-2014 : S1-Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayahnya, maka penyusunan skripsi yang berjudul “Kadar Debu Total (TSP) dan Gejala ISPA Pada Pekerja Departemen Pemintalan di Industri TekstilPT.Unitex Tbk Bogor” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala. Namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah dari Allah Swt kendala-kendala tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada :

1. Keluarga penulis yaitu ayah dan ibu penulis H. Musono Basuki SH, MH, Hj. Eli Hartati serta saudara penulis Nisa Permata Basti dan Adiprawiro Rahmatullah Basti yang telah memberikan doa dan bantuan moril, motivasi, dan material bagi penulis.

2. Bapak Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

4. Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D selaku pembimbing pertama yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran yang berharga dalam penyusunan skripsi ini,


(11)

x

6. Teman seperjuangan Karlina Sulistiani yang telah memberikan banyak masukan dan saran serta teman kamar Mushallina Lathifa atas dorongan semangatnya.

7. Teman Envihsa yang telah memberikan doa dan bantuan moril, motivasi, dan bagi penulis.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

Jakarta, Agustus 2014


(12)

xi DAFTAR ISI

Hal

Lembar Pernyataan ... i

Abstrak ... ii

Lembar Persetujuan ... vi

Daftar Riwayat Hidup ...viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ...xiv

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 8

1.4 Tujuan Penelitian... 8

1.4.1 Tujuan Umum ... 8

1.4.2 Tujuan Khusus... 8

1.5 Manfaat Penelitian... 9

1.5.1 Manfaat bagi PT.Unitex ... 9

1.5.2 Manfaat bagi Pekerja ... 9

1.5.3 Manfaat bagi Peneliti ... 9

1.5.4 Manfaat bagi Institusi Pendidikan ... 10

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ... 13

2.1.1 Klasifikasi ISPA ... 13

2.1.2 Gejala ISPA ... 14

2.1.3 Faktor Resiko ISPA ... 15


(13)

xii

2.3.1 Klasifikasi Pencemaran Udara ... 23

2.4 Debu ... 25

2.4.1 Macam-Macam Debu ... 27

2.4.2 Kadar Debu Total ... 30

2.4.3 Metode Sampling Kadar Debu Total ... 30

2.4.4 Nilai Ambang Batas Debu ... 35

2.5 Sistem Pernapasan ... 35

2.5.1 Anatomi Sistem Pernapasan ... 38

2.5.2 Masuknya Debu ke Sistem Pernapasan ... 44

2.6 Industri Tekstil ... 46

2.6.1 Alur Produksi Industri Tekstil ... 46

2.6.2 Kegiatan di PT.Unitex ... 47

2.6.3 Distribusi Karyawan PT.Unitex ... 53

2.7 Kerangka Teori ... 54

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep ... 56

3.2 Definisi Operasional ... 59

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 62

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian... 62

4.3 Populasi dan Sampel ... 63

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 63

4.5 Jenis Data ... 66

4.6 Pengolahan Data ... 66

4.7 Analisis Data ... 67


(14)

xiii BAB V HASIL

5.1 Hasil Penelitian ... 68

5.1.1 Gejala ISPA Ringan Pada Pekerja Pemintalan ... 68

5.1.2 Kadar Debu Total di Bagian Pemintalan... 68

5.1.3 Distribusi Karakteristik Individu Bagian Pemintalan ... 69

5.1.4 Gejala ISPA Ringan Menurut Kadar Debu Total... 72

5.1.5 Gejala ISPA Ringan Menurut Karakteristik Individu ... 73

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ... 77

6.2 Gejala ISPA pada Pekerja Pemintalan ... 77

6.3 Kadar Debu Total di Pemintalan ... 79

6.4 Umur Pekerja Pemintalan PT.Unitex ... 82

6.5 Masa Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex ... 84

6.6 Distribusi Jenis Kelamin Pekerja Pemintalan PT.Unitex ... 85

6.7 Tingkat Pendidikan Pekerja Pemintalan PT.Unitex ... 85

6.8 Bagian Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex ... 86

6.9 Perilaku Merokok Pekerja Pemintalan PT.Unitex ... 88

6.10 Lama Pajanan Pemintalan PT.Unitex... 99

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan... 91

7.2 Saran ... 93


(15)

xiv Tabel 5.2

Tabel 5.3

Masa Kerja, Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja, Perilaku Merokok dan Lama Pajanan Pekerja non-shift

Pemintalan PT.Unitex

Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Kadar Debu Total Pada Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex

Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Umur, Masa Kerja, Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja, Perilaku Merokok dan Lama Pajanan Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex.

73


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4.

Surat Izin Pengambilan Data Kuesioner

Hasil Uji Kadar Debu Total

Analisis dan Pengolahan Data dengan SPSS


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih ada di negara berkembang maupun negara maju, karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian karena ISPA di kedua negara tersebut. Di Amerika pneumonia yang termasuk ISPA, menempati urutan keenam dari semua penyebab kematian, dan merupakan peringkat pertama di antara kematian akibat penyakit infeksi. Di Spanyol angka kematian akibat pneumonia mencapai 25%, sedangkan di Inggris dan Amerika sekitar 12% atau 25-30 per 100.000 penduduk (Agussalim,2012).

Sedangkan untuk kematian akibat ISPA di Filipina pada tahun 1999 menempati urutan ke dua dari sepuluh penyakit penyebab kematian yaitu mencapai 11,1%. Untuk Singapura ISPA menempati peringkat ketiga dari sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian dengan prevalensi sebesar 10,9%. Selanjutnya ISPA menempati peringkat keempat di negara Thailand, Vietnam dan Jepang. Prevalensi penyakit ini di Thailand sebesar 4,1%, Vietnam 5,8% dan Jepang mencapai 10,0% (IMFJ, 2001). ISPA di Indonesia masih termasuk masalah kesehatan utama, hal ini dilihat dari prevalensi dan penyebarannya yang masih tinggi. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan dapat terserang penyakit ISPA sebanyak tiga kali, dan untuk wilayah perkotaan sendiri dapat mencapai enam kali (Depkes RI, 1993).


(18)

2

Prevalensi penyakit ISPA nasional mencapai 25,50% dan sebanyak 16 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional. Adapun 16 provinsi ini yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, Riau, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Papua Barat dan Papua (Depkes, 2008).

Data statistik dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kota Bogor tahun 2010-2014, dari sepuluh penyakit utama yang ditemukan di puskesmas, ISPA merupakan penyakit dengan persentasi tertinggi. Persentasi penyakit ISPA yaitu sebesar 41,99% dibandingkan penyakit lainnya. Selain itu berdasarkan data Dinas Kesehatan Bogor, telah terjadi kenaikan jumlah penderita ISPA dari tahun 2011 sebanyak 4383 kasus dan tahun 2011 sebanyak 5470 kasus.

Adapun faktor-faktor yang dapat memengaruhi risiko seseorang terkena ISPA dapat dibagi menjadi empat garis besar yaitu faktor pencemaran, karakteristik individu, perilaku pekerja, ataupun karena faktor lingkungan. Faktor pencemaran yaitu akibat pencemaran di dalam maupun luar ruangan, kemudian karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan juga dapat memengaruhi risiko kerentanan terkena ISPA. Selanjutnya perilaku pekerja yaitu seperti merokok atau penggunaan masker. Faktor lingkungan meliputi suhu, kelembapan curah hujan dan kecepatan serta arah angin (Sormin, 2012).


(19)

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan tekstil di Indonesia maka industri tekstil sebagai produsen TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) semakin berkembang. Peningkatan kebutuhan tekstil di Indonesia dapat dilihat dari konsumsi TPT yang semakin meningkat tiap tahunnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yaitu Ade Sudrajat yang mengatakan konsumsi TPT meningkat pada tahun hingga tahun 2013 naik yaitu sebanyak 7,5 kg.

Industri tekstil dan produk tekstil yang selanjutnya disebut TPT merupakan perusahaan industri yang menghasilkan tekstil dan produk tekstil. Kegiatan didalam industri tekstil secara umum meliputi kegiatan pemintalan, penenunan, pencelupan dan penyempurnaan. Kegiatan pemintalan memroses bahan baku menjadi benang, penenunan memroses benang menjadi kain, pemolesan yaitu pemolesan kain terhadap warna, sedangkan pencelupan berupa pencelupan benang sebelum benang ditenun menjadi kain.

Bahan baku proses pembuatan benang dapat menggunakan kapas dan poliester. Kapas merupakan serat halus yang berasal dari tumbuhan kapas (Gossypium). Tumbuhan atau tanaman kapas telah dikembangkan di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda, dilanjutkan pada jaman penjajahan oleh Jepang hingga saat ini telah menjadi salah satu komoditi ekspor non-migas Indonesia.

Selain menggunakan kapas yang berasal dari tumbuhan, bahan baku untuk industri tekstil juga dapat menggunakan kapas buatan atau poliester.


(20)

4

Poliester atau polietilen tereftalat adalah sebuah polimer (sebuah rantai dari unit yang berulang-ulang) dimana masing-masing unit dihubungkan oleh sambungan ester (Clark, 2007).

PT.Unitex merupakan salah satu industri tekstil yang telah berdiri sejak lama di Indonesia. Dibangun sejak tahun 1971 dan mulai berproduksi secara komersial pada tahun 1972 di wilayah Tajur, Bogor. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang melibatkan kerjasama dua negara yaitu negara Indonesia dengan negara Jepang. PT.Unitex bergerak dibidang tekstil dari hulu hingga ke hilir yaitu mulai dari bahan mentah (kapas dan poliester) hingga bahan jadi (kain/bahan pakaian), atau disebut dengan bidang tekstil terpadu (PT.Unitex, 2014).

Dalam proses produksinya industri tekstil menggunakan kapas dalam jumlah besar, kapas ini kemudian akan dicacah supaya mengembang sebelum diolah lebih lanjut. Pencacahan ini dilakukan secara manual oleh pekerja tekstil bagian awal produksi di departemen pemintalan. Dalam satu hari PT.Unitex dapat menggunakan kapas dan poliester rata-rata sebanyak 8 bal, dengan berat 1 balnya kira-kira sebesar 227 Kg. Sehingga dalam satu hari kira-kira PT.Unitex menggunakan kapas dan poliester mencapai 1816 Kg. Pencacahan dari kapas ini seringkali melepaskan kotoran-kotoran berupa debu halus dari kapas mentah ke udara. Dengan jumlah 8 bal perhari maka dapat diperkirakan akan banyak debu halus yang terdeposisi di udara dan berisiko untuk terhirup ke saluran pernapasan pekerja.


(21)

Debu di lingkungan kerja dapat berpengaruh terhadap kesehatan, salah satunya kepada sistem pernapasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam penelitian Nugrahaeni mengenai analisis faktor risiko debu terhadap fungsi paru. Di penelitian ini disebutkan gangguan fungsi paru pekerja secara bermakna disebabkan oleh kadar debu di udara pada ruang kerja, dan diperberat oleh masa kerja, kebiasaan merokok, dan riwayat penyakit paru (Nugrahaeni 2004).

Debu yang dihisap oleh pekerja dapat menyebabkan gangguan fungsi paru yang merupakan organ utama pernafasan. Hal ini ditandai dengan menurunnya fungsi paru yang pada stadium lanjut dapat menyebabkan turunnya elastisitas paru. Turunnya elastisitas paru kemudian dapat mengurangi volume penampungan volume udara (Marsam, 2003).

Dalam jurnal mengenai gejala sakit di pernapasan dan fungsi paru yang dilakukan pada pekerja tekstil di Nigeria, pekerja yang terekspos debu dari kapas mentah mengalami keluhan batuk, produksi phlegm atau dahak, rhinitis, bersin-bersin, sakit pada dada, dan susah napas. Gejala pernapasan ini lebih tinggi di daerah kerja yang berdebu dibanding daerah kerja lainnya di industri tekstil, yaitu di departemen pemintalan dan penenunan (Nagoda dkk, 2011).

Selain itu, studi epidemiologi yang meneliti debu TSP dan hubungannya dengan fungsi paru pekerja di lingkungan industri semen menemukan bahwa kadar debu yang di industri semen ini telah melebihi baku mutu yaitu sebesar 32,59 mg/m3. Berdasarkan pengukuran, ditemukan


(22)

6

sebanyak 64,4% dari responden yang diteliti mengalami gangguan fungsi paru (Setiawan, 2002).

Dalam penelitian yang berjudul “Hubungan pajanan debu dengan kejadian ISPA ringan pekerja di PT.Texmaco” yang bertujuan untuk menganalisis hubungan pajanan debu dengan ISPA ringan pada pekerja, ditemukan adanya hubungan antara pajanan debu dengan kejadian ISPA ringan pada tenaga kerja. Dengan nilai p= 0,002 dan x2 serta odds ratio sebesar 9,68 (Wuninggar, 2002).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Alemu, Abera dan Gail dalam jurnalnya yang berjudul Byssinosis and other respiratory symptomps among factory workers in Akaki textile factory dengan metode potong lintang ini ditemukan hubungan yang kuat antara pajanan debu di industri tekstil dengan gangguan pernafasan. Debu ini diketahui memiliki hubungan yang kuat dengan bisinosis atau yang lebih dikenal dengan sindrom paru-paru coklat (brown lung disease) yang merupakan salah satu penyakit ISPA. Selain itu juga berpengaruh terhadap penyakit bronkhitis dan gejala gangguan pernafasan lainnya seperti batuk, flek dan dyspnea (Alemu dkk, 2010).

Risiko gangguan pernafasan yang ditimbulkan debu di lingkungan kerja industri tekstil ini berbeda menurut bagian dari kegiatan industri tekstil. Bagian yang memiliki kadar debu cukup tinggi adalah di departemen pemintalan. Menurut studi yang dilakukan pada pekerja tekstil di Karachi, Pakistan ditemukan bahwa debu yang terdapat di bagian spinning atau


(23)

pemintalan berpengaruh terhadap tingginya penyakit bisinosis (Memon dkk, 2008).

Data klinik PT.Unitex dalam lima bulan tahun terakhir menyebutkan pada Agustus, September, Oktober dan Desember 2013 penyakit ISPA merupakan penyakit pertama dari 6 penyakit dengan kunjungan pasien paling banyak pada bulan tersebut. Sedangkan pada bulan November, ISPA menempati urutan kedua dengan urutan pertamanya merupakan penyakit otot (Laporan Bulanan Klinik PT.Unitex, 2013).

Berdasarkan pajanan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan pengukuran kadar debu total di lingkungan kerja pada industri tekstil khususnya di PT.Unitex. Pengukuran ini akan dilakukan di departemen pemintalan atau spinning. Selain melakukan pengukuran kadar debu total penulis juga ingin mengetahui sebaran pekerja yang mengalami gejala ISPA ringan pada departemen pemintalan di PT.Unitex.

1.2 Rumusan Masalah

Industri tekstil merupakan industri yang mengolah bahan baku yaitu kapas dan poliester menjadi produk tekstil. Di dalam proses produksinya terutama di departemen pemintalan terdapat banyak debu yang terutama berasal dari residu kapas mentah. Salah satu bagian di industri tekstil yang banyak menghasilkan debu adalah di departemen pemintalan. Jika cuaca sedang panas dan terang seringkali debu yang berasal dari kapas ini dapat


(24)

8

dilihat secara kasat mata melayang-layang di udara. Debu ini berisiko menyebabkan berbagai gangguan pernapasan.

Menurut data puskesmas Bogor didapatkan bahwa ISPA merupakan penyakit dengan persentasi tertinggi dan merupakan penyakit sepuluh besar. Data dari klinik PT.Unitex juga menyebutkan dalam 5 bulan terakhir tahun 2013 ISPA masuk ke dalam tiga penyakit utama (PT.Unitex 2013). Berdasarkan pemaparan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui kadar debu total di departemen pemintalan dan sebaran pekerja di tempat tersebut yang memiliki gejala ISPA ringan.

1.3. Pertanyaan Penelitian 1.3.1 Umum

Bagaimanakah kadar debu total pada bagian pemintalan di PT. Unitex dan distribusi gejala ISPA ringan pada pekerja di bagian tersebut?

1.3.2 Khusus

a) Berapakah kadar debu total yang terukur di departemen pemintalan di PT. Unitex Tbk. Tajur, Bogor ?

b) Bagaimanakah sebaran pekerja di departemen pemintalan yang mengalami gejala ISPA ringan berdasarkan area kerja ?

c) Bagaimanakah karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin, masa kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok, lama pajanan) di departemen pemintalan PT.Unitex Bogor ?

d) Bagaimanakah gejala ISPA ringan pekerja menurut karakteristik individu?


(25)

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar debu total dan distribusi pekerja yang mengalami gejala ISPA ringan di departemen pemintalan PT. Unitex Tahun 2014.

1.4.2 Tujuan Khusus

a) Mengetahui kadar debu total pada bagian pemintalan di beberapa titik pengukuran.

b) Mengetahui distribusi pekerja departemen pemintalan PT.Unitex yang mengalami gejala ISPA ringan berdasarkan area kerja.

c) Mengetahui karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin, masa kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok, lama pajanan) di departemen pemintalan PT.Unitex Bogor.

d) Mengetahui gejala ISPA ringan pekerja menurut karakteristik individu. 1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat bagi PT. Unitex

a) Dapat mengetahui data terbaru dari hasil penelitian ini yaitu kadar debu total di departemen pemintalan pada Mei-Juni Tahun 2014. Dengan demikian, jika diperlukan dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan dan pencegahan bila kadar debu total di atas baku mutu.

b) Mengetahui sebaran pekerja yang memiliki gejala ISPA ringan pada Mei-Juni 2014.


(26)

10

1.5.2 Manfaat bagi pekerja

a) Menambah pengetahuan dan kesadaran pekerja akan dampak debu bagi kesehatan dan faktor risiko dari gejala ISPA ringan di lingkungan kerja.

1.5.3 Manfaat bagi peneliti

a) Menambah pengetahuan dan melakukan studi keilmuan mengenai debu dan gejala ISPA ringan.

b) Menerapkan berbagai mata kuliah secara praktikal di lapangan yang kemudian dapat menambah pengalaman kerja peneliti.

1.5.4 Manfaat bagi institusi pendidikan

a) Terjalinnya kerjasama yang baik antara institusi pendidikan dengan perusahaan.

b) Menambah koleksi pustaka tentang kadar debu total di industri tekstil dan gejala ISPA ringan pada institusi.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di industri tekstil PT. Unitex Tbk Tajur, Bogor untuk mengetahui kadar debu total lingkungan kerjan, khususnya di departemen pemintalan pada beberapa titik pengukuran. Setelah itu juga akan dilakukan pengambilan data untuk mengetahui sebaran pekerja yang mengalami gejala ISPA ringan di departemen tersebut. Kemudian juga akan dilakukan pengambilan data untuk mengetahui karakteristik individu


(27)

pekerja di departemen pemintalan di PT. Unitex, Bogor. Adapun pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014.

Penulis memilih untuk melakukan penelitian di industri tekstil karena pada industri tersebut terdapat debu yang berisiko mengganggu kesehatan pernapasan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional atau potong lintang. Data yang dikumpulkan mencakup dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari observasi dan pengisian kuesioner. Sedangkan data sekunder didapat dari PT.Unitex.

Ruang lingkup penelitian terbatas pada pekerja PT. Unitex Tbk di departemen pemintalan. Variabel dependen penelitian yaitu gejala ISPA pada pekerja bagian pemintalan. Variabel independen yaitu kadar debu total di titik pengukuran departemen pemintalan, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, bagian kerja, perilaku merokok dan lama pajanan.


(28)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

ISPA menurut WHO (2007) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit parah dan mematikan.

ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut (Depkes, 2006).

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan.

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan menjadi ISPA prosesnya dapat berlangsung lebih dari 14 hari.


(29)

2.1.1 Klasifikasi ISPA

ISPA berdasarkan tingkatannya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok (Depkes RI, 2002) :

a. ISPA ringan

Meliputi salah satu atau lebih gejala seperti batuk tanpa pernapasan cepat (40 kali/menit), pilek (mengeluarkan lendir), serak, sesak yang disertai atau tanpa disertai panas atau demam (>37˚C) dan keluarnya cairan dari telinga lebih dari dua minggu tanpa rasa sakit pada telinga.

b. ISPA sedang

Meliputi gejala ISPA ringan ditambah dengan satu atau lebih gejala seperti pernapasan lebih cepat dari 50 kali per menit atau lebih pada umur >1tahun dan 40 kali per menit pada umur 1-5 tahun, panas ≥39˚C, mengi, tenggorokan kemerahan, telinga mengeluarkan cairan disertai rasa sakit, timbul bercak di kulit menyerupai campak dan pernapasan berbunyi.

c. ISPA berat

Meliputi gejala ISPA ringan dan sedang disertai dengan satu atau lebih gejala seperti penarikan dada ke dalam saat napas, stidor (napas berbunyi seperti mengorok), nafsu makan menurun. Tanda lain seperti sianosis, kejang, dehidrasi, kesadaran menurun, nadi >160 per menit atau tak teraba.


(30)

14

2.1.2 Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karean kelelahan atau stres. Bakteri dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernapasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti oleh bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala (Halim, 2000).

Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga kemerahan. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernapasan terhambat, oksigen yang dihirup berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (Halim, 2000).

Adapun menurut Putranto (2007), hal-hal yang mendasari timbulnya gejala penyakit pernapasan adalah :

a. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernapasan, misalnya trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran


(31)

pernapasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernapasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernapasan dalam bentuk pengeluaran udara dan lendir secara mendadak disertai bunyi khas. b. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel goblets oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam saluran pernapasan juga terbentuk cairan eksudat yang berasal dari bagian jaringan yang berdegenerasi.

c. Sesak Napas

Sesak napas atau kesulitan bernapas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran pernapasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran pernapasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara. Sesak napas dapat ditentukan dengan menghitung pernapasan dalam satu menit.

d. Bunyi Mengi

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernapasan yang turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut selama pernapasan.

2.1.3 Faktor Resiko ISPA

Menurut berbagai penelitian sebelumnya terdapat berbagai faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA. Yaitu perilaku


(32)

16

merokok, kualitas udara, pencemaran udara dalam ruangan atau (IAP/Indoor air pollution), pencemaran udara luar ruangan, faktor lingkungan (suhu kelembapan dan pencahayaan), umur, lama bekerja, dan penggunaan masker (Sormin, 2012).

a. Perilaku merokok

Merokok pada dewasa dapat menimbulkan berbagai gangguan sistem pernapasan seperti kanker paru, gejala iritan akut, asma, gejala pernapasan kronik, penyakit paru obstruktif kronik, infeksi pernapasan (Tarlo dkk, 2010).

Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Kebiasaan merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali (Suryo, 2010).

Adapun pengertian perokok menurut WHO dalam Depkes (2004) adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan selama hidupnya dan masih merokok saat survei dilakukan.

b. Pencemaran udara dalam ruangan

Pencemaran udara merupakan peningkatan konsentrasi zat-zat di dalam udara yang dapat diakibatkan oleh akitivitas manusia. Pencemaran terbagi menjadi dua yaitu pencemaran udara dalam ruangan dan pencemaran udara luar ruangan. Pencemaran udara


(33)

dalam ruangan dapat berasal dari berbagai sumber baik bahan-bahan sintetis maupun bahan-bahan alami. Pencemaran udara ini kemudian berhubungan dengan penyakit ISPA (Fitria dkk, 2008). c. Umur

Semakin bertambah umur seseorang maka akan terjadi degenerasi otot-otot pernapasan dan elastisitas jaringan menurun. Sehingga kekuatan otot-otot pernapasan dalam menghirup oksigen menjadi menurun. Kemudian karena faktor umur yang bertambah maka semakin banyak alveoli yang rusak dan daya tahan tubuh semakin rendah. Karena itu seseorang tersebut rentan terkena ISPA. Kemudian pajanan debu yang terkumpul di paru-paru juga dapat memengaruhi menyebabkan ISPA pada seseorang dengan umur lebih tua (Nelson dkk, 2005).

d. Jenis Kelamin

Faktor jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif yang dapat memberikan perbedaan angka/rate kejadian pada pria dan wanita. Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin, dapat timbul karena bentuk anatomis, fisiologis dan sistem hormonal yang berbeda (Noor, 2008).

e. Masa kerja

Semakin lama manusia terpapar debu di tempat kerja yang bisa dilihat dari lama bekerja maka debu kemungkinan besar akan tertimbun di paru-paru. Hal ini merupakan hasil akumulasi dari


(34)

18

inhalasi selama bekerja. Lama bekerja bertahun-tahun dapat memperparah kondisi kesehatan pekerja karena frekuensi pajanan yang sering (Suma’mur, 1991).

f. Bagian Kerja

Hasil penelitian oleh Nagoda dkk (2011) pada pekerja tekstil di Nigeria menemukan bahwa dari beberapa pekerja tekstil di bagian kerja yang berbeda, terdapat pula perbedaan gejala pernapasan yang dialami pekerja tersebut. Penelitian ini melibatkan pekerja tekstil dari bagian pemintalan, penenunan, pencelupan, pemeliharaan, pemasaran. Gejala gangguan pernapasan paling banyak dialami oleh pekerja dari pemintalan yaitu sebanyak 27,3%. g. Lama Pajanan

Lama pajanan debu beresiko mempengaruhi keparahan gangguan pernapasan yang diderita oleh pekerja. Karena semakin lama pajanan maka debu yang menumpuk semakin banyak. Berdasarkan penelitian mengenai pengaruh pajanan debu urea terhadap ISPA pekerja, ditemukan bahwa pekerja yang mengalami lama pajanan debu >8 jam mengalami ISPA lebih tinggi (Florencia, 2013).

h. Penggunaan masker

Masker berfungsi untuk menghalangi partikel berbahaya yang dapat masuk ke pernapasan. Seperti gas, uap, debu, atau udara yang mengandung polutan, racun dan substansi lain yang mengganggu.


(35)

Oleh karena itu penggunaan masker dapat menjadi alat pelindung untuk mencegah manusia menghirup partikulat yang berbahaya.

Dalam penelitian mengenai pengendalian pajanan debu yang dilakukan di daerah Deli, ditemukan bahwa nilai fungsi paru pekerja yang menggunakan masker rata-rata lebih tinggi sekitar 361,91 ml dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menggunakan masker yaitu 342,35 ml. Dengan demikian penelitian tersebut menunjukkan ada pengaruh yang bermakna penggunaan masker terhadap fungsi paru pekerja (Suryanta, 2009).

i Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi sangat erat hubungannya dengan karakteristik lainnya seperti pekerjaan, pendapatan keluarga, kebiasaan hidup keluarga, dan lain-lain. Sehingga faktor sosial ekonomi merupakan salah satu karakteristik tentang orang yang perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Status sosial ekonomi dapat menentukan bagaimana seseorang dalam menerima pelayanan kesehatan. Dan pelayanan kesehatan merupakan salah satu hal yang memengaruhi status kesehatan menurut teori H.L. Blum (Noor, 2008).

j. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang. Pengetahuan kemudian merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk perilaku selain dari sikap dan tindakan.


(36)

20

Perilaku seseorang kemudian dapat memengaruhi status kesehatannya.

Dalam penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dan pekerjaan ibu dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita, ditemukan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku pencegahan ISPA pada Balita. Terdapat kecenderungan bagi ibu yang dengan tingkat pendidikan menengah keatas memiliki perilaku pencegahan ISPA yang lebih baik (Firdausia, 2013).

2.2 Udara

2.2.1 Pengertian Udara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2012), udara adalah campuran berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang memenuhi ruang di atas bumi seperti yang kita hirup apabila kita bernapas.

Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk uap H2O dan karbon dioksida. Jumlah uap air yang berada di udara bervariasi tergantung cuaca dan suhu (Fardiaz, 1992).

Udara dapat diartikan sebagai campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitar. Komposisi campuran gas


(37)

tersebut tidak selalu konstan. Komponen udara yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air (H2O) dan Karbon Dioksida (CO2) dengan konsentrasi sekitar 0,03% (Wardhana, 1994).

2.2.2 Pengertian Udara Ambien

Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilaya yuridiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan memengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (PP No.41 Tahun 1999).

2.2.3 Baku Mutu

Baku mutu udara di lingkungan industri

Baku mutu udara di lingkungan industri menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri sebagaimana yang dapat dilihat di tabel 2.1. Kandungan debu maksimal didalam udara ruangan dengan pengukuran 8 jam.

2.3 Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lainnya ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (UU No. 23 Tahun 1997).


(38)

22

Tabel 2.1

Baku Mutu Udara Lingkungan Industri No. Parameter Konsentrasi Maksimal

1. Suhu 18˚C –30 ˚C

2. Kelembapan 65% - 95% 3. Debu Total 10 mg/m3

4. Asbes Total 5 serat/ml udara dengan panjang serat 5µ(mikron)

5. Silikat Total 50 mg/m3

Sumber : Kepmenkes No. 1405/MENKES/SK/XI/2002

Sedangkan menurut Chambers (1976) dan Masters (1991) dalam prinsip dasar kesehatan lingkungan oleh Mukono (2000), yang dimaksud pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia, binatang, vegetasi dan material.

Pencemaran udara merupakan masuknya substansi atau zat apapun ke udara yang dapat berasal dari kegiatan anthropogenik, biogenik, ataupun dari aktivitas gunung berapi yang bukan merupakan bagian dari atmosfer alami atau yang konsentrasinya berada di atas baku mutu di atmosfir, yang kemudian dapat menimbulkan efek jangka pendek maupun jangka panjang (Daly dan Paolo, 2007).

Pencemaran udara dapat berdampak pada kesehatan manusia melalui berbagai cara. Telah banyak studi penelitian yang menyebabkan bahwa pencemaran udara terkait dengan berbagai masalah kesehatan seperti


(39)

menurunnya kesehatan pernapasan dan kardiovaskuler, menurunnya fungsi paru, meningkatkan frekuensi dan keparahan gejala gangguan pernapasan seperti sulit bernapas dan batuk-batuk, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pernapasan, mengganggu sistem saraf termasuk otak seperti penurunan IQ dan ingatan, kanker, hingga kematian dini.

2.3.1 Klasifikasi bahan pencemar udara

Bahan pencemar udara atau dapat disebut polutan dapat dibagi menjadi polutan primer dan polutan sekunder.

a. Polutan Primer

Polutan primer yaitu polutan yang secara langsung dikeluarkan oleh sumbernya ke atmosfir (Mukono, 2000). Polutan primer merupakan polutan yang mencakup 90% dari jumlah polutan di udara sesungguhnya (Ratnani, 2008).

Polutan primer dapat berupa : 1. Polutan Gas, Terdiri dari :

a) Senyawa karbon, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon teroksgenasi, dan karbon dioksida (CO atau CO2).

b) Senyawa sulfur, yaitu sulfur oksida.

c) Senyawa nitrogen, yaitu oksida dan amoniak

d) Senyawa halogen, yaitu fluor, klorin, hidrogen klorida, hidrokarbon terklorinasi dan bromin.


(40)

24

2. Partikel

Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Partikel dapat diartikan secara murni atau sempit sebagai bahan pencemar yang berbentuk padatan.

Partikel dapat berupa keadaan berikut (Wardhana, 1995).

a) Aerosol, adalah istilah umum yang menyatakan adanya partikel terhambur dan melayang di udara.

b) Fog atau kabut adalah aerosol yang merupakan butiran air yang ada di udara.

c) Smoke atau asap adalah aerosol yang berupa campuran antara butir padatan dan cairan yang terhambur melayang di udara. d) Dust atau debu adalah aerosol yang berupa butiran padat yang

terhambur dan melayang di udara karena adanya hembusan angin.

e) Mist artinya mirip dengan kabut penyebabnya adalah butiran-butiran zat cair (bukan butiran-butiran air) yang terhambur dan melayang di udara.

f) Fume adalah aerosol yang berasal dari kondensasi uap logam. g) Flume adalah asap yang keluar dari cerobong asap suatu industri. h) Smog adalah campuran smoke dan fog.


(41)

b. Polutan Sekunder

Polutan sekunder merupakan polutan yang bukan dikeluarkan secara langsung oleh sumbernya, melainkan terbentuk di atmosfir akibat reaksi kimia antara polutan primer (Mukono,2000).

Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dari dua atau lebih bahan kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai contoh adalah disosiasi NO2 yang menghasilkan NO dan O radikal. Proses kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti konsentrasi relatif bahan reaktan, derajat fotoaktivasi, kondisi iklim dan topografi lokal dan adanya embun.

2.4 Debu

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Meter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik di dalam maupun diluar gedung debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran. Digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti, 2002).

Partikel debu akan akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan. Selain dapat membahayakan kesehatan, debu juga dapat mengurangi jarak dan daya pandang manusia. Kemudian debu ini dapat bereaksi secara kimia, sehingga komposisi debu di udara menjadi


(42)

26

partikel yang sangat rumit karena merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan jumlah yang relatif berbeda (Pudjiastuti, 2002).

Merujuk pada International Standardization Organisation/ISO (ISO 4255-ISO, 1994) debu merupakan partikel padat berukuran kecil, yaitu partikel yang diameternya berukuran dibawah 75µm dan dapat berkurang beratnya tetapi akan tetap bertahan dalam beberapa waktu (WHO, 1999).

Sedangkan menurut Glossary of the Atmospheric Chemistric Terms

debu didefinisikan sebagai : partikel kecil, kering dan padat yang diproyeksikan ke udara oleh kekuatan alami seperti angin, erupsi volkanik, dan oleh kekuatan mekanik atau proses yang dilakukan oleh manusia seperti penghancuran, penggilingan, pengeboran, pembongkaran, penyekopan, penyaringan dan penyapuan. Partikel debu biasanya berukuran kisaran diameter 1 - 100µm yang kemudian turun dari udara secara perlahan-lahan karena pengaruh gravitasi (Calvert, 1990).

Dalam ilmu sains mengenai aerosol, secara umum telah disetujui bahwa partikel dengan diameter aerodinamik >50µm tidak biasanya tetap berada di udara dalam waktu terlalu lama. Karena partikel tersebut memiliki kecepatan terminal >7cm/detik. Namun, tergantung kondisi partikel debu yang berukuran >100µm bisa saja (tapi jarang bertahan lama) berada di udara. Partikel debu sering ditemukan berukuran <1 µm dan partikel berukuran tersebut memiliki keceparan terminal sekitar 0,03 mm/detik. Jadi pergerakannya di udara lebih penting diperhatikan daripada endapannya di permukaan (WHO, 1999).


(43)

Dengan demikian kesimpulan dari berbagai pemaparan sebelumnya, disimpulkan debu merupakan partikel padat yang berukuran kisaran 1 µm - 100 µm, yang mana dapat atau akan menjadi bertahan di udara, tergantung sumber debu tersebut, karakteristik fisik, dan kondisi ambiennya. Adapun didalam higiene lingkungan kerja, istilah Airborne Dust, digunakan di lingkungan higiene perusahaan. Sedangkan untuk istilah yang merujuk pada polusi yang berada di lingkungan atmosfir, istilah Suspended Particulate Matter lebih sering digunakan (WHO, 1999).

2.4.1 Macam-macam debu

Debu memiliki beberapa sifat yaitu (Mengkidi, 2006):

a) Sifat pengendapan, yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya grafitasi bumi. Namun, karena kecilnya kadang-kadang debu ini relatif tetap berada di udara. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel lebih dari pada yang ada di udara b) Sifat permukaan basah, sifat permukaan debu akan cenderung selalu

basah dilapisi oleh air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu dalam tempat kerja.

c) Sifat penggumpalan, Oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat menempel satu sama lain dan menggumpal. Kelembapan di bawah saturasi kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Akan tetapi bila tingkat kelembapan di atas titik saturasi maka akan mempermudah penggumpalan. Oleh karena


(44)

28

partikel debu bisa merupakan inti dari pada air yang berkonsentrasi, partikel jadi besar.

d) Sifat listrik statik, debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya proses penggumpalan. e) Sifat Opsis, partikel yang basah/lembap lainnya dapat memancarkan

sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.

Sedangkan dari jenisnya debu dikategorikan sebagai (Pudjiastuti, 2002): a) Debu mineral : Debu ini terdiri dari persenyawaan yang kompleks

seperti : SiO2, SiO3, arang batu dan lainnya. Sifat debu ini tidak fibrosis pada paru.

b) Debu kimia lainnya : Debu kimia dan insektisida.

c) Debu organik dan sayuran : Debu yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan organik seperti tepung, kayu, kapas dan serbuk bunga. Debu organik dapat menimbulkan efek patofisiologis dan kerusakan alveoli atau penyebab fibrosis pada paru.

d) Debu Biohazards : Partikel hidup, cendawan dan spora.

e) Debu metalik : Debu yang mengandung unsur logam seperti Pb, Hg, Cd, Arsen dan lainnya. Debu ini menyebabkan keracunan, akibat absorbsi rubuh melalui kulit dan lambung.

Dari segi karakter zat debu fisik ( debu tanah, batu , mineral, fiber), kimia (mineral organik dan inorganik), biologis (virus, bakteri , kista), dan debu radioaktif.


(45)

Debu berdasarkan akibat fisiologinya terhadap tenaga kerja. Klasifikasi debu berdasarkan tingkat bahayanya (Mengkidi, 2006):

a) Debu Fibrogenik (bahaya terhadap sistem pernapasan)

Contoh : Silika (kwarsa, chert), silicate (asbestos, talk, mica, silimate), metal fumes, biji beryllium, bijih timah putih, beberapa bijih besi, carborundum, batu bara (anthracite, bituminous).

b) Debu Karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) Contoh : debu hasil peluruhan radon, asbestos, arsenik.

c) Debu-debu beracun (toksik terhadap organ atau jaringan tubuh)

Contoh : Bijih beryllium, arsen, timbal, uranium radium, torium, kromium, vanadium, merkuri, kadmium, antimony, slenium, mangan, tungsten, nikel dan perak.

d) Debu radioaktif (berbahaya karena radiasi alfa dan beta) Contoh : Bijih-bijih uranium, radium, torium.

e) Debu eksplosif

Contoh : Debu-debu metal (magnesium, aluminium, zinc, timah putih, besi), batu bara (bituminous, lignite) bijih-bijih sulfida, debu-debu organik.

f) Debu-debu pengganggu/nuisance dust (mengakibatkan kerugian yang ringan terhadap manusia)

g) Inert dust / debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain (tidak mempunyai akibat pada paru-paru)


(46)

30

h) Respirable dust (debu yang dapat terhirup oleh manusia yang berukuran <10µ).

i) Irrespirable dust (debu yang tidak dapat terhirup oleh manusia yang berukuran <10µ).

2.4.2 Kadar Debu Total

Dalam Environmental Protection Department (EPG, 2006) disebutkan kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat tersuspensi total (TSP) mengacu pada semua partikel di atmosfer. Kadar debu total merupakan partikel di udara yang memiliki diameter kurang dari 100 µm (mikrometer). Di antara kadar debu total, termasuk partikel yang dapat terhisap oleh sistem pernapasan. Partikel ini merupakan partikel di atmosfer yang memiliki ukuran sama dengan atau bahkan kurang dari 10 µm .

2.4.3 Metode Sampling Kadar Debu Total

Pengukuran sampling udara secara umum dibagi dua yaitu sampling udara emisi dan sampling udara ambien. Sampling udara emisi adalah teknik sampling udara pada sumbernya seperti cerobong pabrik dan saluran knalpot kendaraan bermotor. Sedangkan udara ambien adalah sampling kualitas udara pada media penerima polutan/emisi udara. Alat-alat yang digunakan untuk menguji partikulat di udara antara lain (Arief, 2013) :


(47)

a. HVS (High Volume Sampler)

Menurut Lodge (1989) dalam Purigiwati (2010) pengukuran kadar debu total atau kadar partikel tersuspensi di udara dapat dilakukan salah satunya dengan alat HVS. Alat ini dapat mengukur partikel dengan ukuran 0 µm - 10 µm. Alat ini terdiri dari beberapa komponen seperti inlet, penyangga filter, penggerak udara, pengontrol laju alir dan timer. Adapun ilustrasi alat ini terdapat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 High Volume Sampler Sumber : Arief, 2013

Cara operasional alat ini adalah sebagai berikut :

a. Panaskan kertas saring pada suhu 105˚C, selama 30 menit. b. Timbang kertas saring, dengan neraca analitik pada suhu 105

˚C dengan menggunakan vinset (Hati-hati jangan sampai tersentuh tangan)

c. Pasangkan pada alat TSP, dengan membuka atap alat TSP, kemudian dipasangkan kembali atapnya.


(48)

32

d. Simpan alat HVS tersebut pada tempat yang sudah ditentukan sebelumnya.

e. Operasikan alat dengan cara, menghidupkan (pada posisi “On”) pompa hisap dan mencatat angka flow rate-nya (laju alir udaranya).

f. Matikan alat sampai batas waktu yang telah ditetapkan. g. Ambil kertasnya, panaskan pada oven listrik. Timbang kertas

saringnya.

h. Hitung kadar TSP nya sebagai mg/NM3

i. Metode penggunaan alat ini juga bisa digunakan, terhadap pm10 atau apa pun pada pengukuran parameter logam. b. MVS (Middle Volume Sampler)

Pengukuran dengan MVS menggunakan filter berbentuk lingkaran dengan porositas 0,3-0,45 µm, kecepatan pompa yang dipakai untuk penangkapan debu adalah 50-500 lpm. Operasional dari MVS sama dengan HVS, perbedaannya hanya terletak pada ukuran filter membrannya. HVS menggunakan filter A4 persegi panjang, sedangkan MVS menggunakan filter berukuran bulat-diameter 12 cm (BPLHD Jabar, 2007).


(49)

Gambar 2.4

Middle Volume Sampler (MVS) Sumber : BPLHD Jabar, 2007 c. LVS (Low Volume Sampler)

LVS dapat digunakan untuk mengukur partikulat di dalam maupun luar ruangan. Pompa vakum bertujuan untuk menarik partikulat di udara ke dalam alat, kemudian ukuran partikulat disortir oleh pemisah (impaktor) dan partikel debu dienapkan pada filter. Setelah itu akan dilakukan analisis secara gravimetri.

Gambar 2.3 Low Volume Sampler Sumber : BPLHD Jabar, 2007


(50)

34

Metode pengukuran dengan LVS menggunakan filter berbentuk lingkaran dengan porositas 0,3-,45 µm dengan kecepatan pompa penangkap 10-30 lpm (Arief, 2013).

Cara operasional alat ini sebagai berikut (SNI 16-7058-2004): 1) LVS dihubungkan dengan pompa pengisap udara dengan

menggunakan selang silikon atau teflon.

2) LVS diletakkan di titik pengukuran (di dekat tenaga kerja terpapar debu) dengan menggunakan tripod setinggi zona pernapasan pekerja.

3) Pompa pengisap udara dihidupkan dan lakukan pengambilan contoh dengan kecepatan aliran udara (flowrate) 10 l/menit.

4) Lama pengambilan contoh dapat dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung kebutuhan, tujuan dan kondisi pengukuran).

5) Pengambilan contoh dilakukan minimal 3 kali dalam 8 jam kerja yaitu pada awal, pertengahan dan akhir shift kerja. 6) Setelah selesai pengambilan contoh, debu pada bagian luar

holder dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.

7) Filter dipindahkan dengan menggunakan pinset ke keset filter dan dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam.


(51)

2.4.4 Nilai Ambang Batas Debu

Nilai ambang batas atau NAB adalah standar faktor-faktor lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam atau 40 jam seminggu.

Nilai Ambang Batas debu mengikuti ambang batas udara ambien yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomr 41 Tahun 1999. Atau PP RI No.41 Tahun 1999. Yang menyebutkan NAB dalam 1 jam adalah 90 ug/Nm3 sedangkan dalam 24 jam adalah 230 ug/Nm3. Untuk debu ditempat kerja dapat mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.1405/ MENKES/SK/XI/2002. Di dalam peraturan ini disebutkan NAB maksimal di industri sebesar 10 mg/m3.

2.5 Sistem Pernapasan

Sistem pernapasan terutama berfungsi untuk pengambilan oksigen (O2) oleh darah dan pembuangan karbon dioksida (CO2). Paru dihubungkan dengan lingkungan luarnya melalui serangkaian saluran, berturut-turut hidung, faring, laring, trakea dan bronki. Pertukaran gas antara oksigen yang dihirup dari udara masuk ke dalam darah dan karbondioksida yang akan dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan napas) terjadi didalam paru-paru. Kemudian masuk ke tubuh melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis


(52)

36

kemudian masuk ke serambi kiri jantung (atrium sinistra) terus ke aorta dan dilanjutkan ke seluruh tubuh (Muttaqin, 2008).

Pernapasan merupakan suatu proses yang terjadi dengan sendirinya. Pada saat bernapas ada dua proses yang terjadi yaitu inspirasi dan ekspirasi. Frekuensi terjadinya inspirasi dan ekspirasi adalah selama 15-18 kali setiap menit. Kedua proses ini diatur oleh otot diafragma dan otot antar tulang rusuk (Mikrajuddin dkk, 2007).

Gambar 2.5 Saluran Pernapasan Sumber : Muttaqin, 2008

Ampas atau sisa dari pembakaran berupa karbon dioksida yang dikeluarkan melalui peredaran darah vena diteruskan ke jantung (serambi kanan/atrium dekstra). Dari sini keluar melalui peredaran darah arteri pulmonalis ke jaringan-jaringan paru-paru.


(53)

a. Respirasi (Sloane, 2004) 1) Respirasi sel

Adalah penggunaan O2 oleh sel-sel tubuh untuk produksi energi, dan pelepasan produk oksidasi (CO2 dan air) oleh sel-sel tubuh. 2) Respirasi eksternal

Merupakan proses pertukaran gas atau difusi O2 dan CO2 antara sel darah dan sel-sel jaringan sehingga oksigen dari paru masuk ke dalam darah, dan karbon dioksida dan air keluar dari darah masuk ke paru.

3) Respirasi internal

Merupakan proses difusi O2 dan CO2 antara sel darah dan sel-sel jaringan.

b. Ventilasi (Muttaqin, 2008)

Merupakan proses mekanik yang berakibat masuk dan keluarnya udara dari paru, yang mencakup inspirasi dan ekspirasi.

1) Inspirasi

Masuknya udara yang kaya oksigen dan miskin karbondioksida ke dalam jalan napas sampai dengan ke alveoli.

2) Ekspirasi

Keluarnya udaya yang kaya karbondioksida dan miskin oksigen melalui jalan napas.


(54)

38

2.5.1 Anatomi sistem pernapasan

Anatomi saluran pernapasan secara garis besar terdiri atas saluran pernapasan bagian atas (rongga hidung, sinus paranasal, dan faring), saluran pernapasan bagian bawah (laring, trakhea, bronkhus dan alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan, arteri pulmonar, kapiler pulmonar, venula pulmonar, vena pulmonar dan atrium kiri), paru (paru kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus), rongga pleura, dan otot-otot pernapasan (dapat dilihat pada gambar 2.6)

Gambar 2.6

Komponen sistem pernapasan Sumber : Muttaqin, 2008 Saluran Pernapasan Bagian Atas

a. Rongga Hidung

Rongga hidung terdiri dari tonjolan seperti rak, yaitu turbinat yang bekerja seperti kisi-kisi radiator untuk menghangatkan dan


(55)

melembabkan udara. Mukosa rongga ini memiliki banyak pembuluh darah dan bervariasi (Ester, 1999).

Hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk menuju rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal sempit yag satu sama lainnya dipisahkan oleh septum. Dinding rongga hidung dilapisi oleh mukosa respirasi serta sel epitel batang, bersilia dan berlapis semu. Mukosa tersebut menyaring, menghangatkan dan melembapkan udara yang masuk melalui hidung. Vestibulum merupakan bagian dari rongga hidung yang berambut dan berfunggsi menyaring partikel-partikel asing berukuran besar agar tidak masuk ke saluran pernapasan bagian bawah.

Dalam hidung juga terdapat saluran-saluran yang menghubungkan antara rongga hidung dengan kelenjar air mata, bagian ini dikenal dengan kantung nasolakrimalis. Kantung nasolakrimalis ini berfungsi mengalirkan air melalui hidung-yang berasal dari kelenjar mata- jika seseorang menangis (Muttaqin, 2008).

b. Sinus Paranasal

Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mukus, membantu pengaliran air mata melalui saluran nasolakrimalis, dan membantu dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembap. Sinus paranasal juga termasuk dalam wilayah pembau di bagian


(56)

40

posterior rongga hidung. Wilayah pembau tersebut terdiri atas permukaan inferior palatum kribriform, bagian superior septum nasal, dan bagian superior konka hidung. Reseptor di dalam epitel pembau ini akan merasakan sensasi bau.

c. Faring

Faring atau tenggorok adalah tuba muskular yang terletak di posterior rongga nasal dan oral di anterior vertebra servikalis. Secara deskriptif, faring dapat dibagi menjadi tiga segmen, setiap segmen dilanjutkan oleh segmen lainnya yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring (Asih dan Effendy, 2004).

Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula dari dasar tengkorak dan berakhir sampai persambungannya dengan esofagus dan batas tulang rawan krikoid. Faring terdiri atas tiga bagian yang dinamai berdasarkan tata letaknya, yakni nasofaring (di belakang hidung), osofaring(di belakang mulut), dan laringofaring (di belakang faring) (Muttaqin, 2008).

Gambar 2.7

Anatomi Saluran Pernapasan Bagian Atas Sumber : Muttaqin, 2008


(57)

Saluran Pernapasan Bagian Bawah a. Laring

Laring adalah suatu katup yang rumit pada persimpangan lintasan makanan dan lintasan udara. Laring terangkat dibawah lidah saat menelan dan karenanya mencegah makanan masuk ke trakea (Ester, 1999).

Sedangkan dalam Sloane (2004) disebutkan laring adalah tabung pendek berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago, tiga berpasangan dan tiga tidak berpasangan. Kartilago berpasangan yaitu kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago kuneiform. Sedangkan kartilago tidak berpasangan yaitu kartilago tiroid, krikoid, dan epiglotis

Laring (tenggorok) terletak di antara faring dan trakhea. Berdasarkan letak vertebra servikalis, laring berada di ruas ke-4 atau ke-5 dan berakhir di vertebra servikalis ruas ke 6. Laring disusun oleh 9 kartilago yang disatukan oleh ligamen dan otot rangka pada tulang hioid di bagian atas dan trakhea di bagian bawahnya (Muttaqin, 2008).


(58)

42

Gambar 2.8

Struktur anatomi laring (a) Pandangan anterior (b) Pandangan posterior (c) pandangan melintang

(Sumber Simon dan Schuster, 2003)

Otot yang mengabdusikan laring berkontraksi pada awal inspirasi (menghisap udara), menarik pita suara saling menjauhi dan membuka glottis. Sewaktu menelan atau bersenda gurau terdapat refleks kontraksi otot-otot aduktor yang menutup glottis dan mencegah aspirasi makanan, cairan atau muntahan ke dalam paru-paru.

b. Trakhea

Trakhea adalah saluran udara tubular yang mempunyai panjang sekitar 10 sampai 13 cm dengan lebar sekitar 2,5 cm. Trakhea terletak di depan esofagus dan saat palpasi teraba sebagai struktur yang keras, kaku, tepat di permukaan anterior leher. Trakhea memanjang dari laring atas ke arah bawah ke dalam


(59)

rongga toraks tempatnya terbagi menjadi bronkhi kanan dan kiri (Asih dan Effendy, 2004).

Pengertian lain menyebutkan trakhea sebagai tuba atau pipa udara dengan panjang 10-12 cm dengan diameter 2,5 cm dan terletak di atas permukaan anterior esofagus. Tuba ini merentang dari laring pada area vertebra serviks keenam sampai area verebra toraks kelima tempatnya membelah menjad dua bronkus utama (Sloane, 2004).

Gambar 2.9

(a) Ilustrasi trakhea (b) gambaran melintang trakhea Sumber : Muttaqin, 2008

c. Bronkhus

Bronkhus mempunyai struktur serupa dengan trakhea. Bronkhus kiri dan kanan tidak simetris. Bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan arahnya hampir vertikal dengan trakhea. Sebaliknya bronkhus kiri lebih panjang, lebih sempit dan sudutnya lebih runcing. Bentuk anatomi ini memiliki implikasi klinis


(60)

44

tersendiri jika ada benda asing yang terinhalasi, maka benda itu lebih memungkinkan berada di bronkhus kanan dibandingkan dengan bronkhus kiri karena arah dan lebarnya (Muttaqin, 2008).

2.5.2 Masuknya debu ke sistem pernapasan

Partikel yang ukurannya cukup kecil untuk dapat menetap di udara dapat terhirup melalui hidung yaitu melalui rongga hidung ataupun melalui mulut. Kemampuan partikel untuk terhirup tergantung pada diameter partikel, pergerakan udara di sekitar tubuh, dan rasio pernapasan. Partikel yang terhirup ini kemudian dapat mengendap ataupun dihembuskan kembali, tergantung pada fisiologi dan faktor terkait partikel. Lima mekanisme deposisi atau pengendapan partikel dalam tubuh manusia yaitu sedimentasi, impaksi inersia, difusi (hanya untuk partikel dengan ukuran <0,5 µm), intersepsi dan pengendapan elektrostatis. Sedimentasi dan impaksi merupakan mekanisme yang paling penting yang berhubungan dengan debu udara yang terhirup, dan hal ini merupakan proses yang ditentukan oleh diameter partikel (Lippman, 1977).

Menurut Brown (1976) dalam Sintorini (2002) dikatakan sebanyak 55% debu yang terhisap melalui udara ke pernapasan mempunyai ukuran antara 0,25µm - 6 µm. Dan jumlah debu yang terhisap tersebut 15-95% dapat mengalami retensi (debu tertahan di dalam tubuh). Proporsi retensi tersebut mempunyai hubungan langsung dengan sifat-sifat fisik debu. Didasarkan atas sifat fisiknya


(61)

suspensi debu yang terdapat dalam udara dan anatomi sistem pernapasan maka dapat dikatakan bahwa partikel debu yang mempunyai ukuran lebih besar dari 10 µm dapat dikeluarkan oleh saluran napas bagian atas.

Partikel debu yang berukuran 5 µm dengan 10 µm tertahan terutama pada saluran pernapasan bagian atas. Debu yang memiliki ukuran 5 µm sampai dengan 10 µm akan ikut jatuh sejalan dengan percepatan gravitasi. Dan bila terhirup melalui pernapasan biasanya akan jatuh pada alat pernapasan bagian atas dan menimbulkan banyak penyakit berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakit pharingitis.

Partikel debu dengan ukuran 3 µm sampai dengan 5 µm akan ditahan oleh saluran pernapasan bagian tengah. Partikel debu tersebut jatuhnya lebih ke dalam yaitu pada saluran pernapasan (bronchus/broncheolus). Hanya bedanya disini lebih banyak memiliki aspek fisiologis yaitu menimbulkan bronchitis, alergis atau asma. Dan lebih mudah terkena pada orang yang semula sudah memiliki kepekaan berdasarkan keadaan seperti itu.

Partikel debu yang berukuran 1 µm sampai dengan 3 µm dapat mencapai bagian yang lebih dalam lagi dan mengendap di alveoli karena adanya gravitasi dan difusi. Partikel debu bergerak sejalan dengan suatu kecepatan yang konstan untuk jenis-jenis debu tertentu. Debu-debu tersebut menghambat fungsi alveoli sebagai media pertukaran gas. Sehingga dengan melekatnya debu ukuran ini akan


(62)

46

mengganggu kemampuan proses pertukaran gas yang lebih kecil ukurannya dan lebih perlahan jatuhnya .

2.6 Industri tekstil

Menurut Peraturan Menteri Perinustrian atau Permenperin Nomor 15/M-IND/PER/2 Tahun 2012, mengenai program revitalisasi dan penumbuhan industri melalui restrukturisasi mesin/peralatan industri tekstil dan produk tekstil serta industri alas kaki, pengertian industri tekstil dan produk tekstil yang selanjutnya disebut TPT adalah perusahaan industri yang menghasilkan tekstil dan produk tekstil.

2.6.1 Alur Produksi Industri Tekstil

Bagan 2.2


(63)

2.6.2 Kegiatan di PT.Unitex

Industri tekstil merupakan industri yang bertujuan untuk menghasilkan TPT yaitu produk tekstil. Kegiatan industri tekstil secara umum meliputi delapan bagian utama. Yaitu bagian spinning,

bagian weaving, biro koordinasi pusat (BKP), bagian dyeing, bagian celup benang, bagian garansi mutu, bagian teknik industri dan bagian

utility (PT. Unitex Tbk). a. Bagian spinning

Bagian spinning atau pemintalan adalah proses memroses bahan baku (kapas dan poliester) menjadi benang.

1. Seksi blowing dan carding

Tugas seksi ini yaitu melakukan proses pembuatan benang, dimana bahan baku yaitu kapas atau poliester dimasukkan kedalam mesin

blowing untuk diuraikan gumpalan-gumpalan seratnya, dibersihkan kotoran-kotorannya, dan diaduk sehingga terjadi pencampuran yang merata beberapa jenis kapas. Dari proses ini dihasilkan “Lap” yang selanjutnya diproses dalam mesin carding dan menghasilkan “Silver”.

2. Seksi combing, drawing dan finishing

Tugas seksi ini adalah melanjutkan seksi sebelumnya yaitu melalui proses Pre Drawing yang berfungsi meluruskan dan mensejajarkan serat, memperbaiki kerataan serat dan membuat “Silver” dengan


(64)

48

berat persatuan panjang tertentu. Tugas seksi ini juga membuat campuran antara poliester dengan kapas melalui proses Drawing. 3. Seksi ring spinning dan finishing

Tugas dari seksi ini adalah menyiapkan benang dari hasil pemintalan dalam bentuk "Cones" dengan mesin Mach Conner. b. Bagian Weaving

Bagian Weaving (penenunan) adalah bagian yang memproses benang menjadi kain. Proses ini diawali dari mempersiapkan benang dalam seksi persiapan hingga terbentuk anyaman benang tate yang siap masuk mesin tenun, selanjutnya diproses dalam mesin tenun. 1. Seksi Persiapan

Tugas seksi ini adalah menggulung ulang dari bentuk “Cones” menjadi bentuk “Hank” (relling), melakukan proses pengkajian untuk benang-benang tertentu yang perlu dikanji, mempersiapkan benang tate pada mesin Warper dan pengkanjian benang tate yang telah tergulung pada Beam dalam mesin Zising, dan membuat anyaman benang tate pada Dropper, Herdo dan Osa sesuai dengan desain dan jenis anyaman yang diinginkan.

2. Seksi Penenunan

Tugas seksi ini adalah melakukan proses penenunan hingga menghasilkan kain sesuai dengan yang diinginkan.


(65)

c. BKP / Biro koordinasi pusat

Bagian ini berfungsi untuk mengontrol produksi sesuai dengan order yang diterima. BKP menerima order dari kantor Jakarta yang berasal baik dalam maupun luar negeri, kemudian dipelajari untuk menentukan jenis dan cara pembuatan kain tersebut. BKP mengatur perencanaan proses produksi mulai dari persiapan bahan baku, persiapan proses sampai dengan proses pengeluaran barang jadi dari gudang untuk dikirim kepada pelanggan.

d. Bagian Dyeing

Departemen Dyeing adalah bagian pemolesan kain terhadap warna, penampilan dan pegangan (handling). Departemen ini merupakan bagian pemrosesan kain yang terakhir mulai dari bahan baku kapas dan poliestersampai pada produk kain yang siap dipasarkan.

1. Seksi Sarashi

Seksi ini merupakan gabungan unit kerja yang mempersiapkan kain mentah sampai kain tersebut siap untuk dicelup warna sesuai dengan pesanan.

2. Seksi Pencelupan

Tugas seksi ini adalah kain yang berasal dari seksi persiapan (sarashi) diproses kembali melalui proses pengaturan panas (berfungsi untuk menstabilkan serat ester dan menghilangkan garis-garis lipatan), pencelupan, resin finish (berfungsi untuk


(66)

50

memperbaiki kehalusan kain) dan Sanforized (berfungsi untuk mengurangi penyusutan kain pada saat dibuat baju atau dicuci). 3. Seksi Resin/ Finishing

Tugas seksi ini adalah untuk menyempurnakan hasil proses pencelupan dengan memberikan cairan kimia resin dan proses penyusutan dengan menggunakan mesin Sanforized.

4. Seksi Hozen

Tugas seksi ini adalah mendukung kelancaran proses produksi di bagian dyeing dan celup benang dalam hal memastikan bahwa semua mesin produksi dapat beroperasi dengan baik. Seksi ini juga bertugas untuk melakukan perbaikan apabila terdapat kerusakan pada mesin atau sarana produksi lainya.

a. Seksi Laborat

Tugas seksi ini adalah untuk mencari resep-resep pencelupan, pengujian warna dan pengujian terhadap sifat fisik kain sesuai standar internasional.

e. Bagian Celup Benang

Bagian ini pada dasarnya merupakan bagian yang berdiri sendiri dalam departemen dyeing. Seluruh aktifitas mulai dari persiapan sampai dengan pengeringan dilakukan dalam seksi ini dan tidak terkait secara langsung dengan seksi-seksi lain. Pada bagian celup benang ini terdapat dua seksi yaitu seksi celup benang itu sendiri dan seksi soft winder.


(67)

Proses yang dilakukan pada seksi celup benang adalah proses pencelupan benang hasil produksi bagian spinning yang sebelum ditenun dicelup terlebih dahulu. Sedangkan proses yang dilakukan pada seksi soft winder adalah proses penggulungan benang kembali dari hasil spinning sehingga dapat dilakukan proses celup pada seksi celup benang.

f. Bagian Garansi Mutu

Departemen garansi mutu adalah bagian yang berfungsi untuk melakukan pengontrolan mengenai kualitas hasil produksi, baik kualitas produksi kain mentah, kualitas kain jadi maupun kualitas produksi benang. Bagian garansi mutu ini merupakan penggabungan proses pengendalian mutu dari bagian produksi sebelumnya yaitu bagian spinning (kualitas benang), seksi penenunan dan seksi make-up (bagian dyeing/pencelupan).

1. Seksi Pemeriksaan

Tugas seksi ini adalah menerima kain hasil tenunan dari seksi penenunan untuk dicek dan ditentukan tingkatannya, untuk diperbaiki dan untuk diklasifikasikan sesuai dengan jenis dan jadwal pengiriman kebagian dyeing.

2. Seksi Make-Up

Tugas seksi ini adalah melakukan penggolongan tingkatan, penggulungan dan pengepakan sesuai dengan pemesanan.


(68)

52

g. Bagian Teknik Produksi

Departemen teknik produksi adalah bagian yang bertanggung jawab dalam hal proses penanggulangan masalah apabila terdapat ketidaksesuaian antara hasil rencana dengan hasil proses produksi. Misalnya apabila terdapat ketidaksesuaian dalam hal kualitas warna, maka bagian ini akan meneliti permasalahannya dan mengusulkan cara penanggulangannya bersama-sama bagian yang bersangkutan. h. Bagian Utility

Departemen Utility adalah bagian yang berfungsi untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh departemen lainnya. Sarana dan prasarana yang disediakan oleh departemen utility

meliputi penyediaan sumber energi listrik, uap air panas, air bersih, pengatur suhu ruangan pabrik (AC), pemasangan peralatan. Disamping itu departemen utility juga mengelola air limbah sisa proses pencelupan dari departemen dyeing.

1. Seksi Air Limbah

Tugas seksi ini adalah mengolah sisa-sisa air pencelupan baik celup kain maupun celup benang yang berasal dari departemen dyeing

dan celup benang, sehingga pada saat air terbuat dibuang kesungai tidak membahayakan kehidupan lingkungan sekitarnya.

2. Seksi Power Station

Tugas seksi ini adalah menyediakan kebutuhan sumber energi listrik, uap air panas, pengaturan suhu ruangan (AC) serta air bersih.


(69)

3. Seksi Maintenace

Tugas seksi ini adalah menyediakan, memasang dan merawat sarana dan prasarana pada seluruh departemen lainnya.

4. Seksi Bangunan

Tugas seksi ini adalah melaksanakan pembangunan sarana (bangunan) pada departemen lainnya serta melaksanakan pembangunan perumahan karyawan PT Unitex.

2.6.3 Distribusi karyawan PT.Unitex

*Data profil PT.Unitex Januari 2014 Grafik 2.1

Distribusi Karyawan Berdasarkan Tempat dan Jenis Kelamin Data Berdasarkan Grafik 2.1 dapat dilihat bahwa jumlah pekerja di PT.Unitex sebanyak 878 orang. Dan untuk departemen pemintalan

11 153

282

53 44

20 23 47 48

6 5 2 15

105

6 1 8 22 2 14 3 8


(70)

54

sendiri pekerjanya berjumlah 153 laki-laki dan 15 perempuan sehingga totalnya adalah sebesar 168 orang.

2.6 Kerangka Teori

Pencemaran udara yang terjadi di lingkungan secara garis besar berasal dari dua sumber yaitu akibat kegiatan manusia ataupun karena sebab alamiah. Pencemaran udara akibat kegiatan manusia diantaranya yaitu akibat penggunaan bahan bakar, kegiatan tambang, kegiatan rumah tangga maupun industri. Sedangkan sebab alami salah satunya adalah karena erupsi gunung berapi.

Pencemaran udara ini dihasilkan oleh polutan atau zat pencemar udara diantaranya adalah berbagai jenis debu, nitrogen oksida, sulfur oksida, karbon monoksida, dan partikulat dengan berbagai ukuran diantaranya yaitu PM10, PM5 dan PM2,5 . Polutan ini kemudian akan terdeposisi di atmosfer dalam jangka waktu tertentu. Lamanya polutan terdeposisi di atmosfer tergantung dari ukuran polutan tersebut dan juga karena faktor lingkungan lainnya seperti suhu, kelembapan, curah hujan, dan kecepatan arah angin.

Pencemaran selain terjadi di luar rungan juga dapat terjadi di dalam ruangan atau lebih dikenal dengan istilah Indoor Air Pollution /IAP. Pencemaran udara dalam ruangan diantaranya berasal dari asap rokok, asap dari penggunaan bahan bakar memasak, ataupun dari penggunaan obat nyamuk. Polutan yang berada di udara atau atmosfer ini kemudian dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Jika polutan ini


(71)

masuk ke dalam saluran pernapasan maka polutan tersebut akan menjadi iritan dan mengganggu kesehatan pernapasan.

Adapun besar dampak dari polutan tersebut bagi kesehatan pernapasan dapat berbeda tiap orangnya. Hal ini tergantung karakteristik maupun perilaku dari individu itu sendiri. Karakteristik individu diantara lain adalah umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, masa kerja, lama pajanan, tingkat pendidikan maupun status sosial ekonomi. Sedangkan perilaku yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan pernapasan seperti perilaku merokok maupun penggunaan masker. Selain bersifat iritan, polutan pencemar udara ini juga dapat menimbulkan penyakit kronik maupun penyakit akut. Penyakit kronik seperti silikosis, bisinosis, asbestosis, berryliosis, dan paru obstruktif kronik. Sedangkan penyakit akutnya dapat berupa ISPA, asma maupun bronkhitis akut. Dengan demikan dapat dirumuskan kerangka teori sebagaimana dalam bagan 2.3 kerangka teori berikut :

Bagan 2.3 Kerangka Teori

Sumber : Depkes RI 2002, Dharmage 2009, Suryo 2010, Sormin 2012, Suma’mur, 1991,


(72)

56 BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka konsep

PT.Unitex merupakan industri tekstil yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Di dalam proses produksinya dapat terproduksi debu-debu yang kemudian beresiko menurunkan kesehatan kesehatan pernafasan pekerja. khususnya bagian pemintalan. Adapun faktor resiko yang ingin diukur dalam penelitian adalah kadar debu total, umur, jenis kelamin, masa kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok dan lama pajanan.

Di dalam industri tekstil terdapat tiga tahapan produksi utama yaitu pemintalan, penenunan dan pencelupan. Kegiatan pemintalan merupakan tahapan pengolahan bahan baku yaitu kapas mentah dan poliester menjadi benang. Berdasarkan studi pendahuluan peneliti, di departemen pemintaan dapat terlihat banyak debu-debu yang beterbangan dan melayang-layang.

Selanjutnya di penenunan debu yang tampak secara kasat mata tidak terlalu banyak layaknya di departemen pemintalan. Kemudian di bagian pencelupan, karena banyak bahan kimia yang digunakan maka terdapat kemungkinan bahan kimia terdeposisi ke udara.

Hal ini kemudian dapat memengaruhi kualitas udara. Kualitas udara yang buruk dikombinasikan dengan karakteristik tertentu pada pekerja dapat beresiko menurunkan status kesehatan. Termasuk timbulnya gejala ISPA pada pekerja dan juga gangguan fungsi paru.


(1)

6. Tingkat Pendidikan


(2)

8. Perilaku Merokok


(3)

Distribusi gejala ISPA ringan menurut kadar debu dan karakteristik individu pekerja

1. Kadar debu total


(4)

3. Masa Kerja

4. Jenis Kelamin


(5)

6. Tingkat Pendidikan


(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Kadar Debu Dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Proses Press-Packing Di Usaha Penampungan Butut Kelurahan Tanjung Mulia Lihir Medan tahun 2013

7 72 117

Pengukuran Kadar Debu Dan Gangguan Saluran Pernafasan Pekerja Bengkel Pandai Besi Di Desa Sitampurung Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2006

8 52 94

Pengaruh Keadaan Lingkungan Kerja, Karakteristik Pekerja dan Kadar Debu Kayu (PM10) terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Industri Kecil Meubel Di Kota Banda Aceh Tahun 2010

11 81 120

Gambaran Perilaku Pemakaian Masker Dan Pengukuran Kadar Debu Pada Pekerja Bagian Bongkar Muat Karet Kering Instalasi Belawan PTPN III Tahun 2008

1 42 67

Hubungan Kadar Debu Dan Karakteristik Pekerja Dengan Gangguan Paru Pekerja Pada Unit Produksi Tablet Industri Farmasi X Tahun 2002

0 22 89

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG RISIKO PAPARAN DEBU DAN PERILAKU PENCEGAHAN DENGAN GEJALA SAKIT MATA Hubungan Pengetahuan Tentang Resiko Paparan Debu Dan Perilaku Pencegahan Dengan Gejala Sakit Mata Pada Pekerja Industri Mebel Di Kecamatan Ngemplak Boyolal

0 3 18

SKRIPSI Hubungan Pengetahuan Tentang Resiko Paparan Debu Dan Perilaku Pencegahan Dengan Gejala Sakit Mata Pada Pekerja Industri Mebel Di Kecamatan Ngemplak Boyolali.

0 3 16

Hubungan Karakteristik Pekerja dan Perilaku Pekerja Terpapar Bahan Kimia dengan Gejala ISPA di Industri Kuku Palsu Purbalingga.

0 0 12

Korelasi Antara Kadar Total Suspensed Particicle (TSP) dengan Gangguan Faal Paru pada Pekerja Batu Bata cover

0 1 21

DAMPAK TOTAL SUSPENDED PARTICLE (TSP) PROSES PENGECORANLOGAM TERHADAP PARU PEKERJA INDUSTRI PENGECORAN LOGAM.

0 0 19