“Kadis” Mohammad Diponegoro: Keseimbangan Dunia dan Akhirat

“Kadis” Mohammad Diponegoro: Keseimbangan Dunia dan Akhirat

---------------------------

Jika kita mau membuka dan membaca Kitab Suci Alquran, kita pasti akan menjumpai sebuah ayat yang berbunyi: “orang- orang yang beriman dan beramal saleh akan senantiasa men- dapatkan pahala yang terus-menerus (falahun ajrun ghairu mam- nun )’. Ayat ini boleh jadi, dapatlah kita tafsirkan sebagai janji Tuhan (Allah) kepada umat manusia. Agar kita senantiasa berada dalam lindungan dan selalu dilimpahi rahmat-Nya, kita harus menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengerjakan apa yang dianjurkan untuk dikerjakan. Itulah sebabnya, sebagai makhluk Tuhan, kita diwajibkan untuk melaksanakan apa yang telah tertuang dalam Rukun Iman dan Rukun Islam.

Namun, sebagai makhluk yang selalu diliputi oleh keku- rangan dan kelebihan kita sering salah menafsirkan janji Tuhan seperti yang tersirat dalam ayat itu. Baru saja kita rajin beribadah, sembahyang dan puasa misalnya, sering kita sudah merasa pasti bahwa kelak akan mendapatkan pahala melimpah dari Tuhan dan juga masuk surga. Padahal, apa yang kita lakukan itu belum cukup, karena belum mencerminkan adanya suatu harmoni, suatu keseimbangan. Sedangkan ayat Tuhan tadi mengisyaratkan atau mengharuskan kita agar kita senantiasa berada dalam titik keseimbangan .

Sebagai contoh kongret, kita harus menyeimbangkan anta- ra kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan saat ini dan nanti, kepentingan hidup dan mati, dan seterusnya. Di sinilah kita Sebagai contoh kongret, kita harus menyeimbangkan anta- ra kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan saat ini dan nanti, kepentingan hidup dan mati, dan seterusnya. Di sinilah kita

Kesalahan serupa itulah yang juga melanda diri tokoh Kadir dalam cerpen “Kadis” karya Mohammad Diponegoro. Di satu sisi, apa yang dilakukan Kadis sehari-hari memang tidak salah, bahkan dianjurkan, yaitu rajin beribadah, sembahyang, mengaji, menghadiri pengajian, fasih mengucapkan ayat-ayat Alquran, selalu bersilaturahmi, dan sebagainya. Namun, di sisi lain, Kadis telah melakukan kesalahan besar, karena telah melu- pakan kewajibannya sebagai seorang kepala rumah tangga (sua- mi) yang harus bekerja keras mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Memang selama berumah tangga Kadis selalu bisa mencukupi kebutuhan keluarga –walaupun pas-pasan--, tetapi hanya caranya saja yang tida pada tempatnya: selalu menghadiri pengajian dan bersilaturahmi tetapi itu semua hanya sebagai kedok untuk minta-minta.

Kesalahan Kadis dalam cerpen itu agaknya bukanlah tanpa sebab. Sebabnya ialah karena ia –selain tak berpendirikan se- hingga ia merasa tidak memiliki keterampilan apa-apa—salah menafsirkan sepotong kalimat yang pernah diajarkan oleh Kiai Dofir. Dalam suatu pengajian, Kiai Dofir memang pernah mengatakan bahwa “silaturahmi ialah salah satu kuncu rejeki”. Dan sepotong kalimat itu rupanya telah membius keyakinan Kadis sehingga ia tidak berniat untuk bekerja mencari nafkah. Sebab, sebagaimana telah ia buktikan berkali-kali, dirinya merasa bahwa kebutuhannya bisa tercukupo hanya dengan cara bersilaturahmi. Padahal, kita tahuu bahwa sepotong kalimat Kiai Dofir itu seharusnya tidak ditafsirkan demikian, tetapi harus ditafsirkan sebagai sebuah sikat atau interaksi sosial yang harus dipertahankan. Hanya dengan penafsiran seperti itulah harmoni bisa terjadi, keseimbangan bisa tercipta.

Melalui karya fiksi yang bertema sosial-religius ini, narator

(pengarang?) agaknya menghendaki agar pembaca (kita) tergugah kesadarannya seperti kesadaran Kadis di bagian sebelum paragraf terakhir cerpen. Kutipan dialog Kiai Dofir dan Kadis berikur inilah yang mengungkapkan kesadaran itu.

“Mulai sekarang, Kadis,” ... “kau aku larang untuk mengaji di sini. Juga kau kularang ngaji di tempat Kiai Humam atau Kiai Sobron.”

“Tapi apa salah saya, Kiai? .... “Karena kau tidak belajar apa-apa dari pengajian itu!” ...

“Kau pergi mengaji hanya untuk alasan, untuk dalih yang dicari-cari, supaya kau tidak usah bekerja untuk memberi nafkah pada anak istrimu.”

“Tapi, Kiai, selama ini saya selalu memberi nafkah ...” “Ya, memang kau memberi nafkah,” ... “tapi nafkah itu kau

dapat dari hasil meminta-minta pada orang lain. Betul tidak, Kadis?”

Kadis mengangguk. “Nah, aku tidak pernah mengajarkan begitu kepadamu,” ...

“Kau tahu, Kadis, anafkah yang kau dapat dari keringatmu sendiri, meskipun kecil, lebih besar nilai dan pahalanya dari hasil meminta-minta. Mengerti?”

“Mengerti, Kiai,” suara Kadis sudah sangat lembek kede- ngarannya ... dan menangis terguguk.

Setelah menyadari kekeliruannya, Kadis akhirnya ber-ubah menjadi seorang pekerja keras, yaitu menjadi tukang menyem- belih ternak di pembantaian. Dengan munculnya kesadaran itu, berarti Kadis boleh dikata telah mampu menem-patkan dirinya pada titik keseimbangan: selain rajin beribadah, juga rajin bekerja. Ada suatu harmoni antara kepentingan dunia dan akhirat.

Begitulah inti, isi, dan pesan utama cerpen “Kadis”, cerpen Begitulah inti, isi, dan pesan utama cerpen “Kadis”, cerpen

Dilihat dari sisi struktur dan cara penceritaannya, boleh jadi cerpen “Kadis” sangat konvensional. Bahasanya mengalir sederhana dan mudah dipahami, tanpa psikologi yang dakik- dakik, dan agaknya mudah pula dinikmati oleh semua kalangan. Hal ini barangkali wajar karena memang semula cerpen “Kadis” ditulis untuk (sayembara) majalah wanita Kartini. Dan kita tahu, majalah Kartini adalah majalah populer untuk konsumsi kelurga yang cenderung menyajikan hal-hal yang ringan dan menyegar- kan. Kendati demikian, cerpen “Kadis” tidak kehilangan nuansa sastranya; dan hal ini membuktikan bahwa pengarangnya. Mohammad Diponegoro, sungguh pintar bercerita. Didalamnya tida ada unsur “berkhotbah” dan “menggurui” meskipun pem- baca banyak memperoleh pelajaran darinya.

Hanya saja, cerpen yang dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga ini –narator berada di luar kisah, tidak terlibat dalam peristiwa cerita, tetapi mampu melihat dan menceritakan apa saja yang dilakukan oleh Kadis, Dalijah, dan Kiai Dofir—mudah ditebak bagaimana akhir ceritanya. Dan ini menjadi salah satu ciri bahwa cerita semacam itu kehilangan estetika, karena kita (pembaca) tidak disodori oleh berbagai pertanyaan yang harus dicarikan jawabnya secara terus-menerus. Jadi, disini suspense dan foreshadowing -nya tidak begitu tampak.

Namun, ada satu hal yang menarik, yaitu ketika kita sam- pai pada kisah kepergian Kadis naik sepeda menuju ke rumah Kiai Dofir. Di sana muncul semacam gerak balik (black tracking), melalui pikiran masa lalu Kadis, dan gerak balik ini berfungsi menegaskan perilaku Kadis sebagai orang yang sangat percaya bahwa Tuhan akan senantiasa menyodorkan rejeki kepadanya tanpa diminta. Perilaku demikian inilah yang kelak menegaskan pula identitas Kadis sebagai orang yang ditempatkan dalam posisi “salah” oleh narator. dan narator memang berkehendak demikian, yaitu agar Kadis, dan juga kita semua (pembaca), menyadari kesalaha yang pada gilirannya diharapkan mampu menempatkan diri pada titik harmoni: selain taat beribadah, kita harus juga kerja keras. Lebih jelasnya kita harus menyeimbangkan antara kepen- tingan duniawi dan akhirati.

Satu hal lagi, cerpen ini mungkin akan lebih menarik dan menantang jika tidak ditutup dengan kisah keberhasilan Kadis seperti pada para paragraf terakhir itu. Atau, barangkali akan lebih pas jika paragraf terakhir itu dihilangkan. Mengapa? Karena dengan cara demikian pembaca diberi kesempatan untuk berpikir, menentukan alternatif sendiri-sendiri, dan berusaha menjari ja- waban secara terus-menerus. Apakah kelak jawaban itu akan diperoleh? Biarkanlah pembacara merenung dan mencari jawaban itu di dalam dirinya. ***

Kakilangit (Horison) , April 1999

19 ---------------------------- “ Gauhati” Budi Darma: