Perjanjian dengan Setan Jajak M.D.: Cerpen Sastra atau Hiburan?
Perjanjian dengan Setan Jajak M.D.: Cerpen Sastra atau Hiburan?
-----------------------------
Dari sekian bentuk atau jenis (genre) sastra yang paling banyak dibaca orang adalah cerpen. Kegemaran orang membaca novel, puisi, dan atau naskah drama jelas lebih kecil diban- dingkan dengan cerpen. Hal ini agaknya disebabkan oleh hampir setiap majalah atau surat kabar menyajikan cerpen. Bahkan orang yang bukan tergolong konsumen sastra pun banyak yang menik- mati cerpen. Selain itu, cerpen kini memang tumbuh subur dan biasanya dapat dibaca di sembarang tempat dan dalam waktu singkat.
Ada asumsi bahwa perbedaan cerpen sastra dan cerpen hiburan (populer) lebih dititikberatkan pada siapa dan bagai- mana cara pembaca mengolahnya dalam pikiran dan perasaan. Barangkali asumsi itu benar. Sebab pembaca lebih bisa menen- tukan bagaimana harus membacanya. Bila pembaca bisa meng- olah bacaannya (cerpen) dengan intens, dan dari hasil bacaannya itu diolah sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan hidupnya, maka tanpa memikirkan apakah cerpen itu sastra atau bukan, mereka telah mendapatkan sesuatu darinya. Dan “sesuatu” itulah yang mungkin menjadi tujuan sastra. Tetapi ada asumsi lain bahwa cerpen sastra berbeda dengan cerpen hiburan. Cerpen sastra lebih menukik ke kedalaman jiwa, sedangkan cerpen hi- buran sekedar menghibur dan sebagai pelepas dahaga saja. Atau cerpen sastra memerlukan ketajaman penglihatan, sedangkan cerpen hiburan tidak memerlukan ketajaman pandang itu sebab Ada asumsi bahwa perbedaan cerpen sastra dan cerpen hiburan (populer) lebih dititikberatkan pada siapa dan bagai- mana cara pembaca mengolahnya dalam pikiran dan perasaan. Barangkali asumsi itu benar. Sebab pembaca lebih bisa menen- tukan bagaimana harus membacanya. Bila pembaca bisa meng- olah bacaannya (cerpen) dengan intens, dan dari hasil bacaannya itu diolah sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan hidupnya, maka tanpa memikirkan apakah cerpen itu sastra atau bukan, mereka telah mendapatkan sesuatu darinya. Dan “sesuatu” itulah yang mungkin menjadi tujuan sastra. Tetapi ada asumsi lain bahwa cerpen sastra berbeda dengan cerpen hiburan. Cerpen sastra lebih menukik ke kedalaman jiwa, sedangkan cerpen hi- buran sekedar menghibur dan sebagai pelepas dahaga saja. Atau cerpen sastra memerlukan ketajaman penglihatan, sedangkan cerpen hiburan tidak memerlukan ketajaman pandang itu sebab
Berpijak pada pernyataan tersebut marilah kita tengok cerpen-cerpen Jajak M.D. dalam kumpulan Perjanjian dengan Setan (Sinar Harapan, 1982). Oleh masyarakat sastra Indonesia, cerpen Jajak M.D. telah diakui sebagai cerpen sastra. Namun, apabila kita membaca dengan teliti, barangkali akan terjebak ke dalam penger- tian “hiburan” itu tadi. Sebab, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini tidak seluruhnya dapat digolongkan ke dalam cerpen sastra. Bahkan, anggapan sementara orang bahwa cerpen Jajak termasuk cerpen sastra agaknya perlu ditinjau kembali. Sebab cerpen- cerpen itu kurang menukik ke kedalaman jiwa. Bisa dikatakan bahwa cerpen-cerpen tersebut tidak menam-pilkan sesuatu yang jauh di dalam lubuk hati, tetapi hanya menampilkan hal yang elementer meskipun ke-elementer-an itu terkadang kita perlukan pula.
Kita akui bahwa cerpen-cerpen Jajak M.D. menampilkan persoalan manusia yang amat dekat dengan kehidupan kita. Kedekatan persoalan itu dapat membangkitkan perasaan kita untuk lebih mengetahuinya lebih jauh. Tetapi, bila kita melihat dari satu sisi, tema-tema dan persoalannya memiliki kecende- rungan tak lebih dari sekadar “menghibur” sebab pelukisan ma- salah-masalahnya hanyalah sederhana, atau bahkan beberapa pelukisan sketsa, atau mungkin pelukisan sesaat.
Masalah problema keluarga dapat kita baca dalam cerpen "Perkembangan Terakhir", "Kuda Lumping", "Orang Serumah", dan "Beban Hari Tua". Dalam cerpen "Perkembangan Terakhir", misalnya, problem keluarga hanya dilukiskan sesaat dan hanya cenderung menghibur. Dikisahkan dalam cerpen itu bahwa tokoh "saya" sudah berusia 40 tahun namun belum berjodoh. Sementara Ibunya mendesak agar ia cepat kawin. Bahkan ibunya telah memilihkan calon menantu. Tetapi orang tua gadis itu (Ida) juga Masalah problema keluarga dapat kita baca dalam cerpen "Perkembangan Terakhir", "Kuda Lumping", "Orang Serumah", dan "Beban Hari Tua". Dalam cerpen "Perkembangan Terakhir", misalnya, problem keluarga hanya dilukiskan sesaat dan hanya cenderung menghibur. Dikisahkan dalam cerpen itu bahwa tokoh "saya" sudah berusia 40 tahun namun belum berjodoh. Sementara Ibunya mendesak agar ia cepat kawin. Bahkan ibunya telah memilihkan calon menantu. Tetapi orang tua gadis itu (Ida) juga
Di samping problem keluarga, Jajak juga menampilkan masalah kejahatan di sekitar kita. Misalnya dalam cerpen "Bandit Bandit", "Tatto Bunga Mawar", dan “Tamu Tengah Malam”. Membaca tiga cerpen ini rasanya kita hanya disuguhi persoalan yang sederhana saja, tidak membangkitkan emosi kita untuk berbuat yang semestinya. Sebab, dalam ketiga cerpen ini, seperti dikatakan tadi, hanya menampilkan pelukisan sesaat. Pelukisan sesaat itu, misalnya, dalam cerpen pertama, untuk menangkap bandit harus mempergunakan akal bandit. Dalam cerpen kedua dan ketiga juga demikian, tanpa disangka-sangka si pelaku kejahatan hanyalah adiknya sendiri.
Sebagai orang Jawa, Jajak yang lahir di Magelang pada 11 Maret 1934 itu memang banyak mengisahkan pengalamannya sendiri. Terbukti, misalnya, dalam pengungkapan tema kera- kusan manusia, ia mengambil lokasi di berbagai tempat di Yogya- karta. Tema kerakusan manusia itu terlihat dalam cerpen "Ma- najer-Manajer', "Rumah Itu", "Jakarta Merak", dan "Sebuah Perca- kapan". Dalam keempat cerpen itu para pelakunya (yang rakus) rata-rata alah para pimpinan. Justru para pimpinan itulah yang menjadi kunci perbuatan jahat dengan kedok orang lain. Mung- kin, ini sebuah pengalaman nyata bagi Jajak MD. Sebab, bila kita telusur riwayat hidup Jajak yang sering berpindah-pindah kerja karena ulah pimpinannya, masuk akal jika itu merupakan kisah nyata. Dan itu pula yang mendorong penulisan cerpen yang Sebagai orang Jawa, Jajak yang lahir di Magelang pada 11 Maret 1934 itu memang banyak mengisahkan pengalamannya sendiri. Terbukti, misalnya, dalam pengungkapan tema kera- kusan manusia, ia mengambil lokasi di berbagai tempat di Yogya- karta. Tema kerakusan manusia itu terlihat dalam cerpen "Ma- najer-Manajer', "Rumah Itu", "Jakarta Merak", dan "Sebuah Perca- kapan". Dalam keempat cerpen itu para pelakunya (yang rakus) rata-rata alah para pimpinan. Justru para pimpinan itulah yang menjadi kunci perbuatan jahat dengan kedok orang lain. Mung- kin, ini sebuah pengalaman nyata bagi Jajak MD. Sebab, bila kita telusur riwayat hidup Jajak yang sering berpindah-pindah kerja karena ulah pimpinannya, masuk akal jika itu merupakan kisah nyata. Dan itu pula yang mendorong penulisan cerpen yang
Tetapi, dalam ketiga cerpen yang menampilkan dunia wayang itu, apabila kita lihat dengan detail, kita hanya mendapatkan kisah yang telah ada. Seolah kita hanya memper- oleh sketsa cerita lama, cerita basi, dan seterusnya, sebab kisah dalam cerpen "Pertempuran Terakhir" sudah kita ketahui melalui cerita Baratayuda dalam pewayangan, dan bagi kebanyakan orang itu semua barangkali bukan sesuatu yang baru. Kisah tentang Sang Kresna menyingkirkan Baladewa ke gerojogan sewu dalam perang Baratayuda juga sudah kita pahami. Begitu juga dalam cerpen "Sang Dorna" yang hanya merupakan sebuah pengungkapan kembali cerita lama tentang kesalahpahaman murid-murid Dorna, yakni Palgunadi dan Arjuna.
Agaknya ada dua cerpen yang memiliki warna lain, yakni "Perjanjian dengan Setan" dan "Gelatik". Tetapi, cerpen “Gelatik” memberi kesan bahwa penampilannya serba kebetulan, bahkan sekedar main-main. Sebab di dalamnya hanya dikisahkan tentang orang yang suka meramal nasib orang lain. Dan setelah dipikir jauh ternyata ramalan itu tidak ada artinya sebab semua kehi- dupan sudah ada yang mengaturnya, yakni Tuhan. Meski hampir Agaknya ada dua cerpen yang memiliki warna lain, yakni "Perjanjian dengan Setan" dan "Gelatik". Tetapi, cerpen “Gelatik” memberi kesan bahwa penampilannya serba kebetulan, bahkan sekedar main-main. Sebab di dalamnya hanya dikisahkan tentang orang yang suka meramal nasib orang lain. Dan setelah dipikir jauh ternyata ramalan itu tidak ada artinya sebab semua kehi- dupan sudah ada yang mengaturnya, yakni Tuhan. Meski hampir
Dikisahkan bahwa orang yang dilanda nafsu itu ialah Darto Singo, yang hidupnya serba pas-pasan. Karena iri melihat orang lain kaya, maka ia ingin cepat kaya pula, dengan cara mencari pesugihan ke Gunung Srandil. Di gunung ini ia berjanji dengan setan akan mengorbankan diri setelah menjadi kaya. Bunyi perjanjian itu ialah: Ia bersedia memenuhi sebuah kaleng dengan bulu sapi setiap ia menyembelih lembu, setiap satu lembu satu bulu yang dimasukkannya. Namun, suatu ketika ia menjadi terkejut, sebab belum lama kaleng itu hampir penuh. Dan tentu ia curiga, karena itu suatu malam ia mengintip dan ternyata kaleng itu secara sembunyi-sembunyi diisi oleh orang lain yang iri akan menyaingi kekayaannya kelak. Karena tertangkapnya orang itulah akhirnya Darto Singo tidak percaya lagi pada janjinya dengan setan. Sekarang seluruh hidupnya diserahkan kepada Tuhan, bahwa orang bisa menjadi kaya karena berusaha. Itulah prinsipnya.
Cerpen "Perjanjian dengan Setan" agaknya dapat kita ang- gap sebagai cerpen yang terbaik di antara semua cerpen dalam buku itu. Sebab masalah-masalah kepercayaan mistis, yang sebe- narnya semua itu tidak logis, dapat terungkap dengan baik dan dapat menyadarkan orang dari perbuatan tercela. Inilah selintas tentang cerpen Jajak M.D. Dari semua uraian tadi, tentu kita bisa menentukan manakah yang sebenarnya tergolong cerpen sastra dan mana yang bukan sastra. Kalau boleh disimpulkan, dari semua cerpen itu yang termasuk cerpen sastra hanyalah cerpen "Perjanjian dengan Setan". Sementara yang lain cerpen hiburan.***
Kedaulatan Rakyat , 29 November 1987
9 ----------------------------- Tegak Lurus dengan Langit: