responden II. Sehingga data-data yang dibutuhkan penulis akhirnya terpenuhi dan bertambah lengkap.
4.2.3. Deskripsi Kasus
Dewi lahir dari pasangan M. Sianturi dengan istrinya M. Sibarani. Pasangan suami istri ini, bukan termasuk pasangan harmonis, diantara keduanya
sering terjadi pertentangan yang diteruskan dengan pertengkaran diantara ayah dan ibu Dewi. Pemicu pertengkaran mereka adalah kesenjangan pendapatan, ibu
M. Sibarani lebih banyak pendapatannya daripada M. Sianturi. Apalagi M. Sianturi sering tidak bekerja, sementara istrinya sibuk mencari nafkah berjualan
pakaian. Pada tahun 1997, ayah kandung Dewi dan ibunya M. Sibarani terlibat percekcokan pertengkaran yang akhirnya berujung perceraian diantara
keduanya. Hak asuh kedua anak mereka jatuh ke tangan ibu M. Sibarani. Pendapatan M. Sibarani sebagai seorang wiraswasta mampu mencukupi
kebutuhan anak-anaknya, sedangkan M. Sianturi sama sekali tidak perduli dengan keadaan anak-anaknya setelah perceraiannya dengan istrinya. Nenek Dewi
berkata: “Bapak kandung anak-anak tidak pernah perduli sama mereka, jangankan
memberi uang pada anak-anak, mengunjungi mereka saja tidak pernah semenjak bercerai.”
Pada tahun 2001, M. Sibarani menikah lagi dengan E. Aritonang yang bekerja sebagai seorang guru agama. Semasa hidup istrinya E. Aritonang mampu
menjadi ayah yang baik dimata anak-anaknya. Dewi dengan abangnya cepat akrab dengan ayah tirinya tersebut. E. Aritonang juga mau memberi mereka uang saku
dan membelikan makanan sepulang dari mengajar. Dewi yang sebelumnya tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah dari ayah kandungnya yang
Universitas Sumatera Utara
meninggalkannya ketika dia masih berumur beberapa bulan, akhirnya bisa menemukan sosok ayah pada diri E. Aritonang ayah tirinya. Dewi dengan
abangnya H. Sianturi menjadi cepat merasa akrab dengan E. Aritonang yang pada saat itu memang baik pada mereka. Hal ini sesuai dengan penjelasan Dewi yang
mengatakan: “Selama ini bapak baik sama kami, dia mau ngasih jajan, dan membawakan
kami makanan kalau pulang ke rumah.” Ayah tiri dan ibu korban termasuk pasangan suami istri yang kurang
harmonis. Mereka mau bertengkar karena adanya kesenjangan pendapatan diantara keduanya. M. Sibarani memiliki pendapatan yang lebih dominan
dibandingkan ayah tiri Dewi. Ayah tiri Dewi juga kadang mau memukul atau menampar ibu M. Sibarani di hadapan anak-anak, tapi karena jarang kejadian
seperti itu terjadi, anak-anak tidak trauma dengan sikap kasar ayah tiri mereka terhadap ibu kandungnya. Pemenuhan kebutuhan dalam rumah tangga tidak
pernah mereka abaikan. Perekonomian rumah tangga mereka tergolong berkecukupan. Bahkan mereka mampu membeli mobil dan motor untuk
kelancaran alat transportasi mereka dalam menjalankan aktivitas masing-masing. Keduanya masih mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka,
bahkan ibu M. Sibarani melahirkan seorang anak lagi buah hasil perkawinan mereka.
M. Sibarani ibu korban tarnyata memiliki penyakit komplikasi, karena penyakitnya ini M. Sibarani akhirnya meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober
2006. Pada saat itu Dewi sudah duduk di bangku kelas 5 SD, abangnya duduk di kelas 6 SD dan adik mereka masih belum bersekolah. Kejadian itu tentunya
membuat Dewi dengan saudara-saudaranya tidak akan mendapatkan lagi kasih
Universitas Sumatera Utara
sayang tulus seperti yang ibu mereka berikan pada mereka. Mereka hanya akan diasuh oleh ayah tiri mereka.
Dewi yang masih berduka atas meninggalnya ibunya, terpaksa harus menerima kenyataan pahit akibat perbuatan ayah tirinya sendiri. E. Aritonang tega
mencabuli Dewi setelah 7 hari meninggalnya istrinya. Dewi berkata: “Pada saat itu kami menonton TV bersama abang kandung saya di kamar
tidur, ayah datang ke kamar dan menyuruh abang saya keluar dari dalam kamar itu. Tidak lama kemudian saya tertidur di tempat tidur dan jatuh dari tempat tidur
setelah bermimpi dimarahi oleh mendiang ibu saya, lalu ayah mengangkat saya kembali ke atas tempat tidur sambil mengkusuk-kusuk kaki saya dan mengelus-
elus sambil membuka celana saya.”
Ayah tiri yang sudah disayanginya dan dianggapnya seperti ayah kandungnya ternyata tega berbuat cabul pada Dewi. Padahal seharusnya E.
Aritonang ayah tiri korban melindungi si anak dari berbagai kemungkinan bahaya yang membahayakan dan berusaha membuat anak-anaknya merasa aman.
Apalagi korban masih berumur 10 tahun dan masih duduk di bangku SD, dan yang paling menyedihkan adalah ibu korban baru saja meninggal pada saat itu..
Jadi ayah korban seharusnya menghibur dan memberi kekuatan pada anak-anak bukan malah menjadi pelaku kekerasan kejahatan itu sendiri.
Pada saat kejadian itu, Dewi yang masih anak-anak hanya pasrah pada perbuatan ayah tirinya, dia tidak berani untuk melakukan perlawanan, apalagi
berteriak karena takut pada ayah tirinya tersebut. E. Aritonang menyuruh Dewi agar tidak memberitahukan kejadian itu pada siapapun..
Tapi sehari setelah peristiwa pencabulan itu, ketika ayahnya tidak sedang berada di rumah, Dewi menelepon tantenya dan menceritakan tentang kejadian
pencabulan yang dilakukan oleh ayah tirinya. Tante korban E. Sibarani tidak melaporkan hal ini pada siapapun untuk menjaga nama baik keluarga. E. Sibarani
merasa apabila dia melaporkan kejadian itu pada pihak yang berwajib, maka
Universitas Sumatera Utara
perbuatan yang menjadi aib keluarga itu akan terbongkar dan tersebar pada semua orang, sehingga keluarga besar mereka menjadi malu. Makanya E. Sibarani
merasa lebih baik untuk mendiamkan kejadian yang diceritakan oleh Dewi ini. Nenek korban berkata:
“Anak saya memilih mendiamkan kasus ini, karena takut mencemarkan nama baik keluarga. Dia takut hal ini menyebar kemana-mana sehingga membuat
keluarga malu.” Perbuatan mereka yang mendiamkan kejadian itu membuat E. Aritonang
tidak diproses secara hukum. Tapi tingkah laku E. Aritonang yang mengelola harta peninggalan ibu kandung korban dengan sangat bebas membuat keluarga
dari pihak ibu korban curiga dan tidak menyukainya. Akhirnya kecurigaan mereka terbukti, E. Aritonang juga memalsukan akta nikah yang seharusnya pada tahun
2001 menjadi tahun 1994 dengan tujuan untuk menguasai harta peninggalan istrinya. Hal ini membuat keluarga dari pihak ibu korban menjadi tidak menyukai
E. Aritonang, dan khirnya memicu tante korban E. Sibarani menceritakan tentang kasus itu pada paman korban yaitu J. Sibarani yang tinggal di Jawa Barat.
Paman korban tidak terima keponakannya diperlakukan seperti itu, karenanya paman korban langsung datang ke Medan dan bersama E. Sibarani mengadukan
kasus pencabulan ini pada pihak yang berwajib. Pelaku akhirnya ditangkap, dan mengakui perbuatannya.
Tersangka yang merupakan seorang guru agama di sebuah sekolah swasta di Medan dinilai cukup bejat karena nekat mencabuli anak tirinya, bahkan yang
lebih kejinya lagi karena diduga juga ingin menguasai warisan istrinya dengan mengabaikan hak-hak yang seharusnya didapatkan anak-anaknya.
Nenek Dewi M. Pasaribu yang sudah berumur 66 tahun sangat menyesalkan perbuatan menantunya itu, dia mengharapkan cucunya terutama
Universitas Sumatera Utara
Dewi mendapatkan perlindungan hukum dan pelaku pencabulan ayah tiri korban dihukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sekarang Dewi, abangnya
juga saudara tirinya tinggal bersama neneknya. Sedangkan ayah kandung korban tidak mau tahu dengan kejadian yang menimpa putrinya. Sekilas nenek korban
menuturkan bahwa sejak berumur 1 tahun korban tidak pernah bertemu lagi dengan ayah kandungnya yang sebenarnya masih menetap di Medan sampai saat
ini. M. Sianturi sama sekali tidak pernah menemui anak-anaknya, terutama Dewi untuk ikut mengusahakan keadilan bagi putrinya tersebut terkait kasus pencabulan
yang dialaminya.
4.2.4. Analisa Kasus 4.2.4.1.Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Responden II