BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Industri kecil dalam perekonomian suatu negara memiliki peran dan perkembangan yang sangat penting karena memiliki nilai strategi dalam memperkokoh perekonomian
nasional ekonomi rakyat, maka selayaknya pemerintah memberikan perhatian yang layak untuk memberdayakannya, yaitu dipandang sebagai suatu kelompok unit usaha yang
seharusnya terintegrasi dalam dunia usaha secara nasional yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidup dan daya saing. Tambunan dalam Ahimsa-Putra, 2003:254 mengemukakan,
bahwa kontribusi langsung industri kecil kepada pembangunan ekonomi antara lain penciptaan lapangan kerja untuk memproduksi barang-barang.
Industri merupakan aktivitas manusia untuk mengelola sumber daya-sumber daya resources baik Sumber Daya Manusia SDM, maupun Sumber Daya Alam SDA di
bidang produksi dan jasa dasar, seperti makanan, pakaian, bahan bangunan, peralatan rumah tangga dan sebagainya. Ini dapat dilihat pada keadaan krisis moneter yang terjadi pada tahun
1997 sampai 1998 di Indonesia bahwa IKM Industri Kecil Menengah dan UKM Usaha Kecil Menengah merupakan sabuk pengaman bagi perekonomian nasional. Dalam keadaan
krisis tersebut banyak industri dan usaha besar yang gulung tikar, namun IKM dan UKM yang mampu menjadi penopang perekonomian nasional. Industri kecil juga memberikan
manfaat sosial yang sangat berarti yaitu dapat menciptakan peluang berusaha yang luas dengan pembiayaan yang relatif murah, mengambil peranan dalam peningkatan dan
mobilisasi tabungan domestik serta industri kecil mempunyai kedudukan yang komplementer terhadap industri besar dan sedang.
Pembinaan industri kecil telah dimulai sejak Pelita I dalam Saleh, 1986:11-13 yakni melalui proyek pembinaan kerajinan rakyat Probinkra. Selanjutnya, pada awal Pelita II
Universitas Sumatera Utara
Probinka digantikan dengan proyek bimbingan dan pengembangan industri kecil BIPIK, dengan program utamanya berupa diklat dan penyuluhan yang umumnya bersifat insidental.
Oleh karena kegiatan ini belum mampu menciptakan proses pengembangan yang kondusif dan berkesinambungan, maka sejak akhir Pelita II mulai dikembangkan sarana-sarana
pembinaan yang tetap. Dalam Pelita III dilakukan upaya meningkatkan investasi dan kegiatan golongan ekonomi lemah. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan pembinaan industri
kecil dalam Pelita IV. Pembinaan diarahkan pada penciptaan iklim usaha, peningkatan kerjasama, peningkatan bantuan, peningkatan sarana pelayanan lapangan, pengembangan
pusat-pusat pertumbuhan industri kecil, dan peningkatan perangkat pelaksana. Dan dalam Pelita V kebijaksanaan pengembangan industri kecil meliputi antara lain: 1 pengembangan
industri rumah tangga dan kerajinan di daerah-daerah yang belum berkembang, maupun didaerah pemukiman transmigrasi; 2 peningkatan pertumbuhan industri kecil pada aspek
kemampuan dan kemandirian usaha; 3 pelibatan berbagai instansi seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil,
Departemen Sosial, dan Departemen Dalam Negeri dalam Pembinaan industri kecil tersebut. Menurut Bank Indonesia No. 261UKK tanggal 29 Mei 1993 Hubeis, Musa, 2009
hal 11. industri kecil adalah usaha yang memiliki total asset maksimum Rp. 600 juta tidak termasuk tanah rumah yang ditempati. Pengertian usaha ini meliputi usaha perorangan, badan
usaha swasta dan koperasi, sepanjang asset yang dimiliki tidak melebihi nilai Rp. 600 juta. Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1995 pasal 14 tentang industri kecil merumuskan bahwa
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melakukan pembinaan serta pengembangan industri kecil dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, SDM, ketenagakerjaan atau
kewirausahaan, teknologi dan pelayanan. Industri kecil dapat mengurangi tingkat pengangguran dengan pembukaan lapangan kerja baru, meningkatkan penghasilan individu,
membentuk dan menguatkan jaringan sosial, budaya dan ekonomi lokal, sebagai alat
Universitas Sumatera Utara
mempercepat siklus financial suatu komunitas masyarakat, memperpendek rentang kesenjangan sosial yang tercipta, sekaligus mengurangi dampak kriminalitas yang
ditimbulkannya, dan sebagai alat penganekaragaman sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Menurut Ina Primania 2009:35 dalam proses pengembangan industri kecil
mencakup tiga aspek, yaitu: 1.
pendanaan 2.
pembinaan dan pengembangan potensi 3.
dan manajerial Undang-undang No.5 tahun 1984 tentang perindustrian pasal 1 juga menyatakan
industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, danatau jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya,
termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: 1 industri rumah tangga dengan pekerja 1
sampai 4 orang; 2 industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; 3 industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; 4 industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.
Menurut hasil studi Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dalam Anoraga, 2002: 225, menunjukkan bahwa di Indonesia kriteria atau ciri-ciri industri
kecil itu sangat berbeda-beda, tergantung pada fokus permasalahan yang dituju dan instansi yang berkaitan dengan sektor ini. Ciri-ciri dari industri kecil adalah usaha dimiliki secara
bebas, terkadang tidak berbadan hukum, skala usaha yang kecil baik modal, tenaga kerja, maupun potensi pasarnya; berlokasi di pedesaan dan kota-kota kecil atau pinggiran kota
besar, modal bergantung pada modal sendiri dan kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta
memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia hasil survei yang dilakukan oleh Ahimsa dalam Ahimsa-Putra, 2003:254 tentang usaha-usaha kecil menunjukkan bahwa setengah dari usaha-usaha kecil ini
bermula dari usaha industri rumah tangga. Selanjutnya dikatakan pula bahwa produk-produk industri kecil tersebut berasal dari kerajinan yang berkembang terbatas pada keterampilan dan
keahlian lokal, serta menggunakan bahan lokal. Kabupaten Asahan merupakan kabupaten yang mempunyai sektor unggulan dalam bidang pertanian dan industri. Berdasarkan data
Asahan Dalam Angka pada tahun 2013, sektor pertanian merupakan kontributor utama pada PDRB Kabupaten Asahan sebesar 38.75, kemudian disusul oleh sektor industri sebesar
32,36 dan sektor-sektor lainnya hanya memberikan kontribusi sebesar 17,76. Pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Asahan mencapai 5,89 pertumbuhan terbesar
terjadi pada sektor industri yaitu 9,74 sedangkan pada sektor pertanian hanya 2,64. Perusahaan besar di Asahan pada tahun 2007 berjumlah 20 unit, industri sedang berjumlah
111 unit dan jumlah industri kecil dan industri rumah tangga berjumlah 650 unit. Jenis indutri kecil dan rumah tangga di Kabupaten Asahan cukup banyak yaitu 650 unit, diantaranya yaitu
industri Sepatu Bunut, industri pengolahan daging, industri pengasinan ikan, industri pengasinan buah, industri rotikue basahkering, industri gula aren, industri tahutempe,
industri makanan ringan, industri kerupuk, industri batu batakeramik, industri sulaman dan industri sabut kelapa.
Kabupaten Asahan juga memiliki sejumlah produk unggulan yang dihasilkan dari industri kecil dan kerajinan rumah tangga. Beberapa bidang usaha yang berkembang antara
lain adalah pengolahan meubel kayu batang kelapa, pembuatan pupuk kompos, pengolahan sabuk kelapa, kerajinan kulit sepatu Bunut, anyaman pandan, sapu lidi hias, makanan ringan
dodol, keripik, dan lain-lain www.pemkab-asahan.go.id. Pengrajin sepatu Bunut yang terletak di Kelurahan Bunut Kecamatan Kisaran merupakan salah satu industri kecil tempat
pengrajin dan penjual sepatu yang ada di Kabupaten Asahan. Pada awalnya industri ini hanya
Universitas Sumatera Utara
didirikan oleh tiga rumah tangga yang ada di kelurahan Bunut, namun sekarang industri sepatu ini diproduksi oleh 14 toko sepatu. Toko sepatu Bunut ini terletak berjajar di
sepanjang jalan lintas Sumatera sehingga tempat ini terbilang cukup strategis di tambah lagi industri sepatu Bunut ini juga sudah berdiri cukup lama sehingga menjadi salah satu daya
tarik masyarakat untuk menjadi oleh-oleh khas kabupaten Asahan. Jarak tempuh antara kelurahan Bunut dengan pusat kota tidak cukup jauh yaitu hanya sekitar 8 km. Menurut
sejarahnya, sepatu Bunut pada awalnya diproduksi oleh perusahaan perkebunan karet milik pengusaha Amerika yang bernama Colehan. Modal dan bahan-bahan baku untuk membuat
sepatu ini di datangkan langsung dari Amerika. Produk sepatu ini pun ditujukan hanya untuk kalangan terbatas, yaitu untuk staf perkebunan dan para tamu istimewa sehingga apabila ada
orang selain staf perkebunan dan para tamu istimewa memakai sepatu tersebut maka orang tersebut akan ditangkap. Sepatu Bunut sampai terkenal keluar negeri tepatnya, setelah tamu
perkebunan sering membawa sepatu Bunut ke Negara asalnya sebagai oleh-oleh dan pada akhirnya, nama kelurahan Bunut ini pun mulai dikenal di mancanegara.
Pada tahun 80-an Abdul Rizal Bakrie membeli pabrik tersebut dengan tujuan agar sepatu Bunut tersebut dapat dipasarkan kedalam negeri. Ketika produksi dibuat dan sepatu mulai
dipasarkan kedalam negeri ternyata hasilnya kurang memuaskan karena promosi yang di lakukan kurang menarik minat konsumen sehingga konsumen tidak begitu suka dan tidak
begitu tertarik dengan sepatu Bunut ini dan juga karena adanya persaingan dari sepatu di Jawa. Akhirnya Bakrie pun mulai memasarkan sepatu Bunut ini kembali lagi ke AS namun
ternyata pihak AS menolak karena bahan bakunya tidak berasal dari Amerika dan pihak AS pun tidak mau menjalin hubungan kerjasama dengan Bakrie sehingga kerugian pun terjadi.
tidak mau menjalin hubungan kerjasama dengan Bakrie sehingga kerugian pun terjadi. Akibat dari kerugian tersebut terjadilah penurunan gaji karyawan dan pemberhentian karyawan yang
menyebabkan banyak pengangguran dan tidak memiliki penghasilan yang dikarenakan
Universitas Sumatera Utara
penurunan jumlah produksi sepatu sehingga akhirnya Bakrie pun memberhentikan para karyawannya.
Setelah beberapa tahun pabrik sepatu ditutup para pekerja yang menjadi pengangguran mulai mengembangkan keterampilan yang mereka dapat selama bekerja di pabrik. Dengan
berbekalkan keterampilan dari pabrik sepatu tempat bekerja dulu dan dengan didorong oleh tekad yang kuat, para pengrajin tersebut memberanikan diri membuka usaha pembuatan
sepatu secara kecil-kecilan di rumah masing-masing dengan bantuan anggota keluarga dan dengan modal sendiri yang bersumber pada tabungan pribadi, pinjaman dari bank, dan
pinjaman dari kerabat atau tetangga. Tidak butuh waktu lama bagi para pengrajin sepatu untuk membuat masyarakat tertarik untuk membeli sepatu buatan mereka, hal ini dikarenakan
sepatu Bunut dulunya memang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Ternyata sepatu yang diproduksi secara rumahan ini cukup laku di masyarakat sehingga para pengrajin
membutuhkan tenaga kerja tambahan dan mulai merekrut pekerja dari warga sekitar yang tinggal di daerah kelurahan Bunut.
Pada akhirnya, keterampilan membuat sepatu secara rumahan ini pun diwariskan secara turun temurun kepada anak-anaknya sehingga kini telah menjadi bagian dari karya
industri khas dari Asahan. Jika dulu sepatu Bunut diproduksi oleh perusahaan perkebunan karet, sekarang sepatu Bunut ini telah diproduksi oleh warga kelurahan Bunut itu sendiri.
Kualitas sepatu Bunut sangat baik dan tahan lama ditambah lagi model sepatunya tidak kalah dengan sepatu merk terkenal lainnya sehingga sepatu Bunut sangat terkenal di berbagai
daerah mulai dari dalam negeri seperti Jawa, Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Jambi dan Kalimantan hingga di luar negeri seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan sebagainya. Harga
sepatu ini berkisar antara Rp 150 ribu hingga jutaan rupiah, sehingga tidak aneh bila para pengrajin merasakan keuntungan dari industri tersebut. http:ads.liputan6.comwww
deliveryck.php?n =2f9d9d7.
Universitas Sumatera Utara
Alat-alat dalam proses pembuatan sepatu ini masih menggunakan teknologi yang sederhana yaitu terdiri dari alat seset, mesin pres sepatu dan mesin jahit sepatu. Cara untuk
membuat sepatu Bunut tersebut yang pertama adalah memilih bahan baku kulit untuk sepatu lalu membuat pola sepatu diatas bahan baku kulit sesuai dengan desain sepatu. Kedua, setelah
pola selesai, pola tersebut dipotong dan kulit yang sudah dipotong masuk kedalam proses seset. Ketiga, masuk dalam tahap penyetelan sepatu dan dalam proses pembuatan upper
potongan kulit atas. Keempat, proses perakitan sepatu mulai dari melakukan pengeleman dan tahap penjahitan. Terakhir, dipres setelah itu mulai pengecekan produksi sol lalu masuk
dalam proses penyemprotan dan sepatu pun siap untuk dijual. Pengrajin sepatu ini menjual sepatu di toko yang terdapat didepan rumahnya dan ada juga sebagian toko yang hanya
menjual sepatunya saja dan mengambil sepatu langsung kepada pengrajin sepatu. Sepatu Bunut ini banyak dibeli ketika menjelang hari-hari besar seperti hari lebaran,
natal dan hari-hari libur seperti hari libur sekolah. Kebanyakan pembeli berasal dari luar daerah Asahan seperti dari Pekanbaru atau dari pulau Jawa. Sepatu ini memiliki kualitas yang
bagus karena kualitas kulit sepatu yang bagus, model sepatu yang senyawa sehingga tidak mudah rusak dan ciri khas sepatu Bunut dengan model jahitan dikepala sepatunya serta
sepatu ini juga menggunakan tapak yang terbuat dari bahan karet sehingga jika dilengkukan tidak akan merusak bentuk dari tapak tersebut. Sehingga pekerja kantoran seperti pegawai
negeri sering menempah sepatu untuk berkerja di tempat ini. Sepatu Bunut ini tidak kalah kualitasnya apabila dibandingkan dengan sepatu dari Cibaduyut ataupun dari Sidoarjo.
Bantuan dari pemerintah juga ada yaitu dari Dinas Tenaga Kerja Disnaker berupa pelatihan yang dilakukan oleh beberapa pengrajin sepatu Bunut ke Sidoarjo pada tahun 2008
yang dibiayai langsung oleh dinas tersebut dan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Disperindag berupa barang atau alat yang dibutuhkan oleh pengrajin. Namun bantuan dari
Disperindag ini kurang bermanfaat karena alat yang diberikan oleh dinas ini tidak sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan alat yang dibutuhkan oleh pengrajin. Misalnya saja pengrajin kekurangan mesin seset yaitu alat untuk mengurangi ketebalan kulit tapi dinas terkait memberikan mesin untuk
menjahit. Padahal mesin untuk menjahit sudah cukup banyak, maka mesin tersebut pun tidak dipergunakan dan menjadi tidak bermanfaat. Namun yang menjadi masalah adalah kurangnya
modal, pemasaran dan manajemen yang kurang baik membuat sepatu Bunut ini kurang dapat berkembang dengan pesat, ditambah lagi kurangnya dukungan dan bantuan dari pemerintah
setempat dan dinas-dinas yang terkait kalaupun bantuan tersebut ada kurang bermanfaat karena bantuan yang diperlukan oleh pengrajin tidak sesuai dengan yang diberikan oleh dinas
tersebut. Kondisi ini sangat berbeda dengan pengrajin sepatu yang berada di Cibaduyut,
pengrajin sepatu Cibaduyut mendapatkan dukungan dari pemerintah. Pada bulan oktober pada tahun 2011, pemerintah mengadakan kegiatan pelatihan manajemen dan peningkatan
mutu produksi sepatu Cibaduyut. Pelatihan ini diikuti pengrajin sepatu yang merupakan anggota forum rereongan pengrajin alas kaki, tas, sepatu sareng sajabina Repalts, ditandai
pembagian alat cetakan standarisasi alas kaki berbahan baku fiber dan diserahkan pula 5 ribu eksemplar katalog sarana pemasaran hasil produk. Kegiatan ini merupakan pelaksanaan
program penyaluran Corporate Social Responsibility CSR Bank BJB Bank Jabar Banten tahun 2011 alokasi Kota Bandung senilai Rp 200 juta dari Rp 700 juta yang diterima Pemkot
Bandung. http:www.rakyatdemokrasi.com2011pemkot-bandung-kucurkan-rp-200-juta
untuk -pengrajin-sepatu-cibaduyut.html.
1.2 Perumusan Masalah