Deskripsi Kasus KASUS RESPONDEN III

“Saya takut membesarkan sendiri anak-anak, takut tidak sanggup memenuhi kebutuhan mereka, gaji saya kan kecil. Apalagi sekarang sudah 2 orang yang sekolah. Makanya saya sangat mengharapkan mantan suami saya memenuhi kewajibannya untuk menafkahi anak-anak sesuai janjinya Rp 100.000 setiap bulannya, tapi melihat perbuatannya sekarang yang tidak lagi mengirimkan biaya, saya menjadi ragu pada janji mantan suami saya itu.”

4.3.3. Deskripsi Kasus

Ibu Sari adalah seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya sendiri. Ibu ini memiliki tinggi badan tidak terlalu tinggi, berambut ikal sebahu dan kulit kuning langsat. Ibu Sari sangat menyayangi anak-anaknya, karena terlalu memikirkan kebahagiaan anak-anaknya, Ibu Sari tidak berani untuk menikah lagi setelah diceraikan oleh suaminya, meskipun sebenarnya dia memiliki niat untuk menikah lagi. Bu Sari berkata: “Anak-anak tidak setuju kalau saya nikah lagi, mereka bilang takut orangnya jahat kayak bapaknya. Jadi saya menuruti saja keinginan anak-anak saya.” Pada tanggal 28 April 1995, Ibu Sari dan Bapak Sugiatno menikah setelah 3 tahun berpacaran. Ibu Sari menceritakan pada penulis bahwa ketika berpacaran sebelum menikah suaminya sangat baik dan perhatian padanya. Kebaikan suaminya juga berlanjut hingga anak pertama mereka lahir, demikian juga ketika kelahiran anak kedua dan ketiga mereka. Dari suaminya ini, Ibu Sari memiliki 3 orang anak, yaitu Rita 11 tahun, Roy 7 tahun dan Ridho 2 tahun. Suami Ibu Sari sangat perhatian terhadap keluarga, dan hingga awal tahun 2004 kehidupan rumah tangga mereka terbilang bahagia dan jauh dari pertengkaran. Suatu hari, teman Ibu Sari datang memberitahukan pada Ibu Sari bahwa suaminya Sugiatno selingkuh. Teman Ibu Sari melihat Sugiatno menggandeng wanita lain di salah satu pusat perbelanjaan di Medan. Ibu Sari tidak langsung Universitas Sumatera Utara percaya pada temannya ini, apalagi selama ini dimata Ibu Sari, suaminya adalah tipe suami yang baik dan perhatian pada keluarga. Tapi lama kelamaan Ibu Sari menjadi curiga juga, karena bukan hanya satu atau dua orang saja temannya yang melihat dan melaporkan padanya tentang suaminya yang selingkuh. Ibu Sari pun memutuskan untuk menyelidiki sendiri tentang apakah betul kabar yang mengatakan bahwa suaminya selingkuh. Akhir tahun 2004, dia menyaksikan sendiri suaminya sedang jalan dengan seorang wanita yang tidak Ibu Sari kenal, tapi Ibu Sari tidak langsung melabrak suaminya, dia merasa malu bila harus ribut- ribut di muka umum, apalagi menjadi tontonan orang banyak. Maka dia memutuskan untuk mendiamkan dulu masalah itu dan akan membicarakannya di rumah setelah suaminya pulang. Ibu Sari menjelaskan: “Awalnya saya tidak percaya pada teman saya yang bilang suami saya selingkuh, saya selalu pikir nggak mungkin suami saya berbuat seperti itu, karena yang saya tahu selama ini suami saya sangat baik, apalagi kami jarang bertengkar. Ternyata pengaduan teman-teman saya memang benar, saya sendiri pernah melihat dia jalan dengan wanita itu, tapi waktu itu saya tidak langsung melabrak suami saya, meski sebenarnya saya ingin sekali menampar wanita itu, juga memarahi suami saya, karena saya takut dan malu jadi bahan tontonan orang.” Ketika suaminya sudah pulang, Ibu Sari tidak dapat menyembunyikan amarahnya, dia melampiaskan semua kemarahannya pada Sugiatno. Awalnya Sugiatno menyangkal tapi setelah Ibu Sari mengatakan padanya bahwa Ibu Sari telah melihat sendiri suaminya itu sedang berduaan dengan wanita lain yang tidak dikenal oleh Ibu Sari, akhirnya Sugiatno mengakui perselingkuhannya, dia juga mengaku bahwa wanita itu masih baru dikenalnya, setelah berbicara panjang lebar, Sugiatno akhirnya minta maaf pada Ibu Sari dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya itu lagi. Meskipun suaminya sudah berjanji untuk tidak selingkuh lagi, tapi Ibu Sari sudah tidak percaya sepenuhnya pada suaminya itu. Hal ini sesuai dengan pernyataannya: Universitas Sumatera Utara “Suami saya memang sudah berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, tapi saya tidak langsung percaya, saya selalu curiga sama dia. Memang sih mungkin saja dia menjawab yang benar waktu kutanyai tapi yang namanya sudah pernah dikhianati, pasti bawaannya tidak bisa percaya sepenuhnya lagi, dan memang terbuktikan dia mengulangi perbuatannya lagi?” Sejak peristiwa itu, sikap Ibu Sari pada suaminya menjadi berubah. Dia menjadi lebih cuek, pemarah dan curigaan pada Sugiatno, apalagi jika suaminya itu pulang kemalaman ke rumah. Hal ini membuat kehidupan rumah tangga mereka menjadi tidak harmonis lagi. Pertengkaran demi pertengkaran tidak dapat dihindari, sikap Ibu Sari yang selalu curiga membuatnya sering menuduh suaminya berselingkuh jika suaminya terlambat pulang. Sikap ini membuat Sugiatno menjadi jengkel dan membalas tuduhan istrinya dengan kemarahan yang memicunya untuk melakukan kekerasan fisik pada Ibu Sari, yaitu sering menampar dan memukul Ibu Sari. Kekerasan dalam rumah tangga ini kerap kali terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka. Ibu Sari berkata: “Kami sering bertengkar, dia juga makin hari makin kasar, dia sudah mau memukul dan menampar saya, perkataannya pun kasar sekali. Di depan anak-anak dia sering memaki saya dengan kata-kata kotor, suaranya juga keras kalau memarahi saya sehingga kedengaran ke tetangga, bikin malu saja.” Seringnya terjadi pertengkaran dalam rumah tangga mereka membuat Bapak Sugiatno tidak lagi betah di rumah. Bapak Sugiatno menjadi jarang meluangkan waktu untuk berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Bahkan pada hari Minggu, yaitu hari yang biasanya dihabiskan Sugiatno di rumah untuk berkumpul dengan keluarga, tidak lagi dipergunakannya untuk berkumpul dengan keluarga. Sugiatno beralasan pada istrinya bahwa dia bekerja pada hari Minggu. Tetapi setelah diselidiki ternyata hari kerja Sugiatno masih seperti dulu yaitu bekerja hanya dari hari Senin sampai Sabtu. Artinya tidak betul ada tambahan hari Universitas Sumatera Utara kerja di bengkel tempatnya bekerja tersebut pada hari Minggu. Ibu Sari menjadi sangat marah pada suaminya, apalagi dia juga pernah memergoki lagi suaminya sedang bepergian berdua dengan wanita yang sama dengan wanita yang dulu dilihatnya bersama suaminya. Ibu Sari berkata: “Suami saya menjadi jarang di rumah, kalau biasanya setiap hari Minggu dia selalu berkumpul bersama kami karena memang libur kerja, menjadi tidak pernah lagi. Dia bilang di bengkel sudah diberlakukan peraturan kalau hari Minggu juga kerja, saya curiga dan tanya langsung sama yang punya bengkel, ternyata suami saya bohong, bengkel tidak buka hari Minggu, mengetahui ini saya menjadi sangat kesal dan sama sekali tidak percaya lagi pada dia, dia sudah tega membohongi saya beberapa kali, makanya asal dia pulang ke rumah saya selalu marah-marah karena selalu curiga padanya. Biasanya dia selalu melawan saya, sehingga kami selalu bertengkar.” Kehidupan rumah tangga mereka pun semakin tegang setelah Ibu Sari mengungkapkan semua kekesalannya pada suami dan marah-marah karena merasa suaminya sangat tega berselingkuh sementara mereka sudah memiliki 3 orang anak. Perilaku Sugiatno menanggapi istrinya juga semakin kasar, dia menjadi sering memaki dan mengeluarkan perkataan kotor pada istrinya, dan itu semua dilakukannya di depan anak-anaknya. Merasa rumah tangganya tidak dapat dipertahankan lagi, maka akhirnya Sugiatno tanpa meminta kesepakatan dulu pada Ibu Sari mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama. Sehingga pada tanggal 26 Juli 2006 dikeluarkanlah surat keputusan Pengadilan Negeri Medan yang menetapkan perceraian antara Bapak Sugiatno dengan Ibu Sari, yang mana keputusan itu juga menetapkan Ibu Sari sebagai pemegang hak asuh terhadap anak-anak mereka. Dan Bapak Sugiatno dibebankan menafkahi anak-anak mereka sebesar Rp. 600.000 enam ratus ribu rupiah setiap bulannya terhitung sejak keputusan itu dijatuhkan sampai dengan anak tersebut dewasa dan mandiri. Hal ini sesuai dengan penjelasan Kak Poppy dari PKPA yang berkata: Universitas Sumatera Utara “Pak Sugiatno menggugat cerai Bu Sari tanpa permisi dulu pada Bu Sari, hak asuh anak-anak jatuh ke Bu Sari, sedangkan Pak Sugiatno dibebankan memberi nafkah pada anak-anak, tapi Pak Sugiatno ini tidak menepati janjinya, dia tidak rutin memberi biaya untuk anak-anaknya, itu yang sampe sekarang dituntut Ibu Sari.” Tapi pada kenyataannya Sugiatno melupakan tanggung jawabnya untuk menafkahi anak-anaknya. Dia malah menelantarkan anak-anaknya. Karena mantan suaminya melupakan tanggung jawabnya dan menelantarkan anak-anak, maka pada tanggal 13 Desember 2006, Ibu Sari bersama dengan ketiga anaknya mendatangi PKPA Pusat Kajian dan Perlindungan Anak untuk membuat pengaduan. Pihak PKPA menanggapi hal ini dan pada tanggal 18 Desember 2006, pihak PKPA membuat somasi pada Bapak Sugiatno mengenai tindakannya yang telah menelantarkan ketiga anak-anaknya dan meminta pada Bapak Sugiatno agar datang ke PKPA untuk membicarakan hal tersebut. Bapak Sugiatno datang ke PKPA dua hari kemudian dan membicarakan tentang perbuatannya perbuatannya dengan pihak PKPA, dari hasil pembicaraan mereka akhirnya Sugiatno hanya menyanggupi untuk memberikan nafkah sebesar Rp. 200.000 dua ratus ribu rupiah tiap bulannya karena penghasilannya juga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ibu Sari yang mengetahui hal ini dari pihak PKPA tidak terima dengan jumlah nafkah yang diberikan oleh Sugiatno, karena menurutnya jumlah tersebut sangat tidak mencukupi untuk menafkahi ketiga anaknya. Apalagi 2 diantara anaknya sudah bersekolah, dan kebutuhan mereka semakin bertambah. Melalui PKPA, Sugiatno dengan Ibu Sari dipertemukan untuk membicarakan kembali soal kesepakatan pemberian nafkah oleh Sugiatno pada anak-anak mereka. Dari hasil pembicaraan mereka tersebut diperoleh kesepakatan Universitas Sumatera Utara baru yaitu jumlah nafkah yang harus diberikan oleh Sugiatno adalah sebesar Rp. 100.000 seratus ribu rupiah setiap minggunya. Awalnya memang kesepakatan itu ditepati oleh Bapak Sugiatno, tapi lama kelamaan lagi-lagi dia mengabaikan soal pemberian nafkah tersebut. Kesepakatan mereka yang memutuskan bahwa Bapak Sugiatno harus memberikan nafkah sebesar Rp. 100.000 seratus ribu rupiah setiap minggunya, hanya ditepati oleh Bapak Sugiatno sampai bulan September 2007. Hal ini tentunya membuat Ibu Sari geram dan mengadukan suaminya lagi pada PKPA, sambil membawa surat dari sekolah dan memberikannya pada pihak PKPA, dimana surat tersebut berisi peringatan dari pihak sekolah bahwa Rita dan Roy akan dikeluarkan dari sekolah karena sudah 7 tujuh bulan tidak membayar uang sekolah. 4.3.4. Analisa Kasus 4.3.4.1.Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Responden III