Manusia Lebih Iblis Ketimbang Iblis
Manusia Lebih Iblis Ketimbang Iblis
-----------------------------
Suatu ketika, kepada sang juru cerita dalam mimpinya, iblis berkata demikian. “Saya, atas nama iblis, dengan ini menya- takan mengundurkan diri sebagai iblis. Keputusan ini saya ambil dengan sesadar-sadarnya, tanpa tekanan atau intimidasi. Sebab, manusia kini telah jauh melangkahi saya. Tanpa dipengaruhi bangsa iblis seperti saya, otak manusia jauh lebih pintar dan cemerlang. Segala tindakan penyimpangan manusia juga jauh lebih sistematis. Itulah sebabnya, saya mengundurkan diri sebagai penghasut dan penggoda manusia.”
Pernyataan iblis di atas boleh jadi sangat komik (lucu). Tetapi, kalau dicermati, pernyataan itu tidaklah sekadar komik, namun juga ironik. Sebab, nyatanya, semakin hari perilaku manusia tidak semakin baik, tetapi semakin gila/edan/busuk. Terbukti, sebagaimana dapat kita baca dan lihat di koran-koran dan televisi, kini banyak orang justru bangga pada tindak kecu- lasan (korupsi, memperkosa, membunuh, merampok, dsb). Bah- kan, akhir-akhir ini kita dijejali dengan berbagai istilah: politisi busuk, DPR busuk, caleg busuk, eksekutif busuk, pengusaha busuk, dan masih banyak lagi. Maka, bukan hal aneh kalau iblis berniat mengundurkan diri dari “jabatannya”sebagai iblis. Sebab, iblis melihat, perilaku manusia kini jauh lebih iblis ketimbang iblis.
Agaknya, itulah satu di antara banyak hal yang diteriak- kan Indra Tranggono lewat cerpen-cerpennya dalam antologi keduanya, Iblis Ngambek (Penerbit Buku Kompas, 2003). Memang, tidak semua cerpen Indra dalam antologi ini meng-angkat tokoh Agaknya, itulah satu di antara banyak hal yang diteriak- kan Indra Tranggono lewat cerpen-cerpennya dalam antologi keduanya, Iblis Ngambek (Penerbit Buku Kompas, 2003). Memang, tidak semua cerpen Indra dalam antologi ini meng-angkat tokoh
“Iblis Ngambek” mengungkap protes iblis terhadap bangsa manusia karena tanpa hasutan iblis pun manusia sudah terlalu pintar berbuat dosa. Sedangkan “Ketika Angin Mati” mengisah- kan iblis yang sengaja meremas jantung si Kakek hingga tewas; dan itu dilakukan agar si Kakek tidak terus menyombong karena, menurut iblis, si Kakek yang di mata keluarganya sangat baik dan jujur (dan bahkan mendapat penghargaan sebagai pahlawan) itu sesungguhnya tak lebih dari seorang pembunuh yang kejam dan bengis.
Kendati tokoh iblis hanya hadir dan menjadi “peluru ta- jam” dalam dua cerpen, pada dasarnya “iblis-iblis” itu hadir pula dalam seluruh cerpen Indra. Tergencetnya seorang psk (pekerja seks komersial) yang tidak lagi bisa menikmati rasa rindunya pada arwah-arwah bayi dalam “Ziarah Arwah-Arwah Bayi” (cerpen ini masuk dalam buku Cerpen Terbaik Kompas, 2000), misalnya, terjadi akibat adanya iblis yang menguasai diri sang mucikari. Sementara, kisah tragis Ipah dipenjara hanya gara-gara sepotong semangka dalam “Sungkawa Seiris Semangka”, juga akibat adanya iblis yang merasuki jiwa sang juragannya.
Hanya saja, dalam cerpen-cerpen Indra, “iblis-iblis” itu ditampilkan dalam bentuk dan sosok yang berbeda-beda. Ia menjadi ikon kreatif yang harus dipandang dengan cara yang berbeda-beda pula. Dalam “Kristal Kesunyian”, misalnya, iblis menjadi sesuatu yang memperdaya si pengebom hotel di Pulau Paradesi (cerpen ini agaknya diilhami oleh tragedi bom Bali) sehingga menewaskan banyak orang, termasuk Kevin (suami Stefany), warga negara Australia. Dalam “Belatung”, iblis pun menjadi virus yang menggerogoti nurani sang mucikari dan hi- Hanya saja, dalam cerpen-cerpen Indra, “iblis-iblis” itu ditampilkan dalam bentuk dan sosok yang berbeda-beda. Ia menjadi ikon kreatif yang harus dipandang dengan cara yang berbeda-beda pula. Dalam “Kristal Kesunyian”, misalnya, iblis menjadi sesuatu yang memperdaya si pengebom hotel di Pulau Paradesi (cerpen ini agaknya diilhami oleh tragedi bom Bali) sehingga menewaskan banyak orang, termasuk Kevin (suami Stefany), warga negara Australia. Dalam “Belatung”, iblis pun menjadi virus yang menggerogoti nurani sang mucikari dan hi-
Selain itu, iblis juga menjelma pada orang-orang kaya tapi tak jelas pekerjaannya dalam “Engkau Tak Lahir dari Rahim Serigala” dan “Sepasang Mata yang Hilang”. Iblis yang menceng- keram dan melindas hati para petinggi, pejabat, dan penguasa terasa jelas dalam “Monumen Tanpa Kepala”, “Percakapan Patung-Patung”, dan “Upacara Menatap Matahari”. Dalam “Enam Jahanam” dan “Malaikat Kecil”, iblis menguasai diri para perampok dan pembunuh bayaran. Dan agaknya “iblis-iblis” itu oleh Indra ditransformasikan ke dalam perilaku tokoh-tokoh yang realistik dan dalam alur yang skematik.
Sebagaimana tampak dalam antologi pertamanya, Sang Terdakwa (Yayasan untuk Indonesia, 2000), cerpen-cerpen Indra dalam antologi kedua ini juga masih berkutat pada relasi-oposisi antara ketakberdayaan wong cilik dan wajah busuk kekuasaan (sistem pemerintahan/hukum). Dan dalam relasi-oposisi itu, seperti halnya cerpen-cerpen sosial pada umumnya, Indra lebih berpihak pada wong cilik, pada kaum tertindas dan teraniaya (pelacur, pembantu rumah tangga, orang-orang miskin, dst). Itulah sebabnya “perilaku iblis” secara metaforik selalu ditampil- kan pada diri sang penguasa (para majikan, juragan, orang-orang kaya, para pejabat, dll).
Melalui “iblis-iblis” tersebut terlihat Indra Tranggono ber- maksud menyingkap tabir atau protes terhadap kecarut-marutan sosial yang terjadi di negeri ini. Kecuali barangkali cerpen “Kristal Kesunyian” yang cenderung “berwarna ungu” (pinjam istilah Fuad Hassan) sebab hanya berkisah tentang kesedihan seorang wanita akibat ditinggal mati suami saat honey moon. Jadi, tidak berpretensi memotret keadaan sosial.
Dan, dalam menyampaikan “maksud” tersebut, Indra tidak terjebak pada sikap sloganistik. Indra sadar tidak sedang menulis Dan, dalam menyampaikan “maksud” tersebut, Indra tidak terjebak pada sikap sloganistik. Indra sadar tidak sedang menulis
Sebagai catatan, tampaknya ada kemubadziran dalam anto- logi Iblis Ngambek. Sebab beberapa cerpen sebenarnya sudah dihimpun dalam buku Sang Terdakwa. Bukankah masih banyak cerpen Indra yang tersebar? Dan diakui bahwa cerpen “Iblis Ngambek” terasa pas menjadi judul buku kumpulan ini. Sebab “manusia-manusia iblis”-lah yang menjadi “pokok persoalan” yang ingin ditelanjangi pengarangnya. Hanya saja, Indra terka- dang kurang jeli memanfaatkan kode-kode budaya dalam cerpen- cerpennya. Salah satunya adalah ungkapan handphone dan sekolah menengah umum (SMU) dalam cerpen “Malaikat Kecil”. Jelas bah- wa kode budaya itu jauh menyimpang dari setting tempat dan waktu.
Akhirnya, dari seluruh cerpen dalam antologi ini, cerpen “Belatung” terasa kurang begitu sreg. Cerpen tersebut agaknya terlalu terkungkung oleh keinginan membuat surprise. Sebab, kalau dilihat dari susunan alurnya, tak jelas dimaksudkan sebagai simbol apa belatung-belatung yang tengah “mengge-rogoti” kehi- dupan gelap si pelacur (Menul) di pantai Depok, Parangtritis, Yogya, itu.***
Minggu Pagi, Minggu II, Februari 2004