Partisipasi Pemangku Kepentingan Pariwisata

6.4 Partisipasi Pemangku Kepentingan Pariwisata

  Pada bagian ini dipaparkan mengenai partisipasi pemangku kepentingan dalam kegiatan Sail Indonesia di Destinasi singgah Maurole. Dasarnya adalah tipe partisipasi yang dibuat oleh Tosun (dalam Madiun, 2009). Salah satu tipe partisipasi itu adalah partisipasi masyarakat karena masyarakat terdorong untuk melakukannya (induced participation). Tipe partisipasi inilah yang mendasari partisipasi pemangku kepentingan dalam kegiatan Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole dan desa-desa terkait lainnya seperti terlihat dalam berbagai kegiatan.

  Untuk mendapatkan uraian mengenai partisipasi pemangku kepentingan, maka dikemukakan terlebih dahulu pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Pada tataran konsep terdapat insan pariwisata yang dikelompok dalam tiga pilar utama (Pitana dan Gayatri, 2005: 96 – 97), yaitu: (1) masyarakat. (2) swasta, dan (3) pemerintah. Dijelaskan bahwa masyarakat umum di destinasi adalah pemilik sah sumberdaya yang merupakan modal pariwisata, seperti kebudayaan. Masyarakat terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM, dan media masa. Kelompok swasta mencakup lembaga usaha pariwisata dan para pengusaha. Kelompok pemerintah mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Masing-masing pemangku kepentingan terdiri dari berbagai pihak dan berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tabel 6.4 memperlihatkan pemangku kepentingan di Maurole.

  Tabel 6.4 Pemangku Kepentingan dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole

  No Pemangku Kepentingan

  Elemen yang berperan

  1 Pemerintah Kabupaten Ende

  Dinas Kebudayaan dan Pariwisata; Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait: Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kecamatan dan desa-desa terkait

  2 Pelaku

  usaha

  pariwisata Himpunan Pramuwisata Indonesia, biro

  (swasta)

  perjalanan, operatororganizer pariwisata.

  3 Masyarakat

  Masyarakat yang berperan di lokasi kunjungan dan di titik labuh: petugas jetty, pelayan

  makan

  minum, petugas

  kebersihan, musisi lokal, keluarga paguyuban, sanggar seni, pembuat bahan kerajinan, kalangan pendidikan mulai SD sampai SMA dan masyarkat desa.

  Sumber: Penelitian, 2013

6.4.1 Partisipasi Pemerintah

  Partisipasi pemerintah ditunjukkan dengan berbagai upaya menjadikan Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Upaya ini dimulai pada Tahun 2006. Ketika itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengundang Yayasan Cinta Bahari Indonesia sebagai operator Sail Indonesia untuk melakukan survei titik labuh di pesisir utara Kabupaten Ende. Lebih jauh dijelaskan oleh Rosalia J.E. Rae, SST. Par, Tim Teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende.

  “Hasil survei menetapkan bahwa Pantai Mausambi layak sebagai titik labuh bagi kapal-kapal wisata (yacht). Beberapa kriteria yang dipenuhi adalah: posisi geografis, kedalaman, jarak dari pantai, dan dekat aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertolak dari kondisi fisik itu, diajukan rencana kegiatan dan biaya untuk menjadi destinasi singgah di Tahun 2007, dan usulan itu terlaksana” (Wawancara 9 Juni 2013).

  Penuturan itu mengungkapkan bahwa penetapan pantai Mausambi sebagai titik labuh bagi kapal-kapal wisata membawa berbagai konsekuensi. Salah satunya adalah konsekuensi peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pendanaan kegiatan untuk pengembangan destinasi singgah Maurole. Di samping itu, ada konsekuensi pemerintah di bidang pemberdayaan masyarakat lokal dan kalangan industri dalam memanfaatkan peluang kehadiran kapal-kapal wisata. Hal ini dikemukakan oleh Yuliana Ruka, S.Sos, Kepala Bidang Pemasaran dan Promosi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende.

  “Kami mengadakan sosialisasipendekatan dengan berbagai pihak terkait, baik dari kalangan industri maupun masyarakat. Di Maurole,

  diadakan beberapa kali pertemuan membahas berbagai hal mengenai kunjungan wisatawan melalui reli perahu layar international ini. Demikian juga pertemuan diadakan di berbagai titik-titik kunjungan wisatawan. Intinya memberikan informasi mengenai Sail Indonesia, peluang, dan peran yang dapat diambil oleh baik oleh masyarakat maupun kalangan industri” (Wawancara 16 Juni 2013).

  Partisipasi pemerintah bersifat memfasilitasi pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah mengusahakan agar masyarakat dapat secara kreatif memanfaatkan peluang yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial budaya. Penegasan ini disampaikan oleh Maria W.P. Wangge, SST. Par, salah satu Tenaga Teknis di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, sebagai berikut.

  “Pemerintah daerah melalui tim teknisnya menfasilitasi untuk menyampaikan dan memberi pemahaman kepada masyarakat, tokoh

  masyarakat, tokoh adat tentang pentingnya kegiatan Sail Indonesia. Implementasinya, Pemda memberi kesempatan khusus kepada masyarakat di kecamatan dan desa-desa titik kunjugan. Juga kepada pihak swasta yang terlibat untuk mencapai tujuan yang di harapkan melalui kegiatan Sail Indonesia” (Wawancara 10 Juni 2013).

6.4.2 Partisipasi Pelaku Usaha

  Partisipasi pemangku kepentingan dari pelaku usaha pariwisata yaitu biro perjalanan diwujudkan melalui penanganan kegiatan perjalanan wisata bagi peserta Sail Indonesia di tahun 2010 (Disbudpar, 2010). Pelaku usaha pariwisata yang juga terlibat adalah para pemilik sarana transportasi yang digunakan untuk mengangkut wisatawan. Kunjungan ke berbagai tempat menggunakan jasa angkutan milik masyarakat seperti bus, mini bus, dan bemo serta angkutan lainnya seperti bus kayu (lihat Tabel 5.1).

  Pelaku usaha pariwisata lain yang berpartisipasi adalah pramuwisata. Komunikasi yang dibangun dengan wisatawan dilakukan oleh pramuwisata. Mereka memberikan informasi mengenai destinasi singgah Maurole, fasilitasnya, kehidupan masyarakatnya, budayanya, atraksi wisatanya, dan pagelaran seni budayanya. Mereka juga mengatur perjalanan wisata, pemanduan (guiding), menjadi penerjemah bagi masyarakat lokal, dan menangani beragam informasi lainnya. Lebih jauh digambarkan oleh Ferdinandus E.K. Radawara, SST. Par., Ketua DPC HPI Kabupaten Ende:

  “Mulai tahun 2007 beberapa guide lokal berpartisipasi dalam melayani peserta Sail Indonesia. Di tahun awal penyelenggaraan itu, terdapat 13

  orang tenaga guide. Ketika itu belum ada pramuwisata yang bersertifikat HPI di Ende. Mereka berasal dari beragam latar belakang, seperti guru, pegawai, tukang ojek, pekerja serabutan, dan mahasiswa. Namun, mereka memiliki kemampuan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dan sedikit pengalaman dalam memandu wisatawan. Para guide itu sebelumnya juga mendapat pelatihan singkat mengenai guiding technic. Mereka mengomunikasikan semua informasi yang perlu disampaikan kepada para wisatawan dan membantu wisatawan dalam banyak hal” (Wawancara 15 Juni 2013).

  Partisipasi para pramuwisata ini memberikan dampak yang baik bagi destinasi singgah Maurole. Hal tersebut tercermin dari tulisan yang termuat dalam situs web: sailindonesia.net., yaitu:

  “During the day there were tours to the 3 coloured lakes at Mt. Kelimutu as well as nearby villages that specialise in such products as

  ArakMoke (liquor distilled in bamboo pipes from palm sap), palm sugar, cocoa, coffee and other products. The scenery during these tours varied from paddy fields to lush jungle and spectacular mountain ranges. Excellent English speaking guides provided the commentary and information on village life and customs; they continued to look after our every need. (http:sailindonesia.nethistoryhistory2008.php diakes 30 Mei 2013).

  Terjemahan: Selama hari itu, ada kunjungan ke danau 3 warna di Gunung Kelimutu, dan juga kampung yang memproduksi arakmoke (minuman keras dari air nira yang disaring dalam bambu), gula aren, coklat, kopi, dan produk lainnya. Pemandangan dalam perjalanan ini bervariasi mulai dari lahan persawahan, hutan lebat, dan barisan pegunungan yang mengagumkan. Pramuwisata dengan bahasa Inggris yang sangat baik memberikan komentar dan informasi tentang kehidupan dan adat di kampung; mereka terus memperhatikan setiap kebutuhan kami.

6.4.3 Partisipasi Masyarakat

  Partisipasi yang menonjol dalam Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole adalah keterlibatan masyarakat di berbagai desa yang dikunjungi. Secara umum, masyarakat memperoleh informasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tentang rencana kunjungan peserta reli perahu layar. Berdasarkan informasi yang diperoleh, masyarakat di desa tertentu menindaklanjutinya dengan pertemuan dan penyiapan lokasi kunjungan. Cyprianus Pepi, Kepala Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh desanya.

  “Kami mengadakan pertemuan dengan mosalaki (tetua adat), tokoh masyarakat, tokoh agama, karang taruna, kelompok wanita, para kepala dusun, dan Badan Perwakilan Desa untuk membicarakan mengenai “Kami mengadakan pertemuan dengan mosalaki (tetua adat), tokoh masyarakat, tokoh agama, karang taruna, kelompok wanita, para kepala dusun, dan Badan Perwakilan Desa untuk membicarakan mengenai

  Pemaparan itu menunjukkan bahwa sejak awal masyarakat di desa dilibatkan untuk menangani kunjungan wisatawan peserta Sail Indonesia. Keterlibatan masyarakat sejak awal juga terjadi pada desa-desa lainnya yang dikunjungi. Polanya hampir sama. Desa menindaklanjuti informasi yang diterima melalui pertemuan di desa. Peserta yang hadir pun berasal dari lembaga kemasyarakatan di desa. Hal ini dituturkan oleh Ignasius Siga, Kepala Desa Otogedu:

  “Di sini (di Desa Otogedu), dua kali pertemuan diadakan sebelum kerja di lapangan dilakukan. Seluruh perwakilan dari lembaga kemasayarakatan di desa, tokoh masyarakat, mosalaki (tetua adat) dan lain-lain perwakilan hadir. Masyarakat desa perlu tahu apa yang akan terjadi di desa, sehingga mereka dengan senang hati ikut berpartisipasi. Melalui pertemuan itu, kami ingin memastikan jadwal kerja, pengisi acara, kebutuhan material, dan fasilitas dibicarakan secara matang, sehingga pelaksanaannya menjadi efektif dan berhasil” (Wawancara 12 Juni 2011).

  Keterlibatan masyarakat semakin nyata dalam pelaksanaan kegiatan, mulai dari saat tamu menginjakkan kakinya di desa atau kampung, sampai mereka meninggalkan desa. Masyarakat berusaha agar para tamu Sail Indonesia merasa nyaman dan senang mengunjungi desa atau kampung. Mosalaki (tetua adat) kampung Nuabela, Desa Mausambi, Lambertus Laka menuturkan:

  “Para tamu disambut dengan pengalungan luka (selendang tenun ikat) lalu diantar memasuki kampung dengan tarian yang diiringi feko genda (musik suling). Kemudian disambut para mosalaki (tetua adat) dengan bhea (pengucapan kata-kata selamat datang dalam bahasa daerah). Mereka diantar untuk melihat rumah-rumah ada dan diajak berpartisipasi dalam tarian adat bersama masyarakat. Mereka juga menikmati makan siang yang disiapkan oleh masyarakat menggunakan alat makan tradisonal yang dibuat di kampung Nuabela” (Wawancara 13 Juni 2013).

  Hal ini mengungkapkan adanya partisipasi inisiai (Hoofsteede dalam Madiun, 2009). Hooffsteede menjelaskan bahwa dalam partisipasi inisiasi, masyarakat tidak sekedar menjadi objek pembangunan tetapi turut menentukan dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota masyarakat dan dorongan hati nurani. Melalui partisipasi ini, masyarakat ikut memelihara dan merasa ikut memiliki pembangunan di wilayahnya.

  Setiap desa memiliki kekhasannya dan berusaha menunjukannya kepada tamu yang datang. Desa Wologai Tengah mengemas partisipasi masyarakatnya dengan cara berbeda. Pada tahun 2007, kunjungan para wisatawan ke desa ini bertepatan dengan upacara mengatap keda (salah satu rumah adat). Wisatawan berkesempatan menyaksikan masyarakat mengikuti rangkaian seremoni adat. Masyarakat menyediakan pakaian adat bagi wisatawan dan mengenakannya sebelum memasuki kampung adat. Berikut penuturan Emilianus Linu, Kepala Desa Wologai Tengah:

  “Seperti biasa kami menyambut tamu rombongan dengan tarian Goro Tenga. Penarinya berasal dari sanggar yang ada di desa. Tamu diantar dengan tarian itu menuju kampung. Sebelum masuk kampung masyarakat menyiapkan pakaian adat untuk dikenakan para tamu. Perempuan memakai lawo lambu (kain tenun ikat dan baju untuk perempuan) dan laki-laki memakai luka ragi (kain tenun ikat untuk laki- laki dan selendang). Memasuki kampung disambut mosalaki (tetua adat) menuju kanga dan berkeliling sebanyak 7 putaran di kanga. Setelah itu tamu dipandu melihat deretan rumah adat dan masuk ke dalam rumah adat serta menyaksikan masyarakat memasang atap keda” (Wawancara,

  20 Juni 2013).

  Uraian yang disampaikan itu mencerminkan adanya tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh desa bersama masyarakatnya, dan adanya partisipasi masyarakat. Inskeep (dalam Timothy dan Tosun, 2003) menjelaskan Uraian yang disampaikan itu mencerminkan adanya tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh desa bersama masyarakatnya, dan adanya partisipasi masyarakat. Inskeep (dalam Timothy dan Tosun, 2003) menjelaskan

  Gambar 6.5 Pemasangan Atap Rumah Adat di Wologai Tengah Sumber: Disbudpar Ende, 2007.

  Terlihat bahwa partisipasi masyarakat memicu kreatifitas pengemasan atraksi bagi wisatawan. Partisipasi juga menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan atau menunjukkan hospitality bagi wisatawan. Di samping itu, potensi pariwisata di suatu desa dapat lebih dimanfaatkan jika masyarakat, sebagai pemiliknya, dilibatkan sejak awal pengembangannya.

  Desa berikutnya yang dikunjungi peserta Sail Indonesia adalah Desa Waturaka di Kecamatan Kelimutu. Letak desa ini sangat strategis karena berada di jalur utama menuju Danau Kelimutu. Hal utama yang menarik di desa waturaka adalah panorama persawahannya. Disamping itu, desa ini juga memiliki lahan tanaman hortikultura berupa sayuran dan buah-buahan yang berpotensi menjadi atraksi wisata. Potensi atraksi wisata alam lainnya, yaitu air terjun dan pemandian air panas yang sangat mudah dijangkau. Tokoh masyarakat Waturaka, Alexander Wae menjelaskan tentang atraksi wisata yang dikemas dalam menyambut wisatawan Sail Indonesia.

  “Salah satu produk andalan di desa kami adalah tomat. Karena itu, kami mengajak wisatawan ikut memetik tomat. Kami sediakan keranjang untuk menaruh tomat yang dibuat dari anyaman daun enau dan daun kelapa. Kuliner yang kami sediakan pun bahannya kami ambil dari kebun di desa ini. Kami menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian yang diiringi dengan alat musik sato yang dibuat oleh masyaratkat di desa ini” (Wawancara 9 Juni 2013).

  Kegiatan lain yang juga melibatkan wisatawan di Desa Waturaka adalah penanaman pohon gaharu di salah satu lokasi. Wisatawan dari setiap kapal wisata diberikan kesempatan untuk menanamkan satu anakan pohon gaharu. Penanaman pohon dan kegiatan memetik tomat yang dilakukan oleh wisatawan menunjukkan Kegiatan lain yang juga melibatkan wisatawan di Desa Waturaka adalah penanaman pohon gaharu di salah satu lokasi. Wisatawan dari setiap kapal wisata diberikan kesempatan untuk menanamkan satu anakan pohon gaharu. Penanaman pohon dan kegiatan memetik tomat yang dilakukan oleh wisatawan menunjukkan

  Gambar 6.6 Peserta Sail Indonesia dan Tomat yang Dipetiknya di Waturaka Sumber: Dokumen Disbudpar, 2009

  Partisipasi masyarakat juga terlihat di Desa Wolotopo Timur. Partisipasi itu ditunjukkan dengan penerimaan terhadap kunjungan dan ijin untuk memasuki rumah-rumah adat. Nikolaus Dee, tokoh masyarakat di Wolotopo Timur menguraikan tentang kunjungan wisatawan ke desanya.

  “Selain berkeliling kampung melewati jalur yang sudah biasa dilewati oleh wisatawan, mereka juga berkunjung ke rumah adat Sa’o Sue dan

  Sa’o Atalaki serta lokasi keda kanga. Selain itu, wisatawan juga menyaksikan atraksi wisata pembuatan tenun ikat yang menjadi aktivitas harian yang dilakukan oleh sebagaian besar perempuan di kampung ini. Mereka juga menikmati kuliner lokal yang disiapkan oleh masyarakat setempat” (Wawancara 9 Juni 2013).

  Partisipasi masyarakat di sejumlah desa bukan hanya karena efektivitas manajemen semata, namun aspek lain turut memengaruhinya, yaitu aspek budaya. Ada nilai budaya yang turut mendukung keinginan masyarakat untuk berpartisipasi menyambut tamu yang mengunjungi kampungnya. Nilai budaya seperti yang dimaksudkan oleh Koentjaraningrat dalam Mbete et al., (2006: 21) yaitu konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka anggap sebagai amat bernilai dan bermakna dalam hidup.

  Orang yang datang ke kampung (rumah) atau tamu yang berkunjung dianggap sebagai manusia yang bernilai bagi kehidupan karena itu harus diterima dengan baik. Itulah yang menyebabkan semua desa yang dikunjungi mengemas beragam acara penyambutan bagi wisatawan peserta Sail Indonesia. Hal ini dijelaskan oleh tokoh budaya Kabupaten Ende, Yakobus Ari:

  “Ata mai (orang yang datangtamu) itu adalah ata ji’e (orang baik). Tamu dianggap membawa keselamatan. Sehingga semakin banyak tamu yang datang, diyakini semakin banyak rejeki yang akan diterima. Karena itu, tuan rumah mau menunjukkan kepada tamu bahwa mereka juga adalah orang baik yang bisa menerima tamu dengan baik. ‘Kita simo tamu naja ma’e re’e’ (kita terima tamu dengan baik agar nama kita tidak jelek). Menerima tamu dengan baik juga untuk jaga waka atau jaga waka nga’a (waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam tradisi Bali)” (Wawancara 21 Juni 2013).

  Lebih jauh dijelaskan bahwa ada nilai saling membantu dalam menerima tamu. Tuan rumah akan didukung oleh tetangganya atau orang di kampungnya. Dengan kalimat lain, ada semangat menolong sesama untuk menerima ata ji’e. Tuan rumah mau mengatakan bahwa: “Saya di sini tidak sendiri. Kami banyak!”

  Penuturan ini mengungkapkan bahwa nilai budaya inilah yang mendasari semangat masyarakat untuk menerima kunjungan wisawatawan asing. Nilai ini memicu keinginan masyarakat desa untuk menunjukkan keberadaannya dan kebisaannya. Namun diakuinya, dewasa ini, nilai budaya seperti ini mulai luntur.

  Gambar 6.7 Tetua Adat (Mosalaki) di Desa Nualise dan Peserta Sail Indonesia Sumber: Dokumen Disbudpar, 2009

  Mencermati partisipasi masyarakat di berbagai desa, maka penting juga untuk memahami derajat keterlibatan masyarakat. Steck et al. dalam Weber dan Damanik (2001: 108 – 109) mengelompokkan partisipasi masyarakat berdasarkan derajat keterlibatan

  mereka dalam pengelolaan usaha pariwisata.

  Pengelompokannya mencakup sifat partisipasi dan parameter masing-masing sifat partisipasi. Mereka membagi tiga sifat partisipasi yaitu: (1) partisipasi lansung, (2) partisipasi tidak langsung, dan (3) noltidak ada partisipasi. Pengelompokkan itu diadaptasi dalam penelitian ini untuk memahami parisipasi masyarakat di destinasi singgah Maurole seperti terlihat pada Tabel 6.5.

  Tabel. 6.5

  Sifat Partisipasi Stakeholder Pariwisata dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah

  Maurole dan Parameternya.

  Sifat Partisipasi

  Parameter

  Langsung

  1. Masyarakat bekerja dalam kegiatan Sail Indonesia di areal titik labuh. Jenis pekerjaannya: petugas parkir, petugas keamanan, pemandu wisata, petugas penyambutan, petugas kebersihan, petugas jetty (dermaga apung), entertainer harian, dan tukang bangunan.

  2. Masyarakat sebagai pengusaha atau pengelola jasa makan dan minum, atraksi seni budaya, transportasi, jasa binatu di areal titik labuh.

  3. Masyarakat menikmati peluang untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan pengelolaan Sail Indonesia, yaitu pelatihan guide, pelatihan masyarakat desa menuju desa wisata bahari.

  4. Masyarakat menjadi pemandu wisata bekerjasama dengan BPW atau tour operator, khusus pada tahun 2010.

  5. Masyarakat secara sukarela membantu penataan lokasi titik labuh dan penataan di desa-desa yang dikunjungi.

  Tidak langsung

  Masyarakat sebagai supplier bahan kebutuhan kegiatan Sail Indonesia dalam bentuk:

  a) bahan pangan (beras, sayur-mayur, buah-buahan, minuman, termasuk minuman khas moke atau arak lokal, gua aren, daging, dan ikan;

  b) bahan bangunan (bambu, kayu, pelepah daun kelapa, dan daun gebang);

  c) kerajinan tangan (pane atau peralatan makan dari tanah liat, topi anyaman, sedotan dari buluh, dan tenun ikat).

  Sumber: Diadaptasi dari Steck et al. (dalam Weber dan Damanik, 2001) dan Penelitian 2013

  Partisipasi masyarakat yang terungkap dalam penelitian ini adalah partisipasi dari masyarakat yang secara nyata terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia. Artinya tidak seluruh masyarakat di destinasi singgah maupun di desa-desa yang dikunjungi ikut dalam kegiatan Sail Indonesia. Masyarakat yang terlibat adalah masyarakat yang memiliki waktu dan kesempatan untuk berperan, memiliki keterkaitan dengan acara, misalnya sebagai anggota sanggar seni, menjadi pemasok kebutuhan bagi kegiatan Sail Indonesia, atau berperan sebagai petugas berbagai bidang di areal titik labuh atau dalam berbagai aktivitas terkait lainnya.

  Mencermati partisipasi masyarakat di Maurole yang merupakan destinasi singgah kapal-kapal wisata, terlihat bahwa masyarakat ikut menentukan pengelolaan destinasi singgah baik langsung maupun tidak langsung. Fakta ini selaras dengan penegasan Ardika (2005: 36) bahwa konsep community based tourism yang merupakan dasar dari sustainable tourism development mengandung pengertian bahwa masyarakat bukan lagi objek pembangunan, tetapi penentu pembangunan.