1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu komoditi yang sangat penting dalam mendorong
perekonomian Indonesia umumnya dan Sumatera Utara khususnya. Sebagai penghasil devisa negara kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang
memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu
pengembangan ekspor minyak kelapa sawit. Hal tersebut didasarkan dengan adanya peningkatan yang sangat pesat pada beberapa karakter penting seperti luas
areal, tingkat produksi Crude Palm Oil CPO dan kontribusi terhadap perekonomian nasional Anonimous, 2010.
Kelapa sawit yang diproduksi kemudian diolah menjadi CPO Crude Palm Oil
dan PKO Palm Kernel Oil. CPO dan PKO ini kemudian dijual baik di dalam negeri domestik maupun di luar negeri ekspor. Di pasar ekspor, minyak
kelapa sawit merupakan salah satu dari minyak nabati. Data Oil World Report tahun 2009 menunjukkan bahwa untuk periode 2003-2006 produksi minyak sawit
memiliki kontribusi terbesar terhadap minyak nabati dunia yaitu sebesar 39,06. Disusul minyak kanola rapeseed sebesar 25, minyak kedelai sebesar 17,28,
minyak bunga matahari sebesar 9,67 dan minyak biji kapas sebesar 4,05. Pada periode 2006-2009 kontribusi minyak sawit bahkan meningkat menjadi 57,57
MPOB, 2009.
Volume ekspor minyak sawit mentah CPOCrude Palm Oil asal Indonesia terus meningkat signifikan selama enam tahun terakhir 2004-2009,
mencapai 94,27, yakni dari 8,66 juta ton pada tahun 2004, meningkat drastis menjadi 16,83 juta ton pada tahun 2009. India dan China adalah pasar ekspor
utama Indonesia untuk CPO, rata-rata mencapai 41,90 per tahun dari total volume ekspor produk sawit tersebut selama 2004-2009. Bahkan, pada tahun
2009, pasar ekspor dua negara itu menyerap 48,38 volume ekspor CPO. Kinerja ekspor produk CPO semakin meningkat ke negara-negara Uni Eropa,
dengan peningkatan mencapai 113,26 selama enam tahun terakhir, yakni dari 1,47 juta ton tahun 2004 menjadi 3,14 juta ton tahun 2009
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, 2009. Di pasar dunia khususnya Negara Uni Eropa, minyak sawit yang
diproduksi harus memiliki berkelanjutan dan ramah lingkungan agar produknya dapat diterima oleh pasar internasional. Sertifikasi lestari RSPO berperan untuk
menjembatani antara negara produsen dengan negara konsumen terkait pemenuhan isu lingkungan RSPO, 2011.
Pasar Uni Eropa merupakan pengekspor yang mengharuskan CPO yang masuk ke negaranya berasal dari perkebunan bersertifikat RSPO. Sertifikasi
RSPO dapat dikatakan merupakan hambatan nontarif dalam ekspor CPO. Dilihat dari volume ekspor CPO ke Uni Eropa yang semakin meningkat maka pilihan
untuk melakukan sertifikasi terhadap perusahaan perkebunan bukanlah hal yang merugikan. Hal ini juga merupakan salah satu faktor perusahaan perkebunan
mensertifikasi perkebunannya. Ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan
perusahaan perkebunan untuk mendapatkan sertifikat RSPO atau tidak mengurus sertifikasi RSPO.
Salah satu pertimbangan utama bagi perusahaan perkebunan untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan sertifikat RSPO adalah tingginya biaya baik
untuk proses pemenuhan persyaratan maupun untuk pengurusan sertifikatnya. Biaya untuk pembuatan sertifikat yang besar tentunya mempengaruhi biaya
produksi yang dikeluarkan perusahaan perkebunan dalam memproduksi kelapa sawit berbeda dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh perkebunan tidak
bersertifikat RSPO.
Pertimbangan lain adalah ketidakpastian terhadap kompensasi CPO yang dihasilkan setelah perusahaan perkebunan bersertifikat RSPO. Dari segi harga
CPO ada perbedaan antara yang telah bersertifikat dan yang belum yakni yang dikenal dengan harga premium. Perbedaan selisih harga US 10 sampai US50
per ton CPO di atas harga CPO yang belum sertifikat. Walaupun harga premium itu sendiri tercipta dari perundingan antara penjual dengan pembeli. Karena
sebetulnya sertifikasi RSPO tidak bersifat mandatory wajib, tapi voluntary sukarela. Karena bukan mandatory, akhirnya soal harga ditentukan antara si
penjual dan si pembeli Utomo, 2010.
Selain adanya perbedaan harga, CPO dari perkebunan bersertifikat juga banyak yang meminati. Perusahaan besar yang memakai CPO Indonesia seperti
Unilever, Danone, United Biscuits, Carrefour, Reckit Benckiser, dan Nestle berkomitmen untuk membeli CPO dari perkebunan yang telah memiliki sertifikat
RSPO. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan tertulis yang dikeluarkan perusahaan
Unilever dan Nestle. CPO digunakan untuk produk minyak goreng, margarine, kosmetik, biskuit, bahan bakar migas dan produk lainnya Bangun, 2010.
Perkebunan minyak kelapa sawit lestari yang disertifikasi menjangkau hingga sekitar 7,5 persen produksi minyak sawit global. Jumlah produksi dari
perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi meningkat dari 1,4 juta ton per tahun pada Januari 2010 menjadi 3,4 juta ton per tahun pada Desember 2010.
Sedangkan produksi CPO hasil perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO di pasar meningkat dari 1,3 juta ton pada 2009 menjadi 2,3 juta ton pada 2010.
Sementara itu, penjualan dari CPO dari perkebunan bersertifikat RSPO meningkat hingga lebih dari tiga kali lipat dari 0,4 juta ton pada 2009 menjadi 1,3 juta ton
pada 2010 Infosawit, 2011.
Dengan adanya peningkatan supply dan pembelian CPO dari perkebunan bersertifikat RSPO maka selain biaya produksi dan harga penjualan, volume
penjualan CPO dari perkebunan bersertifikat RSPO juga berbeda dengan perkebunan bersertifikat RSPO. Maka dengan adanya perbedaan ketiga hal
tersebut juga terdapat perbedaan pada pendapatan yang diperoleh. Oleh karena itu, peneliti bertujuan untuk menganalisis perbedaan pendapatan antara perkebunan
bersertifikat RSPO dengan perkebunan tidak bersertifikat RSPO.
1.2. Identifikasi Masalah