Pembentukan Komisi Hak Perempuan dan Anak ASEAN Commission on Women and Children ACWC

Indonesia menetapkan Rafendi Djamin sebagai wakil Indonesia dalam Komisi HAM antarpemerintah ASEAN ASEAN Intergovernmental Commission on Human RightsAICHR. AICHR merupakan lembaga konsultasi antarpemerintah dan bagian integral dalam struktur Organisasi ASEAN. Komisi ini bertugas, diataranya : 1. Merumuskan upaya-upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Universal tentang HAM, Deklarasi Wina dan instrumen HAM lainnya. 2. AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. AICHR akan bekerjasama dengan badan-badan ASEAN lainnya yang terkait dengan HAM dalam rangka melakukan koordinasi dan sinergi di bidang HAM. Komposisi AICHR terdiri dari 10 orang yang masing-masing mewakili negara anggota ASEAN, dengan pertemuan rutin dua kali tiap tahun, dan pelaporan ditujukan kepada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN. Ketua AICHR saat ini dipegang oleh wakil dari Indonesia, Rafendi Djamin.

2. Pembentukan Komisi Hak Perempuan dan Anak ASEAN Commission on Women and Children ACWC

Selain AICHR, ASEAN juga memiliki komisi hak perempuan dan anak ACWC yang dibentuk berdasarkan Program Aksi Vientiane 2004. TOR ACWC disahkan dalam pertemuan Dewan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN pada 22 Oktober 2009, sehari sebelum peluncuran AICHR. Tiap negara diwakili oleh dua orang wakil, satu untuk hak-hak perempuan dan satu untuk hak-hak anak. Pembentukan ACWC bertujuan untuk mempromosikan kesejahteraan, pengembangan, pemberdayaan dan partisipasi perempuan dan anak dalam proses pembangunan Komunitas ASEAN yang berpengaruh pada merealisasikan tujuan Universitas Sumatera Utara ASEAN sebagaimana ditetapkan dalam Piagam ASEAN. Fungsi dasar ACWC adalah, antara lain, untuk mempromosikan pelaksanaan instrumen internasional, instrumen ASEAN dan instrumen lainnya yang terkait dengan hak-hak perempuan dan anak-anak dan mengembangkan kebijakan, program dan strategi inovatif untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak untuk melengkapi pembangunan Komunitas ASEAN. Hal ini juga akan meningkatkan kesadaran publik dan pendidikan hak-hak perempuan dan anak-anak di ASEAN. Setiap Negara Anggota ASEAN menunjuk dua wakil ke ACWC, satu perwakilan tentang hak-hak perempuan dan satu wakil pada hak-hak anak. Ketika menunjuk wakil-wakil mereka ke ACWC, negara-negara anggota harus mempertimbangkan mengenai kompetensi di bidang hak-hak perempuan dan anak-anak, integritas, dan kesetaraan gender. Di tingkat internasional, semua negara anggota ASEAN telah meratifikasi dan Negara-negara peserta dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan CEDAW dan Konvensi Hak- hak Anak CRC. Fungsi ACWC : 1. Sebagai pintu masuk untuk mekanisme hak asasi manusia yang lebih luas 2. Memperkuat respon regional terhadap isu-isu perempuan dan hak-hak anak 3. Sebagai platform untuk dialog regional internasional 4. Menengahi masalah muncul antara pelaporan dan pemantauan 5. Meningkatkan kemampuan negara-negara anggota ASEAN dalam menangani isu-isu spesifik perempuan dan anak 6. Membantu negara pihak dalam memenuhi standar internasional hak perempuan dan anak-anak 7. Mediasi kedua kebutuhan nasional dan internasional 8. Meningkatkan standar kepatuhan masing-masing negara anggota ASEAN Universitas Sumatera Utara 9. Penguatan kondisi yang lebih kondusif untuk pembentukan komisi Mandat ACWC 1. Mempromosikan pelaksanaan internasional, ASEAN atau instrumen lain yang terkait dengan hak-hak anak 2. Mengembangkan kebijakan, program dan strategi inovatif untuk promosi dan perlindungan hak-hak anak untuk mendukung pembentukan komunitas ASEAN 3. Mempromosikan kesadaran publik dan pendidikan tentang hak-hak anak di ASEAN 4. Melakukan advokasi atas nama anak-anak, khususnya kelompok rentan dan terpinggirkan dan mendorong negara-negara ASEAN untuk memperbaiki situasi 5. Mengembangkan kapasitas pemangku kepentingan di semua tingkat - administrasi, legislatif, yudikatif, masyarakat sipil, tokoh masyarakat, lembaga hak-hak anak, melalui bantuan teknis, pelatihan dan lokakarya, dalam mewujudkan hak-hak anak 6. Dengan permintaan negara-negara anggota ASEAN, membantu menyiapkan laporan berkala hak-hak anak seperti yang lain yang berkaitan dengan hak-hak anak 7. Dengan permintaan negara-negara anggota ASEAN, membantu pelaksanaan Konvensi Hak Anak dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan hak-hak anak lainnya 8. Mengusulkan dan mempromosikan langkah-langkah, mekanisme dan strategi pencegahan dan penghapusan segala bentuk pelanggaran hak anak, termasuk melindungi para korban 9. Mendorong negara-negara ASEAN untuk menerima dan meratifikasi instrumen internasional yang berkaitan dengan hak-hak anak Universitas Sumatera Utara 10. Mendukung keterlibatan anak-anak ASEAN dalam proses dialog dan konsultasi di lembaga ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak 11. Mendorong anggota ASEAN untuk mengumpulkan dan menganalisis data terpilah menurut jenis kelamin, usia, dan lainnya yang terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak 12. Mendorong penelitian dan studi tentang hak-hak anak 13. Negara-negara anggota ASEAN Mendorong melakukan review secara berkala terhadap undang-undang, peraturan, kebijakan dan praktek yang berkaitan dengan hak-hak anak 14. Memfasilitasi negara-negara anggota ASEAN untuk pertukaran pengalaman, termasuk isu-isu tematik yang menjadi perhatian terkait dengan hak-hak anak, baik melalui seminar bersama, pertukaran kunjungan dan lain-lain 15. Memberikan saran dan masukan kepada lembaga ASEAN by request 16. Melakukan tugas-tugas lain yang dilimpahkan oleh para pemimpin ASEAN dan menteri luar negeri Untuk semua tugas di atas dan mandat, ACWC dicatat, tidak hanya untuk badan- badan ASEAN yang relevan, negara-negara anggota, tetapi juga untuk masyarakat. Dialog, konsultasi atau laporan harus disiapkan dalam secara periodik. Prinsip dan Status 1. Non-intervensi lihat ASEAN Charter Pasal 2 e dan konsensus dalam pengambilan keputusan 2. Pertunjukan konstruktif, non-konfrontasi dan kooperatif pendekatan 3. Selalu menganggap Jalan ASEAN dan Nilai Asia, yang kadang-kadang membatasi promosi dan perlindungan HAM di tingkat regional Universitas Sumatera Utara 4. Menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia termasuk universalitas, indivisibilitas, saling bergantung semua kebebasan fundamental dan hak- hak perempuan dan anak-anak 5. Mendukung negara-negara anggota ASEAN dalam mengimplementasikan hak-hak perempuan dan anak-anak 6. Bekerja dengan pemerintah, lembaga ASEAN, badan-badan PBB dan organisasi masyarakat sipil 7. Organisasi antar pemerintah, badan konsultatif dan menjadi bagian integral dari struktur ASEAN Isu Tematik dalam Rencana Kerja 1. Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak 2. Hak anak untuk berpartisipasi dalam semua hak yang mempengaruhi kehidupan mereka 3. Kerjasama dalam penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak 4. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, pengambilan keputusan, pemerintahan dan demokrasi 5. Promosi dan Perlindungan hak-hak perempuan dan anak-anak penyandang cacat 6. Dukungan untuk pelaksanaan sistem perlindungan anak 7. Promosi hak atas pendidikan anak usia dini dan mutu pendidikan 8. Promosi pelaksanaan instrumen internasional, instrumen ASEAN atau lainnya yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan anak-anak 9. Membela kesetaraan gender dalam pendidikan 10. Dukungan untuk upaya penghapusan perempuan dan anak-anak yang terkena dampak HIV dan AIDS; 11. Mengatasi dampak sosial dari perubahan iklim yang dialami oleh perempuan dan anak Universitas Sumatera Utara 12. Promosi pada upaya penguatan hak-hak ekonomi perempuan dalam kaitannya dengan feminisasi kemiskinan, hak-hak perempuan atas tanah dan kepemilikan. Dengan dibentuknya lembaga-lembaga perlindungan HAM di ASEAN yaitu AICHR dan ACWC, bahwa negara-negara ASEAN sudah mengakui dan menyadari akan pentingnya perlindungan HAM bagi bangsanya khususnya negara-negara anggota ASEAN. Dan dengan terbentuknya lembaga-lembaga tersebut, ASEAN sudah melangkah maju untuk pemajuan perlindungan HAM di ASEAN. 58 58 ASEAN Athem, Diakses dari : http:www.aseansec.org24447.htmArticle-2 pada tanggal 21 April 2013 Universitas Sumatera Utara BAB III IMPLEMENTASI DEKLARASI HAM ASEAN DAN TANTANGAN DALAM PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DAN ANAK DI ASEAN KHUSUSNYA INDONESIA 59 Keterbatasan sumber-sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat ini menjadi latar belakang munculnya organisasi yang disebut dengan negara dan pemerintah yang diberi mandat untuk melaksanakan apa yang menjadi keinginan para warga. Pada mulanya negara bersifat sangat sederhana, pemerintahan negara berjalan secara demokratis langsung, dimana para warga negara ikut secara langsung menentukan dan menyelenggarakan kebijakan negara. Sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk hidup untuk menginginkan sesuatu yang lebih baik. Hal ini sudah merupakan dimensi biologis dan psikologis manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya di dunia. Kebutuhan-kebutuhan hidup itu tentu saja harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, dengan menggunakan cara-cara dan upaya tertentu. Semakin lama manusia hidup di dunia, semakin banyak pula tuntutan-tuntutan akan pemenuhan kebutuhan tersebut ini tidak selamanya dapat diperoleh dengan mudah dari alam semesta ini. Semakin banyak manusia yang membutuhkannya semakin terbatas pula sumber-sumber pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Keterbatasan bagaimana sumber-sumber ini terdistribusi bagi semua manusia menjadi bagian dinamika dari proses sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan karena negara saat ini hanya merupakan sebatas satu kota dengan jumlah warganya yang sedikit saja, kepentingan rakyat pun belum banyak dan rumit seperti sekarang. Situasi dan kondisi seperti inilah yang 59 Tangkilisan, Hesel Nogi S, Kebijakan Publik yang Membumi , Lukman Offset : Yogyakarta, 2003 hlm 13-18 Universitas Sumatera Utara banyak ditulis filosof kenegaraan seperti Plato. Buku Plato yang paling dikenal berjudul “Politea” yang berarti “Negara”. Bagi Plato dalam Suhelmi, 2001 negara adalah keinginan kerja sama antar manusia dalam rangka memenuhi kepentingan bersama. Karena kesederhanaannya inilah kemudian kesatuan orang- orang yang ada dalam suatu negara ini disebut masyarakat, dan hanya masyarakat itulah orang-orangnya negara pada waktu itu. Namun demikian dalam kelompok masyarakat itu bagaimanapun kecilnya, ada kelompok yang inti menjadi elit pemerintahan yang memerintah di satu pihak, sedangkan kelompok yang lain banyak jumlahnya adalah masyarakat biasa yang diperintah. Ini disebabkan karena kesibukan sehari-hari para warga yang paling sederhana sekalipun tidak seluruhnya berkecimpung dalam bidang pengaturan serta pengurusan kenegaraan. Kondisi demikian membutuhkan perangkat tertentu untuk menjamin kelangsungan hidup negara. Inilah yang mendasari keberadaan organisasi pemerintah dalam suatu negara untuk melaksanakan kebijakan negara dan mengeluarkan peraturan dan hukum. Sebagai makhluk sosial-politik manusia tak bisa hidup sendirian. Manusia memerlukan orang lain agar bisa hidup dan berkembang sebagai manusia. Hidupnya hanya mungkin terlaksana dalam interaksi yang kompleks dengan berbagai aspek sosial. Termasuk disini adalah interaksinya dengan masyarakat sebagai keseluruhan atau dengan suatu negara yang ditata berdasarkan sistem kekuasaan tertentu. Dalam konteks in, manusia mau tidak mau harus berinteraksi dengan kekuasaan yang menentukan gerak hidup masyarakat sebagai suatu kesatuan. Kekuasaan itu diperlukan untuk memadukan berbagai potensi dan kekuatan realriil sosial demi tercapainya cita-cita bersama. Dalam rangka itu, kekuasaan merupakan sarana untuk membereskan berbagai permasalahan yang terjadi dalam hubungan antar pribadi, antar kelompok atau antar warga negara dengan negara berdasarkan hukum yang adil dan pasti. Jadi, sebagai makhluk sosial-politik , Universitas Sumatera Utara manusia membutuhkan masyarakat atau negara yang ditata berdasarkan sistem kekuasaan tertentu. Masyarakat yang berkelompok dalam negara-bangsa dan jenis unit politik lain mempunyai kebutuhan dan tujuan, yang sebagian besar dapat diprnuhi dan dicapai dengan mempengaruhi perilaku negara lain. 60 Negara adalah suatu institusi politik yang mengatur konflik dan mengalokasikan berbagai sumber daya di kalangan penduduk dari suatu negara. Negara sering disamakan dengan pemerintah , tetapi kedua kata ini mempunyai arti yang berbeda. Negara adalah suatu entintas yang abstrak, kombinasi dari lembaga-lembaga, seperti lembaga kepresidenan, kongres, Mahkamah Agung MA. Sedangkan Pemerintah terdiri dari individu-individu tertentu yang menjalankan urusan-urusan negara, seperti presiden , ketua MA dan lain-lain. Dalam suatu negara, pasti terjadi regenerasi atau pergantian kekuasaan, tetapi negara sebagai suatu entitas tetap ada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, negara mempunyai dua pengertian. Pertama , negara diartikan sebagai organisasi di suatu wilayah yang mempuyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, negara diartikan sebagai kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dibawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif , yang mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis dimana masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis itu ditata dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Pulau-pulau di nusantara menjadi suatu negara yang disebut Indonesia, karena adanya lembaga pusat yang menjamin kesatuan politisnya. Negara dapat melakukan tugasnya untuk meregulasi, mengatasi konflik, dan mengalokasikan berbagai sumber daya hanya karena ia memiliki sesuatu kekuasaan yang besar. Di sejumlah negara, pemerintah juga 60 Holsti, K.J, Politik internasional, Kerangka untuk Analisi, Penerbit Erlangga: Jakarta 1988 hlm 136 Universitas Sumatera Utara memiliki kekuasaan untuk mengintruksikan penduduk apa yang mereka harus lakukan dan bahkan Tuhan atau Dewa apa yang dapat mereka sembah. Pemerintah memungut pajak dari penduduk dan menggunakannya untuk mendidik anak-anak mereka atau untuk menyingkirkan suatu pemerintah asing atau melakukan banyak hal lainnya. Max Weber 1958 mengatakan , negara modern dibedakan dari lembaga-lembaga yang lain oleh kekuasaannya untuk memonopoli penggunaan kekuatan fisik. Selain memiliki wilayah, penduduk, dan kebebasan politik dari negara-negara lain, suatu negara juga harus memiliki suatu pemerintah. Tanpa pemerintah negara tak dapat ada, karena pemerintahlah yang menjalankan kekuasaan dan fungsi-fungsi negara. Sehingga negara menjadi suatu realitas politik. Kendati menyiratkan keberadaan orang-orang tertentu orang-orang yang memerintah dan yang diperintah, istilah pemerintah itu tidak terdiri dari orang- orang belaka. Pemerintah lebih merupakan suatu lembaga, yang mengatur hubungan antar manusia. Sebagai lembaga ,ia dapat dibandingkan dengan keluarga , sekolah, organisasi industrial. Perbedaannya dengan lembaga-lembaga yang lain itu menyangkut jumlah orang terlibat di dalam pelaksanaan fungsinya dan jangkauan otoritas untuk mengatur semua lembaga yang lain. Seperti halnya lembaga-lembaga lain, pemerintah mendasarkan keberadaannya pada kemampuannya untuk memuaskan berbagai kebutuhan manusia yang penting. Karena itu pemerintah berkonsentrasi dengan perlindungan hidup dan hak-hak milik semua orang yang ada dalam komunitas yang bersangkutan, perlindungan dari musuh-musuh asing atau pertahanan nasional, mempromosikan kebaikan bersama atau mengupayakan kesejahteraaan bersama, mencegah terjadinya konflik horizontal, baik antar individu, kelompok maupun etnik. Dalam negara modern, kebijakan publik berangkat dari pengaturan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Masyarakat yang Universitas Sumatera Utara dikonotasikan sebagai publik membutuhkan suatu keputusan atau kebijakan publik untuk mengatur dan memaksa semua kepentingan masyarakat yang ada di masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa timbulnya kebijakan publik disebabkan karena adanya gejala yang muncul atau dirasakan di dalam masyarakat. Jadi kebijakan tidak hanya bertumpu pada keadaan-keadaan organisasi saja yang besifat entrophi akan tetapi lebih dinamis oleh karena bersumber dari kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan itu di satu pihak kebijakan publik menekankan pada keinginan rakyat banyak yang hidup dalam masyarakat luas suatu publik, dan tidak hanya berdasarkan pada kemauan elit yang berkuasa. Sedangkan di pihak lain bentuk organisasi tidak menekankan pada mekanisme sistem entropi dan memerlukan proses pengembangan dan pembinaan organisasi yang terus menerus. Sistem birokrasi yang hanya menekankan pada formalitas saja tanpa mengindahkan dan menghargai unsur manusia yang secara utuh akan mengakibatkan kebijakan publik tidak tepat sasaran. Oleh karena itu para ahli berpendapat bahwa hal yang paling esensial dalam kebijakan publik adalah usaha untuk melaksanakan kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah diputuskan kebijakan tersebut tidak akan berhasil dan terwujud bilamana tidak dilaksanakan. Pejabat politik harus memikirkan bagaimana memilih dan membuat kebijakan yang memang bisa dilaksanakan. Usaha untuk melaksanakan kebijakan tentunya membutuhkan suatu keahlian dan keterampilan serta menguasai persoalan yang hendak dikerjakan. Dalam hal ini kedudukan birokrasi menempati posisi yang strategis karena birokrasilah yang berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi senantiasa dituntut untuk mempunyai keahlian dan keterampilan yang tinggi. Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah Universitas Sumatera Utara dirumuskan akan sia-sia belaka. Oleh karena itu implementasi kebijakan mempunyai kedudukan penting di dalam kebijakan publik. Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood 1980, hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalamkeputusan-keputusan yang bersifat khusus. Pressman dan Wildavsky 1984 mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya. Jones 1977 menganalisis masalah pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional. Jones 1977 mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi, juga membahas aktor-aktor yang terlibat dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi kebijakan mengatur kegiatan- kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. 61 Kebijakan publik merupakan”whatever governments choose to do or not to do segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah, yang dikerjakan ataupun yang tidak dikerjakan” Dye, 1981. Selanjutnya Dye menyatakan apabila pemerintah memilih untuk melakukan kebijakan publik, maka harus mengutamakan goal objektifnya dan merupakan tindakan keseluruhan bukan hanya perwujudan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Sementara evaluasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan. Pada umumnya evaluasi kebijkan dilakukan setelah kebijakan publik tersebut diimplementasikan. 61 Tangkilisan, Hesel Nogi S, Kebijakan Publik yang Membumi , Lukman Offset : Yogyakarta, 2003 hlm 18 Universitas Sumatera Utara Ini tentunya dalam rangka menguji tingkat kegagalan dan keberhasilan, keefektifan dan keefesienannya. Badjuri dan Yuwono 2002 mengemukakan bahwa tahapan yang cukup penting dan sering terlupakan efektivitasnya dalam konteks kebijakan publik Indonesia adalah evaluasi kebijakan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar kebijakan publik di Indonesia secara formal telah dilakukan evaluasi dengan baik. Namun demikian substansi kebijakan tersebut ternyata tidak tercapai secara efektif, bahkan sebagian lagi mengalami kegagalan. Kegagalan pemberantasan KKN korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia misalnya merupakan bukti “keberhasilan formalitas” kebijakan diikuti dengan bukti kegagalan substansi pencapaian tujuan sebuah kebijakan. Akibatnya banyak kasus distorsi dan penyelewengan kebijakan yang terjadi sukar diungkap karena kesempurnaan “formalitas” ini. Oleh karenanya penting melakukan evaluasi kebijakan, khususnya dalam rangka penanaman urgensi pencapaian tujuan substansial dari sebuah kebijakan, dan bukan formalitas semu semata. Jones 1977 mengemukakan bahwa evaluasi suatu kebijakan publik berarti dilakukan peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan. Pertanyaan mendasar yang muncul pada proses dilakukannya evaluasi kebijakan, yaitu ; apakah akibat-akibat dari suatu program, apakah akibat-akibat itu memang diinginkan, bagaimana hasilnya, bagaimana respons yang muncul dari berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat; bagaimana lokasi dan kondisi di lapangan bagaimana dukungan peraturan- perundangannya dan terakhir bagaimana sikap dari kelompok-kelompok yang ada. Situasi problematik yang muncul adalah bagaimana kondisi suatu masyarakat mempengaruhi kinerja kebijakan, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja kebijakan, bagaimana organisasi birokrasi berperan , bagaimana fungsi dan para elit lokal dalam proses implementasi kebijakan? Untuk Universitas Sumatera Utara itu Ripley 1975 mengemukakan bahwa evaluasi yang dilakukan terhadap proses implementasinya, kemudian bagaimana kepatuhan dari kelompok-kelompok ketika proses implementasi berlangsung dan terakhir bagaimana prospek ke depan dari dampak kebijakan tersebut. Pada hakekatnya suatu kebijakan publik mempunyai maksud untuk mencapai suatu tujuan, 62 Dalam konteks ini, perlindungan hak asasi anak dan perempuan di Indonesia menarik untuk diperhatikan. Sejumlah masalah pelanggaran hak asasi anak dan perempuan yang telah disebutkan sebelumnya tentu bukan tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah Indonesia. Banyak hal yang sudah dilakukan baik itu kebijakan, upaya konkrit yang sudah di implementasikan, berbagai regulasi dan legislasi, perencanaan dan penganggaran serta pembentukan kelembagaan yang bisa mengatasi masalah anak secara lebih sistematis. karena oleh karena itu evaluasi kebijakan pada dasarnya harus dapat memperjelas seberapa jauh kebijakan dan implementasinya telah dapat mendekati tujuan Bryant dan White 1989. Sementara pada kenyataannya program maupun kebijakan seringkali merumuskan tujuan secara luas dan umum , sehingga akan menyulitkan pembuatan indikator yang tepat untuk mengukur tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. Perlindungan terhadap hak asasi anak dan perempuan 63 memiliki sejarah yang cukup panjang. Perlindungan hask asasi anak dan perempuan dimulai 64 62 Tangkilisan, Hesel Nogi S, Kebijakan Publik yang Membumi , Lukman Offset : Yogyakarta, 2003 hlm 25- 26 dari tahun 1923 ketika seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne Jeb berasal dari Inggris yang mendirikan sebuah organisasi bernama Save The Children pada tahun 1919. Organisasi ini muncul dilatarbelakangi banyaknya korban terutama anak-anak pada saat terjadinya perang dunia pertama. 63 Nancy E, McGlen, Women, Politics, and American society, Prentice-Hall, inc, New Jersey 1995 64 Dewana k Soe “ Sejarah Hak Anak” diakses dari : http:dewananaksoe.wordpress.com20090116sejarah- hak-anak pada tanggal 13 Januari 2014. Universitas Sumatera Utara Save the Children pada waktu itu dikenal sebagai badan bantuan yang sangat efektif , mampu menyediakan makanan, pakaian dan uang dengan cepat dan murah . Sebagai contoh, selama 1921 kelaparan di Rusia, organisasi ini dapat untuk mendistribusikan bantuan makanan untuk 650.000 orang. Save the Children adalah non - politik dan non - sektarian, dan memiliki filosofi kerjasama internasional tetapi merupakan organisasi yang mempengaruhi politik internasional dimana organisasi Save The Children tidak hanya membantu korban di Inggris tetapi juga membantu para korban di Afrika dan Asia. Eglantyne Jebb ingin membuat hak-hak dan kesejahteraan anak-anak menjadi perhatian utama dunia internasional. Eglantyne Jebb mendeklarasikan 10 pernyataan hak – hak anak yaitu hak akan nama dan kewarganegaraan, hak kebangsaan, hak persamaan dan non diskriminasi, hak perlindungan, hak pendidikan, hak bermain, hak rekreasi, hak akan makanan, hak kesehatan dan hak berpartisipasi dalam pembangunan. Deklarasi ini diadopsi dan disahkan oleh Majelis Umum Liga Bangsa – Bangsa yang kemudian berkembang menjadi PBB. Pada tahun 1959, PBB kembali mengadopsi hak anak untuk kedua kalinya. Setelah melihat perkembangan Hak Asasi Manusia yang mulai diperhatikan oleh banyak orang, kemudian dibentuklah satu komite untuk merumuskan Konvensi Hak Anak KHA pada tahun 1979. Tahun dibentuknya Konvensi Hak Anak ini kemudian juga dijadikan sebagai tahun anak internasional. Konvensi Hak Anak memiliki beberapa prinsip – prinsip pokok, yaitu berupa non-diskriminasi yang merupakan prinsip universalitas HAM, kepentingan terbaik bagi anak, dan partisipasi anak, serta hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan prinsip indivisibilitas HAM. Universitas Sumatera Utara 65 Pada tahun yang sama, Indonesia meratifikasi KHA melalui Kepres No. 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990. KHA mulai berkembang dan semakin banyak negara yang turut mendukung adanya KHA, sehingga pada tanggal 2 September 1990 KHA disepakati sebagai hukum internasional. Oleh karena itu, pada tahun 1999, Indonesia mengeluarkan UU No.30 tahun 1990 yang mengatur tentang HAM. Peraturan tersebut didukung dengan dikeluarkannya UUPA Undang – Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 yang terdiri dari 14 Bab dan 93 Pasal. Pada tahun 1984 perlindungan terhadap perempuan mulai berkembang melalui Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Convention on the Elimination of All Forms Against WomenCEDAW diratifikasi Indonesia menjadi UU RI No. 7 Tahun 1984 . Kemudian pada tahun 1989, KHA diadopsi oleh majelis umum PBB dan pada tanggal 20 November 1989 dimana KHA berisi 54 pasal. Sebagai anggota PBB, Indonesia turut mendukung dengan disusunnya KHA, untuk itu Indonesia ikut serta menandatangani KHA pada tahun 1990 di markas besar PBB di New York. KHA menjadi sesuatu yang begitu vital. KHA memfokuskan kerjanya pada HAM anak, membantu anak – anak yang terlantar dan kurang mendapatkan perhatian. Perhatian pemerintah tidak hanya berfokus kepada anak-anak tetapi juga perlindungan terhadap perempuan yaitu pada tahun1998 Komisi nasional Perempuan didirikan tanggal 15 Oktober 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 1811998. UU No.39. Pada Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.138 mengenai Batas Usia Minimum Anak diperbolehkan bekerja, serta UU. No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pada tahun 2004 disusun Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada tahun 2007 dibentuk Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 65 Subadio Ulfa Maria, T.O Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Bunga Rampai, Gajah Mada University Press : Yogyakarta 1994 Universitas Sumatera Utara UU No.11 tahun 2012 mengatur tentang Sistem Peradilan Anak di Indonesia yang ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 30 Juli 2012 yang berisi 108 pasal. Sistem peradilan Pidana Anak adalah prose penyelesian perkara anak yang berhadapan dengan hukum , mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pada tahun 2012, ASEAN Human Rights Declaration AHRD yang telah disahkan pada KTT ke-21 di Phnom Penh, November 2012

A. Implementasi Kebijakan terhadap Perlindungan Anak dan Perempuan