Kekuatan Akta Otentik Sebagai Alat Bukti

50 keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris. 74 b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, maka akta tersebut kehilangan otentisitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditandatangani oleh para penghadap; c. Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Wewenang Notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta otentik, meliputi 4 empat hal yaitu: 75 1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu; 2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang -orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; 3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat; 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

4. Kekuatan Akta Otentik Sebagai Alat Bukti

Kekuatan pembuktian akta otentik adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada 74 Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Op.cit., hal. 58. 75 G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 49. Universitas Sumatera Utara 51 pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak pemberian tanda kepercayaan kepada para pejabat itu dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat. 76 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1866 KUHPerdata, maka alat-alat bukti terdiri dari: a. Bukti tulisan b. Bukti dengan saksi-saksi c. Persangkaan-persangkaan d. Pengakuan e. Sumpah Alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 1866 KUHPerdata, jelas bahwa alat bukti tulisan merupakan alat bukti yang utama daripada alat bukti lainnya. Adapun dari bukti tulisan tersebut terdapat suatu yang berharga untuk pembuktian yaitu akta. Akta dapat dibedakan menjadi 2 dua macam, yaitu akta di bawah tangan dan akta otentik. Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, “Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya”. Menurut Pasal 1874 KUHPerdata, yang dimaksud dengan bukti tulisan lain adalah surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lainnya, yang dibuat bukan dengan tujuan sebagai alat bukti di muka pengadilan dan tidak harus ada tanda tangannya. Bukti tulisan di bawah tangan atau otentik mengharuskan adanya tanda tangan dan sengaja dibuat sebagai alat bukti di muka pengadilan 76 Ibid., hal. 54. Universitas Sumatera Utara 52 serta memuat peristiwa-peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan perikatan. Bukti tulisan di bawah tangan akta di bawah tangan dan bukti tulisan otentik akta otentik berbeda dengan bukti tulisan lainnya yang tidak mengharuskan adanya tanda tangan. Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang, salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Dalam hal harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi Notaris memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena berdasarkan pasal 1 UUJN Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan, dapat dilihat dari kekuatan pembuktiannya. Oleh karena akta otentik dibuat oleh pejabat yang mempunyai wewenang untuk itu, maka akta otentik merupakan alat bukti yang kuat dan sempurna dan tidak membutuhkan pengakuan atau alat bukti yang lainnya dan apabila ada yang menyangkal, maka yang menyangkal harus dapat membuktikannya dengan memperlihatkan alat bukti yang sejajar dengan alat bukti otentik tersebut. Dalam Pasal 1870 KUHPerdata disebut bahwa, ”Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang Universitas Sumatera Utara 53 mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”. Menurut pendapat umum yang dianut, pada hakikatnya setiap akta otentik kekuatan pembuktian akta otentik dibedakan 3 tiga, yakni: 77 1. Kekuatan pembuktian lahiriah Uitwendige Bewijskracht. Kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tandatangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. 78 Oleh karena itu, nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. 2. Kekuatan pembuktian formal Formele Bewijskracht Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta 77 Ibid. 78 Ibid. Universitas Sumatera Utara 54 tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul waktu menghadap dan para pihak yang menghadap, paraf dan tandatangan para pihakpenghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris pada akta pejabatberita acara dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihakpenghadap pada akta pihak. 79 Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian formal ini juga dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya yang merupakan pembuktian lengkap, maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama, dengan pengertian bahwa keterangan pejabat yang terdapat di dalam kedua golongan akta itu ataupun keterangan dari para pihak dalam akta, baik yang ada di dalam akta partij maupun di dalam akta pejabat, mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang, yakni apa yang ada dan terdapat di atas tandatangan mereka. 80 Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, 79 Habib adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Op.cit., hal. 72-73. 80 G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 57-58. Universitas Sumatera Utara 55 disaksikan dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikandisampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun. 81 3. Kekuatan pembuktian material Materiele Bewijskracht Dahulu dianut pendapat, bahwa dengan kekuatan pembuktian formal tadi habislah kekuatan pembuktian dari akta otentik. Pendapat sedemikian sekarang ini tidak dapat diterima lagi. Ajaran semacam itu yang dinamakan “de leer van de louter formele bewijskracht” telah ditinggalkan, oleh karena itu merupakan pengingkaran terhadap perundang-undangan sekarang, kebutuhan praktek dan sejarah. 82 Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya tegenbewijs. Keterangan atau pernyataan yang dituangkandimuat dalam akta pejabat atau berita acara, atau keterangan para pihak yang diberikan disampaikan di hadapan Notaris dan 81 Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Op.cit., hal. 74. 82 G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 59. Universitas Sumatera Utara 56 para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkandimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian keterangannya dituangkandimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika ternyata pernyataanketerangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untukdi antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. 83 Jika akan membuktikan aspek material dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata di hadapan Notaris menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. 84 Sedangkan yang menjadi fungsi suatu akta otentik dapat dibedakan ke dalam 2 dua fungsi, yaitu: 1. Fungsi formal formalitas causa artinya suatu perbuatan hukum baru sah jika dibuat dengan akta otentik dan tidak dapat dibuktikan dengan bukti lain; 2. Fungsi sebagai alat bukti probationis casua artinya akta otentik dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti di kemudian hari tentang perbuatan hukum yang disebut dalam akta. 83 Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Op.cit., hal. 74. 84 Ibid. Universitas Sumatera Utara 57 Kebenaran akta Notaris adalah kebenaran formal, maksudnya dasar pembuatan akta mengacu pada identitas komparan dan dokumen-dokumen formal sebagai pendukung untuk suatu perbuatan hukum. Sehingga akta yang dibuat Notaris adalah bersifat kebenaran formal, disebut begitu karena Notaris tidak melakukan penelusuran dan penelitian sampai ke lapangan tentang dokumen formal yang dilampirkan sehingga akta Notaris bukan kebenaran materil sebagaimana pencarian kebenaran dan keadilan dalam proses hukum di pengadilan. Suatu akta Notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas suatu akta, maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.

C. Kedewasaan Menurut Hukum Dalam Pembuatan Akta Notaris

Kecakapan seseorang bertindak untuk melakukan perbuatan hukum, memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur. Dalam konsep Universitas Sumatera Utara 58 yang dipakai dalam KUHPerdata tentang ukuran kedewasaan seseorang, yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 330 KUHPerdata, orang dewasa adalah: 85 a. Telah mencapai umur 21 tahun atau lebih; b. Mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun Berdasarkan ketentuan tersebut, dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan dengan kecakapan bertindak dalam hukum, dapat disimpulkan, bahwa menurut KUHPerdata, paling tidak menurut anggapan KUHPerdata, orang-orang yang disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari akibat hukum dari perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum. Menurut KUHPerdata ada faktor lain selain unsur usia untuk mengukur kedewasaan yaitu status telah menikah, termasuk kalau suami isteri yang bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun. Sekalipun Pasal 330 KUHPerdata mengkaitkan kedewasaan dengan umur tertentu dan di dalam KUHPerdata berlaku prinsip, bahwa yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, adalah mereka-mereka yang telah dewasa namun dalam hal ini tidak berarti, bahwa pembuat undang-undang tidak diperbolehkan memberikan perkecualian-perkecualian. Menurut konsep hukum Perdata, pendewasaan seseorang dapat dilakukan dengan 2 dua cara yaitu: 85 J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Bandung, Citra Aditya Bakti,1999, hal. 63. Universitas Sumatera Utara 59 1. Pendewasaan Penuh. Untuk meminta pendewasaan lengkap, anak dibawah umur yang bersangkutan harus telah mencapai umur 20 tahun Pasal 421 KUH Perdata. Yang memberi surat pendewasaan adalah Presiden Menteri Kehakiman setelah dilakukan perundingan dengan Mahkamah Agung Pasal 420 KUHPerdata. Permohonan yang diajukan disertai dengan akta kelahiran yang didengar adalah kedua orang tuanya yang hidup terlama, wali Badan Harta Peninggalan BHP sebagai wali pengawas dan keluarga sedarah semenda Pasal 422 KUHPerdata. 86 Dari pendewasaan penuh ini maka akibat hukumnya adalah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi apabila ingin melangsungkan perkawinan tetap memerlukan dari ijin orang tua. 2. Pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu terbatas. Untuk diperbolehkan memohon pendewasaan terbatas seorang anak harus berusia genap 18 tahun. Instansi yang memberikannya adalah Pengadilan Negeri di tempat tinggalnya. Tetapi jika orang tua yang menjalankan kekuasaan orangtua atau perwalian tidak setuju, pendewasaan terbatas tidak akan diberikan Pasal 426 KUHPerdata. Pengadilan Negeri mendengar kedua orang tua Pasal 427 ayat 1 KUHPerdata jika anak berada di bawah perwalian, maka pengadilan negeri juga mendengar wali, jika wali orang lain bukan orangtuanya, wali pengawas, 86 Tan Thong Kie, Op.cit., hal.38. Universitas Sumatera Utara 60 keluarga sedarah atau semenda. Jika hakim memandangnya perlu, anak pun didengar Pasal 427 ayat 3 KUHPerdata. Sedangkan menurut beberapa konsep hukum yang ada, batasan usia dewasa antara undang-undang yang satu dengan yang lain berbeda dan belum ada keseragaman, hal ini dapat dilihat dari beberapa konsep hukum tersebut yaitu : 1. Konsep Hukum Pidana Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut Pasal 294 dan Pasal 295 KUHPerdata adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya putus ia tidak kembali menjadi belum cukup umur. 2. Konsep Hukum Adat Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara insidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Universitas Sumatera Utara 61 Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu. Belum cakap artinya, belum mampu memeperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. Cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. 3. Konsep Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan a. Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun Pasal 6 ayat 2; b. Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun Pasal 7 ayat 2; c. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua Pasal 47 ayat 1; d. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada di kekuasaan wali Pasal 50 ayat 1. Adanya perkecualian atas prinsip bahwa yang disebut cakap untuk melakukan tindakan hukum adalah bagi mereka yang sudah dewasa menurut ukuran Pasal 330 KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan, maka yang dapat melangsungkan perkawinan secara sah adalah laki-laki yang telah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualian lain dari ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tentang batasan kedewasaan, dapat dilihat dari ketentuan UUJN, terutama pada Pasal 39 ayat 1 UUJN Universitas Sumatera Utara 62 yang menyatakan bahwa seorang penghadap harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berumur 18 delapan belas tahun atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat 1 UUJN tersebut di atas, bahwa syarat seseorang bisa menjadi penghadap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, adalah paling sedikit sudah berusia 18 tahun atau telah menikah sebelumnya.

D. Kecakapan Hukum Seseorang Yang Berada Di Dalam Rumah Tahanan Dalam Pembuatan Akta Notaris

1. Kecakapan Hukum Bertindak

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

ANALISA YURIDIS SAHNYA PERJANJIAN YANG DIBUAT DENGAN AKTA NOTARIIL YANG DITANDA TANGANI DI RUMAH TAHANAN KEPOLISIAN (Kajian Putusan Mahkamah Agung RI No. 3641 K/Pdt/2001)

0 16 79

KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN YANG DIBUAT DI DALAM RUMAH TAHANAN NEGARA ( Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3641.K/Pdt/2001 )

2 8 18