Hubungan Kadar Debu Dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Proses Press-Packing Di Usaha Penampungan Butut Kelurahan Tanjung Mulia Lihir Medan tahun 2013

(1)

HUBUNGAN KADAR DEBU DENGAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PROSES PRESS-PACKING DI USAHA PENAMPUNGAN BUTUT

KELURAHAN TANJUNG MULIA HILIR MEDAN TAHUN 2013

SKRIPSI

Oleh:

DUNIA TERANG SIHOMBING 091000132

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

HUBUNGAN KADAR DEBU DENGAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PROSES PRESS-PACKING DI USAHA PENAMPUNGAN BUTUT

KELURAHAN TANJUNG MULIA HILIR MEDAN TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

DUNIA TERANG SIHOMBING NIM. 091000132

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

(4)

ABSTRAK

Proses press-packing merupakan kegiatan pengepressan/pengempaan barang-barang yang sudah rusak (butut) dengan menggunakan mesin press yang menghasilkan debu di lingkungan kerja. Paparan debu dalam waktu yang lama di lingkungan kerja akan mengakibatkan stress yang berat pada organ saluran pernafasan, sehingga mudah menimbulkan gangguan fungsi paru seperti restriktif, obstruktif atau kombinasinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan kadar debu dengan fungsi paru pekerja proses press-packing di

usaha penampungan“butut” Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan desain potong silang (cross sectional), besar sampel 19 orang (Total Sampling). Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dengan menggunakan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji Regresi Logistik Berganda dengan metode Backward Stepwise.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kadar debu di empat titik pengukuran di lingkungan kerja masih dibawah Nilai Ambang Batas yaitu 0.014 mg/m3, 0.007 mg/m3, 0.080 mg/m3 dan 0.020 mg/m3, sedangkan hasil pemeriksaan fungsi paru menujukkan 4 pekerja (20.1%) mengalami gangguan fungsi paru dan 15 pekerja (78.9%) tidak mengalami gangguan fungsi paru. Hasil uji chi-square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok (p value=0.033) dan pemakaian APD (p value=0.018) dengan fungsi paru, sedangkan umur, masa kerja, riwayat penyakit paru tidak menunjukan hubungan yang signifikan. Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa pemakaian APD memiliki hubungan yang signifikan dengan fungsi paru (nilai p= 0.038).

Saran ialah pekerja wajib memakai alat pelindung diri (masker) yang telah disediakan setiap melakukan pekerjaan di lingkungan kerja dan berhenti merokok.


(5)

ABSTRACT

The process of press-packing is an activity of pressing/compression of goods have been damaged (battered) with using of machine press which produces dust in work enviroment. The exposure of dust in a long time in work environment will cause heavy stress on organ of respiratory system, making it easy to cause lung function disorders such as obstructive, restrictive or combination. The purpose of research is to know how the correlation of dust concentration with lung function of worker press-packing process in the battered shelter of business in Village of Tanjung Mulia Hilir of Medan 2013.

This research is a survey of analytic with cross sectional design, large sample of 19 people (Total Sampling). The analysis of the data used is univariat, bivariat by using chi-square test and multivariate use of multiple regression logistic test with Backward Stepwise method.

The result of research showed that the dust concentration in the four point measurement in the work environment were still under the Threshold Limit Value those were 0.014 mg/m3, 0.007 mg/m3, 0.080 mg/m3 and 0.020 mg/m3, while the measurement result of lung function shows 4 workers (20.1%) having lung function disorder and 15 workers (78.9%) no having lung function disorder. The result of chi-square test showed there were a significant correlation between the smoking habit (p value= 0.033) and the use of Personal Protective Equipment (p value= 0.018) with lung function,while age, periode of work, a history of lung disease showed no significant correlation. The result of multiple logistic regression analysis showed that the use of PPE has a significant correlation with lung function (p value= 0.038). The suggestions is the worker must wear personal protective equipment (mask) that had been prepared to do the job in workplace and stop smoking.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dunia Terang Sihombing

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/26 Agustus 1990

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin

Jumlah Saudara : 5 (Lima) orang

Alamat Rumah : Jl.Eka Prasetya Gg.Pribadi No.05 Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang

Riwayat Pendidikan : 1. 1997-2003 : SD Negeri 106789 Tanjung Gusta 2. 2003-2006 : SMP Negeri 18 Medan

3. 2006-2009 : SMA Markus Medan

4. 2009-2013 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih karunia-Nya yang senantiasa berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Hubungan Kadar Debu Dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Proses Press-Packing Di Usaha Penampungan Butut Kelurahan Tanjung Mulia Lihir Medan tahun 2013” yang merupakan salah satu prasyarat untuk meraih gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terwujudnya skripsi ini, terutama kepada Ibu

dr. Halinda Sari Lubis, M.KKK selaku dosen pembimbing I dan Ibu Eka Lestari Mahyuni, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam mendidik, membimbing dan memberi masukan, saran serta kritikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kepada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja sekaligus penguji ujian skripsi

3. Bapak dr. Mhd Makmur Sinaga, MS selaku penguji ujian skripsi 4. Bapak dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen Penasehat Akademik.

5. Seluruh Dosen dan Pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya di Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.


(8)

6. Bapak Syaiful, S.Si selaku teknisi Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja Medan yang membantu penulis dalam melakukan pengukuran di lokasi penelitian. 7. Bapak Vincent selaku pemilik usaha yang telah memberikan izin kepada penulis

untuk melakukan penelitian.

8. Orang tua saya tercinta, A. Sihombing dan R. br Pardosi, S.Pd yang telah membesarkan, membimbing dan mendidik penulis dengan kasih sayang serta memberikan motivasi dalam mengikuti pendidikan.

9. Kakak dan abang saya yang terkasih: Asna Susanti br. Sihombing, S.Pd, Roma br Sihombing, S.Pd, Jouristo Sihombing, SH dan Viktor Sihombing, terima kasih atas perhatian, doa dan semangat yang telah diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan dan skripsi ini.

10. Kepada teman-teman seperjuangan stambuk 2009 serta teman-teman K3: Reza, Rozy, Alin, Floren, Kak Uya, Bang Henokh, Kak Febri, Bang Ari, Kak Evia, dan masih banyak lagi .

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karenanya penulis mengaharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2013


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Debu ... 8

2.1.1. Definisi Debu ... 8

2.1.2. Sifat-Sifat Debu ... 8

2.1.3. Sumber Debu ... 12

2.1.4. Jenis Debu ... 12

2.1.5. Pengukuran Kadar Debu di Udara ... 14

2.1.6. Nilai Ambang Batas (NAB) Kadar Debu... 15

2.1.7. Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru ... 16

2.2. Paru-Paru ... 17

2.2.1. Anatomi Paru ... 17

2.2.2. Fisiologi Paru ... 20

2.2.3. Volume dan Kapasitas Fungsi Paru ... 21

2.2.4. Pemeriksaan Fungsi Paru ... 23

2.2.5. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Fungsi Paru di Tempat kerja ... 26

2.3. Butut ... 31

2.3.1. Definisi Butut ... 31

2.3.2. Jenis-Jenis Butut ... 30

2.4. Kerangka Konsep ... 32


(10)

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1. Jenis Penelitian ... 34

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

3.3. Populasi dan Sampel ... 34

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 35

3.5. Definisi Operasional... 35

3.6. Aspek Pengukuran ... 38

3.7. Teknik Analisis Data ... 44

3.7.1. Analisis Univariat... 45

3.7.2. Analisis Bivariat ... 45

3.7.3. Analisis Multivariat ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 47

4.1. Gambaran Umum Perusahaan ... 47

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 47

4.1.2. Ketenagakerjaan dan Proses Kerja ... 48

4.1.3. Cara Kerja Proses Press-Packing... 49

4.1.4. Diagram Alur Proses Kerja ... 51

4.2. Hasil Penelitian ... 52

4.2.1. Analisis Univariat ... 52

4.2.1.1. Distribusi Kadar Debu di Usaha Penampungan Butut ... 52

4.2.1.2. Distribusi Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 52

4.2.1.3. Distribusi Data Confounding Factor ... 54

4.2.2. Analisis Bivariat ... 57

4.2.2.1. Hubungan Kadar Debu dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 57

4.2.2.2. Hubungan Umur dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 57

4.2.2.3. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 58

4.2.2.4. Hubungan Masa Kerja dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 59

4.2.2.5. Hubungan Pemakaian APD dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 59

4.2.2.6. Hubungan Riwayat Penyakit Paru dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 60

4.2.3. Analisis Multivariat ... 61

BAB V PEMBAHASAN ... 63

5.1. Kadar Debu Pada Proses Press-Packing ... 63

5.2. Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 63

5.3. Hubungan Kadar Debu dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 63


(11)

5.4. Hubungan Umur dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-

Packing ... 64

5.5. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 65

5.6. Hubungan Masa Kerja dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 67

5.8. Hubungan Pemakaian APD dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 69

5.9. Hubungan Riwayat Penyakit Paru dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing ... 71

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 73

6.1. Kesimpulan ... 73

6.2. Saran ... 74


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Jenis Debu Yang Dapat Menimbulkan Gangguan Kesehatan Pada

Manusia ... 13 Tabel 2.2. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru ... 24 Tabel 4.1. Distribusi Pekerja Berdasarkan Jenis Pekerjaannya di Usaha

Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 ... 49 Tabel 4.2. Data Hasil Pengukuran Kadar Debu di Usaha Penampungan “Butut”

Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 ... 53 Tabel 4.3. Distribusi Kadar Debu (mg/m3) di Usaha Penampungan “Butut” Kel.

Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 ... 53 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Fungsi Paru Pekerja Proses

Press-Packingdi Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia Hilir

Medan Tahun 2013 ... 54 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Pekerja Proses

Press-Packingdi Usaha Penampungan „Butut” Kel. Tanjung Mulia Hilir

Medan tahun 2013 ... 55 Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Merokok Pekerja Proses

Press-Packingdi Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia

Hilir Medan tahun 2013 ... 55 Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Masa Kerja Pekerja Proses

Press-Packingdi Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia Hilir

Medan tahun 2013 ... 56 Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pemakaian APD Pekerja Proses

Press-Packingdi Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia

Hilir Medan tahun 2013 ... 56 Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Penyakit Paru Pekerja

Proses Press-Packingdi Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung

Mulia Hilir Medan tahun 2013 ... 57 Tabel 4.10. Hubungan Umur Dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing

di Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan


(13)

Tabel 4.11. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Fungsi Paru Proses Pekerja

Press-Packing di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia

Hilir Medan tahun 2013 ... 59 Tabel 4.12. Hubungan Masa Kerja Dengan Fungsi Paru Pekerja Proses

Press-Packingdi Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia Hilir

Medan tahun 2013 ... 59 Tabel 4.13. Hubungan Pemakaian APD dengan Fungsi Paru Pekerja Proses

Press-Packingdi Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia

Hilir Medan tahun 2013 ... 60 Tabel 4.14. Hubungan Riwayat Penyakit Paru dengan Fungsi Paru Pekerja Proses

Press-Packingdi Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia

Hilir Medan tahun 2013 ... 61 Tabel 4.15. Hasil Analisis Bivariat Hubungan Variabel Bebas Dengan Variabel

Terikat Dengan Menggunakan Uji Chi-Square ... 61 Tabel 4.16. Hasil Analisis Regresi Logistik (Metode Backward Stepwise)


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Master Data

Lampiran 2 : Hasil Analisis Univariat

Lampiran 3 : Hasil Analisis Bivariat (Uji chi square)

Lampiran 4 : Analisis Multivariat (Uji Regresi Logistik Berganda) Lampiran 5 : Kuesioner Penelitian

Lampiran 6 : Data Hasil Pengukuran Kadar debu Lampiran 7 : Data Hasil Pengukuran Spirometri Lampiran 8 : Gambar Penelitian

Lampiran 9 : Lokasi Titik Pengukuran Lampiran 10 : Surat Izin Penelitian Lampiran 11 : Surat Selesai Penelitian


(15)

ABSTRAK

Proses press-packing merupakan kegiatan pengepressan/pengempaan barang-barang yang sudah rusak (butut) dengan menggunakan mesin press yang menghasilkan debu di lingkungan kerja. Paparan debu dalam waktu yang lama di lingkungan kerja akan mengakibatkan stress yang berat pada organ saluran pernafasan, sehingga mudah menimbulkan gangguan fungsi paru seperti restriktif, obstruktif atau kombinasinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan kadar debu dengan fungsi paru pekerja proses press-packing di

usaha penampungan“butut” Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan desain potong silang (cross sectional), besar sampel 19 orang (Total Sampling). Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dengan menggunakan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji Regresi Logistik Berganda dengan metode Backward Stepwise.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kadar debu di empat titik pengukuran di lingkungan kerja masih dibawah Nilai Ambang Batas yaitu 0.014 mg/m3, 0.007 mg/m3, 0.080 mg/m3 dan 0.020 mg/m3, sedangkan hasil pemeriksaan fungsi paru menujukkan 4 pekerja (20.1%) mengalami gangguan fungsi paru dan 15 pekerja (78.9%) tidak mengalami gangguan fungsi paru. Hasil uji chi-square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok (p value=0.033) dan pemakaian APD (p value=0.018) dengan fungsi paru, sedangkan umur, masa kerja, riwayat penyakit paru tidak menunjukan hubungan yang signifikan. Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa pemakaian APD memiliki hubungan yang signifikan dengan fungsi paru (nilai p= 0.038).

Saran ialah pekerja wajib memakai alat pelindung diri (masker) yang telah disediakan setiap melakukan pekerjaan di lingkungan kerja dan berhenti merokok.


(16)

ABSTRACT

The process of press-packing is an activity of pressing/compression of goods have been damaged (battered) with using of machine press which produces dust in work enviroment. The exposure of dust in a long time in work environment will cause heavy stress on organ of respiratory system, making it easy to cause lung function disorders such as obstructive, restrictive or combination. The purpose of research is to know how the correlation of dust concentration with lung function of worker press-packing process in the battered shelter of business in Village of Tanjung Mulia Hilir of Medan 2013.

This research is a survey of analytic with cross sectional design, large sample of 19 people (Total Sampling). The analysis of the data used is univariat, bivariat by using chi-square test and multivariate use of multiple regression logistic test with Backward Stepwise method.

The result of research showed that the dust concentration in the four point measurement in the work environment were still under the Threshold Limit Value those were 0.014 mg/m3, 0.007 mg/m3, 0.080 mg/m3 and 0.020 mg/m3, while the measurement result of lung function shows 4 workers (20.1%) having lung function disorder and 15 workers (78.9%) no having lung function disorder. The result of chi-square test showed there were a significant correlation between the smoking habit (p value= 0.033) and the use of Personal Protective Equipment (p value= 0.018) with lung function,while age, periode of work, a history of lung disease showed no significant correlation. The result of multiple logistic regression analysis showed that the use of PPE has a significant correlation with lung function (p value= 0.038). The suggestions is the worker must wear personal protective equipment (mask) that had been prepared to do the job in workplace and stop smoking.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tempat kerja merupakan tempat dimana setiap orang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga yang sebagian besar waktu pekerja dihabiskan di tempat kerja. Setiap tempat kerja selalu terdapat berbagai potensi bahaya yang dapat memengaruhi kesehatan pekerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja. Tempat kerja yang sehat akan mendukung pekerja untuk dapat bekerja secara optimal yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Sebaliknya tempat kerja yang tidak sehat dapat menurunkan derajat kesehatan pekerja dan akhirnya menurunkan produktivitas.

Untuk menciptakan tempat kerja yang sehat maka semua potensi bahaya di tempat kerja harus dikendalikan sehingga memenuhi batas standard aman, memberikan kontribusi bagi terciptanya kondisi lingkungan kerja yang aman, sehat serta proses produksi menjadi lancar serta dapat menekan risiko kerugian dan meningkatan produktivitas pekerja (Kepmenakertrans RI No.372 tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bulan K3 Nasional).

Salah satunya potensi bahaya di tempat kerja ialah faktor kimia. Debu merupakan faktor kimia yang paling sering terdapat dan berbahaya di tempat kerja. Menurut Suma‟mur (2009), debu adalah zat kimia padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran,


(18)

pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari benda, baik organik maupun anorganik.

Menurut WHO (1996) ukuran debu partikel yang dapat membahayakan berkisar 0,1-5 atau 10 mikron, sedangkan Departemen Kesehatan RI mengisyaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan berada pada rentang 0,1-10 mikron (Pudjiastuiti, 2003). Berdasarkan Permenakertrans RI No.13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja, bahwa kadar debu maksimal di tempat kerja ialah 3 mg/m3.

Paru-paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) yang berfungsi menukar oksigen dari udara dengan karbon dioksida dari darah yang disebut dengan "pernapasan eksternal" atau bernafas. (Raharjoe, 1994). Fungsi paru dapat menjadi tidak maksimal oleh karena faktor dari luar tubuh (ekstrinsik) yang meliputi kandungan komponen fisik udara, komponen kimiawi dan faktor dari dalam tubuh penderita itu sendiri (intrinsik) (Epler, 2000).

Menurut Harrianto (2010), bahwa seorang pekerja yang bekerja 8 jam kerja sehari akan menginhalasi kira-kira 10m3 udara pernafasan, atau kira-kira sama dengan yang dibutuhkan oleh orang dalam keadaan istirahat per hari. Jika udara mengandung kira-kira 10 mg partikel debu kerja/m3 (konsentrasi rata-rata partikel debu kerja yang mempunyai diameter 1-10 µm pada kebanyakan negara industri) maka pekerja tersebut akan menginhalasi 100 mg partikel debu kerja/hari kerja, atau kira-kira 20 g partikel debu kerja/tahun, yang berarti kira-kira menginhalasi satu sendok makan. Oleh sebab itu, dapat dimengerti bahwa kontak yang lama dengan lingkungan yang mengandung partikel debu kerja, akan mengakibatkan stress yang


(19)

berat pada organ saluran pernafasan, sehingga mudah menimbulkan berbagai jenis penyakit paru dan penyakit saluran pernafasan lainnya seperti restriktif, obstruktif atau kombinasinya. Penyakit paru akibat kerja sangat ditentukan oleh organ tempat deposit partikel, lama dan dosis pajanan, kerentanan sel paru akibat efek toksik pertikel tersebut, dan efek khusus interaksi antara partikel toksik dengan mekanisme pertahanan paru individu (Harrianto, 2010).

International Labour Organization (ILO) tahun 1991 melaporkan tentang penyakit akibat kerja yang memperkirakan insiden rata-rata dari penyakit akibat kerja adalah sekitar satu kasus per 1000 pekerja setiap tahun. Diantara semua penyakit kerja, terdapat 10-30% adalah penyakit paru. Di Inggris pada tahun 1996 ditemukan 330 kasus baru penyakit paru yang berhubungan dengan pekerjaan, sedangkan di New York ditemukan 3% kematian akibat penyakit paru kronik. Di Indonesia sendiri angka sakit mencapai 70 % dari pekerja yang terpapar debu tinggi. Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat yang serius yaitu terjadinya fungsi paru, dengan gejala utama yaitu sesak nafas (Aditama, 2002).

Sektor informal memiliki peran yang besar di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi , tidak teratur , dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar . Di negara sedang berkembang terdapat sekitar 30-70 % populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor informal (Widodo, 2006). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut tahun 2013 mencatat bahwa pekerja yang bekerja pada industri sektor informal sebesar 3,87 juta orang atau 63,82 persen.


(20)

Usaha butut yang menjadi lokasi penelitian merupakan industri sektor informal yang menampung barang-barang bekas, seperti : seng, kaleng, drum minyak (semua bahan-bahan dari kaleng), kawat, kardus, buku, majalah, dan kertas dari para

pengumpul/”toke butut”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “butut”

ialah barang-barang yang sudah rusak/barang-barang rongsokan yang tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan fungsinya.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan di lokasi penelitian bahwa usaha penampungan butut yang berlokasi di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Medan ini memiliki beberapa proses kerja meliputi : proses penimbangan digital barang yang masuk, proses press-packing, proses penyortiran kertas, proses pemugaran/perawatan mesin dan alat-alat mekanik lain, proses penyimpanan. Kondisi lingkungan kerja banyak terlihat partikel-patrikel debu yang beterbangan dan barang-barang rusak/butut yang menumpuk. Partikel debu tersebut bersumber dari proses yang ada di lingkungan kerja yaitu dari bongkar muat, penyortiran, press-packing, dan penimbangan. Debu tidak hanya dihasilkan dari proses kerja tersebut, namun juga dari lingkungan kerja yang semi terbuka yang memungkinkan debu dari luar masuk ke tempat kerja, ditambah lagi dengan lantai tempat kerja yang masih tanah.

Proses press-packing merupakan kegiatan pengepressan/pengempaan barang-barang yang sudah rusak/butut dengan menggunakan mesin press yang kemudian dilakukan pengepakan dari hasil pengepressan tersebut. Sebagian besar debu yang dihasilkan di tempat kerja merupakan hasil dari akitivitas pengempaan/press barang-barang rusak/butut adalah debu besi dan alumunium yang sudah korosif (berkarat) yang berasal dari pressan barang-barang berupa kaleng-kaleng (semua barang-barang


(21)

dari kaleng), seng, kawat,drum minyak dan juga debu hasil pressan kertas, buku dan kardus yang telah berdebu.

Pekerja yang bekerja di bagian proses press-packing lebih kurang telah bekerja 5-10 tahun dengan 8 jam kerja rata-rata per harinya dengan masuk pukul 08.00 dan selesai kerja pukul 17.00 wib (istirahat pukul 12.00-13.00 Wib). Didalam melakukan pekerjaannya pekerja kurang memiliki kesadaran pekerja untuk patuh memakai alat pelindung diri (masker) selama bekerja, dimana sebagian besar pekerja tidak memakai alat pelindung diri (masker) dengan alasan pekerja merasa tidak nyaman bekerja, dan mereka merasa jenuh/bosan memakai alat pelindung diri (masker).

Menurut hasil penelitian Budi Utomo (2005) pada Pekerja Industri Penambangan Batu Kapur di Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, bahwa kadar debunya lebih dari 350 mg/m3 udara/hari (OR = 2,8 ; 95 % CI = 1,8 – 9,9 ) merupakan salah satu faktor intrinsik yang terbukti berhubungan dengan penurunan kapasitas paru. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tim Balai Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Paru (BP4) Kab. Klaten (2004) pada Pekerja Industri Pembakaran Batu Gamping dan Masyarakat Sekitar Industri di Klaten, bahwa debu berpengaruh terhadap fungsi paru pekerja dengan OR = 4,86.

Berdasarkan hasil wawancara singkat peneliti bahwa beberapa pekerja proses

press-packing mengalami berbagai keluhan kesehatan selama bekerja, meliputi : sesak nafas, batuk-batuk, dan sering bersin-bersin. Dari uraian-uraian diatas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “


(22)

Hubungan Kadar Debu dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Proses Press-Packing di Usaha Penampungan “Butut” Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013.”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi permasalahan dalam penelitian adalah bagaimana hubungan antara kadar debu dengan fungsi paru pada pekerja proses press-packing di usaha penampungan butut Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan kadar debu dengan fungsi paru pekerja proses press-packing di usaha penampungan butut Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan kadar debu di lingkungan kerja pada proses press- packing apakah melebihi Nilai Ambang Batas (kadar debu > 3mg/m3 ) atau tidak (kadar debu < 3mg/m3) berdasarkan ketentuan Permenakertrans RI No.13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia dan Fisika di Tempat Kerja.

2. Untuk menjelaskan keadaan fungsi paru pekerja akibat paparan debu selama bekerja di proses press-packing.


(23)

3. Untuk menjelaskan hubungan antara usia dengan fungsi paru pekerja proses

press-packing.

4. Untuk menjelaskan hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru pekerja proses press-packing.

5. Untuk menjelaskan hubungan antara masa kerja dengan fungsi paru pekerja proses press-packing.

6. Untuk menjelaskan hubungan antara pemakaian alat pelindung diri (masker) dengan fungsi paru pekerja proses press-packing.

7. Untuk menjelaskan hubungan antara riwayat penyakit paru dengan fungsi paru pekerja proses press-packing.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi dan menambah pengetahuan kepada pekerja khususnya pekerja proses press-packing akan bahaya debu bagi kesehatan. 2. Memberikan informasi/masukan bagi pengusaha tentang bahaya paparan debu

terhadap kesehatan pekerja, khususnya pekerja proses press-packing.

3. Menambah wawasan peneliti dalam aplikasi bidang keilmuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

4. Sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian lebih lanjut.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Debu

2.1.1. Definisi Debu

Debu adalah debu adalah zat kimia padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan,penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari benda, baik organik maupun anorganik (Suma‟mur, 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI (2003) debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi, pada dasarnya pengertian debu adalah partikel yang berukuran kecil sebagai hasil dari proses alami maupun mekanik.

2.1.2. Sifat-Sifat Debu

Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh Sitepu (2002), partikel-partikel debu di udara mempunyai sifat:

1. Sifat pengendapan

Sifat pengendapan adalah sifat debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi. Namun karena kecilnya ukuran debu, kadang-kadang debu ini relatif tetap berada di udara.

2. Sifat permukaan basah

Sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah, dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu dalam tempat kerja.


(25)

3. Sifat penggumpalan

Oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat menempel satu sama lain dan dapat menggumpal. Turbulensi udara meningkatkan pembentukan penggumpalan debu. Kelembaban di bawah saturasi, kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Kelembaban yang melebihi tingkat huminitas di atas titik saturasi mempermudah penggumpalan debu. Oleh karena itu partikel debu bias merupakan inti dari pada air yang berkonsentrasi sehingga partikel menjadi besar.

4. Sifat listrik statis

Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang berlawanan. Dengan demikian, partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya proses penggumpalan.

5. Sifat optis

Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.

Partikel debu yang berdiameter lebih besar dari 10 mikron dihasilkan dari proses-proses mekanis seperti erosi angin, penghancuran dan penyemprotan , dan pelindasan benda-benda oleh kendaraan atau pejalan kaki. Partikel yang berdiameter antara 1-10 mikron biasanya termasuk tanah dan produk-produk pembakaran dari industri lokal. Partikel yang mempunyai diameter 0,1-1 mikron terutama merupakan produk pembakaran dan aerosol fotokimia (Fardiaz, 1992).

Polutan partikel masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem pernafasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan terutama terjadi pada sistem


(26)

pernafasan. Faktor lain yang paling berpengaruh terhadap sistem pernafasan terutama adalah ukuran partikel, karena ukuran partikel yang menentukan seberapa jauh penetrasi partikel ke dalam pernafasan. Debu-debu yang berukuran 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan (Yunus, 1997).

American Lung Association membagi penyakit paru akibat kerja mejadi dua kelompok besar : Pneumokoniosis disebabkan karena debu yang masuk ke dalam paru serta penyakit hipersensitivitas seperti asma yang disebabkan karena reaksi yang berlebihan terhadap polutan di udara (Suma‟mur, 2009).

Menurut Suma‟mur (1996), debu yang dapat menimbulkan ganggguan

kesehatan bergantung dari : a. Solubility

Jika bahan-bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air, maka bahan- bahan itu akan larut dan langsung masuk ke pembuluh darah kapiler alveoli. Apabila bahan-bahan tersebut tidak mudah larut, tetapi ukurannya kecil, maka partikel-partikel itu dapat memasuki dinding alveoli, lalu ke saluran limpa atau ke ruang peri bronchial menuju ke luar bronchial oleh rambut-rambut getar di kembalikan ke atas.

b. Komposisi kimia debu 1. Inert dust

Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis

pada paru. Efeknya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pada penghirupan normal.


(27)

Poliferal dust

Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk jaringan parut atau

fibrosis. Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu fungsi paru. Debu golongan ini menyebabkan

fibrocytic pneumoconiosis, contohnya : debu silika, asbestosis, kapas, berilium dan sebagainya.

Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust

Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang tidak tahan di dalam paru, namun dapat ditimbulkan efek iritasi yaitu debu yang bersifat asam atau asam kuat.

c. Konsentrasi debu

Semakin tinggi konsentrasi debu di udara tempat kerja, maka semakin besar kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan.

d. Ukuran partikel debu

Ukuran partikel besar akan di tangkap oleh saluran nafas bagian atas. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut :

1. Ukuran debu 5 – 10 mikron, akan tertahan olah cilia pada saluran pernapasan bagian atas.

2. Ukuran debu 3 – 5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah.


(28)

3. Ukuran debu 1 – 3 mikron, sampai dipermukaan alveoli.

4. Ukuran debu 0,5 – 1 mikron, hinggap dipermukaan alveoli, selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru.

5. Ukuran debu 0,1 – 0,5 mikron, melayang dipermukaan alveoli.

2.1.3. Sumber Debu

Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite particulate matter adalah partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Suspended particulate matter

adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus, 1997). Sumber-sumber debu dapat berasal dari udara, tanah, aktivitas mesin maupun akibat aktivitas manusia yang tertiup angin.

2.1.4. Jenis Debu

Jenis debu terkait dengan daya larut dan sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya di paru juga akan berbeda pula. Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula. Suma‟mur (2009) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan anorganik. Klasifikasi debu dapat dilihat pada tabel 2.1


(29)

Tabel 2.1. Jenis Debu Yang Dapat Menimbulkan Gangguan Kesehatan Pada Manusia

No Jenis Debu Contoh (Jenis Debu)

1 Organik

a. Alamiah 1. Fosil 2. Bakteri 3. Jamur 4. Virus 5. Sayuran 6. Binatang b. Sintesis 1. Plastik 2. Reagen

Batu bara, karbon hitam, arang, granit. TBC, antraks, enzim, bacillus substilis. Koksidiomikosis, Histoplasmosis.

Actinomycosis, kriptokokus, thermophilic. Cacar air, Q fever, psikatosis.

Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi, gabus, serat nanas, atap alang-alang, katun, rami.

Kotoran burung, kesturi, ayam

Politetrafluoretilen, toluene diisosianat Minyak isopropyl, pelarut organic

2 Anorganik

a. Silika bebas 1. Crystaline 2. Amorphous b. Silika 1. Fibrosis 2. Lain-lain c. Metal 1. Inert 2. Lain-lain

3. Bersifat keganasan

Quarz, trymite cristobalite Diatomaceous earth, silica gel

Asbestosis, sillinamite, talk Mika, kaolin, debu semen

Besi, barium, titanium, alumunium Berilium

Arsen, kobal, nikel hematite, uranium, khrom,

(Sumber : Suma‟mur.P.K 2009)

Partikel debu yang terdapat di lingkungan kerja lokasi penelitian sebagian besar bersumber dari akitivitas pengepressan barang-barang bekas yang terbuat


(30)

dari besi dan alumunium yang sudah korosif (berkarat). Debu di lingkungan kerja lokasi penelitian sebagian besar debu anorganik golongan metal yang bersifat inert. Debu inert merupakan debu kerja nonfibrogenik, dimana debu ini yang tidak menimbulkan reaksi jaringan paru akibat inhalasi di tempat kerja, contohnya adalah ferrioksida, stanum oksida, alumunium oksida, barium sulfat, titanium dioksida (Harrianto, 2010).

2.1.5. Pengukuran Kadar Debu di Udara

Pengukuran kadar debu di udara bertujuan untuk mengetahui apakah kadar debu pada suatu lingkungan kerja berada konsentrasinya sesuai dengan kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi pekerja. Dengan kata lain, apakah kadar debu tersebut berada di bawah atau di atas nilai ambang batas (NAB) debu udara. Hal ini penting dilaksanakan mengingat bahwa hasil pengukuran ini dapat dijadikan pedoman pihak pengusaha dalam membuat kebijakan yang tepat untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat bagi pekerja, sekaligus menekan angka prevalensi penyakit akibat kerja.

Pengambilan/pengukuran kadar debu di udara biasanya dilakukan dengan metode gravimetri, yaitu dengan cara menghisap dan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui saringan serat gelas/kertas saring. Alat-alat yang biasa digunakan untuk pengambilan sampel debu total (TSP) di udara seperti:

1. High Volume Air Sampler (HVAS)

Alat ini menghisap udara ambien dengan pompa berkecepatan 1,1 - 1,7 m³/menit, partikel debu berdiameter 0,1-10 mikron akan masuk bersama aliran


(31)

udara melewati saringan dan terkumpul pada permukaan serat gelas. Alat ini dapat digunakan untuk pengambilan contoh udara selama 24 jam, dan bila kandungan partikel debu sangat tinggi maka waktu pengukuran dapat dikurangi menjadi 6 - 8 jam.

2. Low Volume Air Sampler (LVAS)

Alat ini dapat menangkap debu dengan ukuran sesuai yang kita inginkan dengan cara mengatur flow rate 20 liter/menit dapat menangkap partikel berukuran 10 mikron. Dengan mengetahui berat kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran maka kadar debu dapat dihitung.

3. Low Volume Dust Sampler (LVDS)

Alat ini mempunyai prinsip kerja dan metode yang sama dengan alat low volume air sampler.

4. Personal Dust Sampler (PDS)

Alat ini biasa digunakan untuk menentukan Respiral Dust (RD) di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas. Untuk flow rate 2 liter/menit dapat menangkap debu yang berukuran < 10 mikron. Alat ini biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasang pada pinggang pekerja karena ukurannya yang sangat kecil.

2.1.6. Nilai Ambang Batas (NAB) Kadar Debu

Nilai ambang batas (NAB) adalah standard faktor-faktor lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Permenakertrans


(32)

RI No.13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja). Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktik higiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan.

Kadar debu yang melampaui ambang batas yang ditentukan dapat mengurangi penglihatan, menyebabkan endapan tidak menyenangkan pada mata ,hidung,dan telinga dan dapat juga mengakibat kerusakan pada kulit. Nilai ambang batas kadar debu di udara berdasarkan Permenakertrans RI Nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Bahan Fisika dan Kimia di Tempat Kerja, bahwa kadar debu di udara tidak boleh melebihi 3,0 mg/m3.

2.1.7. Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru

Adapun mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru dapat terjadi pada saat menarik nafas, dimana udara yang mengandung debu masuk kedalam paru-paru. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengan jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 dan 3 mikron akan ditempatkan langsung dipermukaan alveoli paru. Partikel-partikel yang berukuran 0,1 mikron tidak begitu mudah hinggap pada permukaan alveoli, oleh karena partikel dengan ukuran yang demikian tidak mengendap di permukaan. Debu yang yang partikel-partikelnya berukuran kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak mengendap di permukaan alveoli atau selaput lendir, oleh karena gerakan brown yang menyebabkan debu demikian bergerak ke luar


(33)

Beberapa mekanisme tertimbunnya debu dalam paru menurut Suma‟mur

(2009) antara lain : a. Inertia

Inertia terjadi pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernafasan yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang yang bermassa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus dan akhirnya

menumbuk selaput lendir dan mengendap disana. b. Sendimentasi

Sendimentasi merupakan penimbunan debu yang terjadi di bronkhi dan bronkhioli, sebab di tempat itu kecepatan udara sangat kurang kira-kira 1 cm/detik sehingga gaya tarik dapat bekerja terhadap partikel-partikel debu dan mengendapkannya.

c. Gerakan Brown

Gerak Brown merupakan penimbunan bagi partikel – partikel yang berukuran sekitar atau kurang dari 0,1 mikron. Partikel-partikel yang kecil ini digerakkan oleh gerakan Brown sehingga ada kemungkinan membentur permukaan alveoli dan hinggap di sana.


(34)

2.2. Paru – Paru 2.2.1. Anatomi Paru

Paru-paru adalah dua organ yang terbentuk seperti bunga karang yang sangat lunak, elastis dan berada dalam rongga torak, sifatnya ringan dan terapung di air, yang terletak di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah besar. Pembagian paru ada dua , yaitu :

1. Paru-paru kiri:

Pada paru-paru kiri terdapat satu fisura yaitu fisura obliges. Fisura ini membagi paru-paru kiri atas menjadi dua lobus, yaitu :

a. Lobus superior, bagian yang terletak di atas dan sebagian di depan fisura. b. Lobus inferior, bagian yang terletak di belakang dan di bawah fisura. 2. Paru-Paru Kanan:

Pada paru-paru kanan terdapat dua fisura, yaitu :

1. Fisura oblique (interlobularis primer) : mulai dari daerah atas dan kebelakang sampai ke hilus setinggi vertebra torakaliske-4 terus kebawah dan kedepan searah dengan iga ke-6 sampai linie aksilaris media ke ruang interkostal ke-6 memotong margo inferior setinggi artikulasi iga ke-6 dan kembali ke hilus.

2. Fisura transversal (interlobularis sekunder) : mulai dari fisura oblique pada aksilaris media berjalan horizontal memotong margo anterior pada artikulasio kosta kondralis keenam terus ke hilus. Fisura oblique memisahkan lobus inferior dari lobus medius dan lobus posterior. Fisura horizontal memisahkan lobus medius dari lobus superior.


(35)

Kedua fisura ini membagi paru-paru kanan menjadi tiga lobus yaitu : lobius atas, lobus tengah dan lobus bawah, dimana tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segmen (Syaifuddin, 1997). Paru terletak pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada atau kavum media stinum. Pada bagian tengah itu terdampat tumpuk paru/hilus. Pada media stinum depan terletak jantung. Paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Pleura Viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru.

2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum pleura) (Syaifuddin, 1997). Dalam paru terdapat alveoli yang berfungsi dalam pertukaran gas O2 dengan CO2 dalam darah (Tambayong, 2001).


(36)

Gambar 2.1 Anatomi paru

2.2.2. Fisiologi Paru

Raharjoe, dkk (1994) menyatakan bahwa salah satu fungsi utama paru adalah sebagai alat pernafasan yaitu melakukan pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari alveolus keluar tubuh (ekspirasi). Pernafasan dapat berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2 dari

sel kembali ke atmosfer. Proses ini menurut Guyton (1981) dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu:


(37)

a. Pertukaran udara paru

Pertukaran udara paru merupakan proses masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk menghasilkan

darah.

b. Difusi O2dan CO2 antara alveoli dan darah.

c. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh dari dan

menuju ke sel-sel.

d. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Menurut Raharjoe dkk (1994) dari aspek fisiologi, ada 2 (dua) macam pernapasan yaitu:

1. Pernapasan luar (eksternal respiration)

Pernafasan luar adalah proses pertukaran udara yang berlangsung di paru. 2. Pernapasan dalam (internal respiration)

Pernafasan dalam adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel. Ditinjau dari aspek klinik pernapasan adalah pernapasan luar. Untuk melakukan tugas pertukaran disusun oleh beberapa komponen penting antara lain:

a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot, dan saraf perifer.


(38)

c. Beberapa respirator yang berada di pembuluh arteri utama.

Sebagai organ pernafasan, dalam melakukan tugasnya, paru dibantu oleh system kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain menyuplai darah bagi paru (perfusi), juga dipakai sebagai media transportasi O2

dan CO2, sistem saraf pusat berperan sebagai pengendali irama dan pola

pernapasan.

2.2.3. Volume dan Kapasitas Fungsi paru

Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dankapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi ventilisator paru.

1. Volume Paru

Selama pernapasan berlangsung, volume selalu berubah-ubah dimana mengembang sewaktu inspirasi dan mengempis sewaktu ekspirasi. Dalam keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung hampir tanpa disadari. Beberapa parameter yang menggambarkan volume paru adalah :

a. Vaolume Tidal (Tidal Volume = TV)

Volume tidal adalah volume udara masuk dan keluar pada pernapasan. Besarnya TV orang dewasa sebanyak 500 ml.


(39)

b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV)

Volume cadangan inspirasi adalah volume udara yang masih dapat dihirup kedalam paru sesudah inspirasi biasa, besarnya IRV pada orang dewasa adalah 3100 ml.

c. Volume Cadangan Ekspirasi (Ekspiratory Reserve Volume = ERV)

Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa, besarnya ERV pada orang dewasa adalah 1200 ml.

d. Volume Residu (Residual Volume = RV)

Volume residu adalah udara yang masih tersisa didalam paru sesudah ekspirasi maksimal. TV, IRV dan ERV dapat diukur dengan spirometer, sedangkan RV = TLC-VC (Mukono, 1997).

2. Kapasitas Fungsi Paru

Kapasitas fungsi paru adalah merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih. Yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi paru-paru adalah: a. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity = IC)

Kapasitas inspirasi adalah volume udara yang masuk paru setelah inspirasi maksimal atau sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal (IC = IRV + TV).

b. Kapasitas Vital (Vital Capacity = VC)

Kapasitas vital adalah volume udara yang dikeluarkan melalui ekspirasi maksimal setelah sebelumnya melakukan inspirasi maksimal. Kapasitas vital besarnya sama dengan volume inspirasi cadangan ditambah volume


(40)

tidal (VC = IRV + ERV + TV). Ada 2 macam Vital Capacity berdasarkan cara pengukurannya, yaitu:

1. Vital Capacity (VC), adalah volume ekspirasi setelah individu melakukan inspirasi maksimal dimana individu tidak perlu melakukan pernapasan dengan kekuatan penuh

2. Forced Vital Capacity (FVC), adalah volume ekspirasi maksimal (secara paksa) setelah individu melakukan inspirasi maksimal. Kapasitas Paru Total (Total Lung Capacity = TLC).

c. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capacity = FRC) Kapasitas residu fungsional adalah volume ekspirasi cadangan ditambah volume sisa (FRC = ERV + RV) (Amin, 2000).

2.2.4. Pemeriksaan Fungsi Paru

Pemeriksaan fungsi paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan spirometer dengan alasan spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah, ringan praktis, bisa dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup sensitif, akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi handal (Yunus, 2006)

Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui semua volume paru kecuali volume residu, semua kapasitas paru kecuali kapasitas paru yang mengandung komponen volume residu. Interpretasi dari hasil spirometri biasanya langsung dapat dibaca dari print out setelah hasil yang didapat dibandingkan dengan nilai prediksi sesuai dengan tinggi badan, umur, berat badan, jenis kelamin,


(41)

dan ras yang datanya telah terlebih dahulu dimasukkan kedalam spirometer sebelum pemeriksaan dimulai.

Tabel 2.2 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru

RESTRIKTIF FVC/nilai prediksi (%)

PENGGOLONGAN OBSTRUKTIF

FEV1/FVC (%)

≥ 80 NORMAL ≥ 75

60-79 RINGAN 60-74

30-59 SEDANG 30-59

< 30 BERAT < 30

Sumber : Pusat Hiperkes dan KK, Depnakertrans (2005)

Interpretasi hasil pemeriksaan spirometri dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Restriktif (sindrom pembatasan) Restriktif (sindrom pembatasan) adalah keterbatasan ekspansi paru yang ditandai dengan penurunan kapasitas vital (VC) dan volume istirahat yang kecil, tetapi resistensi jalan nafas meningkat (West, 2010). Parameter yang dilihat adalah kapasitas vital (VC) dan kapasitas vital paksa (FVC). Pada gangguan restriktif baik hasil pengukuran FEV1 maupun FVC sama-sama berkurang sedikit sehingga rasio

FEV1/FVC hasilnya dapat kembali normal atau meningkat dan biasanya kapasitas

vital paksa (FVC) kurang dari 80% nilai prediksi (Harrianto, 2010). 2. Obstruktif (sindrom penyumbatan)

Obstruktif adalah setiap perlambatan atau gangguan kecepatan aliran udara yang masuk dan keluar dari dalam paru-paru (Yunus, 1992). Sindrom penyumbatan ini terjadi apabila kapasitas ventilasi menurun akibat menyempitnya


(42)

saluran udara pernafasan. Biasanya ditandai dengan terjadi penurunan FEV1 yang

lebih besar dibandingkan dengan FVC sehingga rasio FEV1/FVC menurun atau

kurang dari 75% dan nilai FEV1 kurang dari 80% nilai prediksi (Harrianto, 2010 ). Forced Expiratory Volume in 1 Secon (FEV1) adalah besarnya volume

udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila FEV/FVC kurang dari 75% berarti tidak normal (Alsagaf dan Mangunegoro, 2004). Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal) sehingga rasio FEV/FVC kurang 80%.

3. Kombinasi obstruktif dan restriktif (Mixed)

Kombinasi obstruktif dan restriktif adalah suatu gangguan fungsi paru yang terjadi juga karena proses patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital dan aliran, yang juga melibatkan saluran napas. Rendahnya FEVl/FVC (%)

merupakan suatu indikasi obstruktif saluran napas dan kecilnya volume paru merupakan suatu restriktif (Rahmatullah, 2006). Partikel debu yang terdapat di lingkungan kerja lokasi penelitian bersumber dari debu anorganik golongan metal yang bersifat inert yaitu debu besi dan alumunium yang dapat menimbulkan gangguan paru akibat menginhalasi debu tersebut.


(43)

Debu inert merupakan debu kerja golongan nonfibrogenik. Inhalasi debu nonfibrogenik hanya akan mengakibatkan bertambahnya jaringan ikat paru dalam jumlah yang sangat sedikit, contohnya adalah debu besi, seng, kapur dan timah. Pada akumulasi debu inert dalam paru, alveoli tetap utuh, tidak terbentuk jaringan ikat dan umumnya bersifat sementara (Harrianto, 2010). Inhalasi debu anorganik di lingkungan kerja cenderung menyebabkan terjadinya pneumokoniosis pada pekerja, dimana pada umumnya pneumokoniosis menimbulkan gangguan restriktif pada paru (Rahmatullah, 2009).

2.2.5. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Keadaan Fungsi Paru di Tempat Kerja

Fungsi paru seseorang dapat mengalami penurunan secara bertahap dan bersifat kronis sehingga frekuensi lama seseorang bekerja pada lingkungan yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat dalam diri pekerja antara lain:

1. Umur

Usia berhubungan dengan proses penuaan atau bertambahnya umur. Semakin tua usia seseorang semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru (Suyono, 2001). Fungsi pernafasan dan sirkulasi darah akan meningkat pada masa anak-anak dan mencapai maksimal pada usia 20-30 tahun , kemudian akan menurun kembali sesuai dengan pertambahan umur (Pollock ML, 1971). Kekuatan otot maksimal pada usia 20-40 tahun dan akan berkurang sebanyak 20% setelah usia 40 tahun (Pusparini, 2003). Dalam keadaan normal usia mempengaruhi frekuensi pernafasan dan kapasitas paru. Frekuensi pernafasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada


(44)

anak-anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali per menit. Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya.

Mulai pada fase anak sampai umur kira-kira 22-24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur dan nilai fungsi paru mencapai maksimal pada umur 22-24 tahun. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap kemudian menurun secara perlahan-lahan, biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru (KVP = Kapasitas Vital Paksa dan VEP1 = Volume ekspirasi paksa

satu detik pertama) menagalami penurunan rerata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun umur individu (Rahmatullah, 2009).

2. Merokok

Merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang – ulang dalam menghisap rokok mulai dari satu batang atau lebih dalam satu hari (Bustan, 2000). Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernafasan dan jaringan paru. Merokok juga dapat lebih merendahkan kapasitas vital paru dibandingkan dengan beberapa bahaya kesehatan kerja (Suyono, 2001). Penurunan kapasitas paru (VC) merupakan indikator yang dapat mengakibatkan gangguan restriktif pada paru pekerja (West, 2010). Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal paru. Menurut Rahmatullah (2009) yang menyatakan bahwa besarnya penurunan fungsi paru (FEV1) berhubungan langsung dengan kebiasaan merokok (konsumsi


(45)

Pada orang dengan fungsi paru normal dan tidak merokok mengalami penurunan FEV1 20 ml pertahun, sedangkan pada orang yang merokok (perokok)

akan mengalami penurunan FEV1 lebih dari 50 ml pertahunnya

(Rahmatullah, 2009). Penurunan ekspirasi paksa pertahun 28,7 ml untuk nonperokok, 38,4 ml untuk bekas perokok dan 41,7 ml untuk perokok aktif. Pengaruh asap dapat lebih besar daripada pengaruh debu yang hanya sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2003). Rata-rata perokok ringan dalam sehari 1-14 batang, bagi perokok sedang 15-24 batang/hari, dan perokok berat > 25 batang/hari (Yusuf dan Giriputro, 1987).

3. Masa kerja

Masa kerja ialah lamanya seorang pekerja bekerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan perusahaan dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung. Dalam penelitian Setyani (2005) dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang

ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Suma‟mur, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Uninta (1998) di Bandung, mengatakan bahwa masa kerja di suatu perusahaan yang mengandung banyak debu mempunyai risiko tinggi untuk timbulnya pneumokoniosis. Pada pekerja yang berada dilingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya


(46)

obstruksi pada pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun (Hyatt dkk, 2006).

4. Pemakaian Alat Pelindung Diri (Masker)

Alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri dari tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja untuk mencegah dan mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan yang terjadi. Pemakaian alat pelindung diri (masker) oleh pekerja di tempat kerja yang udaranya banyak mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran pernapasan (Pusparini, 2003). Masker adalah salah satu bagian dari alat pelindung diri (APD) yang berfungsi sebagai pelindung hidung dan mulut yang merupakan alat pelindung pernafasan dari pernafasan (inhalasi) debu, gas, uap, mist (kabut), fumes, asap dan fog. Dengan mengenakan alat pelindung diri (masker) diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan masker, seorang pekerja di industri akan terhindar dari kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan (Suma‟mur, 2009).

Penggunaan alat pelindung diri merupakan upaya terakhir dalam usaha perlindungan bagi pekerja. Oleh karena itu, alat pelindung diri harus memenuhi persyaratan antara lain : enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya yang ada (Suma‟mur, 2009). Jenis Alat Pelindung Diri (masker) antara lain sebagai berikut:


(47)

a. Masker penyaring debu

Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari asap pembakaran, abu hasil pembakaran dan debu.

b. Masker berhidung

Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron.

c. Masker bertabung

Masker ini punya filter yang lebih baik daripada masker berhidung. Masker ini tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas tertentu.

5. Riwayat penyakit paru

Faktor lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru adalah penyakit paru (Raharjoe, 1994). Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, asma broonchiale dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Beberapa penyakit infeksi paru akan menimbulkan kerusakan pada jaringan paru dan membentuk jaringan fibrosis pada alveoli. Hal ini menimbulkan hambatan dalam proses penyerapan udara pernafasan dalam alveoli tersebut, sehingga jumlah udara yang terserap akan berkurang.


(48)

2.3. Usaha Butut 2.3.1. Definisi Butut

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Butut ialah barang-barang yang sudah rusak/barang-barang rongsokan/barang yang sudah tua yang tidak dapat lagi dipergunakan sesuai dengan fungsinya.

2.3.2. Jenis - Jenis Butut

Jenis-jenis butut pada umumnya di kelompokkan kedalam 4 kelompok secara garis besar, yaitu : Logam, Plastik, Kertas, dan Kaleng. Usaha penampungan tidak semua menampung “butut” hal ini karena pengusaha lebih memfokuskan kepada barang-barang berupa kaleng, seng yang risiko kehilangannya kecil. Meskipun pengusaha memfokuskan pada barang-barang yang risiko kehilangannya kecil, namun pengusaha tidak menerima butut dari plastik seperti : kemasan air mineral cup, timba,baskom dan lain-lain hal ini dikarenakan pengusaha lebih mengspesifikkan pada jenis barang tertentu.

Adapun jenis-jenis “butut” yang diterima oleh Usaha Penampungan

“Butut” ini adalah golongan kertas dan Kaleng. Golongan kertas yang diterima

ialah : kardus, buku-buku/majalah, koran, kertas HVS, duplek, sarang telur dan lain-lain yang terbuat dari kertas. Golongan Kaleng : kaleng-kaleng minuman (semua jenis kaleng), drum minyak, kompor gas rusak, sepeda rusak, kawat duri, seng dan lain-lain.


(49)

2.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

umumu

Gambar 2.2 Skema kerangka konsep Keterangan :

Variabel Bebas : Kadar debu yang terdapat di lingkungan kerja proses press- packing (≥ 3 mg/m3atau ≤ 3 mg/m3).

Variabel Terikat : Fungsi Paru paru pekerja proses press-packing (normal atau tidak normal).

Faktor Pengganggu : Umur, kebiasaan merokok, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri (masker) dan riwayat penyakit paru.

Kadar Debu 1) > 3 mg/m3 2) < 3 mg/m3

Fungsi Paru 1) Normal 2) Tidak Normal

Faktor Pekerja :

1) Umur

2) Kebiasaan Merokok 3) Masa kerja

4) Pemakaian APD (Masker)

5) Riwayat penyakit paru


(50)

2.5. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara kadar debu dengan fungsi paru pekerja proses press- packing.

2. Ada hubungan antara umur dengan fungsi paru pekerja proses press- packing. 3. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru pekerja proses

press- packing.

4. Ada hubungan antara masa kerja dengan fungsi paru pekerja proses press- packing.

5. Ada hubungan antara pemakaian alat pelindung diri (masker) dengan fungsi paru pekerja proses press- packing.

6. Ada hubungan antara riwayat penyakit paru dengan fungsi paru pekerja proses


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik yaitu suatu penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subyek penelitian atau noneksperimental yang bertujuan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi dengan desain cross sectional, dimana variabel bebas dan variabel terikat yang terjadi pada obyek penelitian diukur dan dikumpulkan pada waktu yang bersamaan. Pendekatan ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain(Notoatmodjo, 2010).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Usaha Penampungan “Butut” Jalan KL. Yosudarso Km. 7,9 Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Labuhan, pada bulan Juli - Oktober 2013.

3.3. Populasi Dan Sampel 3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang bekerja di proses press-packing usaha penampungan “butut” yang berjumlah 20 orang, namun pada saat dilakukan pemeriksaan fungsi paru terdapat 1 orang pekerja fungsi parunya tidak dapat diukur karena kurangnya suplay arus listrik ke Spirometer BTL-08 Pro,


(52)

hal ini diakibatkan adanya penggunaan kipas angin di ruangan tempat pemeriksaan. Oleh karena itu populasi dalam penelitian ini menjadi 19 orang.

3.3.2. Sampel Penelitian

Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi (Total Sampling) yaitu sebanyak 19 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan cara :

1. Pengukuran kadar debu lingkungan kerja proses press-packing dengan

menggunakan Low Volume Dust Sampler (LVDS), sedangkan

pengukuran fungsi paru pekerja diukur dengan menggunakan Spirometer

BTL 08 Spiro Pro.

2. Wawancara dengan menggunakan kuesioner tentang identitas pekerja meliputi : umur, kebiasaan merokok, masa kerja, pemakaiaan APD (masker), riwayat penyakit paru dengan merujuk pada kuesioner penelitian Antonius Sardjanto (Program Studi Pascasarjana Kesehatan Kerja FKM UI) tahun 2012

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh peneliti bersumber dari data yang dimilki oleh pengusaha penampungan butut.


(53)

3.4.3. Definisi Operasional

1. Kadar debu

Konsentrasi debu dalam (mg) tiap (m3) udara yang berada di tempat kerja proses press-packing yang diukur dengan Low Volume Dust Sampler

(LVDS) oleh petugas dari Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Balai K3) Medan yang dikategorikan menjadi :

1. Konsentrasi debu diatas NAB (> 3 mg/m3) 2. Konsentrasi debu dibawah NAB (< 3mg/m3) Skala : Nominal

Pengukuran kadar debu di tempat kerja proses press-packing dilaksanakan pada saat pekerja sedang melakukan kegiatan/aktivitas proses press-packing di empat titik pengkuran yang berbeda dengan lama pengukuran 30 menit tiap satu titik pengukuran.

2. Fungsi Paru

Pemeriksaan fungsi paru pekerja proses press-packing dengan menggunakan spirometer BTL - 08 Spiro Pro oleh petugas analis kesehatan dari Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Balai K3) Medan yang dikategorikan menjadi : 1. Normal

2. Tidak normal Skala : Nominal

Pemeriksaan fungsi paru pekerja proses press-packing dilakukan pada saat pekerja sedang bekerja yaitu pukul 10.30-12.00 wib dan dilanjutkan kembali


(54)

setelah jam istirahat yaitu pukul 13.30 wib sampai dengan selesai di ruangan

operator penimbangan. 3. Umur

Usia pekerja proses press-packing sampai pada saat penelitian ini berlangsung yang ditanyakan pada saat mengajukan kuesioner yang dikategorikan berdasarkan uji median ( lampiran 1) menjadi :

1. ≤31 tahun 2. > 31 tahun Skala : Nominal

4. Kebiasaan merokok

Aktivitas menghisap rokok yang dilakukan oleh pekerja yang diukur pada saat wawancara langsung kepada pekerja proses press-packing

dikategorikan menjadi : 1. Merokok (Ya)

2. Tidak merokok (Tidak) Skala : Nominal

5. Masa kerja

Lamanya pekerja bekerja di tempat kerja (tahun) dihitung mulai pekerja masuk bekerja di proses press-packing sampai dengan penelitian ini berlangsung yang diukur dengan mewawancarai langsung kepada pekerja proses press-packing yang dikategorikan berdasarkan uji median (lampiran 1) menjadi : 1. ≤7 tahun


(55)

Skala : Nominal

6. Pemakaian alat pelindung diri (masker)

Penggunaan alat pelindung diri oleh pekerja pada saat melakukan pekerjaan selama jam kerja yang diukur dengan cara wawancara langsung kepada pekerja yang dikategorikan menjadi :

1. Memakai APD (Ya)

2. Tidak memakai APD (Tidak) Skala : Nominal

7. Riwayat penyakit paru

Keadaan dimana pekerja pernah / tidak pernah mengalami penyakit saluran pernapasan akut, kronis yang diukur dengan wawancara langsung pekerja proses press-packing, dikategorikan :

1. Pernah sakit (Ada)

2. Tidak pernah sakit (Tidak ada) Skala : Nominal

3.6. Aspek Pengukuran 3.6.1. Aspek Pengukuran Debu

Untuk mengetahui kadar debu di tempat kerja proses press-packing diukur dengan menggunakan Low Volume Dust Sampler (LVDS) apakah > 3 mg/m3 atau < 3 mg/m3.


(56)

3.6.1.1. Prinsip

Alat diletakkan pada titik pengukuran setinggi zona pernafasan, pengambilan contoh dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (sesuai kebutuhan dan tujuan pengukuran) dan kadar debu total yang diukur ditentukan secara gravimetri.

3.6.1.2. Peralatan

a) Low Volume Dust Sampler (LVDS) dilengkapi dengan pompa pengisap udara dengan kapasitas 5 liter/menit – 15 liter/menit dan selang silikon atau selang teflon.

b) Timbangan analitik dengan sensitivitas 0,01 mg c) Pinset

d) Desikator, suhu (20 + 1)0C dan kelembaban udara (50 + 5)% e) Flowmeter

f) Tripod g) Termometer h) Higrometer

3.6.1.3. Bahan

Filter hidrofobik (misal: PVC, fiberglass) dengan ukuran pori 0,5 mm.

3.6.1.4. Prosedur kerja 3.6.1.4.1. Persiapan

1. Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24 jam agar mendapatkan kondisi stabil.


(57)

2. Filter kosong pada tadi kemudian ditimbang sampai diperoleh berat konstan, minimal tiga kali penimbangan, sehingga diketahui berat filter sebelum pengambilan contoh, catat berat filter blanko dan filter contoh masing- masing dengan berat B1 (mg) dan W1 (mg). Masing-masing filter

tersebut ditaruh di dalam holder setelah diberi nomor (kode).

3. Filter contoh dimasukkan ke dalam Low Volume Dust Sampler holder dengan menggunakan pinset dan tutup bagian atas holder.

4. Pompa pengisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran udara 10 liter/menit dengan menggunakan flowmeter (flowmeter harus dikalibrasi oleh laboratorium kalibrasi yang terakreditasi).

3.6.1.4.4. Pengambilan contoh

1. LVDS dihubungkan dengan pompa pengisap udara dengan menggunakan selang silikon atau teflon.

2. LVDS diletakkan pada titik pengukuran (di dekat tenaga kerja terpapar debu) dengan menggunakan tripod kira-kira setinggi zona pernafasan tenaga kerja.

3. Pompa pengisap udara dihidupkan dan lakukan pengambilan contoh dengan kecepatan laju aliran udara (flowrate) 10 liter/menit.

4. Lama pengambilan contoh dapat dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung pada kebutuhan, tujuan dan kondisi di lokasi pengukuran).

5. Pengambilan contoh dilakukan minimal 3 kali dalam 8 jam kerja yaitu pada awal, pertengahan dan akhir shift kerja.


(58)

6. Setelah selesai pengambilan contoh, debu pada bagian luar holder

dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.

7. Filter dipindahkan dengan menggunakan pinset ke kaset filter dan dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam.

3.6.1.4.3. Penimbangan

1. Filter blanko sebagai pembanding dan filter contoh ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik yang sama sehingga diperoleh berat filter blanko dan filter contoh masing-masing B2 (mg) dan W2 (mg).

2. Catat hasil penimbangan berat filter blanko dan filter contoh sebelum pengukuran dan sesudah pengukuran pada formulir penimbangan berat filter.

3.6.1.4.4. Perhitungan

Perhitungan kadar debu total di udara dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Atau

Atau

(W2 - W1) - (B2 - B1)

C = --- (mg/l) V

(W2 - W1) - (B2 - B1)

C = --- (103mg/m3) V


(59)

Dengan :

C : Kadar debu total (mg/l) atau (mg/ m3)

W2 : Berat filter contoh setelah pengambilan contoh (mg)

W1 : Berat filter contoh sebelum pengambilan contoh (mg)

B2 : Berat filter blanko setelah pengambilan contoh (mg)

B1 : Berat filter blanko sebelum pengambilan contoh (mg)

V : Volume udara pada waktu pengambilan contoh (l)

3.6.2. Aspek Pengukuran Fungsi Paru

Untuk mengetahui keadaan fungsi paru pekerja maka diperiksa dengan menggunakan spirometer untuk mengetahui apakah fungsi paru pekerja proses

press-packing dalam keadaan normal atau tidak (restriktif , obstruktif atau kombinasinya) yang dilihat dari persentase FVC prediksi dan persentase FEV1/FVC. Fungsi paru dikatakan normal bila kondisi faal paru dalam keadaan

sehat/tidak mengalami gangguan yang dapat dilihat dari FVC ≥ 80% dan FEV1 ≥

75%. Fungsi paru dikatakan tidak normal jika fungsi paru mengalami gangguan meliputi :

a. Restriktif

- Restriktif Ringan : Nilai FVC (60-79%) nilai prediksi. - Restriktif Sedang : Nilai FVC (30-59%) nilai prediksi. - Restriktif Berat : Nilai FVC < 30% nilai prediksi. b. Obstruktif

- Obstruktif Ringan : Nilai FEV1/ FVC(60-74%)


(60)

- Obstruktif Berat : Nilai FEV1/ FVC< 30%

c. Kombinasi Restriktif dan Obstruktif

Nilai FVC < 80% dan nilai FEV1 < 75%.

Adapun prosedur pengukuran kapasitas fungsi paru dengan spirometer : 1. Alat dihidupkan dengan menekan switch power pada posisi on. 2. Tekan tombol ID

3. Masukkan data pekerja yang diperiksa meliputi : nama, tanggal pemeriksaaan, umur, tinggi badan, jenis kelamin.

4. Pekerja yang akan diperiksa diminta untuk menggit mouth piece yang dihubungkan dengan pipa dari spirometer sedangkan hidung dijepit supaya pernafasan hanya terjadi dari mulut saja.

5. Pekerja yang diperiksa di instruksikan menarik dan menghembuskan nafas sekuat-kuatnya sebanyak 3 kali, bila timbul bunyi tekan tombol ENT dan pekerja yang diperiksa diinstruksikan menarik nafas menarik nafas dan menghembuskan sekuat-kuatnya dalam waktu yang cepat (sampai posisi membungkuk).

6. Tekan tombol stop untuk mengakhiri pemeriksaan.

7. Tekan tombol VC dan FVC dan catat data meliputi : ID, data dan grafik. hasil pemeriksaan spirometer.


(61)

Gambar 3.1 Spirometri BTL 08 Spiro Pro

3.6.3. Wawancara dengan kuesioner

Untuk mengetahui faktor – faktor yang memengaruhi fungsi paru pekerja, seperti : umur, kebiasaan merokok, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri (masker), dan riwayat penyakit paru pekerja yang diukur dengan menggunakan kuesioner yang dijawab oleh responden.

3.7. Teknik Analisis Data

Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan uji statistik dengan menggunakan SPSS versi 16.00 dengan interpretasi hasil sebagai berikut :

1. Jika p value ≤ 0,01 maka hasil uji dinyatakan sangat signifikan.

2. Jika p value > 0,01 tetapi ≤ 0,05 maka hasil uji dinyatakan signifikan.

3. Jika p value > 0,05 maka hasil uji dinyatakan tidak signifikan (Sugiyono, 2007).


(62)

3.7.1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan secara deskriptif untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel frekuensi (Hastono, 2001).

3.7.2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen (kadar debu) dengan variabel dependen (fungsi paru) dengan menggunakan uji chi square. Namun, setelah dilakukan analisis hubungan kadar debu dengan fungsi paru dengan uji chi square, ternyata kadar debu tidak dapat di uji secara statistik karena hasil pengukuran kadar debu di tempat penelitian masih dibawah Nilai Ambang Batas (kadar debu konstan), sehingga kadar debu tidak dapat di kategorikan menjadi dua kategori. Oleh karena itu hubungan kadar debu dengan fungsi paru tidak dapat di uji secara statistik dengan uji chi square, sedangkan faktor pengganggu/confounding (umur, merokok, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri /masker dan riwayat penyakit paru) dengan variabel dependen (fungsi paru) dapat dilakukan analisis dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan p = 0,05, (CI) 95 %.

3.7.3. Analisis Multivariat

Berdasarkan analisis bivariat kemudian dilihat variabel mana yang dapat masuk kedalam model multivariat sesuai dengan ketentuan nilai p (p value). Variabel yang memiliki nilai p < 0,25 dapat diikutkan dalam analisis multivariat. Analisis multivariat digunakan pada penelitian ini karena adanya faktor perancu (confounding factor) yang diperhitungkan banyak. Uji statistik yang digunakan


(63)

adalah uji regresi logistik berganda yang bertujuan untuk mengontrol faktor perancu sekaligus mengetahui variabel yang paling siginifikan berhubungan dengan variabel dependen (fungsi paru). Adapun metode uji regresi logistik berganda yang digunakan ialah Backward Stepwise, dimana keunggulan metode ini ialah variabel yang dimasukkan ke dalam model akan dikeluarkan secara otomatis (automatically) dari model multivariat berdasarkan kemaknaan statistik (nilai p) (Murti, 1997).


(64)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Perusahaan 4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Usaha Penampungan butut ini merupakan usaha sektor informal yang didirikan pada tahun 1998 yang bergerak di bidang press-packing butut/barang-barang bekas. Luas area usaha yang berkisar 5000 m2 ini terletak di Jalan Yosudarso Km 7,8 Medan Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Labuhan. Adapun batas-batas areal usaha ini adalah sebagai berikut :

1. Sebelah utara berbatasan dengan gudang distributor surya pro dan perumahan PLN

2. Sebelah selatan berbatasan dengan perumahan cipta rimba jaya 3. Sebelah barat berbatasan dengan rumah penduduk dan café 4. Sebelah timur berbatasan dengan gudang logistik PT. Musimas

Pada usaha penampungan butut ini terdapat beberapa proses kerja yaitu proses pensortiran, proses press-packing, proses penimbangan, proses bongkar muat dan proses pemugaran/maintenance mesin. Kapasitas barang yang masuk berubah-ubah sehingga pengusaha tidak dapat memastikan berapa ton barang-barang yang masuk, namun untuk kapasitas barang-barang bekas/butut yang dikirim ke luar (pabrik/perusahaan pengolahan) berkisar 200 ton. Jika kondisi barang yang masuk stabil maka kapasitas pengepakan/packing yang ditargetkan pengusaha ke ialah 2,5 ton perhari (15 ton perminggu) untuk pengpressan kaleng dan 6 ton perhari (36 ton perminggu) untuk pengepressan kardus/kertas/majalah/koran. Adapun barang-barang bekas/butut yang diterima di usaha penampungan butut ini adalah kardus, buku, kertas (HVS,koran), majalah, kertas mix (map, kertas semen, sarang telur, duplex, sampul, kertas manila, dan lain-lain).


(1)

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 6.967a 1 .008

Continuity

Correctionb 4.283 1 .038 Likelihood Ratio 8.466 1 .004

Fisher's Exact Test .018 .018

Linear-by-Linear

Association 6.600 1 .010 N of Valid Casesb 19

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.47. b. Computed only for a 2x2

table


(2)

Crosstab

Fungsi Paru Total Normal Tidak normal Riwayat penyakit paru Ada

Count 7 1 8

% within Riwayat

penyakit paru 87.5% 12.5 % 100.0% % within Fungsi Paru 46.7% 25.0% 42.1% % of Total 36.8% 5.3% 42.1%

Residual .7 -.7

Std. Residual .3 -.5 Tidak

ada

Count 8 3 11

% within Riwayat

penyakit paru 72.7% 27.3 % 100.0% % within Fungsi Paru 53.3% 75 % 57.9% % of Total 42.1% 15.8 % 57.9%

Residual -.7 .7

Std. Residual -.2 .4

Total Count 15 4 19

% within Riwayat

penyakit paru 78.9% 21.1% 100.0% % within Fungsi Paru 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 78.9% 21.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .608a 1 .435


(3)

Lampiran 3

Analisis Multivariat

Logistic Regression

Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step

1a

P.APD

1.621 1.659 .950 1 .038 6.403 .196 35.807 K.merokok .749 1.667 .200 1 .655 .473 .018 12.655 Constant

-2.681 4.528 .351 1 .554 .068 a. Variable(s) entered on step 1: P.APD,


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengukuran Kadar Debu Dan Keluhan Kesehatan Pekerja Kilang Batu Bata Di Desa Tanjung Mulia Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2005

0 30 93

Hubungan Kadar Debu Dan Karakteristik Pekerja Dengan Gangguan Paru Pekerja Pada Unit Produksi Tablet Industri Farmasi X Tahun 2002

0 22 89

Kadar Debu Total (TSP) dan Gejala ISPA Pada Pekerja Departemen Pemintalan di Industri Tekstil PT.Unitex Tbk Bogor

2 20 135

HUBUNGAN ANTARA KADAR DEBU KAPAS DENGAN PENURUNAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA BAGIAN WEAVING Hubungan Antara Kadar Debu Kapas Dengan Penurunan Fungsi Paru Pada Pekerja Bagian Weaving PT. Kusumahadi Santosa Karanganyar.

0 4 13

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KADAR DEBU KAPAS DENGAN Hubungan Antara Kadar Debu Kapas Dengan Penurunan Fungsi Paru Pada Pekerja Bagian Weaving PT. Kusumahadi Santosa Karanganyar.

0 2 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Kadar Debu Kapas Dengan Penurunan Fungsi Paru Pada Pekerja Bagian Weaving PT. Kusumahadi Santosa Karanganyar.

0 4 5

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Antara Kadar Debu Kapas Dengan Penurunan Fungsi Paru Pada Pekerja Bagian Weaving PT. Kusumahadi Santosa Karanganyar.

0 9 4

HUBUNGAN ANTARA LAMA PAPARAN KADAR DEBU KACA DENGAN PENURUNAN KAPASITAS FUNGSI PARU PADA Hubungan Antara Lama Paparan Kadar Debu Kaca Dengan Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Pada Tenaga Kerja Di Bagian Produksi Kaca CV. Family Glass Sukoharjo.

0 1 16

HUBUNGAN PAJANAN KADAR DEBU KAYU LINGKUNGAN DENGAN KAPASITAS FUNGSI PARU PADA KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI DI CV. VALASINDO SENTRA USAHA KABUPATEN KARANGANYAR.

0 0 15

Hubungan debu dengan fungsi paru pada pekerja pengecoran logam di pt. x ceper Klaten AWAL

0 1 11