INDONESIA Isu Hak Asasi Manusia di ASEAN

9. Meningkatkan pengumpulan data dan berbagi pada penuntutan perdagangan , khususnya penuntutan terkait ketenagakerjaan data 54

10. INDONESIA

Kekerasan terhadap perempuan menjadi pelanggaran HAM yang terus dialami kaum perempuan Indonesia. Berbagai kekerasan mereka alami baik fisik maupun psikis. Kekerasan hadir dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan dalam rumah tangga KDRT, perkosaan, pelecehan seksual dan sebagainya. Pelaku kekerasan bisa individu, komunitas, masyarakat maupun negara. Komnas Perempuan mengeluarkan data kekerasan terhadap perempuan setiap tahun yang selalu mengalami peningkatan. Dalam laporannya Komnas Perempuan tahun 2011 tercatat 119.107 kasus kekerasan dialami perempuan. Sementara pada tahun 2010 tercatat 105.103 kasus, artinya mengalami peningkatan sebesar 14.004 kasus. Banyaknya kasus kekerasan yang dialami perempuan tak membuat negara bergeming untuk memberikan perlindungan yang maksimal. Bahkan, negara sendiri melakukan diskriminasi terhadap perempuan dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya UU, perda, dan lain-lain di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, tahun 2012 ada 282 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang merugikan perempuan. Padahal Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui UU No 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Harusnya undang-undang negara terikat komitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi di negeri ini. Selain persoalan kekerasan, hal lain adalah pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas penyelesaiannya. Tragedi Trisakti, Semanggi I 13 November 1998, Semanggi II 24 September 2009, Tragedi Mei 1998, Tragedi Talangsari Lampung, Penculikan dan Penghilangan Orang Paksa 1997-1998, Tragedi Wasior Wamena, Konflik Aceh, Papua, Poso, dan Ambon, merupakan sederet 54 Human Trafficking in Vietnam, Diakses dari : http:www.humantrafficking.orgcountriesvietnam pada tanggal 20 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia yang belum menemukan ketuntasannya. Anak-anak korban 1965 misalnya, mereka mengalami berbagai stigma negatif dari masyarakat dan negara hingga kini. Mereka terus mencari keadilan yang sejati. 55 Indonesia melanjutkan kepemimpinan ASEAN dan pada bulan Mei terpilih menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia HAM PBB untuk periode ketigakalinya secara berturut-turut. Pemerintah memperkuat Komisi Kepolisian Nasional namun mekanisme akuntabilitas polisi tetap tidak memadai. Pasukan keamanan terus menerus menghadapi tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya serta penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan. Pihak berwenang Provinsi Aceh makin meningkatkan penggunaan hukum cambuk sebagai hukuman yudisial. Aktivitas politik damai terus dikriminalisasi di Papua dan Maluku. Kelompok keagamaan minoritas menderita diskriminasi, termasuk intimidasi dan serangan fisik. Hambatan hak seksual dan reproduksi terus mempengaruhi perempuan dan anak perempuan, terutama mereka yang dari komunitas miskin dan termarjinalkan, terhambat dalam menikmati secara penuh hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Banyak yang terus menerus diingkari dari pelayanan kesehatan reproduksi yang tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan tahun 2009, karena Menteri Kesehatan belum mengeluarkan peraturan yang diperlukan untuk mengimplementasikannya. Pemerintah gagal melawan perilaku diskriminatif dan praktik yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, termasuk mutilasi kelamin perempuan dan pernikahan dini. Pada bulan Juni, Menteri Kesehatan membela peraturan yang dikeluarkan pada November 2010 yang mengijinkan bentuk “sunat perempuan” yang didefinisikan secara khusus untuk dilaksanakan oleh dokter, perawat dan bidan. Peraturan tersebut melegitimasi praktik mutilasi kelamin perempuan yang tersebar luas. Hal ini melanggar sejumlah hukum Indonesia dan 55 Bulletin Perempuan Bergerak Edisi IV, Oktober-Desember 2012 Universitas Sumatera Utara bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk memperkuat keadilan gender dan melawan diskriminasi terhadap perempuan.Tingkat rasio kematian ibu di Indonesia tetap yang tertinggi di wilayah ini. Tidak ada laporan mengenai pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Pada bulan Juni, Presiden mengekspresikan dukungan terhadap Konvensi baru ILO No.189 tentang Pekerja Rumah Tangga. Namun, untuk dua tahun secara berturut-turut, Dewan Perwakilan Rakyat DPR gagal membahas dan menetapkan undang-undang untuk menyediakan perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga. Hal ini membuat sekitar 2.6 juta pekerja rumah tangga - mayoritas merupakan perempuan dan anak perempuan terus menghadapi risiko eksploitasi ekonomi dan kekerasan fisik, psikologis dan seksual. Buruh migran Indonesia yang mencapai 6 juta orang lebih, yang menyumbang devisa ke negara trilyunan rupiah per tahun, merupakan korban pelanggaran HAM yang tiada tuntas. Perlindungan negara yang minim, mengakibatkan mereka bak sapi perah. Banyak buruh migran Indonesia yang mengalami hukuman pancung dan sejenisnya di Malaysia dan Arab Saudi. Padahal pemerintah Indonesia sangat minim upayanya untuk membebaskan mereka dari peradilan sesat itu. Semua itu sia-sia karena diplomasi pemerintah Indonesia begitu lemah dan tak berwibawa di mata kedua negara. Di tingkat Indonesia sendiri, proses ketenagakerjaan buruh migran juga mengalami pelanggaran HAM dan hukum oleh pihak-pihak pengerah tenaga kerja, yang tak bertanggungjawab. Bahkan, penipuan di sana sini banyak dialami buruh migran justru di Indonesia. Ada ratusan ribu anak dan remaja perempuan Indonesia dipekerjakan sebagai buruh rumahtangga baik di Indonesia maupun di luar negeri. Banyak kasus kekerasan, perkosaan, dan lainnya mereka alami, yang dilakukan oleh para majikan mereka. Sementara UU Pekerja Rumah tangga masih mandek di parlemen. Tak banyak kemajuan diperoleh untuk hak-hak pekerja rumahtangga anak. Bahkan, sebaiknya dihapuskan atau dilarang penggunaan anak-anak sebagai pekerja rumah tangga. Universitas Sumatera Utara Untuk sisi isu perempuannya sendiri, dalam laporan pemerintah Indonesia ke Komite Cedaw di New York, Amerika Serikat, yang di sampaikan Menteri Perempuan, memperlihatkan masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Masalah partisipasi politik perempuan, kesehatan, KTP, dan lainnya dilaporkan sudah dibuatkan UU-nya, namun masalah implementasinya bagaimana?. Untuk UU kesehatan yang sudah disahkan, masih ada isu besar yang tak pernah diselesaikan persoalannya di tingkat implementasi. Hak-hak perempuan miskin dalam mengakses kesehatan yang standard dan murah tak berjalan sama sekali. Jamkesmas dan jamkeskin malah dipakai oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab dan dananya banyak dikorupsi aparat. Informasinya saja sangat tertutup sehingga hanya orang-orang tertentu yang tahu bahwa ada dana jamkesmas dan jamkeskin. Belum lagi proses pengurusannya yang berbelit- belit memakan waktu sehingga si sakit malah keburu meninggal dunia. Hal-hal semacam itu bertahun-tahun berjalan tanpa perbaikan sama sekali bahkan cenderung kacau. Hal lain masih di seputar isu kesehatan, misalnya hak aborsi. Isu ini sangat kontroversial di kalangan tokoh masyarakat dan agama sehingga praktik-praktik aborsi yang tak medis terjadi di mana-mana, yang diperkirakan mencapai angka 2 juta korban per tahunnya. Padahal hak-hak medis dan psikologis korban aborsi harus diberikan dan dijamin oleh negara. Banyak lagi isu krusial di dalam UU kesehatan ini yang dalam implementasinya bertahun-tahun tak pernah diperbaiki, bahkan dananya dikorup secara terang-terangan. Hak perempuan dalam pembangunan juga kerap diabaikan,dianggap suatu yang tak perlu. Hasilnya, puluhan tahun pembangunan berjalan di Indonesia di 33 provinsi, 350 kabupaten, 1500 kecamatan, dan 70000 desa, perempuan tak pernah tahu berapa ribu trilyun rupiah uang mereka sudah dipakai negara untuk hal-hal yang tak memajukan harkat dan martabat kehidupan kaum perempuan Indonesia itu sendiri. Anggaran dan pendapatan mulai tingkat RT sampai pusatnegara, tak pernah berpihak kepada perempuan. Tak ada informasi yang jelas kepada rakyat dari mana sumbernya, bagaimana dikelola, dan untuk apa dana tersebut? Tak ada Universitas Sumatera Utara transparansi anggaran dan akuntabilitasnya. Semuanya habis dikorup, sehingga perempuan dimiskinkan oleh pemerintah oleh negara. Akses perempuan miskin terhadap kredit usaha tidak mudah, karena harus melalui proses perbankan yang rumit dan mustahil mereka kerjakan, di samping agunan yang tak mereka miliki. Juga akses perempuan terhadap pangan, energi, dan lingkungan, masih sangat buruk. Begitu pun akses perempuan terhadap perempuan, hak tanah, dan layanan publik lainnya, juga masih jauh dari kebutuhan dasar mereka. Perbaikan UU perkawinan juga belum berhasil dilaksanakan, karena ada penolakan dari kalangan agama tertentu, padahal isinya sudah tidak kontekstual lagi, mengingat perubahan dinamis masyarakat terjadi sedemikian cepat. Perlu dibuat UU perkawinan yang tidak mendiskriminasi perempuan dan mempromosikan hak-hak mereka. Pendidikan untuk perempuan di Indonesia sesungguhnya belum menuntaskan persoalan mereka, karena diskriminasi dan pelanggaran hak-hak masih terjadi oleh pemerintah, masyarakat dan negara. Tingkat pendaftaran perempuan ke sekolah-sekolah bukan jaminan bahwa ruang pendidikan sudah terbuka lebar untuk mereka. Sisi lain pendidikan, seperti muatan kurikulum, proses belajar, dan arah pendidi¬kan masih bias gender sehingga tindak kekerasan dan pelecehan banyak terjadi. Penegakan Hak Asasi Perempuan merupakan bagian dari penegakan Hak Asasi Manusia. Bukan karena perempuan ingin diistimewakan, melainkan kenyataannya, fakta menunjukkan persoalan pelanggaran Hak Asasi perempuan semakin jauh dari kata “tuntas”. Empat isu krusial pemenuhan Hak Asasi Perempuan Indonesia yang disampaikan oleh Komnas Perempuan, yakni Pertama, kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama dalam bentuk perkosaan, pel¬ecehan seksual dan eksploitasi seksual. Hasil peman¬tauan Komnas Perempuan sejak tahun 1998 menun-jukkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak yang sangat khas bagi perempuan. Sebanyak 13 dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam berbagai konteks. Dari Catatan Tahunan sejak tahun 2000, yang dihimpun atas kerjasama dengan berbagai Universitas Sumatera Utara lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan di berbagai wilayah Indonesia, setiap hari ada 28 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Sistem hukum yang ada sampai saat ini belum memberikan akses keadilan bagi perempuan korban, antara lain, karena landasan hukum yang komprehensif belum tersedia, pengetahuan aparat penegak hukum dan publik tentang kekerasan seksual terbatas, serta tata cara pembuktian hukum yang justru membebani perempuan korban. Sistem dukungan yang tersedia bagi korban dalam masyarakat juga sangat terbatas, bahkan tak jarang justru menyalahkan korban. Kedua, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terkait politisasi identitas. Pada tahun 2012, Komnas Perempuan mencatat 282 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas merugikan perempuan. Angka ini meningkat menjadi 126 kebijakan, sejak pertama Komnas Perempuan menyampaikan persoalan ini secara resmi kepada pemerintah di daerah pada Maret 2009. Dari 282 kebijakan tersebut, 207 kebijakan yang ada sangat diskriminatif terhadap perempuan. Sejak Komnas Perempuan menyampaikan hal itu tak satu pun dari kebijakan itu yang dicabut atau diubah secara komprehensif, dengan memastikan pemenuhan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebaliknya, jumlah kebijakan yang diskriminatif malah terus bertambah dan turut menyuburkan sikap intoleransi dalam masyarakat. Ketiga, diskriminasi terhadap perempuan pekerja migran. Berdasarkan catatan tahun 2011 Komnas perempuan, Kementerian Luar Negeri mencatat hingga Desember 2011 jumlah WNIPekerja Migran Indonesia yang saat ini menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri berjumlah 210 orang. Terdiri atas 146 kasus di Malaysia, 45 kasus di Arab Saudi, 15 kasus di Cina, 2 kasus di Singapura, 1 kasus masing-masing di Iran dan Brunei Darussalam. Kementerian Luar Negeri juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2010 terdapat 4.532 kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja migran Indonesia, dengan angka tertinggi di Malaysia. Sementara Organization of Migration IOM mencatat sepanjang 2005-2012, terjadi kasus trafficking sebanyak 4.532 kasus, di mana 62,24 korban melalui PPTKISPJTKI resmi. Dan berdasarkan catatan Migran Care, sepanjang tahun 2011 sekitar 1.075 buruh migran Indonesia meninggal Universitas Sumatera Utara dunia di berbagai negara. Selain itu, sepanjang tahun 1999-2012 tercatat 417 buruh migran Indonesia menghadapi ancaman hukuman mati di berbagai negara dan 31 di antaranya telah dijatuhi vonis tetap hukuman mati. Keempat, penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai bagian tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Mengingat kekhasan persoalan kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana terefleksi dalam sejarah kelahiran Komnas Perempuan pasca kerusuhan Mei 1998, maka mekanisme penegakan hak yang khusus berfokus pada persoalan tersebut merupakan kebutuhan sekaligus keunikan Indonesia. Dalam perjalanan bangsa ini ada banyak pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan Indonesia, seperti perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan, eksploitasi tubuh perempuan dan lain sebagainya. Selain itu juga ada banyak pelanggaran HAM terhadap perempuan yang tidak diselesaikan oleh Negara seperti kasus 65 melalui pemusnahan organisasi perempuan seperti Gerwani. Bentuk Pelanggaran HAM yang terjadi pada masa itu adalah penculikan paksa, pemenjaraan atau pembuangan paksa tanpa pengadilan, perkosaan, penganiayaan dan berbagai bentuk kejahatan seksual lain seperti perbudakan seksual. Ketika negara gagal melindungi begitu banyak perempuan, maka pelanggaran itu terjadi. Termasuk ketika gagal melindungi perempuan etnis tionghoa dari kekerasan dan perkosaan pada kerusuhan 1998. Hampir sama secara umum, pemerintah tetap melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan. Pada saat konflik maupun pasca konflik, tetap terjadi kekerasan berbasis gender yang menjadikan perempuan sebagai korban. Seharusnya ada penanganan yang lebih khusus di wilayah konflik. Dan pendekatan yang berbasis budaya, dapat menjadi salah satu sarana bagi pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

D. KOMISI-KOMISI HAM di ASEAN 1. Pembentukan ASEAN Intergovernmental Commision on Human