Implementasi Kebijakan terhadap Perlindungan Anak dan Perempuan

UU No.11 tahun 2012 mengatur tentang Sistem Peradilan Anak di Indonesia yang ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 30 Juli 2012 yang berisi 108 pasal. Sistem peradilan Pidana Anak adalah prose penyelesian perkara anak yang berhadapan dengan hukum , mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pada tahun 2012, ASEAN Human Rights Declaration AHRD yang telah disahkan pada KTT ke-21 di Phnom Penh, November 2012

A. Implementasi Kebijakan terhadap Perlindungan Anak dan Perempuan

Perlindungan terhadap anak dan perempuan merupakan suatu hal yanag sangat penting dan sampai sekarang belum dapat terealisasi di Indonesia. Anak- anak di Indonesia sering menjadi korban penindasan yang dilakukan oleh orang dewasa dengan berbagai cara dan motif. Kesulitan ekonomi menjadi pintu masuknya berbagai tindak pelanggaran terhadap anak-anak di Indonesia. Sebagai negara yang sudah meratifikasi konvensi-konvensi PBB tentang hak asasi manusia, pemerintah seharusnya mengambil tindakan mengantisipasi tindak pelanggaran yanag terjadi dan memberi sanksi yang tegas bagi pelaku yang melakukan pelanggaran. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dengan Keppres No 361990 dan ini memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian terhadap perlindungan hak asasi anak secara khusus. Selanjutnya pasca diratifikasinya Konvensi ini, disusunlah berbagai upaya untuk memetakan berbagai persoalan anak baik dilakukan oleh pemerintah sendiri maupun bekerjasama dengan berbagai lembaga PBB yang memiliki mandat untuk melaksanakan perlindungan anak. Namun perlindungan terhadap hak-hak anak tidaklah menjadi kewajiban pemerintah saja. Perlindungan hak-hak anak ini memerlukan perhatian dan Universitas Sumatera Utara kerjasama dengan elemen lain seperti kelompok masyarakat, sekolah dan terutama keluarga. Semua pihak haruslah mempunyai kesadaran yang tinggi dalam memperhatikan pentingnya melindungi hak-hak anak. Persoalan yang sering terjadi adalah anak menjadi objek tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Yakni salah satunya anak menjadi korban orang-orang dewasa dengan cara penindasan yang menggunakan kekerasan, terjadinya trafiking anak yang mayoritas korban adalah perempuan. 66 Dilatarbelakangi adanya perlakuan-perlakuan kurang wajar yang dialami anak-anak di Indonesia serta keikutsertaan sebagai anggota PBB, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak Convention on the Rights of the Child pada tahun 1990. Ratifikasi Konvesi Hak Anak itu dilakukan melalui Keputusan Persiden Keppres No. 36 Tahun 1990. Indonesia termasuk negara yang paling awal meratifikasi Konvensi Hak Anak. Semua Upaya-upaya ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak lain bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahlak mulia, dan sejahtera sebagai mana yang telah diatur di dalam UU No.23 Tahun 2002 Pasal 3 67 Keseriusan pemerintah memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak ini terlihat dari adanya aturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memberikan dampak jera terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak tersebut. Adanya ketentuan pidana didalam Undang-Undang Perlindungan Anak tepatnya BAB XII Ketentuan Pidana khususnya Pasal 80 1 yang berbunyi ”Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun 6 enam bulan dan atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 . 66 Yentriyani Andy, Politik Perdagangan Perempuan, Galang Press: Yogyakarta 2004 67 Nurjaman Asep, Fatuhrohman Deden, Kebijakan Elitis Politk Indonesia, Pustaka Belajar, Yogyakarta 2006 Universitas Sumatera Utara tujuh puluh dua juta rupiah menunjukkan itikad pemerintah dalam menindak pelaku pelanggaran terhadap hak-hak anak. Selanjutnya tahun 1997 Indonesia telah memiliki undang-undang khusus yang mengatur masalah anak yang berkonflik dengan hukum, Undang-Undang No. 31997 memberikan perhatian dan spesikasi khusus bagi anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana. Undang-undang ini juga memberikan kekhususan baik dalam penyidikan, penahanan, penuntutan, peradilan hingga penempatan di lembaga pemasyarakatan anak. Latar belakang disahkannya Undang-Undang No.232003 68 Undang-Undang No.232003 Tentang Perlindungan Anak, secara jelas menegaskan bahwa negara harus melakukan langkah-langkah strategis dalam melindungi hak-hak anak tanpa diskriminasi di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. Sementara itu dalam pelaksanaannya adalah merupakan tanggung jawab semua lapisan masyarakat, mulai dari keluarga, lingkungan sekitar, sekolah, masyarakat luas, pemerintah dan anak yang merupakan subjek dari undang-undang tersebut. Tentang Perlindungan Anak secara praktis muncul karena penegakan hak-hak anak sebagai manusia dan sebagai anak masih sangat memprihatinkan. Pada kenyataannya anak-anak masih terus tereksploitasi, baik secara ekonomi, yaitu dengan menjadi pekerja anak, anak jalanan, eksploitasi seksual, penculikan sampai dengan perdagangan anak. Bermacam-macam bentuk eksploitasi terhadap pekerja anak baik disektor formal maupun informal telah menyingkirkan hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesejahteraan, serta menikmati masa anak-anak untuk belajar dan bermain. 68 Effendi Mashyur, Evandri S taufani, HAM Dalam Dimensi Dinamika Yuridis, Sosial, Politik proses penyusunanaplikasi HA-KHAM Hukum Hak Asasi Manusia Dalam masyarakat , Penerbit Gahlia Indonesia: Bogor Selatan 2007 Universitas Sumatera Utara Namun perlu juga dipahami bahwa keberhasilan pelaksanaan upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak secara luas, sangat dipengaruhi oleh sikap dan partisipasi masyarakat, terutama keluarga dimana anak tumbuh dan kembang. Sementara itu pola-pola yang berkembang di masyarakat dalam menyikapi isu anak turut dipengaruhi oleh kecakapan dan kecukupan informasi tentang pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Dan sebagai subjek, anak- anak dapat berpartisipasi dan mengambil bagian dalam berbagai upaya pemenuhan dan perlindungan anak melalui berbagai proses pendidikan dan pembelajaran yang tersedia di masyarakat. 69 Kehadiran peraturan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak ternyata tidak mampu menghilangkan atau menekan tindakan pelanggaran terhadap pemenuhan hak-hak anak itu sendiri. Fakta ini bisa dilihat dari laporan yang diterima oleh Hotline Service Pengaduan dan juga yang terpantau oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak. Pada tahun 2009 misalnya, kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak sebanyak 1.552 kasus kekerasan terhadap anak yang terdiri dari Kekerasan fisik 456 kasus, Kekerasan seksual 557 kasus, Kekerasan psikis 539 kasus. Kasus kekerasan terhadap anak ini meningkat menjadi 2.413 kasus pada tahun 2010 dimana terjadi Kekerasan fisik 646 kasus, Kekerasan seksual 926 kasus, Kekerasan psikis 841 kasus. Komisi Nasional Perlindungan anak mencatat pada tahun 2010, anak yang dieksploitasidiperdagangkan, dipekerjakan, korban pornografi, diculik, korban narkoba dan lainnya mencapai 1.000.553 kasus, sedangakan anak yang berhadapan dengan hukum mencapai 1.796 kasus. 70 Disisi lain, akibat dari semakin tingginya harga-harga kebutuhan dasar sangat sulit dijangkau oleh keluarga-keluarga miskin berdampak pada tingkat pendidikan dan kesehatan dasar anak. PUSDATIN Komisi Nasional Perlindungan 69 Effendi Masyhur, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia HAM Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia Hakkam, Penerbit Gahlia Indonesia : Bogor Selatan 2005 70 Seketariat Kongres Anak Indonesia, diakses dari : http:kongresanak.komnaspa.or.idnode5 pada tanggal 30 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara Anak, memantau ada 515.652 anak-anak di Indonesia yang tidak dapat mengakses hak pendidikan sehingga mengakibatkan putus sekolah, dan 731.619 anak mengalami masalah kesehatan dan kesejahteraan dasar. Sementara itu, anak-anak yang terlantar dan hidup di jalanan semakin hari semakin memprihatinkan baik dari jumlah maupun kualitas aktivitas anak di jalanan. Dimana pun anak – anak tersebut berada, selalu diusahakan untuk dapat membantu mereka. Berikut ini adalah beberapa langkah kerja khusus yang dilakukan oleh KHA antara lain : a Melindungi pengungsi anak dan anak dalam situasi konflik bersenjata. b Membantu anak yang sedang mengalami konflik dengan hukum. c Membantu anak yang sedang berada dalam situasi eksploitasi kekerasan berupa eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan narkoba, eksploitasi dan kekerasan seksual, penculikan, penjualan dan perdagangan anak, eksploitasi dalam bentuk lainnya. d Anak dari kelompok minoritas dan masyarakat adat terasing. Disebutkan di atas tadi merupakan usaha atau kerja yang dilakukan KHA, sebagai salah satu negara yang turut mendukung adanya KHA, setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak anak. Indonesia telah melakukan beberapa usaha di antaranya : 1. Pemerintah membuat program, misalnya: Penerbitan akta kelahiran gratis bagi anak; Pendidikan tentang cara pengasuhan tanpa kekerasan kepada orangtua dan guru; layanan kesehatan untuk anak; Meningkatkan anggaran pendidikan dasar dan menggratiskan biaya pendidikan dasar. 2. DPR DPRD membuat UU Perda untuk melindungi anak dari tindak kekerasan dan eksploitasi, mengancam pelaku dengan ancaman hukuman sehingga diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Universitas Sumatera Utara 3. Jajaran penegak hukum polisi, jaksa dan penegak keadilan hakim memproses setiap pelanggaran hak anak dengan tegas, tanpa pandang bulu, dan memberi sanksi yg setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan. Beberapa usaha yang dilakukan oleh pemerintah di atas didukung dengan disusunnya beberapa peraturan perundangan nasional, di antaranya : a. UUD 1945 hasil amandemen b. UU No. 31997 tentang Pengadilan Anak c. UU No. 391999 tentang Hak Asasi Manusia d. UU No. 232002 tentang Perlindungan Anak Walaupun selama ini telah dilakukan usaha – usaha dan juga disusun banyak peraturan perundangan yang mengatur tentang HAM, tetapi masih banyak sekali terjadi tindakan-tindakan yang terhitung melanggar HAM terutama pada anak – anak, misalnya: a Perdagangan anak. 71 b Banyak anak jalanan yang terlantar. Beberapa waktu lalu, marak terjadi penculikan pada anak – anak yang kemudian dijual. Namun, tidak jarang ada orang tua yang menjual anaknya karena keadaan ekonomi mereka Anak – anak jalanan yang meminta – minta atau menjual koran di lampu merah, padahal mereka seharusnya bisa menikmati kasih sayang dalam keluarga dan bisa menikmati pendidikan. c Penyiksaan dan perlakuan buruk 71 Wanda Hamidah , “ Catatan Akhir Tahun 2010 KomNas Perlindungan Anak” diakses dari : http:wandahamidah.blogdetik.com20101221catatan-akhir-tahun-2010-komnas-perlindungan-anak pada tanggal 30 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara Hal ini biasanya dilakukan oleh orang tua. Terkadang hanya karena anak melakukan tindakan yang tidak sesuai, anak kemudian dihukum dengan menggunakan kekerasan. d Tindakan asusila pada anak. Misalnya tindakan sodomi dan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Bahkan yang terjadi pelakunya adalah orang tua mereka sendiri. e Minimnya pendidikan. Banyak sekali anak – anak yang tidak bisa menikmati pendidikan karena kesulitan perekonomian, selain itu juga minimnya sarana dan prasarana pendidikan yang membuat anak – anak tersebut terpaksa tidak sekolah. f Penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah umur. Survey terhadap pekerja seks komersial PSK di lokalisasi Doli Surabaya ditemukan bahwa 25 dari mereka pertama kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun Ruth Rosenberg, 2003. g Pernikahan dini Hal ini banyak terjadi di pedesaan, menurut hasil survei disebutkan bahwa 46,5 perempuan menikah sebelum mencapai 18 tahun dan 21,5 menikah sebelum mencapai 16 tahun. Kasus yang cukup menghebohkan adalah pernikahan yang dialami oleh Lutfiana Ulfa dengan Syekh Puji. h Peradilan anak yang tidak berbasis HAM. Kondisi penjara yang sangat tidak layak di penjara anakLapas anak Kota Medan, yang berlokasi di kawasan Tanjung Gusta. Terletak satu kompleks dengan penjara orang dewasa, dari segi kapasitas daya tampung hanya 250 orang, namun penjara anak di Kota Medan dihuni hampir 600 anak. Ruangan sel penjara berukuran 4 x Universitas Sumatera Utara 3 m2 yang diisi 8-10 orang anak dengan kamar mandi tanpa penutup di dalamnya, tentunya sangat tidak nyaman dan mengganggu kesehatan. i Pembuangan bayi. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Komnas PA, kasus pembuangan bayi di Indonesia yang umumnya dilakukan kalangan orang tua jumlahnya cenderung meningkat. Kebanyakan bayi yang dibuang adalah hasil hubungan gelap atau ada juga yang dikarenakan keadaan ekonomi yang memaksa orang tua untuk membuang bayinya. j Gizi buruk marasmus kwasiokor Berdasarkan dari UNICEF sebagai badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia. Dalam data Komnas Perlindungan Anak, salah satu wilayah yang paling terjadi kasus gizi buruk itu adalah Sumatera Barat. Indonesia sebagai negara yang kaya akan kekayaan alam sangat tragis jika sampai banyak sekali anak – anak yang mengalami gizi buruk. k Penularan HIVAIDS. Biasanya penyakit dibawa dari ibu faktor keturunan. Terdapat 18.442 kasus orang tua yang menderita penyakit mematikan tersebut hingga September 2009.Mereka tentu berpotensi menularkan terhadap anak berdasarkan laporan yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan. Kemudian masalah perdagangan orang yang semakin marak di Indonesia, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas. Berdasarkan data lapangan bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Universitas Sumatera Utara Keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama. Untuk mendukung pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 72 Undang-undang ini memberikan nuansa yang lebih komprehensif dalam upaya negara memberikan perlindungan pada anak di Indonesia. Kemudian nomenklatur perlindungan anak dimasukkan dalam APBN sehingga memberikan jaminan bagi upaya perlindungan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia. Undang-undang ini memberikan mandat untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak KPAI. KPAI sebagai insitusi independent diberikan mandat untuk melakukan pengawasan pelaksanaan upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh institusi negara, melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak yang dilakukan negara, KPAI juga bisa memberikan saran dan masukan serta pertimbangan secara langsung kepada Presiden tentang berbagai upaya perlindungan anak. Sebagai puncak dari upaya legislasi adalah lahirnya Undang-undang No. 232002 tentang Perlindungan Anak. Kehadiran lembaga ini sebenarnya sangat strategis karena bisa mempercepat upaya upaya perlindungan anak yang menyeluruh dan kompleks. Oleh sebab itu sejumlah langkah konkret harus segera dilakukan. Pertama, perlunya pencerahan terhadap masyarakat akan pentingnya perlindungan anak melalui sosialisasi berkelanjutan tentang ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu pengetahuan tentang hak-hak anak yang harus diperoleh. Kedua, 72 Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia “Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang” diakses dari : http:www.ykai.netindex.php?option=com_contentview=articleid=123:undang-undang-no-21-tahun- 2007catid=109:perundang-undanganItemid=102 pada tanggal 5 Januari 2014 Universitas Sumatera Utara mendorong aparat hukum untuk melakukan langkah aktif intensif bahkan ofensif dalam pembasmian segala bentuk eksploitasi dan kejahatan terhadap anak-anak. Hukuman yang berat harus dijatuhkan kepada mereka yang mengeksploitasi dan merusak masa depan anak utamanya menyangkut pelibatan anak dalam, trafficking, pelacuran anak, serta tindakan sejenisnya. Ketiga, menciptakan model pendidikan alternatif bagi anak-anak bermasalah, serta penyadaran hak-hak anak melalui kurikulum integrated dalam proses belajar mengajar pada lembaga- lembaga pendidikan. Keempat, menjadikan perlindungan anak sebagai sebuah gerakan, yang melibatkan seluruh unsur dan potensi masyarakat baik lembaga pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, dunia usaha, media massa, dan jaringan internasional. 73 Puncaknya pada Kabinet Indonesia bersatu jilid kedua, dimana presiden memberikan perhatian secara khusus pada masalah anak dengan merubah nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan demikian, masalah anak secara khusus dimasukkan dalam satu kementerian bersama dengan pemberdayaan perempuan. Tentunya sudah sangat lengkap berbagai institusi dan kebijakan serta penganggaran perlindungan anak di Indonesia, namun pertanyaaannya adalah mengapa masih saja persoalan anak belum bisa dituntaskan secara sistemik? Masalah anak masih terbelenggu dalam institusi tersebut dan tidak dijalankan secara adil dan penuh tanggung jawab. “Anak” dianggap sebagai warga negara kelas dua, karena tidak bisa memberikan suara dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, sehingga perhatian yang diberikan juga tidak maksimal. Derita anak tak habis-habisnya kita dengar di media massa, bahkan dalam kehidupan nyata di sekitar kita. Lalu apa tugas dan tanggung jawab yang sudah dilakukan negara selama ini, jika kebijakan sudah dilakukan? Apakah ada 73 “Tinjauan Terhadap Konvensi Hak Anak” diakses dari : http:yudicare.wordpress.com20110419tinjauan-terhadap-konvensi-hak-anak pada tanggal 5 Januari 2014 Universitas Sumatera Utara yang salah dalam implementasinya? Atau masih kaburnya pemahaman masalah perlindungan anak dikalangan birokrasi Indonesia? Banyak faktor yang menyebabkan masalah perlindungan dan permasalahan anak belum sungguh-sungguh dilaksanakan di Indonesia. Faktor- faktor yang menyebabkan diantaranya adalah karena adanya anak balita terlantar, anak terlantar, anak nakal, anak jalanan, wanita rawan sosial ekonomi, korban tindak kekerasan, lanjut usia terlantar, penyandang cacat, keluarga berumah tidak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, pekerja migran bermasalah sosial dan keluarga fakir miskin. Faktor terpenting yang menyebabkan tingginya permasalahan anak adalah tingginya tingkat kemiskinan masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan pembangunan yang tidak merata antar daerah, adanya ketidakadilan sosial ekonomi yang berimbas pada terjadinya kesenjangan sosial ekonomi yang sangat tinggi antara si kaya dengan si miskin. Kebijakan ekonomi makro yang diterapkan pemerintah juga kurang mendukung terhadap masyarakat marginal, kasus-kasus penggusuran dan pengusiran keluarga-keluarga miskin dari tanahrumahnya dengan berbagai macam alasan telah menambah kompleksitas permasalahan anak. Perlu dipertimbangkan beberapa catatan yang dikemukakan oleh komite hak anak PBB terhadap upaya perlindungan anak di Indonesia. Ada catatan yang disampaikan oleh komite hak anak PBB tentang masalah penegakan perlindungan anak di Indonesia, sehingga sampai saat ini “rapor” Indonesia masih buruk di mata Komite Hak Anak PBB terutama menyangkut masalah diskriminasi pada anak berdasarkan jenis kelamin khususnya dalam bentuk perkawinan. Indonesia masih membedakan batas usia perkawinan, untuk laki-laki 19 tahun sedangkan untuk perempuan 16 tahun. Ini menunjukan bahwa negara masih memberikan diskriminasi bagi anak perempuan, diskriminasi juga masih terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan anak-anak yang menjadi kelompok minoritas. Terkait dengan penerapan UU No. 31997 tentang Peradilan Anak, maka patut menjadi perhatian kita semua bahwa besarnya jumlah anak-anak yang Universitas Sumatera Utara dihukum penjara di Indonesia. Menurut catatan UNICEF 2009 jumlahnya telah mencapai lebih dari 4000 orang anak per tahun. Padahal sebagian besar dari mereka adalah melakukan kejahatan ringan. Anak-anak juga sering ditahan bersama orang dewasa dalam kondisi yang mengenaskan, disamping itu batas usia tanggung jawab kriminal yaitu usia 8 tahun adalah terlalu rendah. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 138 tentang batasan usia minimum untuk bekerja dan Konvensi ILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak. Indonesia juga telah memiliki rencana aksi nasional penghapusan bentuk bentuk terburuk pekerjaan untuk anak. Namun kenyataannya tingginya jumlah anak-anak yang bekerja yang sebagian besar di bawah usia 15 tahun baik di sektor formal maupun informal. Di bagian eksploitasi seksual anak, pemerintah mengakui tidak adanya data akurat, namun diperkirakan dari semua kasus eksploitasi seksual sekitar 60 persen korbannya adalah anak-anak. Mayoritas korbannya adalah perempuan disamping anak laki-laki. Mengenai eksploitasi seksual komersial anak dilaporkan bahwa semua bentuk eksploitasi komersial anak dijumpai di Indonesia seperti anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan pornographi anak. Diperkirakan sekitar 30 persen dari pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 adalah anak-anak. Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi optional protocol Kovensi Hak Anak protocol tambahan PBB tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornogrpahi anak sehingga undang-undang yang ada masih dinilai kurang efektif akibatnya anak- anak korban eksploitasi seksual sering tidak mendapatkan perlidungan atau bantuan pemuliahan yang efektif. Begitu pun dengan perlindungan terhadap perempuan, perempuan harus bisa meraih perempuan lain untuk muncul ke permukaan gunung es agar tercipta suatu tatanan kehidupan yang lebih tercerahkan dan bermasa depan 74 74 Pambayun L Ellys, Perempuan VS Perempuan, Realitas Gender, Tayangan Gosip, dan Dunia Maya, Nuansa; Bandung 2009 Indonesia Universitas Sumatera Utara memiliki komitmen minimum dalam mewujudkan HAP Hak Asasi Perempuan, yaitu dengan meratifikasinya menjadi UU RI No. 7 Tahun 1984. Ratifikasi ini salah satunya memberikan konsekuensi mengikat bagi negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAP warganya. Meski demikian, UU ini ternyata memiliki kelemahan, di antaranya memoderasi semangat pembaharuan yang dikandung CEDAW, dengan memuat pada bagian Penjelasan, “Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah kita anggap baik atau lebih baik bagi, dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia. Sedang dalam pelaksanaanya, ketentuan dalam konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat-istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.” Bagaimana mungkin pelaksanaan UU ini hendak menyesuaikan dengan praktik budaya yang sebagian besar meminggirkan dan menindas perempuan patriarkis, sementara pada pasal 2-5 nya telah memuat komitmen negara untuk mencegah, melarang, mengidentifikasikan, bertindak, menjatuhkan sanksi terhadap diskriminasi, mempromosikan HAP dan persamaan perempuan dan laki- laki melalui tindakan proaktif. CEDAW membawa semangat pembaharuan hukum menuju penegakan HAP, dan bukan sebaliknya. Substansi inilah yang ironisnya kurang dipahami para pengambil kebijakan. Kelemahan lainnya adalah UU ini menyatakan tidak menerima reservasi pasal 29 CEDAW tentang penyelesaian perselisihan penerapan dan penafsiran Konvensi baik melalui perundingan, arbitrasi, maupun Mahkamah Internasional. Beberapa kelemahan CEDAW kini mulai disadari, antara lain: 1. Hanya menekankan tanggung jawab pada negara dan belum memasukkan pelaku non negara seperti lembaga keuangan internasional World Bank, IMF Universitas Sumatera Utara 2. Belum menyediakan prosedur pelaporan bagi individuLSM untuk mengadukan pelanggaran atas Konvensi ini; 3. Hanya mengatur prosedur pelaporan bagi negara. Meski belum ada sebuah temuan signifikan berupa instrumen hukum internasional, neoliberalisme sebagai sumber persoalan tidak terpenuhinya HAP kini membawa pada kesadaran dan tantangan upaya tuntutan terhadap pelaku non negara. Sedang untuk hal kedua dan ketiga, pada tahun 1999, Komite ‘On the Status of Women’ mengesahkan Optional Protocol yang memberikan kemungkinan bagi individuLSM untuk melaporkan pelanggaran terhadap konvensi ini dan mengatur prosedur komunikasi dan penyelidikan. Prosedur ini memberi kemungkinan lebih besar bagi perempuan untuk memperjuangkan haknya yang dijamin CEDAW. Indonesia sendiri telah menandatangani Protocol ini pada Februari 2000. 75 Selanjutnya Indonesia membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan adalah salah satu lembaga nasional hak asasi manusia NHRI, National Human Rights Institution, yang berfokus pada penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan adalah lembaga negara yang independen yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 15 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar pada tragedi kekerasan seksual yang terutama dialami oleh perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia. 75 R. Valentina Sagala Aktivis Perempuan, Direktur Eksekutif Institut Perempuan, di Bandung jurnal 20 Tahun Ratifikasi CEDAW menjadi UU RI No. 7 Tahun 1984 : Saya dan CEDAW diakses dari: http:www.institutperempuan.or.id?p=31 pada tanggal 20 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998 TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, fakta menunjukkan setidaknya ada 85 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, mayoritas dari etnis Tionghoa, 52 perkosaan gang rape, 14 perkosaan dengan penganiayaan, 10 penganiayaan serta 9 pelecehan seksual. Yang dimaksud dengan kekerasan seksual berdasarkan Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komisi Nasional Komnas Perempuan adalah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk sebagai mekanisme nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Komisi nasional ini didirikan tanggal 15 Oktober 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 1811998. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menangapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar dari tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia. Untuk pengeluaran rutin, Komnas Perempuan memperoleh dukunganan dari Sekretariat Negara. Selain itu Komnas Perempuan juga menerima dukungan dari individu-individu dan berbagai organisasi nasional dan internasional. Komnas Perempuan melakukan pertanggungjawaban publik tentang program kerja maupun pendanaanya. Hal ini dilakukan melalui laporan tertulis yang bisa diakses oleh publik maupun melalui acara “Pertanggungjawaban Publik” di mana masyarakat umum dan konstituen Komnas Perempuan dari lingkungan pemerintah dan masyarakat dapat bertatap muka dan berdialog langsung. Susunan organisasi Komnas Perempuan terdiri dari komisi Paripurna dan Badan Pekerja. Anggota komisi Paripurna berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, Universitas Sumatera Utara profesi, agama dan suku yang memiliki integritas, kemampuan, pengetahuan, wawasan kemanusiaan dan kebangsaan serta tanggungjawab yang tinggi untuk mengupayakan tercapainya tujuan Komnas Perempuan. 76 Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling luhur karena ada keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut citra atau gambaran Tuhan sendiri. Tetapi kenyataan menunjukkan kenyataan bahwa penghargaan manusia terhadap sesamanya masih diwarnai oleh berbagai bentuk pelanggaran dan pemerkosaan terhadap hak asasi manusia HAM Sejak berakhirnya perang dingin akhir tahun 1980-an , isu HAM menjadi perdebatan hangat dalam politik global. Pelanggaran HAM yang terjadi di mana-mana dan jumlah kasus yang semakin meningkat mendorong aktor-aktor internasionaluntuk memberikan perhatian yang serius terhadap faktor-faktor yang mendorong pelanggaran HAM serta cara untuk mengatasinya. Pelanggaran HAM dalam bentuk pembunuhan massal mass kilings penyiksaan, pemerkosaan, penculikan dan penahanan tanpa proses pengadilan merupakan gejala umum yang terjadi di negara-negara yang dilanda konflik separatis atau komunal. Nasib buruh migran khususnya Tenaga Kerja Wanita TKW Indonesia yang bekerja di Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Kuwait serta negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura sangat memprihatinkan karena perlakuan yang diterima di negara-negara tersebut tak berbeda dengan perbudakan zaman modern. Dalam hal ini pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan di negara-negara tersebut tetapi juga individu yang bertindak sebagai majikan. Indonesia mendapat sorotan internasional karena berbagai kasus HAM dari masa lalu yang belum terselesaikan secara tuntas sehingga kredibilitas Indonesia di mata dunia belum sepenuhnya memuaskan. Beberapa peraturan daerah yang melecehkan kaum perempuan mendapat krtik tajam dari berbagai NGO nasional maupun internasional. Liberalisasi politik yang tidak disertai 76 Komisi Nasional Perempuan , diakses dari: http:id.wikipedia.orgwikiKomisi_Nasional_Perempuan pada tanggal 20 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara dengan mekanisme perlindungan HAM membuat demokrasi di Indonesiamenjadi cacat defective sehingga tidak ada kolerasi positif anatar Praktik demokrasi dengan penghormatan HAM. Perlu diingat bahwa martabat suatu bangsa juga ditentukan oleh perlakuan bangsa itu terhadap setiap anggota masyarakat tanpa melihat latar belakang suku, agama, budaya, maupun status sosial ekonomi. Sejalan dengan kemenangan ideologi liberalisme perhatian terhadap individu dan kelompok meningkat dan kedaulata negara tidak lagi dilihat sebagai hambatan promosi hak asasi manusia. Hal ini tidak berarti bahwa dalam periode sebelumnya isu hak asasi manusia tidak diperhatikan, tetapi isu keamanan nasional dan internasional mendominasi percaturan politik dunia sehingga negara menjadi aktor utama yang menjadi unit analisis. Sejak tahun 1948 dunia sudah memiliki Universal Declaration Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk menghormati hak asasi manusia. Dalam periode selanjutnya komunitas internasional menghasilkan berbagai konvensi dan perjanjian internasional sebagai bentuk komitmen terhadap pentingnya hak asasi manusia. Eksistensi konvensi internasional tentang HAM tidak dengan sendirinya menjamain penghormatan terhadap HAM. Politik duia tidak selalu didikte oleh nilai-nilai idealis tetapi kepentingan manusia secara individual maupun kelompok. Karena itu politik pelaksanaan HAM merupakan topik yang menarik perhatian dalam analisis politik global kontemporer. Perdebatan antara kaum realis dengan pluralis terus berlangsung dan pelaksanaan HAM masih sangat ditentukan oleh kebijakan negara meskipun aktor-aktor lain juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan tersebut. Ada dua macam cara untuk melihat kasus pelanggran HAM. Pertama, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya sebagai bagian dari kejahatan biasa ordinary crime yang disebabkan oleh hakekat manusia yang tidak sempurna. Kedua, pelanggran HAM yang terjadi karena penyangkalan terhadap HAM secara sistemik atau sistematis yang mengarah pada apa yang disebut gross violations of human rights. Kategori Universitas Sumatera Utara pelanggaran yang kedua ini merupakan fokus perhatian dalam analisis politik global karena aktor-aktor internasional yang terikat oleh berbagai konvensi internasional dan tanggung jawab moral sebagai bagian dari komunitas internasional berkepentingan untuk menyatakan sikap dan pendiriannya menyangkut masalah ini. Dalam membuat kategori pelanggaran HAM , Cecilia Medina Quiroga mengartikan gross Violations of government policies, “perpetrated in such quantity and in such a manner as to create a situation in which the right to life , to personal integrity or to personal liberty of the population as a whole or of one or more sectors of the population of a country are continously infringed or threatened” 77 Dalam sistem politik yang otoriter sering terjadi fenomena kekerasa struktural structural violence di mana harapan hidup seseorang atau kelompok terancam oleh penindasan secara politik atau ekonomi oleh elit penguasa. Sistem politik yang hanya menguntungkan penguasa dan sistem ekonomi yang membawa kemiskinan bagi sekelompokorang yang tidak bersaing di tengah arus globalisasi pada dasarnya telah melakukan kekerasan struktural . . Negara-negara yang dikuasai oleh pemimpin yang diktatorial dan sistem politik yang otoriter biasanya melakukan pelanggaran HAM dalam kategori ini. Contohnya, Indonesia pada zaman Orde Baru di bawah renzim militer Soeharto banyak melakukan pelanggran HAM terhadap kelompok separatis di Aceh dan Papua dan juga terhadap individu atau kelompok yang menentang pemerintah. 78 77 Cecilia Medina Quiroga 1988. The Battle of Human Rights. Dordrecht : Nijhoff, hlm 16. Dalam buku Jemadu Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2008 Salah satu tujuan utama dari demokratisasi adalah meniadakan peluang terjadinya kekerasan struktural dalam semua segi kehidupan masyarakat dengan mengedepankan prinsip kesetaraan warga negara atau prinsip democratic citizenship. Setiap negara pada dasarnya ingin memberi kesan kepada dunia internasional bahwa pemerintahnya 78 Konsep strucrural violence diperkenalkan oleh Johan Galtung. Untuk mengetahui sedikit gambaran tentang kekerasan struktural di bawah Orde Baru lihat Aleksius Jemadu1997. “Structural violence revisited”, The Jakarta Post, March 30, 1997. dalam buku Jemadu Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2008 Universitas Sumatera Utara sudah memperhatikan HAM dan tidak melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Apa yang disebut sebagai diplomasi HAM atau human rights diplomacy telah menjadi pokok bahasan dalam analisis politik global meskipun apa yang dikatakan oleh pejabat pemerintah atau diplomat tentang negaranya belum tentu sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Dengan adanya arus globalisasi dan penyebaran informasi secara terbuka saat ini pemerintah tidak bisa lagi menyembunyikan pelanggaran HAM yang dilakukannya karena akan segera ketahuan melalui pemberitaan media massa. Satu-satunya cara bagi pemerintah untuk mempertahankan citra yang positif dalam soal HAM adalah membangun sistem kelembagaan pemerintah yang sensitif terhadap HAM sehingga aparat pemerintah dan masyarakat terbiasa dengan penghormatan terhadap HAM. Selain menjadi hirauan peradaban modern , isu HAM perlu dibahas dalam politik dunia karena dampaknya yang cukup signifikan dalam hubungan internasional. Setiap negara saat ini sangat hirau dengan masalah image atau citra tentang perlindungan HAM karena ikut menentukan martabat bangsa tersebut dalam pergaulan global. Indonesia pernah dirugikan hanya karena pelanggaran HAM di Timor-Timur sehingga diembargo secara militer oleh AS. Embargo itu sempat menyulitkan Indonesia baik secara material maupun non-material. Khusus untuk negara berkembang kemajuan dalam perlindungan HAM perlu dilakukan karena negara maju sering menggunakan isu ini sebagai kondisionalitas dalam memberikan bantuan luar negeri. Dapat dikatakan bahwa semakin besar ketergantungan suatu negara terhadap dunia internasional , semakin tinggi pula tuntutan untuk mengembangkan citra yang positif dalam bidang HAM. Isu HAM juga dibahas dalam analisis politik dunia karena sejak ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights 10 Desember 1948, proses pelembagaan HAM secara internasional melalui berbagai konvensi yang diratifikasi oleh mayoritas anggota PBB mewajibkan aktor internasional untuk memenuhi kewajibannya. Yang tidak boleh dilupakan adalah sejalan dengan demokratisasiyang melanda Universitas Sumatera Utara semua negara di dunia, tuntutan perbaikkan dalam soal HAM juga datang dari lingkungan internal yaitu rakyat yang semakin sadar akan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Tuntutan mereka mendapat dukungan dan diadvokasi oleh berbagai NGO baik lokal maupun internasional yang membentuk apa yang dikenal dengan konsep global city society. Salah satu hambatan utama dalam promosi HAM secara global berkaitan dengan kenyataan bahwa orang masih memperdebatkan definisi HAM. Negara- negara Barat cenderung berasumsi bahwa tradisi HAM liberal yang dianutnya secara otomatis berlaku secara universal karena gagasan inilah yang diadopsi dalam berbagai konvensi HAM internasional. Pada saat yang sama ada negara- negara yang belum bisa menerima universalisme HAM dan mereka menekankan bahwa pengertian tentang HAM harus disesuaikan dengan budaya dan sistem nilai yang dianut masing-masing negara. Perdebatan definisi seperti ini sering lebih disebabkan oleh pertimbangan politik daripada persoalan keilmuan terutama karena negara-negara yang keberatan dengan universalisme HAM kebetulan menerapkan sistem politik yang tidak demokratis dan pemerintah mengendalikan kebebasan sistem politik rakyat untuk melanggengkan kekuasaannya. Karena argumen yang dikemukakan oleh mereka yang tidak menerima universalisme HAM didasarkan pada pertimbangan kepentingan politik, maka kecenderungan yang terdapat dalam hampir semua literatur politik dunia adalah menerima kenyataan bahwa pluralisme budaya atau bahkan kedaulatan negara tidak bisa dijadikan alasan untuk membatalkan martabat manusia sebagai manusia. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia masyarakat perlu mengmbangkan sikap menghargai hak-hak kultural orang lain demi menjaga kohesi sosial dan kemajuan kemanusiaan. Tanggung jawab pendidikan untuk promosi HAM ini tidak hanya ditujukan kepada lembaga pendidikan formal tetapi juga informal seperti kelompok agama, keluarga, kekerabatan , dan entitas kultural lainnya.kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga membawa pengaruh yang besar terhadap sikapseorang anak terhadap temannya apalagi kalau Universitas Sumatera Utara keluarga tersebut tidak pernah menanamkan sikap menghormati orang lain pada diri anak tersebut. Negara-negara berkembang khususnya di Asia menanggapi kritik Barat terhadap HAM dengan mengajukan tiga konsep yaitu cultural relativism, communitarianism dan devolepmentalism. Relativisme budaya adalah suatu paham yang menekankan bahwa setiap budaya memiliki ciri khusus distinctive characteristic dalam menganalisis dan mengevaluasi pelaksanaan HAM. Tolak ukur yang digunakan oleh Barat tidak bisa digunakan begitu saja untuk menilai masyarakat negara berkembang di Asia karena konteks budaya yag sangat berbeda. Komunitarianisme berpendapat bahwa pemenuhan hak individu di Asia tidak bisa dipisahkan dari kepentingan komunitas secara keseluruhan. Bahkan dalam budaya suku-suku di Asia kepentinga individu sering dikorbankan untuk kepentingan umum. Pemimpin-pemimpin di Asia seperti Lee Kwan Yew, Mahathir Mohammad dan Soeharto mengatakan bahwa hak politik tidak lebih penting dari hak ekonomi melalui pembangunan yang dilakukan negara berupaya memenuhi hak ekonomi rakyat agar bebas dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan. Karena itu stabilitas sosial politik diperlukan untuk keberhasilan pembangunan ekonomi. Para pemimpin Asia mempromosikan apa yang mereka sebut Asian Values atau nilai-nilai Asia untuk menegaskan keberbedaan Asia dari kultur Barat seperti dalam hal penghormatan terhadap senioritas yang hirarkhis, kepentingan komunitas yang mengatasi kepentingan individu , harmoni sosial dan gotong royong. Terlepas dari kemajuan ekonomi yang dicapai oleh negara-negara Asia, konsepsi tentang nilai-nilai Asia juga menuai kritik yang tajam dari para analis politik di Asia dan luar Asia karena Asia yang begitu beragam dari segi agama, etnis dan budaya. Selain itu para pemimpin Asia juga ingin mencari pembenaran terhadap pemerintahannya yang korup dan otoriter dengan berlindung dibalik nilai-nilai tersebut. Memang tidak dapat disangkal bahwa dalam kasus-kasus tertentu kinerja negara-negara yang tidak demokratis seperti Cina dan Singapura masih jauh lebih baik daripada negara demokrasi baru seperti Indonesia, tetapi dari sudut pandang Universitas Sumatera Utara HAM sistem politik yang otoriter secara intrinsik tidak memiliki nilai yang positif untuk penghargaaan terhadap martabat manusia. Asumsi para penguasa di negara non-demokratis , rakyat tidak mengetahui apa yang dinginkannya dan karena itu pemimpin adalah pihak yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk rakyat. Dalam sistem seperti itu tidak ada jaminan bahwa pemimpn tidak akan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Selama Orde Baru Soeharto menggunakan asumsi ini dalam pembangunan ekonominya di mana pemerintah tidak terbuka pada kritik yang disampaikan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. Tanpa diduga pada tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang meruntuhkan semua pencapaian yang diraih selama sekitar tiga dekade. Sistem politik yang otoriter tidak menghargai kebebasan warga negara untuk menentuka sendiri apa yang terbaik bagi dirinya karena pemerintah memonopoli semua jalur informasi demi kepentingan kekuasaannya. Di antara negara-negara Eropa Inggris memiliki sejarah perlindungan HAM warga negara yang paling tua. Inggris tidak hanya melahirkan pemikiran- pemikiran tentang HAM yang masih relavan sampai sekarang tetapi juga tradisi pemerintahan yang kemudia ditiru oleh negara-negara jajahannya. Pada tahun 1215 Inggris telah memiliki Maigna Carta yang isinya antara lain memuat prinsip untuk membatasi kekuasaan pemerintah demi kepentingan hak dan kebebasan warga negara. Apa yang dilakukann oleh negara-negara maju ini, seharusnya menjadi contoh bagi negara-negara lainnya agar mereka pun mulai memikirkan untuk memasukkan perlindungan HAM dalam konstitusinya serta mengupayakan terciptanya mekanisme penegak HAM pada level regional. Keengganan para pemimpin politik untuk memasukkan HAM dalam konstitusi sering disebabkan oleh kekhawatiran akan ketidakmampuan negara atau masyarakat. Dalam kasus Indonesia sejak kejatudhan rezim Orde Baru telah ada kemajuan dalam memasukkan secara formal prinsip-prinsip HAM baik melalui amandemen UUD 1945 maupun peaturan perundangan tentang HAM . Meskipun banyak pihak yang belum puas dengan perumusan pasal-pasal dalam UUD 1945 tentang HAM, Universitas Sumatera Utara namun legislasi tentang HAM telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Misalnya, ada UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadialn HAM merupakan kemajuan normatif yang patut dicatat meskipun masih perlu dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia .Selain itu Indonesia juga sudah meratifikasi berbagai konfensi internasional tentang HAM, meskipun kalangan civil society masih belum puas dengan kenyataan bahwa Indonesia belum meratifikasi The International Convenant on Economic, Social, Cultural Rights. Secara umum dapat dikatakan bahwa demokratisasi di Indonesia belum membawa dampak yang nyata baik dalam penyelesaian pengadilan pelanggaran HAM masa lalu maupun persoalan HAM yang terjadi setelah Indonesia memasuki era demokrasi sekarang ini. 79 David Beetham menyebutkan beberapa alasan mengapa hak-hak ekonomi ,sosial dan budaya tidak disambut secara antusias baik oleh pemerintah negara maju maupun negara berkembang. Alasan yang pertama berkaitan dengan persoalan intelektual. Hakekat penegrtian hak-hak ekonomi , sosial, dan budaya tidak memenuhi syarat-syarat yang perlu untuk memperoleh atribut hak asasi manusia. Ilustrasi berikut kiranya bisa menjelaskan masalah ini. Misalnya, baru- baru ini ada balita di Indonesia yang meninggal akibat gizi buruk. Apakah ini bisa dianggap melanggar hak asasi sosial ekonomi? Siapa yang dianggap melanggar hak asasi balita tersebut, orang tuanya atau negara? Bagaimana kalau negara mempunyai alasan bahwa pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak bisa menyediakan dana untuk mengatasi masalah gizi buruk? Disini tampak jelas bahwa pelanggaran hak ekonomi dan sosial tidak mudah untuk dibawa ke pengadialn karena ketidakjelasan dalam definisi hakekat hak tersebut maupun pelanggarannya. Prose pelembagaan hak ekonomi dan soial ini di lingkungan PBB juga masih bermasalah karena yang bisa dilakukan oleh lembaga internasioalhanya sebatas menyerukan secara moral kepada negara- 79 Imparsial 2005 . Demokrasi yang Selektif terhadap Penegak HAM. Jakarta : Imparsial dalam buku Jemadu Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2008 Universitas Sumatera Utara negara anggota untuk memenuhi hak ekonomi dan sosial rakyatnya berdasarkan sumber daya yang dimilikinya. Selain persoalan intelektual dan institusional , ada juga hambatan politik baik pada tingkat domestik maupun internasional untuk secara konsisten memenuhi hak ekonomi dan sosial masyarakat. Yang dimaksud dengan hambatan politik terkait dengan kenyataan bahwa pemenuhan hak ekonomi dan sosial sebagai kewajiban hukum dan menyebaban redistribusi kekayaaan dalam masyarakat yang pasti akan ditentang oleh mereka yang posisi ekonominya sudah mapan. 80 Mekanisme Promosi dan Perlindungan HAM Mekanisme promosi dan perlindungan HAM bisa kita temukan pada berbagai level interaksi dalam hubungan internasional. Sekurang-kurangnya ada lima level yang bisa diidentifikasi untut perjuangan isu HAM yaitu individu , kelompok, nasional, regional dan global. Pada level individu kita menemukan tokoh-tokoh perjuangan HAM yang karena aktivitas dan kampanye yang dilakukannya dapat mempengaruhi kebijakan atau diplomasi HAM dari aktor- aktor internasional baik negara maupun non-negara. Para tokoh HAM internasional berusaha untuk mengungkapkan pelanggran HAM yang dilakukan aktor negara maupun non-negara untuk menarik perhatian dunia internasional sehingga bisa melakukan tekanan atau bahkan menjatuhkan sanki terhadap pelaku pelanggaran tersebut. Nelson Mandela , Jimmy Carter, Dalai Lama. Aung San Suu Kyi, Munir adalah beberapa contoh tokoh pejuang HAM internasional yang dengan tajam mengertik kebijakan pemerintah mereka masing-masing atau negara lainnya karena melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negaranya. Sebagian besar dari mereka mendapatkan penghargaan dan pengakuan internasional seperti hadiah Nobel Perdamaian yang tentu saja meningkatkan pengaruh mereka dalam diplomasi HAM internasional. Di beberapa negara yang menindas oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa telah muncul tokoh-tokoh 80 David Beetham 2000. Democracy and Human Rights. London : Polity Press, hal 116-117 dalam buku Jemadu Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2008 Universitas Sumatera Utara pejuang HAM dan demokrasi yang harus menghadapi resiko hukuman penjara dan bahkan nyawa mereka tetapi kegiatan mereka kurang dipublikasikan secara internasional karena ketertutupan pemerintahnya. Peranan para individu pejuang HAM ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena biasanya merekalah yang menyebabkan benih-benih perubahan politik di negaranya masing-masing menuju rezim politik yang lebih demokratis. Lobi yang mereka lakukan terhadap pemeritah negara maju AS atau organisasi internasional PBB dan Uni Eropa sering menyulitkan posisi pemerintahnya karena harus mempertanggungjawabkan pelanggran HAM yang dilakukan. Level perjuangan HAM berikutnya dilakukan oleh kelompok civil society baik pada tingkat nasional maupun global. Hampir di setiap negara demokrasi maupun non-demokrasi kita menemukan organisasi non pemerintah NGO yang aktif memperjuangkan HAM dalam berbagai aspeknya. Konsep global civil society muncul dari kenyataan bahwa NGOs yang bergerak dalam berbagai bidang termasuk HAM membentuk jaringan lintas batas negara yang dikenal dengan sebutan transnational networks of civil society. NGO dari negara-negara maju untuk menjalankan aktivitas kampanye atau advokasi dalam bidang HAM meskipun da juga yang berupaya untuk mencari pendanaan secara mandiri demi mempertahankan indepedensi dalam kebijakan dan keleluasaan dalam mengangkat berbagai persoalan HAM oleh perusahaan multinasional dari negara maju. NGO internasional yang bergerak dalam bidang HAM seperti Amnesty International dan Human Rights Watch HRW memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan diplomasi HAM baik negara maju maupun berkembang. Kelebihan NGO dibandingkan dengan aktor lain adalah kekuatan jaringan global mereka dalam mengungkapkan laporan pelanggran HAM diseluruh dunia melalui publikasi atau kampanye yang mereka lakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi. Terlepas dari kontribusi yang signifikan dari NGO nasional maupun global dalam penegak HAM , mereka juga tidak bebas dari kritik yang antara lain mempersoalkan kenyataan bahwa Universitas Sumatera Utara mekanisme pertanggungjawaban aktivitas mereka yang tidak jelas orientasinya. Selain itu NGO yang beroperasi di negara berkembang sering melakukan pendampingan yang permanen terhadap kelompok masyarakat yang diperjuangkan haknya demi melanggengkan eksistensi mereka sendiri. Singkatnay , NGO tidak mengupayakan otonomi dari kelompok masyarakat yang dibantu tetapi justru melestarikan mental ketergantungan mereka. Mekanisme pergantian atau regenerasi kepemimpinan dalam NGO juga banyak disoroti oleh masyarakat karena sering tidak bisadibedakan antara kepemilikan dan kepemimpinan dan akibtanya jenjang karir dari para aktivis NGO tidak jelas. Dominasi dari tokoh- tokoh senior sering menjadi hambatan untuk proses demokratisasi di dalam NGO itu sendiri. Dengan demikian terlihat bahwa kalangan NGO sendiri juga mengalami demoncreatic deficit sebagaimana negara atau lembaga pembangunan dan keuangan internasional yang menjadi sasaran kritik dan kecaman mereka. Aktor penting berikutnya yang diharapkan dapat mempromosikan dan melindungi HAM adalah negara atau pemerintah. Peranan negara menjadi kontroversial dibandingkan dengan aktor-aktor lainnya karena justru negara sering kali menjadi sumber ancaman permanen terhadap hak-hak sipil dan politik dari warga negaranya. Pada saat yang sama negara juga menghasilkan berbagai kebijakan yang secara khusus ditujukan untuk memajukan HAM sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahkan negara yang sudah menganut demokrasi sekalipun sering melakukan pelanggaran HAM demi pencapaian tuuan nasional yang bersifat vital seperti keamanan nasional dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun secara normatif penghormatan terhadap HAM adalah bagian yang integral dari demokrasi, namun pada akhirnya kemauan dan komitmen politik pemerintah yang menjadi faktor utama kinerja pemerintahan dalam soal HAM . Dengan meratifikasi berbagai konvensi internasional tentang HAM suatu negara telah menyatakan komitmennya untuk tunduk kepada berbagai ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut. Meskipun ratifikasi konvensi internasional tidak secara otomatis meningkatkan kinerja dalam perlindungan HAM. Pemerintah juga Universitas Sumatera Utara dapat membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM yang bertugas sebagai lembaga independen untuk memonitor dan merekomendasikan kasus pelanggaran HAM untuk ditindaklanjuti oleh lembaga peradilan. Pelaksanaan tugas Komnas HAM sering terbentur dengan Praktik bureaucratic bargaining di dalam tubuh pemerintah yang secara sengaja menghambat proses penyelesaian berbagai kasus pelaggaran HAM demi melindugi kepentingan politik tertentu. Pemerintah bisa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemajuan HAM melalui pemberdayaan lebaga peradialn yang independen baik untuk peradialn sipil maupun militer sehingga prinsip supremasi hukum secara efektif dapat dilaksanakan tanpa memandang status atau kedudukan seseorang. Akhirnya pemerintah juga bisa memajukan HAM melalui pengintegrasian prinsip- prinsip HAM ke dalam kurikulum pendidikan agar sejak dini setiap anggota masyarakat dididik untuk menghargai HAM Orang lain. Pendidikan multikulturalisme yang mengutamakan penghormatan kepada budaya yang majemuk sangat cocok dan relavan untuk Indonesia mengingat masih rentannya masyarakat kita terhadap berbagai bentuk konflik primordial yang mengarah kepada pelanggaran HAM dalam skala besar seperti yang sudah terjadi di berbagai daerah terutama setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Di tengah globalisasi nilai-nilai yang berkaitan dengan demokrasi dan HAM , Asia khususnya Asia Tenggara masih tertinggal dibandingkan dengan Eropa. Ada kebutuhan yang nyata untuk perlindungan terhadap HAM pada tingkat regional karena masih cukup banyak negara yang belu menganut demokrasi dan sering melanggar hak-hak politik dan sipildari rakyatnya sebagai individu maupun kelompok. Selain itu banyak juga kelompok minoritas yang mengalami penindasan di kawasan Asia Tenggara. Di luar mekanisme perlindungan HAM ysng disediakan oleh negara, mereka mengalami kesulitan untuk mengadukan pelanggaran HAM yang terjadi. Di kalangan negara-negara Asia Tenggara upaya di tingkat regional sudah dilakukan oleh civil society tetpai negara-negara yang tergabung dalam ASEAN Association of Southeast Asian Nations sudah mulai memikirkan untuk melembagakan prinsip-prinsip penghormatan HAM melalui Universitas Sumatera Utara wadah kerjasama ASEAN. Dengan ditandatanganinya Piagam ASEAN ASEAN Charter oleh para pemimpin ASEAN dalam KTT di Singapura November 2007, ada langkah maju yang dicapai oleh kerjasama regional ini. Dalam piagam ASEAN dicantumkan prinsip penghormatan terhadap HAM , meskipun rumusannya sangat bersifat umum dan tidak adak mekanisme yang jelas untuk menjamin pelaksanaannya secara efektif. Mengingat begitu beragamnya rezim politik negara-negara anggota ASEAN kalangan pejuang HAM masih ragu apakah ASEAN memiliki keberanian politik untuk meninggalkan pola pikir tradisional para pemimpin ASEAN yang menempatkan kedaulatan negara dan kelanggengan rezim politik diatas HAM individu warga negaranya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Piagam ASEAN justru mencerminkan langkah mundur bagi ASEAN karena isinya justru melanggengkan nilai-nilai lama dan sikap para pemimpin ASEAN yang konsrvatif. Negara anggota yang sudah menganut demokrasi justru terhambat oleh karena pengambilan keputusan di tingakat ASEAN masih berdasarkan konsensus. 81

B. Implementasi kebijakan di ASEAN