Landasan Teori
2.3 Landasan Teori
Secara substansial, penelitian ini bertolak dari adanya permasalahan terkait belum jelasnya arah pengembangan potensi wisata layar. Karena itu, dalam konteks pemanfaatan peluang kehadiran wisatawan melalui kapal wisata, seharusnya pemangku kepentingan terkait sudah sejak awal memanfaatkan peluang itu. Antara lain melalui perencanaan pengembangan yang holistik dan Secara substansial, penelitian ini bertolak dari adanya permasalahan terkait belum jelasnya arah pengembangan potensi wisata layar. Karena itu, dalam konteks pemanfaatan peluang kehadiran wisatawan melalui kapal wisata, seharusnya pemangku kepentingan terkait sudah sejak awal memanfaatkan peluang itu. Antara lain melalui perencanaan pengembangan yang holistik dan
2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata (Tourism Area Life Cycle)
Salah satu konsep yang lazim dipakai untuk memahami pengembangan suatu destinasi pariwisata adalah konsep tentang siklus hidup pariwisata (tourism area life cycle) yang dibuat oleh Butler (1996). Dalam siklus hidup pariwisata terdapat tujuh tahapan. Pertama, tahap exploration: dicirikan oleh destinasi wisata yang baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun pemerintah. Jumlah pengunjung masih sedikit, wisatawan tertarik karena daerahnya belum tercemar, sepi. Lokasinya sulit dicapai karena keterbatasan sarana dan prasarana penunjang pariwisata.
Kedua, tahap involvement: ditandai oleh munculnya kontrol oleh masyarakat lokal. Sudah mulai timbul inisiatif dari masyarakat untuk menyediakan keperluan dasar wisatawan. Mulai dilakukan promosi khususnya promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) untuk mengunjungi destinasi tersebut.
Ketiga, tahap development: mulai dilakukan pengembangan terutama oleh masuknya investor dari luar daerah yang menyediakan sarana dan prasarana seperti hotel dan restoran. Perkembangan ini mulai berdampak pada lingkungan alam dan sosial budaya destinasi.
Keempat, tahap consolidation: ditandai dengan adanya intervensi pemerintah melalui regulasi dan kebijakan untuk mengelola beragam kepentingan pemangku kepentingan pariwisata dan pesatnya perkembangan yang terjadi.
Kelima, tahap stagnation: jumlah kunjungan wisasatawan ke destinasi mencapai tingkat kunjungan yang tinggi, namun pertumbuhan pariwisata secara keseluruhan kecil. Ditandai pula dengan destinai mulai ditinggalkan oleh wisatawan karena kejenuhan, tidak adanya atraksi baru, adanya masalah lingkungan alam, sosial, dan budaya. Akibatnya destinasi hanya berharap dari kunjungan ulang wisatawan.
Keenam, tahap decline: destinasi sudah mulai ditinggalkan oleh wisatawan karena mereka mengalihkan kunjungannya ke tempat lain yang lebih baru. Destinasi ini hanya dikunjungi pada akhir pekan atau dalam waktu sehari saja sehingga berakibat pada banyaknya fasilitas wisata yang berpindah tangan atau pemilik dan berubahnya fungsi fasilitas pariwisata untuk tujuan lain.
Ketujuh, tahap rejuvenation: ditandai dengan adanya upaya dari seluruh pemangku kepentingan untuk meremajakan kembali produk pariwisata, mencari saluran distribusi lain dan mencari pasar baru dengan tujuan untuk mereposisi produk wisata.
Dengan merujuk pada pentahapan yang dibuat Butler dan berdasarkan data hasil penelitian, maka akan dapat ditentukan posisi destinasi wisata layar Maurole pada siklus hidup sebuah destinasi. Namun, mengacu pada ciri-ciri itu dan berpijak pada data dan pengamatan awal, maka dapat diasumsikan bahwa destinasi wisata layar Maurole berada pada tahap involment. Masuknya kapal Dengan merujuk pada pentahapan yang dibuat Butler dan berdasarkan data hasil penelitian, maka akan dapat ditentukan posisi destinasi wisata layar Maurole pada siklus hidup sebuah destinasi. Namun, mengacu pada ciri-ciri itu dan berpijak pada data dan pengamatan awal, maka dapat diasumsikan bahwa destinasi wisata layar Maurole berada pada tahap involment. Masuknya kapal
2.3.2 Teori Partisipasi
Menurut Tosun (dalam Madiun, 2008: 36) partisipasi dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan itu mencakup partisipasi karena paksaan (manipulative participation), dengan kekuasaan dan ancaman (coercive participation), karena adanya dorongan (induced participation), partisipasi yang bersifat pasif (passive participation), maupun partisipasi secara spontan (spontaneous participation). Terkait dengan model partisipasi itu, Tosun selanjutnya mengembangkan tipologi partisipasi masyarakat dalam pariwisata. Ia menklasifikasi tipe partisipasi masyarakat ke dalam tiga bagian utama yaitu partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous participation), partisipasi masyarakat karena adanya kekerasan (coercive participation), dan partisipasi masyarakat karena masyarakat merasa terdorong untuk melakukannnya (induced participation). Pada tipe terakhir masyarakat lokal mempunyai kesempatan untuk mendengar dan didengarkan suaranya. Mereka memiliki suara dalam proses pembangunan pariwisata, tetapi mereka tidak berdaya terhadap kekuatan-kekuatan lain yang mempunyai kepentingan seperti kekuatan yang berasal dari pemerintah, perusahaan-perusahaan besar, tour operator internasional serta kekuatan-kekuatan besar lainnya (Madiun, 2009).
Tosun dan Timothy (2003:4-9) mengajukan tujuh proposisi mengenai partisipasi masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan elemen vital dalam perencanaan dan strategi pariwisata. Kedua, partisipasi masyarakat berkontribusi bagi pembangunan pariwisata berkelanjutan dalam berbagai cara. Ketiga, partisipasi masyarakat meningkatkan kepuasan wisatawan. Keempat, partisipasi masyarakat membantu para profesional di bidang pariwisata dalam mendesain perencanaan pariwisata yang lebih baik. Kelima, partisipasi publik berkontribusi dalam distribusi pembiayaan dan keuntungan yang adil di antara anggota masyarakat. Keenam, partisipasi masyarakat dapat membantu memuaskan keinginan masyarakat yang teridentifikasi. Ketujuh, partisipasi masyarakat memperkuat proses demokratisasi di destinasi pariwisata.
Hoofsteede (dalam Madiun, 2009) menyebutkan ada tiga kategori partisipasi. Pertama, partisipasi inisiasi yaitu partisipasi yang diinisiasi oleh pemimpin desa, baik formal maupun informal ataupun dari anggota masyarakat tentang suatu proyek yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kedua, partisipasi legitimasi yaitu partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan mengenai projek tersebut. Ketiga, partisipasi eksekusi yaitu partisipasi pada tingkat pelaksanaannya. Partisipasi inisiasi mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan partisipasi legitimasi dan eksekusi.
Dalam partisipasi inisiasi, masyarakat tidak sekedar menjadi objek pembangunan tetapi turut menentukan dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi ini dilandasi oleh motivasi kesadaran. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota Dalam partisipasi inisiasi, masyarakat tidak sekedar menjadi objek pembangunan tetapi turut menentukan dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi ini dilandasi oleh motivasi kesadaran. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota
Teori yang terkait dengan partisipasi ini membantu analisis dalam kaitannya dengan bentuk kegiatan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Pengelolaan destinasi singgah melibatkan masyarakat baik yang berada di areal titik labuh maupun di beberapa desa yang memiliki atraksi wisata dan dikunjungi oleh peserta Sail Indonesia.
2.3.3 Teori Perencanaan
Inskeep (dalam Paturusi, 2008:45-49) menyebutkan unsur-unsur dalam pendekatan perencanaan dan pengembangan sebagai berikut: (1) pendekatan berkelanjutan, tambahan, dan fleksibel, (2) pendekatan sistem, (3) pedekatan menyeluruh, (4) pendekatan yang terintegrasi, (5) pendekatan pengembangan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, (6) pendekatan masyarakat, (7) pendekatan pelaksanaan, dan (8) penerapan proses perencanaan sistematis. Mengutip Inskeep, Paturusi menguraikan secara umum masing-masing model pendekatan perencanaan itu.
Pertama, perencanaan pariwisata merupakan proses yang berlanjut dan membutuhkan evaluasi didasarkan pada umpan balik terhadap pencapaian tujuan pengembangan. Kedua, pariwisata merupakan suatu sistem. Komponen dalam sistem pariwisata dianggap sebagai sistem tersendiri dan saling berhubungan. Perubahan pada satu komponen berpengaruh pada komponen lainnya.
Ketiga, dalam pendekatan menyeluruh, perencanaan pariwisata perlu memperhatikan beragam komponen dalam keseluruhan sistem. Seluruh aspek pengembangan pariwisata yang meliputi unsur-unsur kelembagaan dan implikasi sosial ekonomi dan lingkungan didekati secara holistik. Keempat, pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem yang terintegrasi secara internal dan eksternal. Perencanaan pengembangan sebuah kawasan perlu bersinergi dengan keberadaan dan pengembangan kawasan terkait lainnya.
Kelima, perencanaan pariwisata dilakukan dengan memperhatikan keselarasan dengan lingkungan fisik dan sosial budaya. Kajian daya dukung merupakan unsur utama dalam pendekatan ini. Keenam, perencanaan pariwisata sejak awal melibatkan masyarakat. Artinya, seluruh proses perencanaan dan pengambilan keputusan pariwisata melibatkan masyarakat lokal.
Ketujuh, perencanaan pariwisata itu haruslah logis, fleksibel, objektif, dan realistis sehingga dapat diterapkan dan dilaksanakan. Kedelapan, perancanaan pariwisata dipandang sebagai penerapan proses perencanaan yang bersistem. Ada tahapan kegiatan dalam proses perencanaan itu berdasarkan atas dimensi waktu, sumber pembiayaan, dan institusi sektoral.
Dalam teori perencanaan dikenal dua bentuk motivasi perencanaan secara umum (Paturusi, 2008). Kedua bentuk motivasi perencanaan itu mencakup: (a) perencanaan berdasarkan pertimbangan kecenderungan yang berkembang saat ini (trend oriented planning); (b) perencanaan berdasarkan pertimbangan target (target oriented planning). Dijelaskannya, trend oriented planning didasarkan pada pertimbangan pengalaman dan tata laku yang ada dan berkembang saat ini.
Kecenderungan yang ada saat ini akan dipertimbangkan untuk menentukan arah dan tujuan perkembangan masa depan. Misalnya, kecenderungan berkembangnya wisata layar berkonsekuensi pada berkembangnnya destinasi wisata layar. Kondisi ini semestinaya diikuti dengan pembuatan perencanaan destinasi wisata.
Terkait target oriented planning, Paturusi (2008: 15) menjelaskan tujuan dan sasaran ideal yang hendak dicapai pada masa yang akan datang merupakan faktor penentu. Sehingga semua kecenderungan yang ada dalam proses pencapaian tujuan selalu diarahkan pada target utama. Dengan kalimat lain, apapun kecenderungan yang terjadi dalam proses perencanaan, para perencana akan selalu fokus pada target utama yang ingin dicapai.
Motivasi ini merupakan pilihan bagi para perencana. Namun, menurut Paturusi (2008: 16) bagi negara berkembangan seperti Indonesia, lebih cocok menggunakan pendekatan kombinasi antara “kecenderungan” dan “target”. Diuraikannya ada beberapa pertimbangan penggunaan pendekatan kombinasi ini, yaitu: (1) banyak masalah yang sulit atau tidak dapat diperhitungkan secara kuantitatif; (2) masih tingginya dinamika perubahan dalam masyarkat; (3) kecenderungan perkembangan yang yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarkat; (4) stabilitas perekonomian yang belum mantap; (5) keadaan sosial politik yang masih berkembang.
Bertolak dari dasar pemikiran Paturusi itu, maka konsep pengembangan destinasi wisata layar dalam penelitian ini dilandasi oleh motivasi perencanaan dalam bentuk trend oriented planning. Pilihan ini didasarkan beberapa pertimbangan, yakni: (a) dalam kerangka kawasan pengembangan baru seperti
Maurole, perencanaan dibuat untuk mengantisipasi perkembangan di masa yang akan datang (Paturusi, 2008: 29); (b) dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah ada kecenderungan berkembangnya wisata layar di Indonesia yang juga meliputi kawasan perairan di utara Pulau Flores (Lesmana, 2012); (c) kecenderungan ini melahirkan kebutuhan akan penyusunan rencana masa depan sebagai langkah proaktif atas kecenderungan itu. Dengan demikian perencanaan yang berorientasi pada kecenderungan (trend oriented planning) dianggap sesuai untuk diterapkan dalam penelitian ini.