MYANMAR Isu Hak Asasi Manusia di ASEAN

2. MYANMAR

Pemberitaan terkait pengungsi suku minoritas Rohingya Myanmar mengundang perhatian masyarakat internasional, setelah ratusan manusia perahu yang melarikan diri dari Myanmar terdampar di Aceh dan mengungkapkan perlakuan buruk yang mereka terima selama berada di Thailand. Pada awal tahun 2009 lalu, Angkatan Laut Thailand telah menangkap manusia perahu Rohingya di perairan Andaman dan kemudian memaksa sekitar 1000 manusia perahu kembali ke laut dalam perahu-perahu tanpa mesin serta tanpa perbekalan air dan makanan yang memadai. International Organization for Migration IOM juga menemukan bukti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer Thailand tersebut. Tidak heran apabila kemudian Thailand menuai kritik dan kecaman dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Perlakuan militer Thailand tersebut tergolong tindakan tidak manusiawi bahkan untuk alasan penerapan hukum terhadap para pelanggar batas atau illegal entry sekalipun. Organization of the Islamic Conference OIC juga telah meminta Pemerintah Thailand untuk memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap manusia perahu sebagaimana yang tercantum dalam the 1951 UN Convention on Refugees . Kasus manusia perahu tersebut muncul ditengah-tengah kentalnya isu- isu HAM dan memunculkan pertanyaan mengenai kesungguhan negara-negara ASEAN dalam penegakan HAM dan pembentukan ASEAN Human Right Body. Penanganan kasus manusia perahu juga diwarnai berbagai perbedaan kepentingan negara-negara di kawasan. Bagi Thailand keberadaan manusia perahu Rohingya di wilayahnya adalah illegal dan merupakan bagian dari kejahatan penyeludupan dan perdagangan manusia. Tidak berbeda dengan Thailand, Indonesia juga berpendapat bahwa gelombang pengungsian tersebut merupakan kegiatan human trafficking dan people smuggling . Namun, Pemerintah Indonesia tidak dapat menutup mata terhadap penderitaan etnis Rohingya dan berupaya untuk mencari solusi terbaik sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945. Universitas Sumatera Utara Myanmar sebagai negara asal, mengambil sikap tidak peduli terhadap nasib etnis minoritas tersebut dan bersikeras bahwa Rohingya bukanlah warganya. Sementara itu, Bangladesh sebagai negara miskin di kawasan Asia Selatan merasa terbebani dengan besarnya arus pengungsian dari Myanmar tersebut. Australia yang menjadi salah satu negara tujuan berkepentingan dalam mencegah masuknya pengungsi dikarenakan alasan kepentingan keamanan nasionalnya. Muncul pertanyaan bagaimana kasus ini akan ditangani, mekanisme apa yang dapat digunakan dalam penyelesaiannya? Bagaimana instrumen hukum dapat memberikan perlindungan terhadap manusia perahu ini? Baik Thailand maupun Indonesia menyadari bahwa manusia perahu ini memerlukan penanganan komprehensif yang melibatkan hampir semua negara di kawasan karena merupakan cross border issues.Siapa etnis Rohingya ini? Bagaimana gelombang pengungsian etnis Rohingya bermula? Etnis Rohingya telah mendiami dua kota di Utara Negara Bagian Rakhine, yang dulu dikenal dengan nama Arakan, wilayah bagian barat Myanmar sejak abad ke-7 Masehi. Saat ini masih terdapat sekitar 600.000 orang Rohingya yang tinggal di Myamar. Etnis Rohingya secara fisik, bahasa danbudaya lebih mendekati bangsa Asia Selatan, dan sebagian dari mereka adalah keturunan Arab, Persia dan Pathan. Selama bertahun-tahun mereka mendapatkan perlakuan buruk dan diskriminatif dari Pemerintah Myanmar, terlebih lagi paska operasi Militer King Dragon, 37 37 Pada tahun 1978 Pemerintah Myanmar dibawah kepemimpinan Jenderal Ne Win melakukan operasi militer King Dragon di Negara bagian Rakhine Arakan dalam upaya memberantas para mujahidin di wilayah tersebut.Namun, operasi militer tersebut juga berdampak pada masyarakat muslim lainnya, terutama dari etnis Rohingya. yang telah memaksa mereka mengungsi ke Bangladesh. Menurut data Amnesti Internasional pada periode 1991-1992, kurang lebih 250 ribu orang Rohingya mengungsi dan memasuki wilayah Bangladesh. Sedangkan menurut data UNHCR, saat ini terdapat sekitar 28 ribu orang Rohingya yang tinggal di kamp- kamp pengungsi di Bangladesh. Ironisnya etnis muslim Rohingya tersebut tidak diakui baik oleh Myanmar maupun Bangladesh sebagai warganya. Universitas Sumatera Utara Pemerintah Myanmar menganggap orang Rohingya sebagai orang Bengali Bangladesh yang tinggal di Myanmar. Pemerintah Junta Militer Myanmar menyatakan bahwa sekalipun mereka tinggal di Arakan, Myanmar, tetapi etnis Rohingya bukanlah rakyat Myanmar dan tidak termasuk dalam salah satu dari 135 kelompok etnis yang tergabung dalam Uni Myanmar. 38 Menurut Amnesti Internasional, orang Rohingya telah mengalami penderitaan yang cukup panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan orang Rohingya sangat dibatasi, mayoritas dari mereka tidak diakui kewarga-negaraannya. Mereka hanya sedikit dan bahkan tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah dan rumah serta diperkerja paksakan pada sejumlah pekerjaan pembangunan infrastruktur di Myanmar. Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui kewarganegaraan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa etnis Rohingya ini adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan atau stateless. Perlakuan diskriminatif tersebut telah memaksa mereka memilih untuk menjadi manusia perahu dan meninggalkan Myanmar untuk mencari keamanan dan penghidupan yang lebih baik di negara lain. Negara-negara yang menjadi tempat transit dan tujuan mereka antara lain adalah Bangladesh, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Thailand, Indonesia dan Australia. Hingga pada awal tahun 2009 perhatian dunia internasional kembali tertuju pada etnis Rohingya ketika sekitar 1000 manusia perahu tersebut ditangkap pada saat akan memasuki wilayah Thailand. Namun, menurut perwakilan UNHCR di Bangkok, meskipun tidak diketahui jumlah pastinya, setidaknya masih terdapat sekitar 78 orang Rohingya yang ditahan di Ranong, di bagian selatan Thailand dan belum dapat diketahui 38 Pernyataan dikeluarkan pada Press Realese Kemlu Myanmar pada 26021992. Pernyataan tersebut ditegaskan lagi dalam Political Situation of Myanmar and its Role in the Region, Col. Hla Min, Office of Strategic Studies, Ministy of Defense of Myanmar, February 2001, p. 95-99. Pemberitaan Media Indonesia, 12022009, hal 6, bahwa Perwakilan Pemerintah Myanmar di Hongkong melalui surat kabar setempat yang meminta agar masyarakat internasional, khususnya media untuk tidak menyebut etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009 Universitas Sumatera Utara keadaannya apakah mereka juga memerlukan perlindungan internasional. Pemerintah Thailand menyatakan bahwa manusia perahu Rohingya sebagai pelintas batas illegal dan dikategorikan sebagai migran ekonomi, bukan pencari suaka yang berhak mendapatkan status pengungsi. Namun, bagaimana kedudukan manusiaperahu Rohingya ditinjau dari pandangan hukum?. Ada 2 perangkat hukum internasional yang mengatur masalah pengungsi yaitu the 1951 UN Convention on Refugees dan the 1967 Protocol on Status of Refugees. Konvensi tersebut dalam artikel 1 butir A 2 mendefinisikan pengungsi 39 sebagai:A person who owing to a well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.. Menurut hukum internasional, pengungsi adalah orang yang berada di luar negara atau tempat tinggal asalnya, mengalami ketakutan terhadap penuntutan dikarenakan oleh ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau memiliki pandangan politik yang berbeda, dan tidak memiliki kewarganegaran dan tidak mampu atau tidak bersedia untuk mendapatkan perlindungan dari negaranya atau kembali ke negaranya dikarenakan adanya ketakutan tersebut. Sedangkan definisi migran menurut Pedoman Penetapan Prosedur dan Kriteria Pengungsi sesuai Konvensi tahun 1951 adalah orang yang, selain dari alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu dan perbedaan pandangan politik, secara sukarela meninggalkan negaranya untuk menetap di negara lain. 40 39 The 1951 UN Convention on Refugees yang diamandemen dalam Protokol 1967dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, 40 Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protokol relating to the Status of Refugees paragraph 62, UNHCR document, Geneva, Januari 1992 dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, Universitas Sumatera Utara Sedangkan motivasinya untuk berpindah tempat tinggal, adalah karena menginginkan perubahan atau petualangan, atau karena alasan keluarga maupun pribadi. Apabila secara khusus motivasinya adalah pertimbangan ekonomi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, maka orang tersebut adalah seorang migran ekonomi dan bukan termasuk kategori pengungsi. Namun, perbedaan antara migran ekonomi dengan pengungsi seringkali rancu dan tidak jelas. Memang bukanlah perkara yang mudah untuk menetapkan standar ukuran apakah ekonomi atau politik yang menjadi latar belakang atau motif dari perpindahan seseorang, karena bukan tidak mungkin apabila motif ekonomi tersebut dipengaruhi oleh isu rasial, agama atau politik yang dihadapi oleh satu kelompok tertentu di negara asalnya. 41 Seperti halnya manusia perahu Rohingya, lalu apakah dengan demikian mereka dapat dikategorikan sebagai pengungsi? Ada berapa fakta terkait manusia perahu tersebut, yaitu: pertama, etnis Rohingya jelas tidak diakui sebagai rakyat Myanmar stateless. Pengertian stateless ini dinyatakan dalam artikel 1 the 1954 Convention Relating to the Status of Stateless Persons adalah “a person who is not considered as a national by any state under the operation of its law”. Kedua, mereka mengalami perlakuan diskriminatif dan rasis baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Secara ekonomi diskriminasi tersebut meliputi tidak diberikannya Disamping itu, pada prakteknya, penentuan apakah orang tersebut adalah pengungsi atau bukan, seringkali diserahkan pada lembaga- lembaga atau badan-badan Pemerintah dari negara penerima, negara transit atau negara kedua. Akibatnya adalah terjadinya kecenderungan untuk menolak memberikan status pengungsi dan bahkan para pencari suaka tersebut seringkali diperlakukan sebagai pendatang illegal. Sehingga sulit untuk dapat menggaransi adanya suatu perlindungan bagi para pencari suaka tersebut. 41 The distinction between an economic migrant and a refugee is, however, sometimes blurred in the same way as the distinction between economic and political measures in an applicant’s country of origin is not always clear...” Dikutip dari Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967Protokol relating to the Status of Refugees, UNHCR Publication, Jenewa, 1992 dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, Universitas Sumatera Utara hak kepemilikan atas tanah dan rumah, pemberlakuan perbedaan dalam pengenaan pajak, dan lain-lain. Secara sosial, Rohingya terdiskriminasi dengan adanya pembatasan ijin pernikahan dan akses pendidikan, serta terbatasnya ruang gerak mereka di Myanmar. Sedangkan secara politik mereka tidak diberikan status kewarganegaraan Myanmar. Ketiga, etnis Rohingya mengalami berbagai penyiksaan dan pelanggaran HAM dengan diperkerja paksakan, diberi upah minim dan bahkan tanpa upah diberbagai proyek pembangunan infrastruktur di Myanmar. 42 Namun, apabila ditelaah lebih lanjut, di balik motif ekonomi dapat dikatakan etnis Rohingya di Myanmar mengalami berbagai tekanan sebagaimana yang tercantum padaartikel 1 Konvensi tentang Pengungsi atau dengan kata lain mereka mengalami perlakuan-perlakuan diskriminatif sehingga secara ekonomi etnis Rohingya tertekan. Berdasarkan ketentuan Konvensi tersebut, manusia perahu Rohingya berhak mendapat status pengungsi. Hal ini lebih lanjut dijelaskan dalam Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Fakta lain mengatakan bahwa, Pemerintah Myanmar tidak memberikan status kewarganegaraan karena etnis Rohingya tidak termasuk ke dalam 135 etnis yang tergabung dalam Uni Myanmar. Pemerintah Myanmar menganggap orang Rohingya sebagai bangsa pendatang dari Bengali-Bangladesh yang tinggal di Myanmar. Secara hukum, orang Rohingya tidak mendapatkan hak yang sama dengan warga Myanmar lainnya. Sejalan dengan kebijakan tersebut, Pemerintah Myanmar memberlakukan berbagai pembatasan di bidang ekonomi, sosial dan politik bagi etnis Rohingya. Fakta lainnya adalah dari hasil penyelidikan diketahui bahwa mereka meninggalkan Myanmar untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik di negara lain atau dengan kata lain faktor ekonomilah yang menjadi motif pendorong utama. 42 Myanmar, The Rohingya Minority: Fundamental Right Denied, Amnesty International, May 2004, AI Index: ASA 160052004 http:www.amnesty.orgenlibraryassetASA160052004endom-ASA160052004en.pdf . Dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, Universitas Sumatera Utara Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol relating to the Status of Refugees paragraph 63, bahwa: …Behind economic measures affecting a person’s livelihood there may be racial, religious or political aims or intentions directed against a particular group. Where economic measures destroy the economic existence of a particular section of the population e.g. withdrawal of trading rights from, or discriminatory or excessive taxation of, a specific ethnics or religious group, the victims may according tothe circumstances become refugees on leaving the country. Konsekuensi dari butir diatas terhadap negara-negara yang menjadi tempat transit negara kedua atau negara tujuan negara ketiga sebagaimana tercantum dalam artikel 31 butir 1 adalah bahwa: The Contracting States shall not impose penalties, on account of their illegal entry or presence, on refugees who, coming directly from a territory where their life or freedom was threatened in the sense of article 1, enter or are present in their territory without authorization, provided they present themselves without delay to the authorities and show good cause for their illegal entry or presence. 43 Ini berarti bahwa tindakan Pemerintah Thailand melanggar ketentuan tentang kewajiban suatu negara terhadap pengungsi. Selain itu, tindakan mendeportasi manusia perahu, khususnya Rohingya juga akan bertentangan dengan artikel 33 butir 1 Konvensi tentang Pengungsi yaitu: No Contracting States shall expel or return “refouler” a refugee in any manner where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion. 44 43 Artikel 31 butir 1, Refugees Unlawfully in the Country of Refugeee, the 1951 UN Convention on Refugees, Sebagaimana ketentuan dalam hukum internasional lainnya, ketentuan tersebut mengikat seluruh negara yang menjadi pihak pada Konvensi tersebut. Sedangkan, kepada negaranegara non pihak, kewajiban-kewajiban perlindungan dan penanganan pengungsi lebih tergantung pada willingness dari negara non pihak tersebut. http:www.unhcr.chhtmlmenu3bo c ref.htm dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, 44 Artikel 33 butir 1 Prohibition of Expulsion or Return “refoulement”, the 1951 UN Convention on Refugees, http:www.unhcr.chhtmlmenu3bo_c_ref.htm, dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, Universitas Sumatera Utara Sekalipun demikian, prinisip non legally binding untuk negara-negara non pihak pada Konvensi tersebut tidak serta merta menghapuskan kewajiban universal lainnya dalam memberikan perlindungan dan penegakan HAM. Keterlibatan Indonesia dan Thailand dalam penanganan manusia perahu Rohingya didasari oleh pertimbangan kemanusiaan terhadap penderitaan rakyat Rohingya, perlindungan HAM dan solidaritas kesatuan ASEAN. Disamping itu, didasari oleh tekad untuk mengurangi, apabila dapat, menghentikan praktek kejahatan perdagangan dan penyeludupan manusia, khususnya dikawasan Asia Pasifik. Kebijakan Pemri jelas bahwa penanganan masalah Rohingya harus tuntas namun tidak mencederai hubungan bilateral dan regional ASEAN. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa penanganan manusia perahu tersebut akan melibatkan negara asal, negara transit, negara tujuan negara-negara lain di kawasan serta lembaga internasional terkait seperti antara lain UNHCR dan IOM. Mempertimbangkan latar belakang permasalahannya, kasus manusia perahu Rohingya tersebut sangat kompleks dan merupakan cross border issues, dan bukan semata-mata isu ekonomi. Sehingga dalam penanganannya tidak mungkin dilakukan oleh satu atau dua negara saja. Ada beberapa opsi pilihan dalam penanganan sekitar 400 manusia perahu yang terdampar di Aceh, antara lain adalah pertama, Indonesia segera mengembalikan mendeportasi manusia perahu tersebut, apabila dipandang negara asal akan menerima dan menjamin adanya perlindungan bagi mereka. Untuk itu, Indonesia perlu meng-engage Myanmar secara bilateral maupun dalam kerangka ASEAN dalam menjamin perlindungan HAM bagi etnis Rohingya. Mengkaitkan kasus pengungsian Rohingya dengan upaya penegakan HAM di ASEAN menjadi sangat krusial dan kemungkinan tidak akan terselesaikan dengan mudah. Myanmar menganggap HAM adalah isu sensitif dalam negerinya dan track record penegakan HAM Myanmar juga masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya, sementara pengungsian tersebut ditenggarai karena terjadinya pelanggaran HAM. Kedua, Indonesia sebagai negara transit menetapkan status manusia perahu tersebut sebagai pengungsi. Universitas Sumatera Utara Dalam kaitan ini, Indonesia dapat meminta bantuan dan bekerjasama dengan IOM, UNCHR dan OCHA untuk mencarikan negara ketigatujuan. IOM dipandang sebagai lembaga internasional yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini. IOM menangani isu-isu migrasi, termasuk people smuggling atau trafficking in person. Disamping itu, kerja IOM dalam menangani migrasi dinilai lebih cepat dan efektif, apalagi mengingat bahwa motif manusia perahu Rohingya diduga kuat adalah pencari suaka ekonomi. Namun, Pemri hendaknya tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan UNHCR dan OCHA dalam mencari pemecahan terbaik bagi penyelesaian kasus ini. Kasus Rohingya ini memperlihatkan masih lemahnya upaya penegakan HAM di ASEAN. Terkait upaya penegakan HAM dalam konteks regional, mekanisme konsultasi ASEAN diharapkan dapat menjadi pilihan dalam menyamakan persepsi dan mencari solusi terhadap tindak pelanggaran HAM dan sekaligus menghentikan akar penyebab gelombang pengungsian tersebut. Pada tingkat yang lebih luas, Indonesia, Thailand dan negara-negara ASEAN lainnya telah sepakatmenggunakan pertemuan Bali Process, yaitu suatu forum tingkat menteri yang bertujuan untuk menetapkan dan mengambil langkah- langkah yang dibutuhkan dalam mengatasiisu-isu perdagangan manusia dan kejahatan-kejahatan antar negara lainnya di wilayah Asia-Pasifik, guna mencari penyelesaian terbaik dalam menangani kasus manusia perahu ini. Perbedaan tingkat kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yang tajam di kawasan Asia Pasifik membuat gelombang migrasi irreguler sangat rentan terkait dengan tindak perdagangan manusia dan kejahatan transnasional lainnya. Untuk itu, melalui kerangka Bali Process diharapkan kasus-kasus yang timbul, baik itu perdagangan dan penyeludupan manusia maupun kejahatan transnasional lainnya dapat diselesaikan secara komprehensif sampai ke akar permasalahannya. Migrasi etnis Rohingya ditenggarai bermotif ekonomi dan sarat akan isu pelanggaran HAM. Apapun motif dibalik migrasi tersebut, pelanggaran HAM yang terjadi maupun eksploitasi ekonomi harus diakhiri. Upaya menyelesaikan kasus pengungsian secara komprehensif harus melibat berbagai pihak, yaitu negara asal, Universitas Sumatera Utara negara transit dan negara penerima serta organisasi internasional terkait dan dilakukan melalui mekanisme yang ada, baik dalam kerangka ASEAN maupun Bali Process. Selain itu, dalam menghadapi perdagangan bebas, kasuskasus migrasi seperti Rohingya akan memunculkan tantangan bagi Indonesia, ASEAN dan negara-negara lainnya di kawasan Asia Pasifik. Perdagangan bebas ASEAN akan semakin mendorong terjadinya migrasi penduduk di kawasan, dan apabila isu migrasi tidak ditangani dengan baik, maka akan rentan terhadap terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia, tindak kejahatan penyeludupan dan perdagangan manusia. Untuk itu, diperlukan upaya secepatnya dari negara-negara di kawasan untuk membenahi mekanisme dan instrumen hukumnya terkait mengenai pengaturan migrasi penduduk 45 .

3. THAILAND