25 ------------------------------ Realitas ORBA dalam Beberapa Prosa Mutakhir Indonesia
25 ------------------------------ Realitas ORBA dalam Beberapa Prosa Mutakhir Indonesia
------------------------------
Dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu silam, pakar politik Andi Mallarangeng berujar “di tengah hiruk-pikuk perubahan besar bangsa ini, para seniman belum mampu mela- hirkan karya-karya monumental; padahal bahan-bahannya (sikap/perilaku politik, kekuasaan, hukum, dsb) telah tersedia.” Hal itu, katanya, disebabkan oleh banyaknya seniman yang terli- bat langsung dalam arus perubahan besar itu (misalnya mengurus partai) sehingga lalai merenung tentang apa yang terjadi. Maka, karya-karya ciptakannya cenderung bersifat pamflet.
Di satu sisi ujar Andi itu benar kalau “karya monumental” yang dimaksud adalah semacam karya Pramoedya yang “disia- siakan” tetapi justru mendapat Magsaysay dari negara lain itu. Sebab, dalam beberapa dekade terakhir memang tidak lahir karya sekaliber karya sastrawan proletar itu. Maka, sinyalemen Fuad Hassan benar bahwa sejak generasi Horison karya sastra Indonesia “berwarna ungu” (hanya berbicara perasaan personal seseorang). Padahal, pada pergantian rezim Sukarno ke Suharto telah terjadi kegoncangan sosial-politik yang dahsyat: terbunuh-nya ratusan bahkan ribuan jiwa yang dianggap terseret ke “aliran kiri” itu.
Tetapi di sisi lain ujar Andi itu berlebihan. Sebab, dalam khasanah prosa mutakhir kita banyak ditemukan karya yang ber- bicara soal problem sosial-politik dan atau kekuasaan. Sastrawan tahun 90-an agaknya tak segan-segan lagi menohok perilaku sosial-politik Orba. Dan sejak reformasi kecenderungan ini kian Tetapi di sisi lain ujar Andi itu berlebihan. Sebab, dalam khasanah prosa mutakhir kita banyak ditemukan karya yang ber- bicara soal problem sosial-politik dan atau kekuasaan. Sastrawan tahun 90-an agaknya tak segan-segan lagi menohok perilaku sosial-politik Orba. Dan sejak reformasi kecenderungan ini kian
Buku Saksi Mata (1994) karya Seno Gumira Adjidarma agaknya telah menjadi “saksi” bagaimana sastrawan kita berani menelanjangi kebobrokan moral politik negeri ini. Lewat karya- nya Seno jujur menunjukkan apa itu arti “kebenaran” karena di bawah wajah kelam Orba “kebenaran” sering ditafsir secara sepihak (penguasa) sehingga laporan jurnalisme tak mampu berkutik. Bahkan ia mengalami nasib tragis, yakni dipecat dari jabatan redaktur majalah Jakarta-Jakarta. Maka, ia memilih mere- fleksikan peristiwa getir rakyat Timtim ke dalam karya fiksi. Terhadap hal ini Seno punya prinsip satirik bahwa ketika jurnal- isme dibungkam, sastra harus bicara. Sebab, katanya, lewat sastra kita bisa mengatakan kebenaran sejati; tidak seperti kebenaran jurnalisme yang setiap saat mudah dimanipulasi.
Itulah contoh betapa wacana sastra kita yang tidak hanya dipenuhi karya “berwarna ungu”, tetapi juga “berwarna kelam”. Dan kecenderungan itu kini tak henti-hentinya mengalir dari tangan para kreator kita. Periksalah, cerpen-cerpen Pilihan Kom- pas sejak Kado Istimewa (1992) hingga Jejak Tanah (2002), juga cerpen-cerpen di Horison, Republika, Suara Merdeka, Jawa Pos, dll. Dalam karya-karya itu terlihat jelas ada semacam “kemarahan” pengarang melihat sejarah hitam kekuasaan Orba.
Peristiwa pembantaian di Aceh, misalnya, dipotret secara ironik oleh Motinggo Busye dalam cerpen “Dua Tengkorak Kepala” (1999) dan Seno dalam cerpen “Telepon Dari Aceh” (1999). Di situ terlihat betapa DOM ciptaan Orba telah membuat rakyat Aceh “mendesah”, padahal kontribusi Aceh bagi Indonesia nyaris tak terbilang besarnya. Dan realitas itu terjadi karena, seperti dilu- kiskan Abel Tasman dalam cerpen “Pipa Darah” (2001), selama ini minyak hasil “negeri serambi Mekah” itu justru berubah menjadi “anggur minuman pejabat” di kota metropolitan (Jakarta). Semen- Peristiwa pembantaian di Aceh, misalnya, dipotret secara ironik oleh Motinggo Busye dalam cerpen “Dua Tengkorak Kepala” (1999) dan Seno dalam cerpen “Telepon Dari Aceh” (1999). Di situ terlihat betapa DOM ciptaan Orba telah membuat rakyat Aceh “mendesah”, padahal kontribusi Aceh bagi Indonesia nyaris tak terbilang besarnya. Dan realitas itu terjadi karena, seperti dilu- kiskan Abel Tasman dalam cerpen “Pipa Darah” (2001), selama ini minyak hasil “negeri serambi Mekah” itu justru berubah menjadi “anggur minuman pejabat” di kota metropolitan (Jakarta). Semen-
Perubahan besar dari Orba ke Reformasi juga menjadi peristiwa dramatik di mata pengarang kita. Prasetyohadi dalam cerpen “Penjaja Air Mata” (1998) melukiskan betapa korban gerakan reformasi justru berjatuhan di pihak yang selama ini tersingkir, sementara elite-elite kekuasaan masih saja kuat mencengkeramkan kukunya. Kalau begitu betapa telah meng-akar “penyakit” sosial-politik di Indonesia; dan itu tak hanya terjadi di lapisan atas tetapi juga mewabah sampai ke elit-elit birokrasi terbawah. Ini pula yang diungkap Gus tf Sakai dalam cerpen metaforik “Ulat dalam Sepatu” (1998).
Kuntowijoyo dalam novel Mantra Pejinak Ular (2000) tampak lebih utuh memotret sejarah kelam Orba. Karya jenis inilah yang barangkali diharapkan Andi Mallarangeng sebagai “karya monumental”. Meski latar cerita hanya terjadi di sebuah kota kecamatan di kaki Gunung Lawu, tetapi lewat tokoh Abu Kasan Sapari, Kuntowijoyo berhasil mengupas habis kecarut- marutan sistem sosial-politik Indonesia di bawah rezim “Pohon Beringin” itu. Lewat novel ini Kuntowijoyo seolah sedang me- nyusun risalah sejarah yang di dalamnya tergambar betapa bejat “mesin-mesin politik” melumat segala aspek kehidupan.
Dalam novel itu Abu bukanlah tokoh politik, tetapi hanya seorang dalang. Ia tidak memihak kelompok mana pun, kecuali pada kebenaran. Karena kebenaran lebih efektif disosialisasikan lewat kesenian, ia pun setia pada profesinya sebagai dalang. Maka ia menolak ketika ditawari “mesin politik” untuk menjadi caleg Dalam novel itu Abu bukanlah tokoh politik, tetapi hanya seorang dalang. Ia tidak memihak kelompok mana pun, kecuali pada kebenaran. Karena kebenaran lebih efektif disosialisasikan lewat kesenian, ia pun setia pada profesinya sebagai dalang. Maka ia menolak ketika ditawari “mesin politik” untuk menjadi caleg
Meski begitu, seiring dengan perubahan yang terjadi (tumbangnya orde yang kemaruk itu), dalam novel ini Abu tampil sebagai “pejuang demokrasi”. Andai rezim Orba masih berkuasa sampai kini, niscaya novel yang menyajikan realitas sejarah kelicikan Orba yang dibaurkan dengan mitos Jawa ini tak bakal lahir. Atau, kalaupun lahir, belum tentu Kuntowijoyo mau mener- bitkannya, lebih-lebih lewat koran Kompas yang memiliki jang- kauan amat luas itu.
Tetapi kini novel itu telah hadir. Itu menjadi bukti di dalam sastra kita tidak hanya mengalir karya-karya “berwarna ungu”, tetapi juga karya yang mampu menjadi saksi sejarah perjalanan bangsa. Hanya sayangnya, upaya Kuntowijoyo itu belum me- rangsang pengarang lain untuk menciptakan karya sejenis. Pada- hal, karya jenis ini tidak hanya mampu menum-buhkan kesadaran personal seseorang, tapi juga membangun kesadaran sosial dan kesadaran berbangsa. Walaupun, terkadang aspek estetik tak tergarap dengan baik akibat lebih memen-tingkan aspek ekstra- estetik seperti pesan-pesan ideologis.***
Kedaulatan Rakyat , 29 Februari 2004
26 -----------------------------------