wadah kerjasama ASEAN. Dengan ditandatanganinya Piagam ASEAN ASEAN Charter oleh para pemimpin ASEAN dalam KTT di Singapura November 2007,
ada langkah maju yang dicapai oleh kerjasama regional ini. Dalam piagam ASEAN dicantumkan prinsip penghormatan terhadap HAM , meskipun
rumusannya sangat bersifat umum dan tidak adak mekanisme yang jelas untuk menjamin pelaksanaannya secara efektif. Mengingat begitu beragamnya rezim
politik negara-negara anggota ASEAN kalangan pejuang HAM masih ragu apakah ASEAN memiliki keberanian politik untuk meninggalkan pola pikir
tradisional para pemimpin ASEAN yang menempatkan kedaulatan negara dan kelanggengan rezim politik diatas HAM individu warga negaranya. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa Piagam ASEAN justru mencerminkan langkah mundur bagi ASEAN karena isinya justru melanggengkan nilai-nilai lama dan sikap para
pemimpin ASEAN yang konsrvatif. Negara anggota yang sudah menganut demokrasi justru terhambat oleh karena pengambilan keputusan di tingakat
ASEAN masih berdasarkan konsensus.
81
B. Implementasi kebijakan di ASEAN
Dalam dunia internasional, Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN juga turut serta dalam perlindungan hak asasi khususnya terhadap perempuan dan
anak. AICHR merupakan lembaga konsultasi antarpemerintah dan bagian integral dalam struktur Organisasi ASEAN. Dalam Terms of Reference TOR AICHR
disebutkan bahwa AICHR bertanggung jawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN dengan berdasarkan pada prinsip konsensus, konsultatif dan
non-intervensi. Komposisi AICHR terdiri dari 10 orang yang masing-masing mewakili negara anggota ASEAN, dengan pertemuan rutin dua kali tiap tahun,
dan pelaporan ditujukan kepada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN. Ketua AICHR saat ini dipegang oleh wakil dari Indonesia, Rafendi Djamin. Komisi ini
bertugas merumuskan upaya-upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan
81
Jusuf Wanandi, Kompas 14 Desember 2007 dalam buku Jemadu Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik
, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2008
Universitas Sumatera Utara
melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Universal tentang HAM,
Deklarasi Wina dan instrumen HAM lainnya. AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan
HAM di ASEAN. AICHR akan bekerjasama dengan badan-badan ASEAN lainnya yang terkait dengan HAM dalam rangka melakukan koordinasi dan
sinergi di bidang HAM. Sekalipun Indonesia menginginkan agar AICHR tidak hanya memiliki fungsi promosi HAM namun Indonesia mengakui jika
pembentukan AICHR merupakan suatu langkah ke depan bagi ASEAN dalam rangka mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan.
82
Raffendi Djamin sebagai perwakilan Indonesia yang juga merupakan ketua AICHR berasumsi bahwa setelah sekitar kurang lebih 4 bulan inagurasi
Komisi HAM antar Pemerintah ASEAN AICHR pada bulan Oktober yang lalu, sebagian besar yang hadir sekarang ini sudah mendiskusikan mengenai apa yang
ada didalam Piagam ASEAN maupun kerangka acuan AICHR. Yang menjadi pokok bahasan pertemuan adalah mengenai masalah-masalah HAM di ASEAN,
persiapan menjelang Sidang Reguler Tahunan pertama AICHR di Jakarta tahun ini, rencana kelembagaan AICHR, isu-isu HAM yang menjadi prioritas AICHR di
tahun 2010, seperti migrasi dan tanggungjawab korporasi, dan diskusi mengenai usulan Indonesia terhadap Program Kerja AICHR 2010.
Sebagaimana diketahui dalam pembahasan sehari-hari di media cetak maupun elektronik, selalu muncul masalah-masalah HAM berat di kawasan
ASEAN. Misalnya dalam bentuk kejahatan berat terhadap kemanusiaan crimes on humanity baik itu yang terjadi di Indonesia, Kamboja, Filipina dan negara-negara
anggota ASEAN lainnya. Di Kamboja tidak ada pengadilan untuk pelanggaran ataupun kejahatan HAM, Indonesia memiliki pengadilan HAM, tetapi sampai
sekarang ini belum ada pelaku kejahatan atau pelanggar HAM yang bisa dihukum.
82
Rafendi Djamin Wakili Indonesia Dalam Komisi HAM ASEAN diakses dari : http:www.antaranews.comprint158120 pada tanggal 10 desember 2013
Universitas Sumatera Utara
Lalu di Myanmar ada indikasi yang kuat terjadinya crimes on humanity ini, yaitu sesuai hasil laporan terakhir dari Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar yang
disampaikan di Jenewa, mengenai persoalan genocide dan penyiksaan, yang tergolong sebagai pelanggaran HAM berat. Masalah ini merupakan musuh umat
manusia, dan saya kira adalah sebuah fenomena yang sangat mudah meluas, dan bahkan di Indonesia pun, masalah ini masih menjadi persoalan.
Lalu masalah pengadilan diluar koridor hukum, kita tahu bahwa masalah ini sering terjadi di Mindanau, Filipina, dikarenakan terjadinya konflik politik
lokal yang mengakibatkan lumpuhnya proses penegakan hukum. Berikutnya adalah masalah diskriminasi yang terkait dengan ras, kebebasan beragama, suku,
asal-usul, serta gender. Kemudian masalah pelaksanaan hukuman mati, yang kita tahu bahwa seluruh negara ASEAN masih menerapkan hukuman mati, kecuali
Filipina. Masalah lainnya yang sering dibaca di media cetak adalah apa yang
disebut sebagai trafficking inperson, yang erat kaitannya dengan diskriminasi, perlindungan HAM terhadap pengungsi, baik yang disebabkan karena konflik
bersenjata ataupun karena bencana alam. Kawasan ASEAN sudah menjadi semacam tempat transit bagi arus migrasi pencari suaka yang berasal dari
Srilanka, Afghanistan, dan lain-lainnya. Namun demikian, walaupun ASEAN bukan merupakan tempat tujuan mereka, tetapi ASEAN tetap mempunyai
tanggungjawab terhadap kemanusiaan yang diatur dalam norma-norma yang berlaku selama ini.
Sebagaimana diketahui, bahwa masalah paling besar yang dihadapi ASEAN terkait persoalan HAM, adalah konflik bersenjata di dalam negeri. Kalau
dilihat yang terjadi di Indonesia, seperti Papua misalnya, mungkin skalanya kecil. Tetapi walau bagaimanapun, itu tetap dianggap sebagai sebuah ancaman konflik
bersenjata. Konflik bersenjata juga berkaitan dengan peran perempuan dan hak anak didalam situasi konflik. Sementara konflik mengenai perburuhan dan sumber
Universitas Sumatera Utara
daya alam, itu sangat berkaitan dengan tanggungjawab HAM korporasi maupun tanggungjawab HAM negara itu sendiri. Dalam hal ini pernah terjadi konflik
antara HAM korporasi dan HAM negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, yaitu yang berkaitan dengan indigenous people. Yang paling menjadi masalah
adalah, bahwa secara kosakata indigenous people itu tidak diakui di ASEAN. Di Indonesia, kata tersebut sering disebut sebagai ’masyarakat adat’, sementara di
Malaysia disebut sebagai ’orang asli’. Akan tetapi sebetulnya pengakuan negara secara serius terhadap indigenous people ini harus kita lindungi. Jargon yang
sering kita dengar adalah ’we are all the indigenous people’, bahwa kita ini, orang ASEAN, semuanya adalah indigenous people. Tidak ada yang un-indigenous,
baik di Indonesia maupun di negara-negara ASEAN lainnya. Indigenous itu hanya dikenal di benua Amerika, akan tetapi sering digunakan oleh negara-negara di
Asia, termasuk ASEAN. Jadi masalah-masalah HAM yang kita hadapi ini memang cukup berat, dan apakah AICHR dengan kerangka acuan yang
dimilikinya saat ini mampu menghadapi hal ini?. Sebagaimana diketahui, AICHR ini beranggotakan 10 komisioner yang berasal dari 10 negara anggota ASEAN.
Dua diantaranya, yaitu dari Indonesia dan Thailand, dipilih melalui proses pemilihan di tingkat nasional, sedangkan yang 8 lainnya ditunjuk oleh
pemerintahnya masing-masing, termasuk Filipina yang kita kira proses demokrasinya sudah jauh berkembang dan memiliki pengalaman demokrasi yang
sudah cukup lama dibandingkan dengan Indonesia . Untuk Singapura, Myanmar, Laos, dan Kamboja misalnya, mungkin masih bisa dimengerti kalau mereka tidak
melakukan proses pemilihan di tingkat nasional. Tetapi faktanya hanya Indonesia dan Thailand yang melakukan proses pemilihan di tingkat nasional, yaitu mulai
dari proses pencalonan, nominasi dan seterusnya. Bila dilihat masalah kontribusinya, dari 14 fungsi AICHR yang ada, hanya
ada 3 fungsi yang bisa dikategorikan sebagai fungsi proteksi. Fungsi ini bersifat terselubung, karena secara sederhana, mekanisme perlindungan HAM di ASEAN
ini menolak individual complain, yaitu pengaduan pelanggaran HAM seperti yang
Universitas Sumatera Utara
dikenal di tingkat nasional. Misalnya pengaduan individual complain ke Komnas HAM atau ke KBRI, bahkan mungkin ke Komnas Perempuan
Fungsi proteksi AICHR yang eksplisit adalah review for countries situation
atau pembahasan situasi HAM di negara-negara anggota. Dalam hal ini AICHR tidak diperkenankan untuk melakukan proses review, dengan alasan
bahwa ini sudah dilakukan oleh lembaga review tingkat dunia, atau sudah dilakukan secara universal, maka tidak perlu lagi untuk dibahas di tingkat
ASEAN. Argumen itulah yang digunakan, sehingga pada akhirnya konsensus yang dicapai adalah penolakan terhadap fungsi review tersebut.
Fungsi proteksi AICHR lainnya yang juga sangat eksplisit adalah country situation
yang menurut Indonesia bukan dalam konteks promosi, melainkan investigasi pencarian fakta. Tiga fungsi proteksi itulah yang diperjuangkan oleh
diplomat kita di ASEAN, tetapi belum berhasil. Sehingga tetap belum merubah posisi 1 lawan 9, oleh karena itulah jalan kompromi yang diambil, karena kalau
tidak demikian maka AICHR tidak akan pernah lahir di ASEAN. Kompromi yang diambil itu melahirkan apa yang disebut sebagai deklarasi politik, atau deklarasi
pendirian AICHR yang sangat penting bagi Indonesia, dan merupakan titik tolak dari visi yang akan dijalankan oleh AICHR.
Deklarasi yang dikeluarkan oleh semua menteri ASEAN merupakan sebuah pernyataan politik dari pemimpin negara ASEAN. Point ini menjadi modal
yang sangat besar bagi Indonesia, dalam hal ini menurut Raffendi, agar review pertama yang akan dilakukan pada lima tahun mendatang adalah untuk
memperkuat fungsi-fungsi proteksi AICHR yang belum mempunyai kekuatan untuk membahas situasi HAM negara-negara anggotanya.
Faktor penting disini adalah mempromosikan pelaksanaan instrumen yang sudah ada di ASEAN. Ada sekitar 4 instrumen ASEAN yang berkaitan dengan
HAM, yaitu tentang anak-anak, perempuan, trafficking dan buruh migrant. Hal yang juga sangat penting adalah bahwa AICHR merupakan lembaga yang
Universitas Sumatera Utara
merangkum atau mencakup lembaga-lembaga HAM lainnya yang ada di ASEAN. Dalam konteks ini, haal menarik adalah adanya peran baru dari Sekjen ASEAN
terkait dengan masalah HAM, dimana Sekjen ASEAN bisa mengangkat isu tertentu yang dianggap penting dan urgent untuk mendapatkan perhatian dari
AMM dan sekaligus juga Leaders. Isu HAM yang diangkat oleh Sekjen ASEAN tersebut selanjutnya pasti
akan menjadi isu bagi AICHR yang kemudian diprioritaskan sebagai sebuah program kerja. Pertanyaan mndasar terkait hal ini adalah, mampukah AICHR
mengatasi berbagai permasalahan HAM di ASEAN, padahal AICHR tidak mempunyai kekuatan untuk menerima individual complain.
83
Kemudian dilihat dari Deklarasi HAM ASEAN Asean Human Right DeclarationAHRD di Indonesia yang ditolak oleh LBH Jakarta. Sikap penolakan
LBH Jakarta didasari oleh beberapa alasan diantaranya seharusnya deklarasi atau instrumen regional menetapkan standar yang lebih tinggi dari standar
internasional, dalam hal ini Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM. Standar HAM regional yang lebih baik dari DUHAM, yang disusun 34 tahun
yang lalu, tentu akan menunjukkan komitmen negara anggota ASEAN pada dunia internasional. Namun sebaliknya, dengan menetapkan standar yang lebih rendah
dari DUHAM dan bahkan bertentangan darinya, akan melemahkan penegakan dan pelaksanaan HAM di wilayah Asia Tenggara.
Bila disahkan, rancangan AHRD akan menjadi legitimasi bagi pemerintah ASEAN untuk mengelak dari kewajiban internasional untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi HAM. Apabila AHRD dengan kondisi demikian tetap disahkan, dikuatirkan bahwa AHRD yang seharusnya mempengaruhi perubahan
legislasi dan pelaksanaan HAM di kawasan ASEAN menjadi lebih baik, malah akan semakin memperburuk. Padahal, AHRD diharapkan akan menjadi landasan
83
Rafendi Djamin Komisioner AICHR Pelanggaran HAM di ASEAN ,AICHR Tidak Diperbolehkan Melakukan Review
, diakses dari : http:www.tabloiddiplomasi.orgprevious-isuue90-mei-2010806- pelanggaran-ham-di-asean-aichr-tidak-diperbolehkan-melakukan-review.html pada tanggal 1 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
penyusunan Konvensi HAM ASEAN, dan Deklarasi tidak dapat direvisi atau diamandemen di masa mendatang. Dalam prosesnya, penyusunan AHRD tidak
transparan dan tidak benar-benar melibatkan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan ASEAN untuk memajukan ASEAN yang berorientasi
pada rakyat, dimana rakyat didorong untuk berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan darinya Pasal 1.9 Piagam ASEAN. Dalam kedua proses konsultasi
resmi AICHR dengan perwakilan masyarakat sipil yang dilakukan pada tahun 2012, bahkan rancangan AHRD tidak secara resmi dibagikan.
Dalam konteks Indonesia secara spesifik, Indonesia telah meratifikasi sebagian besar konvensi pokok HAM Internasional, yang merefleksikan standar
HAM yang berlaku di Indonesia. Namun kondisi pelaksanaan HAM di Indonesia sejauh ini belum memenuhi standar yang berlaku tersebut. Adanya proses
penyusunan AHRD selama ini memberikan harapan baru bagi masyarakat menuju pemenuhan HAM sesuai standar internasional. Dengan mendukung AHRD
dengan segala penyimpangannya dari standar dan prinsip HAM Internasional, Indonesia akan menurunkan standarnya dan dikuatirkan pelaksanaan HAM di
Indonesia akan semakin memburuk. Bila Indonesia tidak memperjuangkan dipenuhinya standar HAM
Internasional dalam AHRD, akan menunjukkan bahwa Indonesia tidak lagi memegang peran kunci dan pemberi teladan bagi negara anggota ASEAN dalam
bidang HAM. Untuk itu, LBH Jakarta tidak akan memenuhi undangan dari Sekretariat ASEAN untuk menerima ARHD secara simbolis. Hal ini juga untuk
mempertahankan solidaritas dengan rekan-rekan masyarakat sipil di Indonesia dan Negara anggota ASEAN lainnya, yang juga menolak AHRD.
84
84
Bantuan Hukum, LBH Jakarta Menolak Undangan Sekretariat ASEAN Untuk Menerima AHRD Secara Simbolis, diakses dari:
http:www.bantuanhukum.or.idwebblog201308232349 pada tanggal 1 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
C. Faktor-faktor Penghambat Implementasi Deklarasi HAM ASEAN Terhadap Perlindungan Hak Perempuan dan Anak di negara-negara
ASEAN.
Upaya yang telah dilakukan oleh lembaga HAM ASEAN banyak mengalami kendala untuk mewujudkan Implementasi Deklarasi HAM ASEAN
Terhadap Perlindungan Hak Perempuan dan Anak di negara-negara ASEAN. Ada beberapa faktor yang menghambat antara lain :
1. Adanya kekhawatiran bahwa mekanisme AHRD akan mencampuri
urusan dalam negri negara anggota 2.
Adanya kekhawatiran bahwa mekanisme tersebut akan memiliki mandat yang terlalu luas dan berkembang menjadi semacam
pengadilan HAM regional yang mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan hukum yang mengikat
3. Dikhwatirkan terjadinya duplikasi antara mekanisme tingkat regional
dan mekanisme internasional 4.
Belum Komisi Nasional Komnas HAM di semua negara anggota ASEAN dan belum adanya suatu kesepakatan di antara mereka
mengenai visi pembentukan mekanisme HAM ASEAN itu sendiri.
D. Masa Depan Dan Tantangan