Makna Religiositas Mudik
Makna Religiositas Mudik
---------------------------
Setiap kali datang masa liburan, terutama menjelang Idul- fitri, mudik merupakan sebuah peristiwa yang paling sering dibicarakan. Bukan saja ia sebagai momen penting yang berkaitan dengan suasana fitrah atau kesucian manusia, tetapi juga dilihat sebagai peristiwa sosial, ekonomi, dan budaya. Dari segi sosial, dalam peristiwa mudik terbayang adanya berbagai kerusuhan, kesemrawutan, dan kejahatan. Ini bisa dilihat di pusat-pusat keramaian seperti di terminal, stasiun, pertokoan, atau di tempat- tempat penjualan tiket. Bisa juga dilihat betapa meresahkannya kasus penjambretan, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Dari segi ekonomi, peristiwa mudik ternyata juga telah “menyulap” para agen, biro perjalanan, pedagang, dan para sopir menjadi “singa” yang mencoba meraup sekian banyak keun- tungan. Dan dari sisi budaya, peristiwa mudik merupakan simbol keberhasilan atau kegagalan seseorang. Jika di “negeri lain” orang berhasil dalam mengadu nasib akan memperoleh penga- kuan dan pengukuhan di negerinya sendiri, dan jika sebaliknya, ia akan menerima “tudingan” yang menyakitkan. Dan di balik semua itu terja-dilah semacam pergulatan melawan kehidupan yang keras.
Mudik lebaran sesungguhnya merupakan suatu perjalanan ke “tanah suci”. Melalui perjalanan itu orang mencoba menyam- bung kembali akar-akar persaudaraan yang terputus. Sehingga dicapailah suatu harmoni. Jadi, para pemudik tidak sekadar pulang ke tanah kelahiran, tetapi juga mencoba menemukan Mudik lebaran sesungguhnya merupakan suatu perjalanan ke “tanah suci”. Melalui perjalanan itu orang mencoba menyam- bung kembali akar-akar persaudaraan yang terputus. Sehingga dicapailah suatu harmoni. Jadi, para pemudik tidak sekadar pulang ke tanah kelahiran, tetapi juga mencoba menemukan
Mengingat betapa penting arti mudik, wajar jika seseorang sungguh berani berkorban. Waktu, tenaga, uang, dan segalanya dipertaruhkan. Karena itu tak jadi soal jika mereka harus berjejal- jejal di bis, kereta, atau angkutan lainnya. Mereka juga rela me- nunggu atau bermalam di stasiun dan terminal. “Daripada tidak mudik, lebih baik menunggu meski harus banyak berkorban.” Itulah, barangkali, kata terakhir yang masih bisa diucapkan.
Dampak dan ekses mudik lebaran memang merupakan “sesuatu” yang selalu menarik. Bukan saja menarik bagi aparat keamanan (pemerintah) untuk mencari jalan pemecahan yang terbaik, tetapi juga bagi pengarang yang menulis cerpen dalam buku Mudik (Bentang, 1996). Dalam buku ini tujuh pengarang mencoba mengungkap sisi-sisi tertentu di seputar lebaran yang tidak disadari banyak orang. Yudhistira ANM Massardi, misal- nya, dalam cerpennya “Lebaran Kami” memberikan jalan yang terbaik untuk mengatasi timbulnya dampak negatif terhadap mudik lebaran. Dikisahkan bahwa seorang ibu memiliki 10 anak, 7 di antaranya berada di Jakarta, dan 3 lainnya di kota yang ter- pisah. Bagi anak-anak ini, mudik dirasakan sebagai beban yang sangat berat. Sebab, masing-masing sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Karena itu, setelah minta persetujuan dengan 3 anak yang ada di kota lain, akhirnya sang ibulah yang justru diboyong ke Jakarta. Jalan inilah yang dianggap terbaik karena dengan demikian beban berat mereka dapat dihindari.
Peristiwa mudik yang benar-benar diartikan sebagai “kem- Peristiwa mudik yang benar-benar diartikan sebagai “kem-
Di satu sisi, mudik sebenarnya merupakan suatu peristiwa yang sangat menggembirakan. Namun, di sisi lain juga menim- bulkan ironi menyedihkan. Ini biasa terjadi pada kelu-arga- keluarga miskin. Lihatlah betapa menyedihkan keluarga Joko dan Tinah dalam cerpen “Mudik” karya Mustafa W. Hasyim. Keluarga yang mencoba mengadu nasib di Jakarta ini sebenarnya ingin sekali mudik ke Jawa. Tetapi, nasiblah yang menggagalkan ke- inginannya. Mencari makan saja susah, apalagi ia harus menderita sakit. Dan puncaknya ia banyak utang sehingga tak bisa mudik. Padahal, ketiga anaknya sudah mem-bayangkan betapa baha- gianya berjumpa dengan kakek, nenek, Pakde, Tante, dan lainnya. Ini membuat hati Joko dan Tinah teriris. Kesedihan orang miskin akibat tekanan ekonomi seperti ini tampak pula pada diri Sahid dalam cerpen “Pengangkut Sampah di Malam Takbiran” karya Mustafa W. Hasyim. Di tengah kebahagiaan orang berlebaran ia masih harus bekerja lembur demi uang untuk menghidupi kelu- arga.
Demikian kesan sepintas membaca cerpen-cerpen dalam buku Mudik. Dari sepuluh cerpen yang ada dalam buku ini, yang mengisahkan peristiwa mudik hanya cerpen “Pulangnya Sebuah Keluarga Besar” (Mohammad Diponegoro), “Salam Lebaran” (Hamsad Rangkuti), “Lebaran Kami” (Yudhistira), dan “Mudik” (Mustafa W. Hasyim). Sedangkan cerpen “Hati yang Damai
Kembalilah Kepada Tuhan” (Kuntowijoyo), “Malam Takbiran” dan “Reuni” (Hansad Rangkuti), “Parcel” (Ahmad Munif), “Wangon-Jatilawang” (Ahmad Tohari), dan “Pengangkut Sam- pah di Malam Takbiran” (Mustafa W. Hasyim) tidak mengi- sahkan peristiwa mudik, tetapi tentang liku-liku kehidupan di seputar hari lebaran. Karena itu, jika dilihat temanya, sebenarnya judul buku ini yang paling pas bukan “Mudik” tetapi yang berkaitan dengan lebaran. Misalnya, “Salam Lebaran” atau “Lebaran Kami”. Atau, jika dilihat secara umum, menurut tema yang lebih besar, justru judul pengantar “Kembali ke Tanah Suci” yang ditulis Mohamad Sobary itulah yang paling cocok untuk dijadikan judul kumpulan cerpen ini.
Sebagai catatan akhir, buku ini tidaklah terlalu istimewa. Meskipun para pengarangnya sudah cukup terkenal dalam kan- cah kesusastraan Indonesia, tetapi cerpen-cerpen yang ada masih dalam taraf “biasa” dari segi kualitas. Kendati demikian, sebagai produk seni (sastra) yang berusaha merekam realitas sosial, di antaranya realitas mudik yang selalu menjadi masalah serius yang perlu dicarikan jalan keluarnya, karya-karya dalam buku ini layak dihargai. Sebab, betapapun kecilnya, karya ini masih menampak- kan adanya suatu “kebenaran”. ***
Media Indonesia , 2000
17 ---------------------------- Pasar Karya Kuntowijoyo: