Konsep Spiritualitas Motinggo Busye

Konsep Spiritualitas Motinggo Busye

------------------------------

Sejak munculnya novel Sanu, Infinita Kembar terbitan Gu- nung Agung, 1985, Motinggo Busye agaknya telah mengubah sikapnya dalam dunia penciptaan novel. Dengan potensinya yang brilian, pengarang yang lahir di Kupangkota, Lampung, pada 21 November 1937 ini telah berhasil memotret kehidupan manusia yang lebih utuh, total, paling tidak dalam ukuran dia sendiri. Boleh jadi novelnya yang terakhir ini menjadi penutup geli- mangnya dalam dunia penciptaan novel hiburan (yang begitu laris) dalam khasanah kesusastraan Indonesia modern.

Novel Sanu, Infinita Kembar pernah mendapat hadiah dan sekaligus sebagi bonus majalah sastra Horison, Juli 1985. Pada hemat saya, novel ini merupakan suatu bukti bahwa Busye telah mengubah haluan dalam konsep kepengarangannya. Dalam se- buah wawancara dengan Frans Kowa (Horison, Maret 1987), Busye mengatakan bahwa yang menjadi landasan mengapa ia menulis novel-novel hiburan (karya-karya terdahulunya) ialah karena dia ketika itu masih diselimuti oleh sistem hidup yang materialistik. Lain halnya dengan novel terbarunya, Sanu, Infinita Kembar, yang lebih intens dan cenderung mengedepankan persoalan spiritu- alitas hidup. Dalam arti ia tidak lagi terpe-rangkap oleh sistem hidup materialistik karena menurutnya justru sistem di luar itulah yang lebih esensial.

Dalam kancah kesusastraan Indonesia memang Motinggo Busye lebih dikenal sebagai pengarang pop. Kadudukannya missalnya bisa disejajarkan dengan Titi Said, Titis Basino, Edy D. Iskandar, Ashadi Siregar, Marga T., Yati M. Wiharja, dan lain-lain. Pengarang ini memang sangat produktif, dan hingga kini telah menulis sekitar 200 buah buku (novel, cerpen, puisi, dan naskah drama). Dan yang selama ini digarap adalah masalah-masalah elementer di sekitar cinta remaja, gejolak rumah tangga, seks, dan sejenisnya yang kurang mendalam.

Menurut H.B. Jassin, sejak terbitnya novel Sanu, Infinita Kembar , Motinggo Busye, yang terartikulasi lewat tokoh Sanu, sampai kepada manusia total, sebagaimana Danarto seperti tampak dalam Adam Ma’rifat. Yang dimaksud dengan manusia total adalah berikut. Yaitu “manusia yang mampu menjaga keseimbangan antara diri pertama dan diri kedua. Seluruh mani- festasi diri pertama adalah infinita-ego, sedangkan diri kedua adalah infinita–kreatif. Oleh karena itu, diri kedua infinita kembar itu dengan kreativitasnya menjadikan dia dinamis. Dan dinamis kreatif hanya ada pada pemilik status perimbangan, yaitu manusia total.”

Membaca novel ini kita seolah dibawa ke alam yang tak terjamah, yang terasing. Bila kita membaca dengan tidak menge- rahkan indera keenam kita, tentu kita tidak dapat menerima pikiran-pikiran yang irasional itu. Namun dengan pendekatan jiwa yang dalam dan intimitas yang pekat, tentu pikiran yang terjadi menjadi hal yang sangat biasa, bahkan sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Memang saat membaca kita dika- caukan oleh pikiran-pikiran Sanu yang menyerupai ketidakwa- rasan, penjungkirbalikan, dan kesimpang-siuran. Tetapi, sesung- guhnya, bila menjelajah secara intens kita akan sampai kepada proses pengalihan dari realitas menuju ke kebenaran yang paling hakiki. Oleh karena itu, dengan melihat pengalaman Sanu, seolah Membaca novel ini kita seolah dibawa ke alam yang tak terjamah, yang terasing. Bila kita membaca dengan tidak menge- rahkan indera keenam kita, tentu kita tidak dapat menerima pikiran-pikiran yang irasional itu. Namun dengan pendekatan jiwa yang dalam dan intimitas yang pekat, tentu pikiran yang terjadi menjadi hal yang sangat biasa, bahkan sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Memang saat membaca kita dika- caukan oleh pikiran-pikiran Sanu yang menyerupai ketidakwa- rasan, penjungkirbalikan, dan kesimpang-siuran. Tetapi, sesung- guhnya, bila menjelajah secara intens kita akan sampai kepada proses pengalihan dari realitas menuju ke kebenaran yang paling hakiki. Oleh karena itu, dengan melihat pengalaman Sanu, seolah

Sekadar untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pikiran atau proses pengalaman Sanu, baiklah kita ikuti secara ringkas tokoh Sanu dalam novel ini. Sanu adalah seorang seniman yang pada waktu itu kehilangan ruang-gerak dalam dunia seni sebab dirinya dituduh sebagai kontra-revolusioner. Karena zaman dikuasai orang–orang Lekra dan Komunis, sementara seniman penganut Humanisme Univeral atau Manifes Kebudayaan (Mani- kebu) menjadi bulan-bulanan politik, maka Sanu yang tergolong sebagai seniman Manikebu dituduh menentang konsep kesenian orang Lekra (Komunis). Karena itulah, Sanu merasa ketakutan, termasuk seniman-seniman lain yang sepaham.

Usaha untuk menghindari kecaman politik tersebut, Sanu memilih jalan keluarnya sendiri. Ia mempelajari ilmu menghilang yang menurutnya seperti Pangeran Diponegoro pada waktu akan ditangkap Belanda. Bahkan, di luar dugaan, ternyata Sanu bercita- cita akan pergi ke dunia di luar atmosfer, yaitu di ruang statosfer. Namun, karena dunia itu hanya sia-sia dan impian belaka, maka ia mempelajari berbagai ilmu yang konon telah diajarkan oleh tokoh-tokoh besar seperti Muhammad, Yesus, filsuf-filsuf, dll.

Meskipun begitu, Sanu sesungguhnya tidak sampai ke mana-mana, melainkan sampai kepada penemuan atas dirinya sendiri. Dan justru itulah yang penting. Sebab, dia yakin bahwa di samping di sini ada diri sendiri, masih ada lagi diri yang lain yang lebih dalam. Maka, dalam dirinya ada sesuatu yang ganda, dan sesuatu yang ganda itu tidak pernah saling kompromi sebab seakan sudah ditakdirkan untuk saling memberontak. Itulah yang disebut aku-ego dan aku-kreatif. Ego adalah kecenderungan terha- dap sesuatu yang negatif, sedangkan kreatif adalah pilihan jalan menuju ke kebenaran hakiki. Itulah infinita Sanu dalam satu Meskipun begitu, Sanu sesungguhnya tidak sampai ke mana-mana, melainkan sampai kepada penemuan atas dirinya sendiri. Dan justru itulah yang penting. Sebab, dia yakin bahwa di samping di sini ada diri sendiri, masih ada lagi diri yang lain yang lebih dalam. Maka, dalam dirinya ada sesuatu yang ganda, dan sesuatu yang ganda itu tidak pernah saling kompromi sebab seakan sudah ditakdirkan untuk saling memberontak. Itulah yang disebut aku-ego dan aku-kreatif. Ego adalah kecenderungan terha- dap sesuatu yang negatif, sedangkan kreatif adalah pilihan jalan menuju ke kebenaran hakiki. Itulah infinita Sanu dalam satu

Akhirnya, Sanu menyadari bahwa ternyata sejarah besar zamzan adalah sejarah yang telah menciptakan sistem-sistem. Sistem-sistem itu, sebagaimana kapitalisme, marxisme, atau yang lain, hanyalah mencapai tahap ainulyaqin dan ilmulyaqin, belum sampai kepada haqqulyaqin. Karena itu, Sanu ingin mencapainya. Dan mungkin Motinggo Busye-lah yang ingin mencapai itu semua.

Dilihat sepintas novel ini tak begitu mudah dipahami. Untuk menangkap amanat dan atau moralnya perlu kejelian wawasan, pengalaman, dan kedalaman jiwa sebab di dalamnya penuh dengan renungan-renungan falsafi. Dan agaknya semua itulah yang dikatakan sebagai proses menuju ke sesuatu yang haqqulyaqin, Yang Maha Tinggi. Sementara itu, manusia total, sebagaimana terdapat dalam status perimbangan antara diri pertama dan diri kedua, menjadi tujuan untuk mencapai spiri- tualitas hidup manusia. Bila telah berhasil menyeimbangkan dua hal yang terdapat dalam dirinya, berarti manusia telah berada dalam proses menuju perimbangan Ilahiyah, yaitu proses penca- rian diri sekaligus Tuhannya.

Demikian pula Sanu, dalam segala usahanya ingin menca- pai puncak spiritualitasnya. Karena itu, ia pantang ambisi, tidak Demikian pula Sanu, dalam segala usahanya ingin menca- pai puncak spiritualitasnya. Karena itu, ia pantang ambisi, tidak

Demikian selintas konsep spiritualitas Motinggo Busye dalam novel Sanu, Infinita Kembar. Kalau kita mencoba melacak karya-karya lainnya, kita dapat menjumpai hal yang sama, misal- nya dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Mata” (Horison, Juli 1986). Cerpen tersebut juga mengungkap masalah yang berkaitan dengan kenyataan bahwa dewasa ini masih banyak terjadi pertentangan antara kebenaran dan kezaliman. Bukan suatu kebetulan bahwa manusia yang masih dikuasai oleh aku- ego-diri-nya akan selalu berusaha meruntuhkan kesucian, beru- saha mencaplok kebenaran. Dengan cerpen dan novelnya ini agaknya Motinggo Busye ingin meyakinkan kita (pembaca) bah- wa kehakikian hidup manusia harus selalu ditegakkan dan kebenaran totalitas-lah yang harus memimpin diri manusia. ***

Suara Karya , 7 Juni 1987

7 ------------------------------- Tiga Karya A.A. Navis: