Analisis Komparasi Pendapatan Antara Perkebunan Bersertifikat Dengan Perkebunan Tidak Bersertifikat Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO) (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara Di Sumatera Utara)

(1)

ROUNDTABLE ON SUSTAINABLE

(Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara Di Sumatera Utara)

SKRIPSI

SITI MEILIANA GINTING

070304028

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara Di Sumatera Utara)

SKRIPSI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan

OLEH:

SITI MEILIANA GINTING 070304028

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PT Perkebunan Nusantara Di Sumatera Utara) Nama : Siti Meiliana Ginting

NIM : 070304028 Departemen : Agribisnis Program Studi : Agribisnis

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing:

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

(Ir. Diana Chalil M.Si, P.hd) (Dr. Ir. Tavi Supriana MS) NIP: 196703031998022001 NIP: 196411021989032001

Mengetahui

Ketua Departemen Agribisnis

( Dr. Ir. Salmiah MS )

NIP: 195702171986032001


(4)

i

ABSTRAK

SITI MEILIANA GINTING (070304028/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN ANTARA PERKEBUNAN BERSERTIFIKAT DENGAN PERKEBUNAN TIDAK BERSERTIFIKAT ROUNDTABLE ON SUSTAINABLE PALM OIL (RSPO) (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara Di Sumatera Utara). Penelitian ini dilakukan pada

bulan Agustus 2011 dibimbing oleh Ir. Diana Chalil M.Si, P.hd dan Dr. Ir. Tavi Supriana MS.

Di pasar dunia khususnya Negara Uni Eropa, minyak sawit yang diproduksi harus memiliki berkelanjutan dan ramah lingkungan agar produknya dapat diterima oleh pasar internasional. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis perbedaan harga, volume penjualan, biaya produksi dan pendapatan antara perkebunan bersertifikat dengan perkebunan yang tidak bersertifikat RSPO juga pada perusahaan perkebunan sebelum dan sesudah mendapatkan sertifikat RSPO dan menganalisis faktor-faktor yang menjadi pertimbangan produsen untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan sertifikat RSPO. Diduga ada perbedaan pendapatan antara perkebunan bersertifikat dengan perkebunan tidak bersertifikat RSPO. Data yang digunakan adalah data sekunder yakni data biaya produksi, data harga penjualan, volume penjualan ekspor beserta negara tujuan ekspor CPO yang diperoleh dari KPB, PTPN II dan PTPN III. Dalam menganalisis adanya perbedaan antara perkebunan bersertifikat dengan perkebunan tidak bersertifikat digunakan uji beda rata-rata Independent Sample t Test dan Paired Sample t Test.

Dari hasil uji beda rata-rata diperoleh hasil penelitian sebagai berikut; 1) Pada perkebunan bersertifikat dengan perkebunan tidak bersertifikat tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, ada perbedaan volume penjualan, biaya produksi dan pendapatan pada tahun 2005-2009. Tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, volume penjualan, biaya produksi maupun pendapatan pada tahun 2010-Agustus 2011; 2) Pada perkebunan sebelum dan setelah bersertifikat RSPO tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, volume penjualan, biaya produksi maupun pendapatan pada tahun 2010-Agustus 2011; 3) PTPN III mempertimbangkan perlunya mendapatkan sertifikat RSPO karena perlunya kepedulian terhadap lingkungan dalam industri kelapa sawit dan adanya permintaan pasar akan CSPO (Certified Sustainable Palm Oil) sedangkan PTPN II mempertimbangkan tidak mengurus sertifikat RSPO karena PTPN II melihat RSPO adalah sebuah barrier (hambatan) untuk melindungi industri perminyakan Negara Uni Eropa.


(5)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Sripsi ini berjudul ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN ANTARA PERKEBUNAN BERSERTIFIKAT DENGAN PERKEBUNAN TIDAK BERSERTIFIKAT ROUNDTABLE ON SUSTAINABLE PALM OIL (RSPO) (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara di Sumatera Utara) yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Ir. Diana Chalil M.Si, Ph.D., selaku Ketua Komisi Pembimbing 2. Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana MS., selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Ibu Dr. Ir. Salmiah MS., selaku Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis M.Ec., selaku Sekretaris Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh instansi yang terkait dengan penelitian ini yang telah membantu penulis dalam memperoleh data-data yang diperlukan.


(6)

iii

Segala hormat dan terima kasih secara khusus penulis haturkan kepada ayahanda Pandapotan Ginting dan Ibunda Budiati Lubis serta Adinda Karan Azam Ginting serta Abangda Fatihulbar S.Hut., atas motivasi, kasih sayang dan dukungan baik secara moril maupun materil yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman penulis di Departemen Agribisnis stambuk 2007 dan rekan-rekan di PARINTAL yang telah banyak membantu penulis dan memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga apa yang kita cita-citakan dapat terwujud dan semoga ALLAH SWT selalu memberikan yang terbaik untuk kita semua.

Terakhir, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Medan, November 2011


(7)

iv

RIWAYAT HIDUP

SITI MEILIANA GINTING, dilahirkan di Galang, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Smatera Utara pada tanggal 22 Mei 1989 dari ayahanda Pandapotan Ginting dan Ibunda Budiati Lubis. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 2001, menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri No 101960 Galang.

2. Tahun 2004, menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Pagar Merbau.

3. Tahun 2007, menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Ata di SMA Negeri 1 Lubuk Pakam.

4. Tahun 2007, diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Program Studi Agribisnis melalui jalur SPMB.

5. Tahun 2011, mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di desa Aras, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara.

6. Tahun 2011, melakukan penelitian di Kantor Direksi PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) dan PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Selama mengikuti perkuliahan penulis mengikuti organisasi Putera-Puteri Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup (PARINTAL) dan Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP).


(8)

v

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Kegunaan Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ... 7

2.1. Tinjauan Pustaka ... 7

2.2. Landasan Teori ... 11

2.2.1. Harga ... 11

2.2.2. Permintaan ... 12

2.2.3. Biaya Produksi ... 13

2.2.4. Pendapatan... 13

2.3. Kerangka Pemikiran ... 14

2.4. Hipotesis Penelitian ... 17

METODEPENELITIAN ... 18

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 18

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 19

3.3. Metode Analisis Data ... 19

3.4. Definisi dan Batasan Operasional ... 23

3.4.1. Definisi ... 23

3.4.2. Batasan Operasional... 24

PROFIL PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PTPN III) DAN PT PERKEBUNAN NUSANTARA II (PTPN II) ... 25

4.1. Profil PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) ... 25


(9)

vi

HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

5.1. Perbedaan Harga, Volume Penjualan, Biaya Produksi Dan Pendapatan Antara PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) Dengan PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) ... 34

5.1.1. Analisis Perbandingan Harga ... 34

a. Analisis Perbandingan Harga Nominal Ekspor dan Lokal ... 39

b. Analisis Perbandingan Harga Riil Ekspor dan Lokal ... 41

5.1.2. Analisis Perbandingan Volume Penjualan ... 43

a. PTPN III ... 43

b. PTPN II ... 48

5.1.3. Analisis Perbandingan Biaya Produksi ... 53

5.1.4. Analisis Perbandingan Pendapatan ... 61

5.2. Perbedaan Harga, Volume Penjualan, Biaya Produksi Dan Pendapatan Pada PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) Sebelum dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO ... 64

5.2.1. Analisis Perbandingan Harga ... 64

a. Analisis Perbandingan Harga Nominal Ekspor ... 64

b. Analisis Perbandingan Harga Riil Ekspor ... 65

5.2.2. Analisis Perbandingan Volume Penjualan ... 66

5.2.3. Analisis Perbandingan Biaya Produksi ... 67

5.2.4. Analisis Perbandingan Pendapatan ... 67

5.3. Pertimbangan Suatu Perusahaan Perkebunan Untuk Mendapatkan Atau Tidak Mendapatkan Sertifikat RSPO ... 69

KESIMPULAN DAN SARAN... 76

6.1. Kesimpulan ... 76

6.2. Saran... 77 DAFTAR PUSTAKA


(10)

vii

DAFTAR TABEL

No

Hal

1. Daftar Perusahaan Perkebunan Bersertifikat RSPO Di Sumatera Utara ... 18 2. Data Primer yang Dikumpulkan ... 19 3. Luas Lahan, Produksi, Produktivitas TBS dan Produksi CPO

PTPN III Sebelum Bersertifikat RSPO ... 26 4. Luas Lahan, Produksi, Produktivitas TBS dan Produksi CPO

PTPN III Setelah Bersertifikat RSPO ... 26 5. Penjualan (Lokal dan Ekspor) CPO PTPN III tahun 2005-Agustus

2011 ... 27 6. Luas Lahan, Produksi, Produktivitas TBS dan Produksi CPO

PTPN II tahun 2005-Agustus 2011 ... 31 7. Penjualan (Lokal dan Ekspor) CPO PTPN II tahun 2005-Agustus

2011 ... 32 8. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan

Ekspor PTPN III dan PTPN II tahun 2005-2009 ... 39 9. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan

Ekspor PTPN III dan PTPN II tahun 2010-Agustus 2011 ... 39 10.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan Lokal

PTPN III dan PTPN II tahun 2005-2009... 40 11. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan Lokal

PTPN III dan PTPN II tahun 2010-Agustus 2011 ... 40 12.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Ekspor

PTPN III dan PTPN II Tahun 2005-2009 ... 41 13.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Ekspor

PTPN III dan PTPN II Tahun 2010-Agustus 2011 ... 42 14.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Lokal

PTPN III dan PTPN II Tahun 2005-2009 ... 42 15.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Lokal


(11)

viii

16.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Volume Penjualan PTPN III dengan PTPN II tahun 2005-2009 ... 52 17.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Volume Penjualan PTPN III

dengan PTPN II tahun 2010-2011 ... 53 18.Total Cost (Biaya Produksi) PTPN III tahun 2005-Agustus 2011

(Dalam Milyaran Rupiah) ... 54 19.Total Biaya Sertifikasi PTPN III ... 57 20.Biaya Produksi PTPN III dan PTPN II tahun 2005-2009 (Dalam

Milyaran Rupiah) ... 59 21.Biaya Produksi PTPN III dan PTPN II tahun 2005-2009 (Dalam

Milyaran Rupiah) ... 59 22.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Biaya Produksi PTPN III dan

PTPN II Tahun 2005-2009 ... 60 23.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Biaya Produksi PTPN III dan

PTPN II Tahun 2010-Agustus 2011 ... 60 24.Pendapatan PTPN III dan PTPN II Tahun 2005-2009 (Dalam

Milyaran Rupiah) ... 61 25.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Pendapatan PTPN III Dan

PTPN II Tahun 2005-2009 ... 62 26.Pendapatan PTPN III dan PTPN II Tahun 2010- Agustus 2011

(Dalam Milyaran Rupiah) ... 63 27.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Pendapatan PTPN III dan PTPN

II Tahun 2010-Agustus 2011 ... 63 28.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan

Ekkspor (Rp/Ton) pada PTPN III Sebelum dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO ... 64 29.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Ekspor

(US$/Ton) pada PTPN III sebelum dan setelah memperoleh sertifikat RSPO ... 65 30.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Volume Penjualan (Ton) pada

PTPN III sebelum dan setelah memperoleh sertifikat RSPO ... 66 31.Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Biaya Produksi (Rp) pada


(12)

ix

32.Pendapatan PTPN III Sebelum (2005-2009) Dan Sesudah

(2010-Agustus 2011) Memperoleh Sertifikat RSPO ... 68


(13)

x

DAFTAR GAMBAR

No

Hal

1. Skema Kerangka Pemikiran ... 16 2. Struktur Organisasi PT. Perkebunan Nusantara III ... 29 3. Struktur Organisasi PT. Perkebunan Nusantara II ... 33 4. Perbandingan Harga Jual CPO Ekspor (Rp/Ton) dari PTPN III

dan PTPN II Dalam Harga Nominal ... 34 5. Perbandingan Harga Jual CPO Ekspor (US$/Ton) dari PTPN III

dan PTPN II Dalam Harga Riil... 35 6. Perbandingan Harga Jual CPO Lokal (Rp/Ton) dari PTPN III

dan PTPN II Dalam Harga Nominal ... 37 7. Perbandingan Harga Jual CPO Lokal (US$/Ton) dari PTPN III

dan PTPN II Dalam Harga Riil... 38 8. Total Revenue (Penerimaan) Penjualan CPO PTPN III Tahun

2005-Agustus 2011 ... 44 9. Volume Penjualan CPO PTPN III tahun 2005- 2011 ... 45 10.Gambar 10: Persentase Perbandingan Penjualan Ekspor dan

Lokal CPO PTPN III tahun 2005-Agustus 2011 ... 46 11.Persentase Perbandingan Ekspor CPO Ke Uni Eropa Terhadap

Total Ekspor CPO PTPN III Tahun 2005-Agustus 2011 ... 47 12.Total Revenue (Penerimaan) Penjualan CPO PTPN II Tahun

2005-Agustus 2011 ... 48 13.Volume Penjualan CPO PTPN II tahun 2005- 2011 ... 49 14.Persentase Perbandingan Penjualan Ekspor dan Lokal CPO

PTPN II tahun 2005-Agustus 2011 ... 50 15.Persentase Perbandingan Ekspor CPO Ke Uni Eropa Terhadap

Total Ekspor CPO PTPN II Tahun 2005-Agustus 2011 ... 51 16.Perbandingan Biaya Produksi CPO (Rp/Ton) dari PTPN III dan


(14)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No

Hal

1. Perkembangan Penjualan Bulan Januari-Desember 2005-2010 dan Proyeksi Volume Penjualan Bulan September-Desember

2011 ... 81 2. Rincian Penjualan Ekspor dan Lokal dan Harga Lokal serta

Jumlah Ekspor ke Negara Uni Eropa PTPN III dan PTPN II

Tahun 2005-Agustus 2011 ... 83 3. Rincian Total Revenue, Total Cost dan Pendapatan PTPN III dan

PTPN II tahun 2005-Agustus 2011 ... 84 4. Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Ekspor (Rp/Ton)

antara PTPN II dan PTPN III tahun 2005-2009 ... 85 5. Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Ekspor (Rp/Ton)

antara PTPN II dan PTPN III tahun 2010-Agustus 2011 ... 86 6. Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Ekspor (Rp/Ton) Pada

PTPN III Sebelum Dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO... 87 7. Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Ekspor (US$/Ton) antara

PTPN II dan PTPN III tahun 2005-2009... 88 8. Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Rill Ekspor (US$/Ton) antara

PTPN II dan PTPN III tahun 2010-Agustus 2011 ... 89 9. Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Ekspor (US$/Ton) Pada

PTPN III Sebelum Dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO... 90 10.Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Lokal (Rp/Ton) antara

PTPN II dan PTPN III tahun 2005-2009... 91 11.Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Lokal (Rp/Ton) antara

PTPN II dan PTPN III tahun 2010-Agt 2011 ... 92 12.Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Rill Lokal (US$/Ton) antara

PTPN II dan PTPN III tahun 2005-2009... 93 13.Hasil Uji Beda Rata-Rata Harga Rill Lokal (US$/Ton) antara

PTPN II dan PTPN III tahun 2010-sd Agustus 2011 ... 94 14.Hasil Uji Beda Rata-Rata Volume Penjualan (Ton) Antara PTPN


(15)

xii

15.Hasil Uji Beda Rata-Rata Volume Penjualan (Ton) Antara PTPN

II dengan PTPN III tahun 2010-2011 ... 96 16.Hasil Uji Beda Rata-Rata Volume Penjualan (Ton) Pada PTPN

III Sebelum Dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO ... 97 17.Hasil Uji Beda Rata-rata Penerimaan (Rp) PTPN III dan PTPN

II tahun 2005-2009 ... 98 18.Hasil Uji Beda Rata-rata Penerimaan (Rp) PTPN III dan PTPN II

tahun 2010- Agustus 2011 ... 99 19.Hasil Uji Beda Rata-Rata Penerimaan (Rp) Pada PTPN III

Sebelum Dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO ... 100 20.Hasil Uji Beda Rata-rata Biaya Produksi (Rp)PTPN III dan

PTPN II tahun 2005-2009 ... 101 21.Hasil Uji Beda Rata-rata Biaya Produksi (Rp) PTPN III dan

PTPN II tahun 2010- Agustus 2011 ... 102 22.Hasil Uji Beda Rata-Rata Biaya Produksi (Rp) Pada PTPN III

Sebelum Dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO ... 103 23.Hasil Uji Beda Rata-rata Pendapatan (Rp) PTPN III dan PTPN II

tahun 2005-2009 ... 104 24.Hasil Uji Beda Rata-rata Pendapatan (Rp) PTPN III dan PTPN II

tahun 2010- Agustus 2011 ... 105 25.Hasil Uji Beda Rata-Rata Pendapatan (Rp) Pada PTPN III

5Sebelum Dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO ... 106 26.Daftar Perusahaan Perkebunan Anggota dan Bersertifikat RSPO ... 107


(16)

i

ABSTRAK

SITI MEILIANA GINTING (070304028/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN ANTARA PERKEBUNAN BERSERTIFIKAT DENGAN PERKEBUNAN TIDAK BERSERTIFIKAT ROUNDTABLE ON SUSTAINABLE PALM OIL (RSPO) (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara Di Sumatera Utara). Penelitian ini dilakukan pada

bulan Agustus 2011 dibimbing oleh Ir. Diana Chalil M.Si, P.hd dan Dr. Ir. Tavi Supriana MS.

Di pasar dunia khususnya Negara Uni Eropa, minyak sawit yang diproduksi harus memiliki berkelanjutan dan ramah lingkungan agar produknya dapat diterima oleh pasar internasional. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis perbedaan harga, volume penjualan, biaya produksi dan pendapatan antara perkebunan bersertifikat dengan perkebunan yang tidak bersertifikat RSPO juga pada perusahaan perkebunan sebelum dan sesudah mendapatkan sertifikat RSPO dan menganalisis faktor-faktor yang menjadi pertimbangan produsen untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan sertifikat RSPO. Diduga ada perbedaan pendapatan antara perkebunan bersertifikat dengan perkebunan tidak bersertifikat RSPO. Data yang digunakan adalah data sekunder yakni data biaya produksi, data harga penjualan, volume penjualan ekspor beserta negara tujuan ekspor CPO yang diperoleh dari KPB, PTPN II dan PTPN III. Dalam menganalisis adanya perbedaan antara perkebunan bersertifikat dengan perkebunan tidak bersertifikat digunakan uji beda rata-rata Independent Sample t Test dan Paired Sample t Test.

Dari hasil uji beda rata-rata diperoleh hasil penelitian sebagai berikut; 1) Pada perkebunan bersertifikat dengan perkebunan tidak bersertifikat tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, ada perbedaan volume penjualan, biaya produksi dan pendapatan pada tahun 2005-2009. Tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, volume penjualan, biaya produksi maupun pendapatan pada tahun 2010-Agustus 2011; 2) Pada perkebunan sebelum dan setelah bersertifikat RSPO tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, volume penjualan, biaya produksi maupun pendapatan pada tahun 2010-Agustus 2011; 3) PTPN III mempertimbangkan perlunya mendapatkan sertifikat RSPO karena perlunya kepedulian terhadap lingkungan dalam industri kelapa sawit dan adanya permintaan pasar akan CSPO (Certified Sustainable Palm Oil) sedangkan PTPN II mempertimbangkan tidak mengurus sertifikat RSPO karena PTPN II melihat RSPO adalah sebuah barrier (hambatan) untuk melindungi industri perminyakan Negara Uni Eropa.


(17)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu komoditi yang sangat penting dalam mendorong perekonomian Indonesia umumnya dan Sumatera Utara khususnya. Sebagai penghasil devisa negara kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan ekspor minyak kelapa sawit. Hal tersebut didasarkan dengan adanya peningkatan yang sangat pesat pada beberapa karakter penting seperti luas areal, tingkat produksi Crude Palm Oil (CPO) dan kontribusi terhadap perekonomian nasional (Anonimous, 2010).

Kelapa sawit yang diproduksi kemudian diolah menjadi CPO (Crude Palm Oil) dan PKO (Palm Kernel Oil). CPO dan PKO ini kemudian dijual baik di dalam negeri (domestik) maupun di luar negeri (ekspor). Di pasar ekspor, minyak kelapa sawit merupakan salah satu dari minyak nabati. Data Oil World Report

tahun 2009 menunjukkan bahwa untuk periode 2003-2006 produksi minyak sawit memiliki kontribusi terbesar terhadap minyak nabati dunia yaitu sebesar 39,06%. Disusul minyak kanola (rapeseed) sebesar 25%, minyak kedelai sebesar 17,28%, minyak bunga matahari sebesar 9,67% dan minyak biji kapas sebesar 4,05%. Pada periode 2006-2009 kontribusi minyak sawit bahkan meningkat menjadi 57,57% (MPOB, 2009).


(18)

Volume ekspor minyak sawit mentah (CPO/Crude Palm Oil) asal Indonesia terus meningkat signifikan selama enam tahun terakhir (2004-2009), mencapai 94,27%, yakni dari 8,66 juta ton pada tahun 2004, meningkat drastis menjadi 16,83 juta ton pada tahun 2009. India dan China adalah pasar ekspor utama Indonesia untuk CPO, rata-rata mencapai 41,90% per tahun dari total volume ekspor produk sawit tersebut selama 2004-2009. Bahkan, pada tahun 2009, pasar ekspor dua negara itu menyerap 48,38% volume ekspor CPO. Kinerja ekspor produk CPO semakin meningkat ke negara-negara Uni Eropa, dengan peningkatan mencapai 113,26% selama enam tahun terakhir, yakni dari

1,47 juta ton tahun 2004 menjadi 3,14 juta ton tahun 2009 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan, 2009).

Di pasar dunia khususnya Negara Uni Eropa, minyak sawit yang diproduksi harus memiliki berkelanjutan dan ramah lingkungan agar produknya dapat diterima oleh pasar internasional. Sertifikasi lestari RSPO berperan untuk menjembatani antara negara produsen dengan negara konsumen terkait pemenuhan isu lingkungan (RSPO, 2011).

Pasar Uni Eropa merupakan pengekspor yang mengharuskan CPO yang masuk ke negaranya berasal dari perkebunan bersertifikat RSPO. Sertifikasi RSPO dapat dikatakan merupakan hambatan nontarif dalam ekspor CPO. Dilihat dari volume ekspor CPO ke Uni Eropa yang semakin meningkat maka pilihan untuk melakukan sertifikasi terhadap perusahaan perkebunan bukanlah hal yang merugikan. Hal ini juga merupakan salah satu faktor perusahaan perkebunan mensertifikasi perkebunannya. Ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan


(19)

perusahaan perkebunan untuk mendapatkan sertifikat RSPO atau tidak mengurus sertifikasi RSPO.

Salah satu pertimbangan utama bagi perusahaan perkebunan untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan sertifikat RSPO adalah tingginya biaya baik untuk proses pemenuhan persyaratan maupun untuk pengurusan sertifikatnya. Biaya untuk pembuatan sertifikat yang besar tentunya mempengaruhi biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan perkebunan dalam memproduksi kelapa sawit berbeda dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh perkebunan tidak bersertifikat RSPO.

Pertimbangan lain adalah ketidakpastian terhadap kompensasi CPO yang dihasilkan setelah perusahaan perkebunan bersertifikat RSPO. Dari segi harga CPO ada perbedaan antara yang telah bersertifikat dan yang belum yakni yang dikenal dengan harga premium. Perbedaan selisih harga US$ 10 sampai US$50 per ton CPO di atas harga CPO yang belum sertifikat. Walaupun harga premium itu sendiri tercipta dari perundingan antara penjual dengan pembeli. Karena sebetulnya sertifikasi RSPO tidak bersifat mandatory (wajib), tapi voluntary

(sukarela). Karena bukan mandatory, akhirnya soal harga ditentukan antara si penjual dan si pembeli (Utomo, 2010).

Selain adanya perbedaan harga, CPO dari perkebunan bersertifikat juga banyak yang meminati. Perusahaan besar yang memakai CPO Indonesia seperti Unilever, Danone, United Biscuits, Carrefour, Reckit Benckiser, dan Nestle berkomitmen untuk membeli CPO dari perkebunan yang telah memiliki sertifikat RSPO. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan tertulis yang dikeluarkan perusahaan


(20)

Unilever dan Nestle. CPO digunakan untuk produk minyak goreng, margarine, kosmetik, biskuit, bahan bakar migas dan produk lainnya (Bangun, 2010).

Perkebunan minyak kelap hingga sekitar 7,5 persen produksi minya perkebunan kelap pada Januari 2010 menjadi 3,4 juta ton per tahun pada Desember 2010. Sedangkan produksi CPO hasil perkebunan kelap di pasar meningkat dari 1,3 juta ton pada 2009 menjadi 2,3 juta ton pada 2010. Sementara itu, penjualan dari CPO dari perkebunan bersertifikat RSPO meningkat hingga lebih dari tiga kali lipat dari 0,4 juta ton pada 2009 menjadi 1,3 juta ton pada 2010 (Infosawit, 2011).

Dengan adanya peningkatan supply dan pembelian CPO dari perkebunan bersertifikat RSPO maka selain biaya produksi dan harga penjualan, volume penjualan CPO dari perkebunan bersertifikat RSPO juga berbeda dengan perkebunan bersertifikat RSPO. Maka dengan adanya perbedaan ketiga hal tersebut juga terdapat perbedaan pada pendapatan yang diperoleh. Oleh karena itu, peneliti bertujuan untuk menganalisis perbedaan pendapatan antara perkebunan bersertifikat RSPO dengan perkebunan tidak bersertifikat RSPO.


(21)

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan harga, volume penjualan, biaya produksi dan pendapatan antara perkebunan yang bersertifikat RSPO dengan perkebunan yang tidak bersertifikat RSPO?

2. Apakah ada perbedaan harga, volume penjualan, biaya produksi dan pendapatan pada perusahaan perkebunan sebelum dan sesudah mendapatkan sertifikat RSPO?

3. Apakah faktor-faktor yang menjadi pertimbangan produsen untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan sertifikat RSPO?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis perbedaan harga, volume penjualan, biaya produksi dan pendapatan antara perkebunan yang bersertifikat RSPO dengan perkebunan yang tidak bersertifikat RSPO.

2. Untuk menganalisis perbedaan harga, volume penjualan , biaya produksi dan pendapatan pada perusahaan perkebunan sebelum dan sesudah mendapatkan sertifikat RSPO.

3. Untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi pertimbangan produsen untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan sertifikat RSPO.


(22)

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan pemasaran CPO baik dari perkebunan bersertifikat RSPO maupun dari perkebunan tidak bersertifikat RSPO

2. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan sertifikasi RSPO oleh perkebunan yang belum bersertifikat RSPO


(23)

7

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Sebagai salah satu produsen utama minyak sawit dunia, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk terus berperan dalam pasar dunia. Pada dekade 1980-an ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia hanya ke Eropa Barat, tetapi beberapa tahun terakhir permintaan dari negara-negara lain seperti China, India, Pakistan, Myanmar, Kenya, Tansania, dan Afrika Selatan terus meningkat (Anonimous, 2010).

Luas areal perkebunan yang ada di Sumatera Utara, apabila dibagi menurut pengusahaannya, maka areal perkebunan tersebut dibagi kepada tiga kelompok. Pertama, perkebunan rakyat seluas 815.071 hektar dengan produksi 2.829.280 ton. Kedua, perkebunan swasta seluas 425.551 hektar dengan produksi 4.934.556 ton. Sedangkan ketiga, lahan perkebunan PTPN seluas 388.534 hektar dengan produksi 4.461.398 ton (Dinas Perkebunan Sumut, 2009).

Standar-standar produk dan proses untuk kesehatan, kesejahteraan, kualitas, ukuran dan berbagai pengukuran dapat menciptakan hambatan perdagangan dengan menyingkirkan produk yang tidak memenuhi standar. Prosedur pengujian dan sertifikasi biasanya mahal, menyita waktu dan sulit diterapkan. Standar seperti ini dapat dipergunakan untuk merintangi perdagangan (Simamora, 2000).

kepentingan yang ingin mempromosikan produksi minyak kelapa berkelanjutan di seluruh dunia. Organisasi tersebut meliputi lebih dari 500


(24)

anggota termasuk perusahaan kebun kelapa minyak, perusahaan manufaktur bahan konsumsi, retailer, investor, serta LSM sosial dan lingkungan. informal antara Aarhus United UK Ltd, WWF (World Wildlife Fund), Golden Hope Plantations Berhad, Migros, the Malaysian Sainsbury, dan Unilever. RSPO telah memiliki 525 anggota yang berasal dari produsen, manufaktur, perbankan, retail, NGO dan CPO trader. Dengan rincian, anggota ordinary berjumlah 451, anggota afiliasi sebanyak 84 dan Supply Chain Associates berjumlah 31 anggota (RSPO, 2011).

RSPO menetapkan standar produksi yakni 8 prinsip dan 39 kriteria RSPO dan mengawasi sistem sertifikasi yang menjaga seluruh rantai pasokan produk kelapa sawit berkelanjutan, aturan pemasaran memastikan bahwa perusahaan-perusahaan secara akurat menginformasikan kepada konsumen bahwa produksi mereka atau penggunaan kelapa sawit berkelanjutan. Kedelapan prinsip tersebut adalah: (1) komitmen terhadap transparansi; (2) memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku; (3) komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang; (4) penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik; (5) tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati; (6) tanggung jawab kepada pekerja, individu dan komunitas dari kebun dan pabrik; (7) pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab; dan (8) komitmen terhadap perbaikan terus-menerus pada wilayah utama aktivitas. (RSPO, 2011).


(25)

Anggota RSPO terdiri dari Anggota Biasa di tujuh sektor yang berbeda, Afiliasi Anggota dan Supply Chain Associates. Ketujuh sektor Anggota Biasa adalah produsen minyak sawit, pedagang dan pemroses minyak sawit, industri pengguna minyak sawit, pengecer, bank dan investor, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan dan bidang pembangunan dan sosial.

Anggota RSPO dari Indonesia ada 88 yang terdiri dari Anggota Biasa, Afiliasi Anggota dan Supply Chains Associates namun perkebunan Indonesia yang telah memiliki sertifikat RSPO, antara lain PT Perkebunan Nusantara III, PT Socfindo, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, PT Tolan Tiga, Musim Mas Grup, PT BW Plantations Tbk, dan PT Hindoli, anak usaha Cargill Indonesia, PT Bakrie Sumatera Plantations dan PT Perkebunan Nusantara IV (RSPO, 2011).

Dapat dilihat bahwa perusahaan perkebunan yang telah mendapatkan sertifikat RSPO adalah Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Perkebunan Rakyat smpai saat ini belum ada yang mendapatkan sertifikat RSPO karena sulit untuk mengurus sertifikasi dan mahalnya biaya sertifikasi.

Anggota Biasa adalah setiap organisasi yang memiliki keterlibatan langsung dalam rantai pasokan minyak sawit, atau LSM yang terkait. Anggota-anggota mempunyai hak suara di Majelis Umum dan dapat terbuka menyatakan bahwa mereka adalah anggota RSPO.


(26)

Anggota Afiliasi adalah individu atau organisasi dengan keterlibatan langsung atau kepentingan dalam rantai pasokan minyak sawit, tidak memiliki hak suara dan tidak memiliki hak untuk mengklaim mereka adalah anggota RSPO.

Supply Chain Associates adalah organisasi-organisasi yang aktif dalam rantai pasokan minyak sawit bersertifikat RSPO yang tidak membeli produk kelapa sawit lebih dari 500 juta ton / tahun. Mereka tidak memiliki hak suara di Majelis Umum RSPO. Mereka diperbolehkan untuk publik negara mereka adalah anggota Asosiasi RSPO (RSPO, 2011).

Biaya Keanggotaan setiap tahun adalah Anggota Biasa: € 2.000, Anggota Biasa (petani kecil <500 ha): € 500, Afiliasi Anggota: € 250, Supply Chain Associate: € 100. Adapun pembuatan sertifikat RSPO menelan biaya antara US$ 20-US$ 40 per ton (RSPO, 2011).

Menurut penelitian terdahulu yakni Pirrong (2005), menyebutkan bahwa kekuatan harga sangat mempengaruhi intensitas pembelian pasar. Harga premium yang tidak terintegrasi dengan baik dapat berisiko menurunnya volume penjualan. Harga premium merupakan strategi penetapan harga dengan melakukan strategi diferensiasi untuk mencapai keunggulan kompetitif dengan menyediakan produk atau jasa yang memberikan kualitas unik yang diperlukan pelanggan. Harga premium dapat berjalan sepanjang pasar terdiri dari paling tidak dua kelompok pembeli, yaitu kelompok yang mementingkan mutu dan kelompok yang mementingkan harga.


(27)

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Harga

Penjualan identik dengan harga, karena pada umumnya harga merupakan faktor yang dominan yang akan menentukan pertimbangan bagi pembeli. Dapat dikatakan bahwa harga merupakan jumlah yang dibayarkan oleh pembeli atas barang dan jasa yang ditawarkan oleh penjual. Harga mempunyai empat macam fungsi, yakni:

1. Sebagai pembayaran kepada lembaga saluran pemasaran atas jasa-jasa yang ditawarkannya.

2. Sebagai senjata dalam persaingan.

3. Sebagai alat untuk mengadakan komunikasi. 4. Sebagai alat pengawasan saluran pemasaran.

Penetapan harga merupakan keputusan penjualan yang sangat menentukan karena berpengaruh besar terhadap hasil penjualan (penerimaan). Pengaruh tersebut berlangsung dalam dua cara:

1. Harga sebagai komponen penerimaan mempunyai dampak atas penerimaan (Penerimaan = harga x kuantitas penjualan).

2. Tingkat harga itu sendiri sangat berpengaruh terhadap kuantitas penjualan yaitu melalui mekanisme fungsi permintaan.

Kedua cara ini akan menimbulkan komplikasi karena pengaruhnya saling bertentangan. Harga yang rendah menghasilkan pendapatan yang lebih kecil untuk setiap unit yang terjual tetapi biasanya mengakibatkan kuantitas penjualan yang meningkat, pengaruh sebaliknya akan terjadi apabila harga naik. Tentu saja, peningkatan kuantitas penjualan akan memperkecil biaya tetap per unit sampai


(28)

mencapai skala produksi tertentu. Karena itu keputusan mengenai penetapan harga merupakan tantangan nyata bagi para manajer (Downey, 1992).

Menurut Mankiw (2000), perusahaan yang bertujuan untuk mencari laba, tidak akan terlepas pada penentuan harga jual, oleh sebab itu dalam penentuannya turut dipegaruhi oleh beberapa faktor. Ada tujuh faktor yang mempengaruhi dalam penentuan harga jual, yaitu sebagai berikut:

1. Keadaan perekonomian 2. Permintaan dan penawaran

3. Elastisitas permintaan, yang meliputi : inelastis, elastis, elastisitas uniter 4. Persaingan

5. Biaya

6. Tujuan Perusahaan 7. Pengawasan pemerintah

2.2.2. Permintaan

Besar kecilnya permintaan di tentukan oleh tinggi rendahnya harga, tentu saja hal ini akan berlaku bila faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tidak ada perubahan (tetap) atau disebut ada dalam keadaan ceteris paribus. Dalam keadaan seperti itu, berlaku perbandingan terbalik antar harga terhadap permintaan dan perbandingan lurus antara harga dengan penawaran seperti apa yang dikatakan Alfred Marshall yang menyebutkan bahwa perbandingan terbalik antara harga terhadap permintaan disebut sebagai hukum permintaan.


(29)

Menurut Mankiw (2000), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa, antara lain :

- Tingkat pendapatan seseorang/masyarakat - Jumlah penduduk

- Selera penduduk - Fluktuasi ekonomi

- Harga barang yang di tuju - Harga barang subsitusi

- Faktor lain (harapan, hubungan sosial, dan politik) 2.2.3. Biaya Produksi

Biaya produksi biasanya diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Yang dimaksud dengan biaya

tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya berhubungan langsung dengan besarnya produksi (Mubyarto, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya adalah: Metode kerja, Pekerja, Lokasi, Requirement alat, Faktor satuan, Budaya, Komposisi sumber daya yang dibutuhkan, Pendefinisian lingkup pekerjaan, Iklim, Gempa bumi, badai, banjir, air pasang dan lain-lain (Mankiw, 2000).

2.2.4. Pendapatan

Pendapatan adalah suatu ukuran balas jasa terhadap faktor-faktor produksi yang ikut dalam proses produksi. Pengukuran pendapatan untuk tiap-tiap jenis


(30)

factor produksi yang ikut dalam usaha tergantung kepada tujuannya (Prawirokusumo, 1990).

Dalam kegiatan perusahaan, pendapatan ditentukan dengan cara mengurangkan berbagai biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh. Apabila hasil penjualan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan produsen nilainya adalah positif maka diperolehlah pendapatan. Pendapatan merupakan keuntungan yang diperoleh para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan kegiatan-kegiatan seperti: menghadapi risiko ketidakpastian di masa yang akan datang, melakukan inovasi/pembaruan di dalam berbagai kegiatan ekonomi dan mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar (Sukirno, 1994).

Menurut Mankiw (2009), jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu

perusahaan sebagai hasil dari penjualan output disebut pendapatan total (Total Revenue-TR). Jumlah pengeluaran yang harus dikeluarkan suatu

perusahaan untuk membeli input disebut biaya total (Total Cost-TC). Jadi, keuntungan (profit) dinyatakan sebagai pendapatan total dikurangi dengan biaya total. Dengan demikian,

Keuntungan = Pendapatan Total – Biaya Total 2.3. Kerangka Pemikiran

Perkebunan bersertifikat RSPO adalah perkebunan yang telah mendapatkan dan melewati proses sertifikasi RSPO untuk perusahaan perkebunannya. Perusahaan perkebunan ini melakukan proses produksi untuk menghasilkan CPO menggunakan berbagai kombinasi input. Untuk proses


(31)

produksi, perkebunan mengeluarkan sejumlah biaya produksi ( ) untuk mendapatkan berbagai input yang dibutuhkan. Karena bersertifikat RSPO, maka perusahaan juga perlu menambahkan biaya sertifikasi ke dalam biaya produksi. Setelah proses produksi berlangsung maka dihasilkan output yakni CPO (Crude Palm Oil) yang kemudian dijual. Dari hasil penjualan ini maka perusahaan mendapatkan penerimaan yang merupakan perkalian dari harga penjualan CPO ( ) dan volume penjualan CPO ( ). Kemudian dapat diperoleh pendapatan ( ) perkebunan bersertifikat RSPO yang merupakan selisih dari total penerimaan dengan total biaya produksi.

Perkebunan tidak bersertifikat RSPO adalah perkebunan yang belum memperoleh sertifikat RSPO sehingga dalam proses produksi untuk menghasilkan CPO perkebunan ini tidak perlu mengeluarkan biaya sertifikasi dalam biaya produksinya ( ). Sama halnya dengan perkebunan bersertifikat RSPO, perkebunan tidak bersertifikat RSPO juga akan memperoleh penerimaan dari penjualan CPO yang berasal dari perkalian harga penjualan CPO ( ) dan volume penjualan CPO ( ). Kemudian juga diperoleh pendapatan ( ) perkebunan bersertifikat RSPO yang merupakan selisih dari total penerimaan dengan total biaya produksi.

Namun, ada perbedaan antara biaya produksi CPO, harga penjualan CPO dan volume penjualan CPO antara perkebunan bersertifikat RSPO dengan perkebunan tidak bersertifikat RSPO. Sehingga diduga pendapatan perkebunan bersertifikat RSPO ( ) berbeda dengan pendapatan perkebunan tidak bersertifikat RSPO ( ). Pendapatan perkebunan bersertifikat RSPO ( ) dapat


(32)

lebih besar, sama atau lebih kecil dari pendapatan perkebunan tidak bersertifikat RSPO ( ).

Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1:

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Perkebunan yang memiliki

sertifikat RSPO

Perkebunan yang tidak memiliki sertifikat RSPO

- Volume Penjualan CPO (y1) - Harga Penjualan CPO (Py1) - Biaya produksi CPO (C1) - Pendapatan (π1):

- Volume Penjualan CPO (y2) - Harga Penjualan CPO (Py2) - Biaya produksi CPO (C2) - Pendapatan (π2):


(33)

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang sudah dibangun, maka disusun hipotesis sebagai berikut:

1. Ada perbedaan harga, volume penjualan , biaya produksi dan pendapatan antara perkebunan yang bersertifikat RSPO dengan perkebunan yang tidak bersertifikat RSPO

2. Ada perbedaan harga, volume penjualan , biaya produksi dan pendapatan pada perkebunan sebelum dan sesudah memperoleh sertifikat RSPO


(34)

18

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Objek penelitian ditentukan secara Purposive (sengaja) berdasarkan izin dari perusahaan perkebunan yang telah mendapatkan sertifikat RSPO. Untuk perkebunan bersertifikat RSPO di Sumatera Utara ada 6 perusahaan perkebunan. Tabel 1. Daftar Perusahaan Perkebunan Bersertifikat RSPO Di Sumatera

Utara

Sumber: RSPO (2011) dan Dinas Perkebunan Sumatera Utara (2009).

Namun yang memberikan izin penelitian hanya PTPN III. PTPN III beralamat di Jl Sei Batanghari Medan. PTPN III merupakan perusahaan Perkebunan Besar Negara (PBN). Untuk perusahaan perkebunan tidak bersertifikat peneliti memilih PTPN II yang beralamat di Tanjung Morawa. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa perkebunan yang bersertifikat RSPO adalah perusahaan Perkebunan Besar Negara (PBN) maka perkebunan yang tidak bersertifikat RSPO juga perusahaan Perkebunan Besar Negara (PBN). Dengan asumsi sistem manajemen yang relatif sama dan diharapkan perbedaan pendapatan yang akan diuji akan lebih tampak yang disebabkan oleh ada atau tidaknya sertifikat RSPO.

No Nama Perusahaan Perkebunan Bersertifikat RSPO

Tanggal Penerimaan Sertifikat RSPO

1 PT Perkebunan Nusantara III 16 Agustus 2010

2 PT PP London Sumatera Tbk 30 April 2009

3 PT Tolan Tiga 17 Mei 2010

4 PT Bakrie Sumatera Plantation 28 Agustus 2010

5 PT Socfindo 07 Desember 2010


(35)

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data time series yang diperoleh dari perusahaan perkebunan PTPN II , PTPN III dan Kharisma Pemasaran Bersama (KPB) selaku mediator dalam penjualan CPO.

Tabel 2. Data Primer yang Dikumpulkan

No Jenis Data Sumber Data

1 Data biaya produksi PTPN II dan PTPN III

2 Data harga penjualan CPO Kantor Pemasaran Bersama, PTPN II dan PTPN III

3 Data volume penjualan ekspor CPO Kantor Pemasaran Bersama, PTPN II dan PTPN III

4 Negara tujuan ekspor CPO Kantor Pemasaran Bersama, PTPN II dan PTPN III

Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi seperti Dinas Perkebunan Sumatera Utara, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara, dan kepustakaan dan sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.3. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis hipotesis 1 dan 2 digunakan analisis pendapatan dengan menggunakan rumus:

Pd = TR – TC Keterangan:

Pd = Pendapatan perkebunan

TR = Total revenue (Total penerimaan) TC = Total Cost (Total Biaya)

Untuk menghitung total penerimaan (TR) menggunakan rumus: TR = y × Py


(36)

Keterangan:

TR = Total penerimaan (Rp) y = Jumlah penjualan CPO (Ton) Py = Harga Jual CPO (Rp/Ton)

Lalu untuk menguji hipotesis 1 digunakan Uji beda rata-rata (Compare Means) baik untuk perkebunan bersertifikat RSPO maupun perkebunan tidak bersertifikat RSPO. Dalam penelitian ini yang akan dibandingkan adalah, harga jual ekspor dan lokal CPO (harga nominal dan harga riil), volume penjualan, penerimaan, biaya produksi dan pendapatan CPO dari perkebunan bersertifikat RSPO dengan perkebunan tidak bersertifikat RSPO. Karena berasal dari dua sampel yang berbeda maka uji beda rata-rata yang digunakan dalam penelitian ini adalah Independent sample T-test.

Menurut Sujana (2002), perhitungan varians dilakukan dengan rumus:

Uji beda rata-rata metode independent sample T-test memiliki rumus:

Keterangan:

= rata-rata harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya produksi dan pendapatan perkebunan bersertifikat RSPO


(37)

= rata-rata harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya produksi dan pendapatan perkebunan tidak bersertifikat RSPO = varians jumlah harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya

produksi dan pendapatan perkebunan bersertifikat RSPO

= varians harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya produksi dan pendapatan perkebunan tidak bersertifikat RSPO = jumlah observasi data pertama dan kedua

Menurut Sudjana (2002), pengujian terhadap hipotesis yang perumusannya mengandung pengertian sama atau tidak memiliki perbedaan, disebut hipotesis nol, dengan lambang Ho melawan hipotesis tandingannya dengan lambang H1 yang mengandung pengertian tidak sama, lebih besar atau lebih kecil. H1 ini harus dipilih atau ditentukan peneliti sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Kriteria Uji dengan 2 pihak:

Hipotesis Ho diterima Hipotesis H1 diterima Jika:

Keterangan:

= rata-rata variabel I (Perkebunan bersertifikat RSPO) = rata-rata variabel II (Perkebunan tidak bersertifikat RSPO)


(38)

Lalu untuk menguji hipotesis 2 digunakan Uji beda rata-rata (Compare Means) pada perkebunan sebelum dan setelah bersertifikat RSPO. Dalam penelitian ini yang akan dibandingkan adalah harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya produksi dan pendapatan pada perkebunan sebelum dan setelah bersertifikat RSPO. Karena berasal dari dua sampel yang sama maka uji beda

rata-rata yang digunakan dalam penelitian ini adalah Dependent sample T-test (Paired Sample t Test).

Menurut Sudjana (2002), Uji beda rata-rata metode Paired sample T-test

memiliki rumus:

Keterangan:

= rata-rata harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya produksi dan pendapatan perkebunan sebelum bersertifikat RSPO = rata-rata harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya produksi dan pendapatan perkebunan setelah bersertifikat RSPO = varians harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya

produksi dan pendapatan perkebunan sebelum bersertifikat RSPO = varians harga jual , jumlah penjualan, penerimaan, biaya produksi dan pendapatan perkebunan setelah bersertifikat RSPO = jumlah observasi data pertama dan kedua


(39)

Kriteria Uji:

Hipotesis Ho diterima Hipotesis H1 diterima Jika:

Keterangan:

= rata-rata variabel I (Perkebunan sebelum bersertifikat RSPO) = rata-rata variabel II (Perkebunan setelah bersertifikat RSPO)

Untuk menganalisis hipotesis 3 dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan mengetahui pertimbangan PTPN III mensertifikasi perusahaan perkebunannya dan PTPN II tidak mensertifikasi perusahaan perkebunannya.

3.4. Defenisi dan Batasan Operasional 3.4.1. Defenisi

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan pengertian dalam penelitian ini, maka diberikan defenisi dan batasan operasional sebagai berikut:

1. Komparasi dalam penelitian ini adalah membandingkan pendapatan antara perkebunan bersertifikat RSPO dengan perkebunan tidak bersertifikat RSPO. 2. Perkebunan bersertifikat RSPO adalah perkebunan yang telah melewati dan


(40)

3. Perkebunan tidak bersertifikat RSPO adalah perkebunan yang belum memiliki dan belum melewati proses sertifikasi yakni PTPN II.

4. Biaya produksi CPO merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan selama proses produksi CPO dalam satuan Rp.

5. Harga penjualan CPO adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh konsumen atas CPO yang diproduksi perkebunan dalam satuan Rp/Ton (Harga Nominal) atau US $/Ton (Harga Riil).

6. Volume penjualan CPO adalah jumlah CPO yang dibeli oleh para konsumen dalam satuan ton.

7. Penerimaan adalah nilai yang diperoleh dari perkalian total produksi dengan harga jual dalam satuan Rp.

8. Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya dalam satuan Rp.

3.4.2. Batasan Operasional

Pembatasan di dalam penelitian ini telah ditetapkan melalui suatu batasan operasional berikut:

1. Daerah penelitian adalah PT Perkebunan Nusantara III dan PT Perkebunan Nusantara II.


(41)

PROFIL PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PTPN III) DAN

PT PERKEBUNAN NUSANTARA II (PTPN II)

4.1.

Profil PT Perkebunan Nusantara III (Persero)

PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) merupakan hasil peleburan PT Perkebunan Nusantara III, IV dan V sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 tahun 1996 tanggal 14 Februari 1996. Peleburan tersebut dilakukan dalam rangka restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang perkebunan. Selanjutnya, perusahaan-perusahaan yang dilebur dinyattakan bubar walaupun substansinya masih meneruskan usaha sebelumnya,dengan perubahan dalam struktur ekuitas (jumlah laba dan saldo laba) dan penambahan serta pengurangan beberapa asset dan kewajiban. Perusahaan didirikan berdasarkan akta No. 36 tanggal 11 Maret 1996 dari Harun Kamil, SH., notaris di Jakarta dan telah memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat keputusannya No. C2-8331 HT.01.01.Th. 96 tanggal 8 Agustus 1996 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 81 tanggal 8 Oktober 1996, Tambahan No. 8674.

PTPN III mengusahakan komoditi kelapa sawit dan karet pada tahun 2010 dengan areal konsesi seluas 129,581.09 Ha. Budidaya kelapa sawit diusahakan pada areal seluas 74,992.79 Ha, karet 37,856,16 Ha dan areal lain-lain 16.732,14 Ha. Selain penanaman komoditi pada areal kebun sendiri. PTPN III juga mengelola areal Plasma milik Petani seluas 19.553,94 Ha untuk tanaman kelapa sawit dan tanaman karet 9.150,80 Ha. Perkembangan luas lahan PTPN III baik sebelum atau sesudah menerima sertifikat RSPO dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.


(42)

Tabel 3. Luas Lahan, Produksi, Produktivitas TBS dan Produksi CPO PTPN III Sebelum Bersertifikat RSPO

Tahun Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

Produksi CPO (Ton)

2005 72,330.00 1,462,939.00 20.23 343,001.35

2006 68,336.93 1,442,123.00 21.10 344,491.14

2007 70,364.56 1,423,109.00 20.22 342,033.65

2008 67,815.38 1,516,796.00 22.37 366,074.40

2009 71,587.13 1,629,938.00 22.77 393,593.68

Sumber: PTPN III, 2005-2009

Tabel 4. Luas Lahan, Produksi, Produktivitas TBS dan Produksi CPO PTPN III Setelah Bersertifikat RSPO

Tahun Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

Produksi CPO (Ton)

2010 74,992.79 1,695,927.00 22.61 409,389.56

2011

sd Agt 73,883.27 1,095,026.10 14.82 264,500.09

Sumber: PTPN III, 2010-Agustus 2011

Dari Tabel 3 dan 4 dapat dilihat bahwa produktivitas TBS pada saat sebelum memperoleh sertifikat RSPO selalu meningkat kecuali pada tahun 2007 begitu pula dengan produksi CPO untuk tahun yang sama. Setelah menerima sertifikat, pada tahun 2010 memang terjadi penurunan produktivitas TBS namun produksi CPO meningkat dibandingkan tahun sebelumnya di saat PTPN III belum memperoleh sertifikat RSPO.

PTPN III memiliki 34 Kebun sebagai berikut: Kebun Sei Meranti, Kebun Sei Daun, Kebun Torgamba, Kebun Bukit Tujuh, Kebun Sei Baruhur, Kebun Sei Kebara, Kebun Aek Torop, Kebun PIR Aek Raso, Kebun Sisumut, Kebun Aek Nabara Utara, Kebun Aek Nabara Selatan, Kebun Rantau Prapat, Kebun Membang Muda, Kebun Labuhan Haji, Kebun Merbau Selatan, Kebun Sei Dadap, Kebun Pulau Mandi, Kebun Ambalutu, Kebun Sei Silau, Kebun Bandar Selamat, Kebun Huta Padang, Kebun Dusun Hulu, Kebun Bangun, Kebun Bandar Betsy, Kebun Gunung Pamela, Kebun Gunung Manaco, Kebun Silau Dunia, Kebun


(43)

Gunung Para, Kebun Sungai Putih, Kebun Sarang Giting, Kebun Tanah Raja, Kebun Rambuatan, Kebun Hapesong dan Kebun Batang Toru

Selain Unit usaha kebun PTPN III juga memiliki sejumlah 21 unit pabrik pengolahan yaitu Pabrik Kelapa Sawit 11 unit, Pabrik Sheet 6 unit, Pabrik Crumb Rubber Low Grade 2 unit dan Prabik Centrifuge Lateks/Lateks pekat 2 unit.

Kapasitas produksi per tahun untuk Pabrik Kelapa Sawit adalah: CPO = 517.336 Ton

Inti Sawit = 108.870 Ton

Kapasitas produksi per tahun untuk Pabrik Pabrik Karet adalah: Lateks Pusingan = 7.295 ton

Sheet = 16.863 ton

Crumb Rubber Low Grade = 15.976 ton

Dilihat dari pemasarannya, penjualan CPO PTPN III lebih banyak untuk pasar domestik (lokal) namun jumlahnya tidak berbeda jauh untuk pasar ekspor. Negara tujuan ekspor CPO dari PTPN III yakni India, China, Negara-negara Uni Eropa, Sri Lanka, Pakistan dan Singapore. Penjualan CPO PTPN III dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Penjualan (Lokal dan Ekspor) CPO PTPN III tahun 2005- Agustus 2011

Penjualan (Juta Ton)

TAHUN

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (sd

Agustus) Lokal 144.13 177.23 264.38 286.36 291.38 248.95 228.04

Ekspor 198.87 167.27 77.66 79.71 102.22 160.44 36.46 Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011


(44)

Di bulan Agustus 2010, PTPN III menerima sertifikat RSPO unit pengelolaan kelapa sawit di Sei Mangkei, dengan rantai pasok dari Kebun Rambutan, Kebun Dusun Ulu, Kebun Bangun, Kebun Gunung Pamela dan Kebun Gunung Para dari TUV Rheinland, Malaysia Sdn.Bhd yang penyerahannya disaksikan oleh Dr. Mustafa Abubakar, Menteri BUMN RI di Jakarta. PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III akhirnya mendapatkan sertifikat RSPO unit pengelolaan kelapa sawit di Sei Mangkei, dari TUV Rheinland Malaysia Sdn Bhd setelah memperjuangkannya selama 2 tahun.

Struktur organisasi PT Perkebunan Nusantara III (PTPN-III) dapat dilihat dalam Gambar 2.


(45)

Gambar 2. Struktur Organisasi PT. Perkebunan Nusantara III R.U.P.S DEWAN KOMISARIS KOMITE AUDIT DIREKTUR PRODUKSI DIREKTUR KEUANGAN DIREKTUR PENGEMBANGAN & PERENCANAAN DIREKTUR SDM BAGIAN SPI BAGIAN TANAMAN BAGIAN TEKNIK BAGIAN TEKNOLOGI BAGIAN KEUANGAN BAGIAN AKUNTANSI BAGIAN KOMERSIL BAGIAN UMUM BAGIAN HUKUM DAN MANAJEMEN RESIKO BAGIAN KBL BAGIAN SDM BAGIAN PERENCANAAN & PENGKAJIAN BAGIAN PENGEMBANGAN

BAGIAN TI & TB/CMR KANTOR PERWAKILAN JAKARTA BAGIAN SEKRETARIAT PERUSAHAAN BAGIAN PELELANGAN DIREKTUR UTAMA


(46)

4.2.

Profil PT Perkebunan Nusantara II (Persero)

Perusahaan Perseroan PT Perkebunan II bergerak dibidang usaha Pertanian dan Perkebunan didirikan dengan Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH No. 12 tanggal 5 April 1976 yang diperbaiki dengan Akte Notaris No. 54 tanggal 21 Desember 1976 dan pengesahan Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A. 5/43/8 tanggal 28 Januari 1977 dan telah diumumkan dalam Lembaran Negara No. 52 tahun 1978 yang telah didaftarkan kepada Pengadilan Negeri Tingkat I Medan tanggal 19 Pebruari 1977 No. 10/1977/PT. Perseroan Terbatas ini bernama Perusahaan Perseroan (Perseroan) PT Perkebunan II disingkat “PT Perkebunan II" merupakan perubahan bentuk dan gabungan dari PN Perkebunan II dengan PN Perkebunan Sawit Seberang.

PTPN II mengusahakan komoditi kelapa sawit, karet, kakao,gula dan tembakau dengan areal konsesi seluas 103.860 hektar. Budidaya kelapa sawit diusahakan pada areal seluas 53,872.79 ha, karet 11.265 ha dan kakao seluas 7.370 ha. Selain penanaman komoditi pada areal sendiri + inti, PTPN II juga mengelola areal Plasma milik petani seluas 25.250 ha untuk tanaman kelapa sawit. Disamping itu PTPN II juga mengelola tanaman musiman yaitu tanaman tebu dan tembakau. Tanaman tebu lahan kering ditanam pada areal seluas 16.046 ha, tediri dari tebu sendiri (TS) 14.474 ha dan tebu rakyat (TR) 1.572 ha, sedangkan tanaman tembakau ditanam pada areal seluas 2.443 ha. Perkembangan luas lahan, produksi, produktivitas TBS dan produksi CPO PTPN II dapat dilihat pada Tabel 6.


(47)

Tabel 6. Luas Lahan, Produksi, Produktivitas TBS dan Produksi CPO PTPN II tahun 2005-Agustus 2011

Tahun Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Produksi Rata-Rata (Ton/Ha)

Produksi CPO (Ton)

2005 55,370.83 744,508.61 13.45 154,755.04

2006 48,875.91 673,616.71 13.78 142,080.47

2007 56,812.37 679,727.96 11.96 143,577.62

2008 56,317.60 813,471.39 14.44 168,647.00

2009 54,082.23 704,115.87 13.02 148,347.89

2010 53,120.95 705,491.04 13.28 150,285.37

2011

(sd Agt) 53,872.79 480,046.07 8.91 100,430.84

Sumber: PTPN II, 2005-Agustus 2011

PTPN II memiliki 31 unit usaha kebun yaitu: Kebun Tg. Garbus Melati, Kebun Pd. Brahrang – Beklun, Kebun Mariendal, Kebun Tanjung Jati, Kebun Limau Mungkur, Kebun Maryke/ B. Lawang, Kebun Pagar Merbau, Kebun Tanjung Keliling, Kebun Bekala, Kebun Kwala Madu, Kebun Batang Kwis, Kebun Kwala Bingel, Kebun Bandar Klippa, Kebun Gohor Lama/Tj.Beringin, Kebun Saentis, Kebun Basilam, Kebun Sampali, Kebun Kwala Sawit, Kebun Helvetia, Kebun Air Tenang, Kebun Sei Semayang, Kebun Batang Serangan, Kebun Klambir Lima, Kebun Sawit Seberang, Kebun Klumpang, Kebun Sawit Hulu, Kebun Bulu Cina, Kebun Prafi, Kebun Tandem, Kebun Arso dan Kebun Tandem Hilir.

Selain unit usaha kebun PTPN II juga memiliki sejumlah 18 unit pabrik pengolahan yaitu Fresh Fruit Branches (FFB), Pabrik CPO, Pabrik RSS, Pabrik SIR, Pabrik Centrifuge Lateks, Pabrik Kakao, Pabrik Gula dan Bangsal Pengeringan.

Untuk penjualan CPO PTPN II, target pasar utamanya adalah pasar domestik (lokal). Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa untuk penjualan ekspor PTPN II dari tahun 2005-Agustus 2011 hanya sekitar 12%.


(48)

Tabel 7. Penjualan (Lokal dan Ekspor) CPO PTPN II tahun 2005-Agustus 2011

Penjualan (Juta Ton)

TAHUN

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (sd

Agustus) Lokal 128.95 126.08 125.08 165.67 126.45 126.29 91.43

Ekspor 25.81 16.00 18.49 2.98 21.90 24.00 9.00

Sumber: PTPN II, 2005-Agustus 2011

Struktur organisasi PT Perkebunan Nusantara II (PTPN-II) dapat dilihat dalam Gambar 3.


(49)

DI R E KT UR U T AMA G a m b a r 3 . S tru k tu r O rg a n is a si PT . P er k ebuna n N us a nt a ra I I DI R E KT UR U T AMA R .U .P .S DE W AN KOMI SAR IS DI R E KT UR PR OD U KSI DI R E KT UR KE U ANGAN DI R E KT UR SDM BAGIAN SPI BAGIAN TANAMAN BAGIAN TEKNIK /PENGOLAHAN BAGIAN AKUNTANSI & TI

BAGIAN UMUM BAGIAN SDM BAGIAN PERENCANAAN & PENGKAJIAN BAGIAN SEKRETARIAT DI R E KT UR PE MASAR AN BAGIAN PEMASARAN

BAGIAN HUKUM & PERTANIAN BAGIAN PENGADAAN BAGIAN PEMBIAYAAN BAGIAN P M L H


(50)

34

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Perbedaan Harga, Volume Penjualan, Biaya Produksi Dan Pendapatan

Antara PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) Dengan PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II)

5.1.1. Analisis Perbandingan Harga

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa harga CPO dari perusahaan perkebunan bersertifikat RSPO akan diberikan harga premium namun besarnya menurut kesepakatan antar penjual dan pembeli. Untuk mengetahui perkembangan harga jual CPO ekspo dari PTPN III dan PTPN II dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber: PTPN III dan PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4 dan 5)

Gambar 4. Perbandingan Harga Jual CPO Ekspor (Rp/Ton) dari PTPN III dan PTPN II Dalam Harga Nominal

Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa harga jual CPO dalam harga nominal (Rp/Ton) untuk ekspor dari PTPN III selalu lebih tinggi dibandingkkan harga dari PTPN II kecuali untuk tahun 2006. Sebelum PTPN III bersertifikat RSPO, harga CPO di PTPN III terus meningkat dari tahun 2005 kecuali di tahun 2009 yang mengalami penurunan yang sangat signifikan. Untuk PTPN III, harga


(51)

CPO yang ada selalu menggungguli PTPN II kecuali di tahun 2006. Hal yang sama juga terjadi pada PTPN III, harga CPO PTPN III terus meningkat dari tahun 2005 kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan. Setelah PTPN III bersertifikat RSPO, dapat dilihat bahwa harga CPO di PTPN III selalu menggungguli PTPN II. Dapat disimpulkan bahwa walaupun setelah bersertifikat RSPO, harga di PTPN III memang selalu lebih tinggi, hal ini dikarenakan mutu CPO yang bagus dan kadar ALB (Asam Lemak Bebas) yang rendah dari PTPN III. Sehingga, harga yang diterima PTPN III juga selalu lebih besar dari PTPN II. Jadi sertifikat RSPO tidak tampak pengaruhnya untuk meningkatkan harga CPO dalam penjualan di PTPN III. Dalam transaksi penjualan ekspor CPO ke pasar dunia menggunakan mata uang Dollar maka dari itu perlu dilihat perkembangan harga dalam bentuk harga riil (US$/Ton) yang disajikan pada Gambar 5.

Sumber: PTPN III dan PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4 dan 5)

Gambar 5. Perbandingan Harga Jual CPO Ekspor (US$/Ton) dari PTPN III dan PTPN II Dalam Harga Riil

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa tidak dapat perbedaan antara harga CPO dalam bentuk harga riil ataupun dalam bentuk harga nominal. Kecuali di


(52)

tahun 2006 pada PTPN III, pada harga nominal terjadi kenaikan harga namun pada harga riil malah terjadi sebaliknya yakni terjadi penurunan sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penjualan di tahun 2006 ada pengaruh inflasi atau nilai tukar sehingga terjadi perbedaan antara harga nominal dengan harga riil.

Secara deskriptif, dilihat dari perkembangan harga jual CPO pada PTPN III dengan Negara tujuan untuk Negara-negara Uni Eropa pada saat PTPN III telah memperoleh sertifikat RSPO tidak terlihat perbedaan harga diantara kedua Negara pembeli tersebut. Sebagai contoh, pembelian yang dilakukan pada tanggal 23 Juni 2011 dengan tujuan Italia dan India. Italia yang merupakan salah satu Negara Uni Eropa menghargai CPO PTPN III yang telah tersertifikasi RSPO sebesar US$ 107,80/ton dan India sebagai Negara non Uni Eropa yang melakukan pembelian pada tanggal yang sama juga menghargai CPO PTPN III yang telah tersertifikasi RSPO dengan harga yang sama yakni sebesar US$ 107,80/ton.

Hal yang sama juga tampak jika harga penjualan CPO PTPN III dibandingkan dengan harga penjualan CPO PTPN II. Didapatkan bahwa untuk transaksi penjualan yang dibantu oleh KPB selaku mediator juga tidak tampak perbedaan. Sebagai contoh, pembelian CPO PTPN II yang dilakukan dengan Negara tujuan India pada tanggal 21 November 2010 mempunyai harga sebesar US$ 95,60/ton. Pada tanggal yang sama terjadi pembelian CPO dari PTPN III dengan Negara tujuan Italia yang merupakan salah satu Negara Uni Eropa namun harga yang diterima oleh PTPN III sama halnya dengan yang terjadi di PTPN II yakni sebesar US$ 95,60/ton. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perbedaan harga jual CPO antara perkebunan bersertifikat RSPO dengan


(53)

perkebunan tidak bersertifikat RSPO. Sehingga harga premium yang dijanjikan akan diberikan konsumen kepada perusahaan perkebunan pemegang sertifikat RSPO dalam prakteknya belum terjadi.

Selanjutnya, pada bagian ini juga akan dilihat perkembangan harga lokal (domestik) penjualan CPO dari PTPN III maupun PTPN II. Hal ini dilakukan karena target pasar untuk kedua perusahaan perkebunan yakni untuk pasar lokal terutama untuk PTPN II. Hal ini juga dilakukan untuk melihat apakah terdapat pengaruh RSPO terhadap pasar lokal dengan melihat perbedaan antara harga lokal penjualan CPO dari PTPN III dan PTPN II. Harga nominal untuk penjualan CPO dari PTPN III dan II dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber: PTPN III dan PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 7)

Gambar 6. Perbandingan Harga Jual CPO Lokal (Rp/Ton) dari PTPN III dan PTPN II Dalam Harga Nominal

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa harga jual CPO untuk pasar lokal dari PTPN III selalu lebih besar daripada PTPN II kecuali di tahun 2005, harga jual CPO PTPN II mengungguli harga jual CPO PTPN III. Walaupun demikian, hal ini tidak dipengaruhi sertifikasi RSPO melainkan mutu CPO yang ada pada CPO


(54)

PTPN III. Konsumen dalam negeri belum mementingkan apakah CPO yang dikonsumsi berasal dari perkebunan bersertifikat RSPO atau tidak seperti halnya konsumen di negara Uni Eropa. Sehingga, bagi PTPN II, sertifikasi belumlah terlalu penting karena pasar dalam negeri masih menerima CPO hasil perusahaan perkebunannya namun untuk kualitas CPO yang dihasilkan perlu untuk ditingkatkan agar harga yang tercipta dapat lebih baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan walaupun tidak ada ekspor ke negara Uni Eropa.

Selain harga nominal (Rp/Ton) perlu juga untuk dilihat perkembangan harga jual CPO lokal dalam harga riil (US$/Ton) yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: PTPN III dan PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 7)

Gambar 7. Perbandingan Harga Jual CPO Lokal (US$/Ton) dari PTPN III dan PTPN II Dalam Harga Riil

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa dalam harga riil , harga jual CPO PTPN III untuk ekspor juga lebih tinggi namun prbedaannya tidak terlalu besar. Seperti yang disebutkan sebelumnya perbedaan harga jual ini tercipta karena adanya perbedaan mutu CPO di masing-masing perusahaan,


(55)

Secara kuantitatif, untuk melihat perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil antara PTPN II dengan PTPN III maka dilakukan uji beda rata-rata

a. Analisis Perbandingan Harga Nominal Ekspor dan Lokal

Untuk melihat perbedaan harga baik ekspor maupun lokal yang diterima oleh PTPN II maupun PTPN III dalam harga nominal sebelum PTPN III memperoleh sertifikat RSPO dilakukan uji beda rata-rata dengan hasil seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan Ekspor PTPN III dan PTPN II tahun 2005-2009

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Harga Nominal

(Rp/Ton) 513,486.74 507,685.46 0.059 2.306 0.954

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 9)

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal pada PTPN III dan PTPN II tidak terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 0.059 dan t-tabel = 2.306. Pada rata-rata harga nominal dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal PTPN III lebih besar daripada rata-rata penerimaan PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga nominal PTPN III dan PTPN II dari tahun 2005-2009.

Tabel 9. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan Ekspor PTPN III dan PTPN II tahun 2010-Agustus 2011

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Harga Nominal

(Rp/Ton) 873,195.63 853,137.96 0.105 4.302 0.926

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 10)

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal pada PTPN III


(56)

t-tabel = 4.302. Pada rata-rata harga nominal dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal PTPN III lebih besar daripada rata-rata harga nominal PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga nominal PTPN III dan PTPN II dari tahun 2010-Agustus 2011. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik sebelum atau sesudah PTPN III bersertifikat RSPO tidak terdapat perbedaan harga (pada harga nominal, Rp/Ton) dengan PTPN II yang tidak bersertifikat RSPO sehingga sertifikasi RSPO tidak meningkatkan harga jual CPO bagi perusahaan perkebunan yang telah tersertifikasi.

Tabel 10. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan Lokal PTPN III dan PTPN II tahun 2005-2009

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Harga Nominal

(Rp/Ton) 524,025.02 509,754.80 0.139 2.306 0.893

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 15)

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal pada PTPN III

dan PTPN II tidak terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 0.139 dan t-tabel = 2.306. Pada rata-rata harga nominal dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal PTPN III lebih besar daripada rata-rata harga nominal PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga nominal PTPN III dan PTPN II dari tahun 2005-2009.

Tabel 11. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Nominal Penjualan Lokal PTPN III dan PTPN II tahun 2010-Agustus 2011

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Harga Nominal

(Rp/Ton) 720,780.55 699,659.00 0.341 4.303 0.766


(57)

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal pada PTPN III dan PTPN II tidak terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 0.341 dan t-tabel = 4.303. Pada rata-rata harga nominal dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal PTPN III lebih besar daripada rata-rata harga nominal PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga nominal PTPN III dan PTPN II dari tahun 2010-Agustus 2011.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di pasar lokal penjualan CPO dari masing-masing perusahaan perkebunan juga tidak menimbulkan perbedaan yang nyata sesuai hasil analisis yang dilakukan.

b. Analisis Perbandingan Harga Riil Ekspor dan Lokal

Untuk melihat perbedaan harga jual CPO baik ekspor maupun lokal yang diterima oleh PTPN II maupun PTPN III dalam harga riil sebelum PTPN III memperoleh sertifikat RSPO dilakukan uji beda rata-rata dengan hasil seperti pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Ekspor PTPN III dan PTPN II Tahun 2005-2009

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Harga Riil

(US$/Ton) 52.75 52.30 0.046 2.306 0.965

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 12)

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil pada PTPN III dan

PTPN II tidak terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 0.046 dan t-tabel = 2.306. Pada rata-rata harga riil dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil

PTPN III lebih besar daripada rata-rata harga riil PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara


(58)

statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga riil PTPN III dan PTPN II dari tahun 2005-2009.

Tabel 13. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Ekspor PTPN III dan PTPN II Tahun 2010-Agustus 2011

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Harga Riil

(US$/Ton) 97.90 95.91 0.082 4.302 0.942

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 13)

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa rata-rata harga nominal pada PTPN III

dan PTPN II tidak terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 0.082 dan t-tabel = 4.302. Pada rata-rata harga riil dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil PTPN III lebih besar daripada rata-rata harga riil PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga riil PTPN III dan PTPN II dari tahun 2010-Agustus 2011. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik sebelum atau sesudah PTPN III bersertifikat RSPO tidak terdapat perbedaan harga (pada harga riil, US$/Ton) dengan PTPN II yang tidak bersertifikat RSPO sehingga sertifikasi RSPO tidak meningkatkan harga jual CPO bagi perusahaan perkebunan yang telah tersertifikasi. Dari hasil anisis ini tampak bahwa tidak adanya harga premium yang dujanjikan untuk perusahaan perkebunan bersertifikat RSPO.

Tabel 14. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Lokal PTPN III dan PTPN II Tahun 2005-2009

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig Mean Harga Riil

(US$/Ton) 53.22 51.76 0.149 2.306 0.885

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 17)

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil pada PTPN III dan


(59)

t-tabel = 2.306. Pada rata-rata harga riil dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil PTPN III lebih besar daripada rata-rata harga riil PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga riil PTPN III dan PTPN II dari tahun 2005-2009.

Tabel 15. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Lokal PTPN III dan PTPN II Tahun 2010-Agustus 2011

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Harga Riil

(US$/Ton) 80.65 78.275 0.255 4.303 0.822

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 18)

Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil pada PTPN III dan

PTPN II tidak terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 0.255 dan t-tabel = 2.306. Pada rata-rata harga riil dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil

PTPN III lebih besar daripada rata-rata harga riil PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga riil PTPN III dan PTPN II dari tahun 2010-Agustus 2011.

5.1.2. Analisis Perbandingan Volume Penjualan PTPN III

PTPN III merupakan perusahaan perkebunan BUMN pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat RSPO yang berada di Sumatera Utara. Untuk melihat pendapatan yang diperoleh oleh PTPN III maka terlebih dahulu dilihat penerimaan yang diperoleh dalam penjualan CPO ke luar negeri. Penerimaan yang diperoleh oleh PTPN III sebagai hasil kegiatan ekspor CPO dapat dilihat pada Gambar 8.


(60)

Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4, 7 dan 8)

Gambar 8: Total Revenue (Penerimaan) Penjualan CPO PTPN III Tahun 2005-Agustus 2011

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa perkembangan penerimaan PTPN III mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak stabil. Penerimaan tertinggi yang diterima PTPN III yakni pada tahun 2010 sedangkan penerimaan terendah terjadi pada tahun 2007 (sebenarnya terjadi pada tahun 2011 jika dilihat pada grafik namun pada tahun 2011 hanya pada sampai bulan Agustus). Hal ini dikarenakan volume penjualan pada tahun 2007 merupakan tahun dengan volume penjualan terendah namun tahun 2010 bukan merupakan tahun dengan volume penjualan tertinggi melainkan di tahun 2005 terjadi volume penjualan tertinggi sepanjang tahun 2005-Agustus 2011. Data volume penjualan yang diperoleh hanya sampai pada bulan Agustus 2011, namun melalui proyeksi dapat diramalkan volume penjualan yang terjadi di bulan September sampai dengan Desember 2011. Proyeksi dilakukan dengan melihat perkembangan volume penjualan di tahun 2011. Hal ini dikarenakan tidak adanya suatu trend dalam perkembangan penjualan dari tahun 2005-2010 sehingga proyeksi yang dilakukan tidak


(61)

berdasarkan volume penjualan yang terjadi pada tahun sebelum tahun 2011 yakni tahun 2005-2010. Proyeksi volume penjualan juga dilakukan untuk PTPN II. Perkembangan volume penjualan CPO PTPN III dapat dilihat pada Gambar 9.

Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4 dan 6)

Gambar 9: Volume Penjualan CPO PTPN III tahun 2005- 2011

Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa PTPN III selain melakukan penjualan ekspor juga melakukan penjualan lokal (domestik). Namun rata-rata proporsi untuk penjualan lokal (domestik) lebih besar dibandingkan proporsi untuk penjualan ekspor. Namun terdapat juga tahun yang memiliki proporsi ekspor yang lebih tinggi yakni di tahun 2005. Secara rinci perkembangan persentase perbandingan penjualan ekspor dan lokal PTPN III dapat dilihat pada Gambar 10. Dari Gambar 10 dilihat bahwa tahun 2009 terjadi penjualan ekspor yang terendah. Hal ini dikarenakan adanya bea ekspor yang cukup tinggi. Sebaliknya persentase penjualan lokal terendah ada di tahun 2005 dengan demikian terjadi penjualan ekspor tertinggi di tahun 2005 karena permintaan dari negara-negara seperti India, China, negara- negara Uni Eropa, Singapore, Tanzania dan Bangladesh meningkat (Lampiran 4 ). Dapat dilihat juga bahwa


(62)

terjadi peningkatan ekspor setelah PTPN III bersertifikat RSPO dengan demikian salah satu profit bagi perusahaan bersertifikat RSPO adalah terjadinya peningkatan volume penjualan ekspor.

Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4 dan 7)

Gambar 10: Persentase Perbandingan Penjualan Ekspor dan Lokal CPO PTPN III tahun 2005-Agustus 2011

Volume penjualan yang akan dilihat adalah volume penjualan dengan Negara tujuan Uni Eropa. Hal ini dikarenakan pasar dari Negara Uni Eropa yang awalnya menginginkan CPO dari perusahaan perkebunan bersertifikat RSPO. Persentase penjualan CPO ke Negara-negara Uni Eropa dapat dilihat pada Gambar 11.


(63)

Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4 dan 7)

Gambar 11: Persentase Perbandingan Ekspor CPO Ke Uni Eropa Terhadap Total Ekspor CPO PTPN III Tahun 2005-Agustus 2011

Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa pada rentang tahun 2005-2009 yakni pada saat PTPN belum bersertifikat RSPO, persentase penjualan CPO ke Negara-negara Uni Eropa tidak stabil. Di tahun 2006 dan 2008 penjualan ke Negara- negara-negara Uni Eropa mengalami penurunan. Setelah bersertifikat RSPO yakni di tahun 2010 malah terjadi penurunan yang sangat tajam yang hanya 13.34% dari total ekspor CPO. Pada tahun 2010, CPO PTPN III lebih banyak diserap oleh pasar China dan India. Namun di tahun berikutnya, yakni di tahun 2011 terjadi peningkatan yang besar, ekspor CPO ke negara-negara Uni Eropa meningkat menjadi 44.10%. hal ini berarti hampir dari setengah dari ekspor CPO PTPN III diserap oleh pasar Negara Uni Eropa sisanya diserap oleh Negara India. Setelah bersertifikat RSPO rata-rata volume penjualan PTPN III juga semakin besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, CPO dari PTPN III yang telah memiliki sertifikat RSPO banyak diminati oleh pasar luar negeri khususnya Negara-negara Uni Eropa. Sehingga dapat


(64)

disimpulkan bahwa terdapat peningkatan penjualan ekspor CPO ke negara Uni Eropa walaupun tidak diikuti oleh adanya harga premium dari CPO yang dihasilkan PTPN III yang bersertifikat RSPO.

PTPN II

PTPN II selaku perusahaan perkebunan BUMN merupakan satu-satunya perusahaan perkebunan yang belum memperoleh sertifikat RSPO di Sumatera Utara. Untuk melihat pendapatan yang diperoleh oleh PTPN II maka terlebih dahulu dilihat penerimaan yang diperoleh dalam penjualan CPO ke luar negeri. Penerimaan yang diperoleh oleh PTPN II sebagai hasil kegiatan ekspor CPO dapat dilihat pada Gambar 12.

Sumber: PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 5, 7 dan 8)

Gambar 12: Total Revenue (Penerimaan) Penjualan CPO PTPN II Tahun 2005-Agustus 2011

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa perkembangan penerimaan PTPN II mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak stabil. Penerimaan tertinggi yang diterima PTPN II yakni pada tahun 2010 sedangkan penerimaan terendah terjadi pada tahun 2008. Hal ini dikarenakan volume penjualan pada tahun 2008


(65)

merupakan tahun dengan volume penjualan terendah namun tahun 2010 bukan merupakan tahun dengan volume penjualan tertinggi melainkan di tahun 2005 terjadi volume penjualan tertinggi sepanjang tahun 2005-Agustus 2011. Perkembangan volume penjualan CPO PTPN II dapat dilihat pada Gambar 13.

Sumber: PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 5 dan 6)

Gambar 13: Volume Penjualan CPO PTPN II tahun 2005- 2011

Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa PTPN II selain melakukan penjualan ekspor juga melakukan penjualan lokal (domestik). Namun proporsi untuk penjualan lokal (domestik) lebih besar dibandingkan proporsi untuk penjualan ekspor. Secara rinci perkembangan persentase perbandingan penjualn ekspor dan lokal PTPN II dapat dilihat pada Gambar 14. Dari Gambar 14 dilihat bahwa persentase penjualan lokal tertinggi ada di tahun 2008 sehingga di tahun 2008 terjadi penjualan ekspor yang terendah. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut CPO PTPN II lebih diminati oleh pasar dalam negeri dan karena adanya bea ekspor yang cukup tinggi. Persentase penjualan lokal terendah ada di tahun 2007 dengan demikian di tahun 2007 terjadi penjualan ekspor tertinggi di


(1)

Lampiran 21. Hasil Uji Beda Rata-rata Biaya Produksi (Rp) PTPN III dan PTPN II tahun 2010- Agustus 2011

T-Test

Group Statistics

PTPN N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Total_Cost PTPN 2 2 95625552550.9750 55665369424.08527 39361360197.02500

PTPN 3 2 382282736581.3350 330428234497.18050 233648045308.45502

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean

Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

Total_Cost Equal variances assumed . . -1.210 2 .350 -2.86657E11 2.36940E11 -1.30613E12 7.32815E11 Equal variances not

assumed


(2)

Lampiran 22. Hasil Uji Beda Rata-Rata Biaya Produksi (Rp) Pada PTPN III Sebelum Dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO

T-Test

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

RSPO Sebelum_RSPO 329412516290.4000 2 81773080127.68929 57822299476.80000

Setelah_RSPO 382282736581.3350 2 330428234497.18050 233648045308.45502

Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

RSPO Sebelum_RSPO - Setelah_RSPO


(3)

Lampiran 23. Hasil Uji Beda Rata-rata Pendapatan (Rp) PTPN III dan PTPN II tahun 2005-2009

T-Test

Group Statistics

PTPN N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Pendapatan PTPN 2 5 16505779482.90 8048852532.581 3599556280.745

PTPN 3 5 249951272517.98 56528688490.834 25280398028.883

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean

Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

Pendapatan Equal variances assumed

6.289 .036 -9.142 8 .000 -2.334E11 2.554E10 -2.923E11 -1.746E11

Equal variances not assumed


(4)

Lampiran 24. Hasil Uji Beda Rata-rata Pendapatan (Rp) PTPN III dan PTPN II tahun 2010- Agustus 2011

T-Test

Group Statistics

PTPN N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Pendapatan PTPN 2 2 35901166624.9650 4259926496.87279 3012222913.29500

PTPN 3 2 388433244040.7100 243910992214.05853 172471116600.50000

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean

Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

Pendapatan Equal variances assumed

8.496E19 .000 -2.044 2 .178 -3.52532E11 1.72497E11 -1.09473E12 3.89664E11

Equal variances not assumed


(5)

Lampiran 25. Hasil Uji Beda Rata-Rata Pendapatan (Rp) Pada PTPN III Sebelum Dan Setelah Memperoleh Sertifikat RSPO

T-Test

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

RSPO Sebelum_RSPO 2.6507E11 2 3.89538E10 2.75445E10

Setelah_RSPO 3.8843E11 2 2.43911E11 1.72471E11

Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

RSPO Sebelum_RSPO - Setelah_RSPO

-1.23364E11


(6)

Lampiran 26. Daftar Perusahaan Perkebunan Anggota dan Bersertifikat RSPO

No Nama Perkebunan Anggota

RSPO

Bersertifikat RSPO

1 PT Agro Bukit Mas

2 PT Agro Indomas

3 PT Agrowiratama

4 PT Austindo Nusantara Jaya Agri

5 PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk

6 PT Barumun Agro Sentosa

7 PT Berkat Sawit Sejati

8 PT Bumitama Gunajaya Agro

9 PT BW Plantation

10 PT Cipta Usaha Sejati

11 PT Darmex Agro

12 PT Delima Makmur

13 PT Dutapalma Nusantara

14 PT Gandaerah Hendana

15 PT Global Kalimantan Makmur

16 PT Harapan Sawit Lestari

17 PT Ibris Palm

18 PT Inecda

19 PT Inti Indosawit Subur

20 PT Ivomas Tunggal

21 PT Jatim Jaya Perkasa

22 PT Jaya Mandiri Sukses

23 PT Lubai Sawit Nusantara

24 PT Musim Mas

25 PT Perkebunan Nusantara III

26 PT Perkebunan Nusantara IV

27 PT Perkebunan Nusantara V

28 PT Poliplant Sejahtera

29 PT PP London Sumatera Tbk

30 PT Proteksindo Utama Mulia

31 PT Sahabat Mewah dan Makmur

32 PT Salim Ivomas Pratama Tbk

33 PT Sampoerna Agro

34 PT Sawindo Kencana

35 PT Sisirau

36 PT Smart Tbk

37 PT Swakarsa Sinar Sentosa

38 PT Tanjung Rhu Plantation Group

39 PT Tribakti Sarimas

40 PT Tunas Baru Lampung Tbk

41 PT Waringin Agro Jaya

42 PT Mentari Pratama

43 PT Unggul Lestari

44 Sawit Mas Group

45 Socfin Group


Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Kewajiban Sertifikasi ISPO (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL) Dalam Kaitannya Dengan Pertumbuhan Investasi Sektor Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia (Studi Pada PT. REA KALTIM PLANTATION – Jakarta)

7 96 190

Analisis Konsistensi Mutu dan Rendemen CPO (Crude Palm Oil) di Pabrik Kelapa Sawit Adolina PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero)

7 58 77

Dampak Penerapan Rspo (Roundtable On Sustainable Palm Oil) Terhadap Volume Penjualan Ekspor CPO Dan Pendapatan Di Perusahaan Perkebunan Negara (Studi Kasus: PT. Perkebunan Nusantara III)

0 8 60

Dampak Penerapan Rspo (Roundtable On Sustainable Palm Oil) Terhadap Volume Penjualan Ekspor CPO Dan Pendapatan Di Perusahaan Perkebunan Negara (Studi Kasus: PT. Perkebunan Nusantara III)

0 0 11

Dampak Penerapan Rspo (Roundtable On Sustainable Palm Oil) Terhadap Volume Penjualan Ekspor CPO Dan Pendapatan Di Perusahaan Perkebunan Negara (Studi Kasus: PT. Perkebunan Nusantara III)

0 0 1

Dampak Penerapan Rspo (Roundtable On Sustainable Palm Oil) Terhadap Volume Penjualan Ekspor CPO Dan Pendapatan Di Perusahaan Perkebunan Negara (Studi Kasus: PT. Perkebunan Nusantara III)

0 0 9

Dampak Penerapan Rspo (Roundtable On Sustainable Palm Oil) Terhadap Volume Penjualan Ekspor CPO Dan Pendapatan Di Perusahaan Perkebunan Negara (Studi Kasus: PT. Perkebunan Nusantara III)

0 0 12

Dampak Penerapan Rspo (Roundtable On Sustainable Palm Oil) Terhadap Volume Penjualan Ekspor CPO Dan Pendapatan Di Perusahaan Perkebunan Negara (Studi Kasus: PT. Perkebunan Nusantara III)

0 0 2

Analisis Implement Asi Prinsip dan Kriteria Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) pada Perkebunan Sawit Rakyat

0 0 11

KEBIJAKAN INDONESIA DALAM TATA KELOLA MINYAK SAWIT: ROUNDTABLE ON SUSTAINABLE PALM OIL (RSPO) DAN INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL (ISPO) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 14