Pengungkapan Misteri Takdir
Pengungkapan Misteri Takdir
----------------------------
Pada dasarnya sastra dapat menimbulkan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Sastra menimbulkan rasa sakit karena pada kenya- taannya kita sering melihat banyak sekali manusia yang aneh, gila, mementingkan dirinya sendiri, dan sia-sia dalam pergu- mulan untuk menentukan identitas dirinya. Sastra juga menim- bulkan rasa takjub karena pada galibnya sastra meng-gambarkan manusia-manusia yang terlalu baik yang mungkin tidak ter- jangkau oleh kenyataan sehari-hari. Sastra juga menimbulkan rasa syahdu karena nostalgia pengarang adalah nostalgia yang tidak mungkin tercapai. Dan makin baik suatu karya sastra, makin banyak karya tersebut menimbulkan rasa sakit, takjub, dan syah- du. Makin baik suatu karya sastra, makin universal pula masalah yang diungkapkan di dalamnya (cinta kasih, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, dan sebagainya).
Demikian sinyalemen Budi Darma dalam bukunya Solilokui (Gramedia, 1983). Sinyalemen ini tidaklah terlalu berlebihan karena hampir seluruh karya sastra yang baik selalu mengung- kapkan masalah-masalah yang kompleks seperti kompleksnya perpaduan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Hanya sayangnya, kata Budi Darma, karya yang demikian di Indonesia belum banyak. Karya-karya yang ada pada umumnya hanya mengungkapkan salah satu dari tiga hal tersebut. Bahkan, apa yang diharapkan mengenai sastra yang seharusnya meng-ungkapkan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa tampaknya juga belum menjadi Demikian sinyalemen Budi Darma dalam bukunya Solilokui (Gramedia, 1983). Sinyalemen ini tidaklah terlalu berlebihan karena hampir seluruh karya sastra yang baik selalu mengung- kapkan masalah-masalah yang kompleks seperti kompleksnya perpaduan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Hanya sayangnya, kata Budi Darma, karya yang demikian di Indonesia belum banyak. Karya-karya yang ada pada umumnya hanya mengungkapkan salah satu dari tiga hal tersebut. Bahkan, apa yang diharapkan mengenai sastra yang seharusnya meng-ungkapkan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa tampaknya juga belum menjadi
Konsep pemikiran di atas memang secara konsisten dibuk- tikan oleh Budi Darma dalam novel keduanya Rafilus (Balai Pustaka, 1988). Sebab, kalau kita amati lebih seksama, novel itu memang mengungkapkan suatu persoalan yang merupakan per- paduan dari rasa sakit, takjub, dan syahdu. Dikatakan demikian karena ambisi, angkara murka, dan keadaan masyarakat yang tidak beres begitu ditonjolkan sehingga kita seolah dibawa ke suatu situasi sosial yang di dalamnya penuh dengan manusia- manusia yang sakit jiwa. Selain itu, jiwa tokoh-tokoh yang aneh, menentang logika, jungkir balik, dan perilaku yang tidak waras juga digunakan untuk menguak sifat dasar manusia sehingga kita takjub dibuatnya. Sementara itu, dapat dirasakan pula adanya cerminan pengalaman pengarang tentang hidup dan kehidupan yang abstrak tetapi mendekati kebenaran sehingga perasaan syahdu pun muncul ke permukaan.
Itulah keunikan novel Rafilus yang sarat dengan nuansa eksperimen pikiran dan perasaan sebagaimana tampak pula di dalam karya-karya sebelumnya (Olenka dan Orang-Orang Bloo- mington ). Novel Rafilus bukan semata novel pikiran, melain-kan melebihi batas rasional. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa jika ingin menjadi pengarang yang benar-benar pengarang, begitu kata Budi Darma, orang harus mampu memadukan man of action dan man of though (Darma, 1982). Menjadi pengarang yang baik harus bisa mengintegrasikan pikiran dan keterlibatan sehingga punya amunisi yang canggih, yakni bekal pengetahuan, penga- laman, dan keterlibatan. Amunisi, keprihatinan, dan kesadaran itu akhirnya akan menjadi semacam wawasan yang menyatu di dalam karya yang diciptakan.
Andaikata membaca dengan seksama novel Rafilus, kita akan segera dikacaukan oleh pikiran-pikiran yang meloncat- Andaikata membaca dengan seksama novel Rafilus, kita akan segera dikacaukan oleh pikiran-pikiran yang meloncat-
Hal itulah yang menimbulkan siklus kehidupan menjadi dramatis, menjadi jungkir balik. Dan ternyata, dunia gambaran Budi Darma yang tidak beres itu dapat dirangkum menjadi sebuah dunia tersendiri, yaitu dunia dalam kata, dalam novel, walaupun hal itu tidak akan pernah selesai. Itulah sebabnya, mengapa Budi Darma selalu mengumandangkan sebuah keabs- traksian hidup lewat peristiwa-peristiwa dan tindakan tokoh yang aneh dan mengejutkan. Hal seperti inilah yang disebut novel mengatasi pikiran, irasional, bahkan sampai pada takdir (Tuhan) yang eksistensinya sangat misterius. Memang, makna keutuhan dan totalitas novel ini berkait erat dengan upaya pengungkapan misteri sebuah takdir.
Sebagaimana dikatakannya sendiri (dalam sebuah wawan- cara tertulis di Horison, Maret 1988) bahwa sebelum dan selama menulis, Budi Darma menyaksikan dan selanjutnya memper- tanyakan: mengapa orang-orang yang berlaku baik, jujur, tidak mengumbar ambisi, nafsu, dan bersikap nrima justru mendapat musibah, bahkan tidak berumur panjang? Mengapa pula justru orang yang ambisius dan egois malahan mendapatkan rahmat, kelonggaran, dan umur panjang? Inilah misteri yang selamanya tak dapat diterjemahkan dengan logika. Mengenai hal ini, dalam novelnya Budi Darma menyatakan: “Siapa mereka, tidak ada gunanya dia mengatakan. Apa pun yang terjadi, dia tidak mem- punyai wewenang untuk menggugat ketidakadilan. Dia tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan mengapa orang-orang Sebagaimana dikatakannya sendiri (dalam sebuah wawan- cara tertulis di Horison, Maret 1988) bahwa sebelum dan selama menulis, Budi Darma menyaksikan dan selanjutnya memper- tanyakan: mengapa orang-orang yang berlaku baik, jujur, tidak mengumbar ambisi, nafsu, dan bersikap nrima justru mendapat musibah, bahkan tidak berumur panjang? Mengapa pula justru orang yang ambisius dan egois malahan mendapatkan rahmat, kelonggaran, dan umur panjang? Inilah misteri yang selamanya tak dapat diterjemahkan dengan logika. Mengenai hal ini, dalam novelnya Budi Darma menyatakan: “Siapa mereka, tidak ada gunanya dia mengatakan. Apa pun yang terjadi, dia tidak mem- punyai wewenang untuk menggugat ketidakadilan. Dia tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan mengapa orang-orang
Dalam menjawab pertanyaan tersebut kemudian Budi Darma menyatakan: “Dengan kemauan untuk maju, ketidak- bodohan dan kekerasan kerjanya, seharusnya ia mempunyai hak untuk memperoleh harkat lebih baik. Dia tidak mempunyai fasilitas lain kecuali melata, sebab takdir sudah menentukan demikian. Dan takdir tidak dapat diperdebatkan, sebab takdir tidak mempunyai keadilan dan timbang rasa” (hlm. 94). Ungkapan itulah yang disampaikan lewat tokoh Pawestri kepada Tiwar (si aku, narator) yang pada saat itu Tiwar sedang meng- alami berbagai konflik dalam menghadapi bayang-bayang Rafilus.
Hal-hal yang secara implisit mengungkapkan persoalan misteri kehidupan tersebut dapat dilacak lewat berbagai peristiwa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh, di antaranya tokoh Munandir, seorang upas pos. Kendati selama ini Munandir telah bekerja dengan rajin, tekun, dan keras, ia tetap tidak pernah memperoleh kebahagiaan karena ternyata semua hal yang dilakukannya selalu sial. Demikian juga kesialan Pawestri yang tidak pernah tercapai cita-citanya untuk mempunyai anak. Namun, sebaliknya, tokoh bernama Jumarub, seorang yang kaya raya dan dengan tipu dayanya selalu membuat orang lain hancur, atau si Van der Klooning dan Jan van Kraal yang tidak pernah jera menindas orang-orang kecil, malahan semakin jaya dan kaya, bahkan sema- kin terhormat.
Hal lain yang perlu dicatat ialah bahwa berkat novel Rafilus kedudukan Budi Darma sebagai sastrawan yang punya gaya dan ciri khas semakin kokoh. Gaya dan ciri khas Budi Darma yang membedakannya dengan para pengarang lain adalah kegemar- annya menampilkan tokoh-tokoh yang keras, kejam, tanpa peri- kemanusiaan tetapi jujur, dan memanfaatkan bahasa yang ber- nuansa keras, lepas dari eksotisme, dan penyajiannya yang sangat Hal lain yang perlu dicatat ialah bahwa berkat novel Rafilus kedudukan Budi Darma sebagai sastrawan yang punya gaya dan ciri khas semakin kokoh. Gaya dan ciri khas Budi Darma yang membedakannya dengan para pengarang lain adalah kegemar- annya menampilkan tokoh-tokoh yang keras, kejam, tanpa peri- kemanusiaan tetapi jujur, dan memanfaatkan bahasa yang ber- nuansa keras, lepas dari eksotisme, dan penyajiannya yang sangat
Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya dapat ditelu- suri melalui kesaksian tokoh Tiwar terhadap sosok Rafilus. Kesak- sian itulah yang kemudian memerangkap pikiran dan otak Tiwar sehingga segala tingkah laku dan tindakannya selalu dibayangi oleh kehadiran Rafilus. Rafilus adalah seorang pengarang (no- velis), dan untuk menelusuri bagaimana proses Rafilus menga- rang, pikiran dan otak Tiwar terseret ke dalam proses itu sendiri. Oleh karena itu, di situ terjadi proses dua kali karena novel Rafilus mengungkapkan proses Rafilus mengarang novel yang berjudul Bambo .
Demikian kesan terakhir ketika kita membaca Rafilus karya Budi Darma. Jika dilihat komposisi atau strukturnya, agaknya novel ini sedikit menyusahkan. Paling tidak, jika hendak meng- ungkap seluruh aspeknya, baik stilistik maupun tematiknya, mestilah kita berbekal pengetahuan yang cukup, tidak terkecuali pengetahuan tentang teori-teori (apresiasi) sastra. ***
Kedaulatan Rakyat , 27 November 1988