Mobilitas Sosial Dan Keberdayaan Ekonomi Keluarga Pengrajin Sepatu Di Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan

(1)

MOBILITAS SOSIAL DAN KEBERDAYAAN EKONOMI KELUARGA

PENGRAJIN SEPATU DI BUNUT KECAMATAN KISARAN BARAT

KABUPATEN ASAHAN

DI SUSUN OLEH :

ELFI JULIANTI 080901003

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan keselamatan kepada penulis jarena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul : “Mobilitas Sosial dan Keberdayaan Ekonomi Keluarga Pengrajin Sepatu di

Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan”. Skripsi ini merupakan karya ilmiah yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menemukan tantangan dan hambatan, namun berkat rahmat Allah SWT maka skripsi ini dapat diselesaikan. Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada orang-orang yang luar biasa yang selalu mendukung dan memberi semangat serta motivasi bantuannya kepada penulis pada saat penulis menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih secara khusus penulis ucapkan kepada ibunda tercinta Elpina Dewi Hsb yang senantiasa memberikan kasih sayang dari penulis kecil hingga sekarang dan selalu berdoa untuk kebaikan penulis serta mendukung penulis dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi, dan ayah tercinta yaitu Surianto ST yang senantiasa mendidik, mengingatkan dan mengajarkan penulis agar tetap bersyukur dan memotivasi penulis. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada kakak penulis Nelly Suriani dan suaminya bang Kodri, abang penulis Surya Madan dan adik penulis yang bawel Depi Ulpa yang selalu memotivasi penulis serta keponakan penulis yang lucu dan imut-imut Zidan dan Zacky. Terkhusus untuk orang yang spesial bagi penulis yang selalu memberikan semangat, dukungan dan motivasi kepada penulis ketika penulis merasa malas ataupun ketika penulis merasa capek dan sedih yaitu Putra Kurniawan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(3)

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc.(CTM)Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

dan para pembantu dekan serta seluruh staf pegawai dan administrasi.

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.SI selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik dan dosen pembimbing serta menjadi dosen wali penulis selama ini yang tidak pernah lelah dan selalu sabar dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi penulis.

4. Dan seluruh dosen-dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

5. Kak Fenny dan Kak Betty serta Syarifah yang telah banyak membantu.

6. Untuk anak kos sofyan 32 Ayu dan Irma Suraya (mama dedeh) yang telah banyak

memberi nasehat-nasehat tentang agama dan terus menyemangati penulis agar cepat menyelesaikan skripsi kepada penulis.

7. Untuk teman-teman alumni 08 Rina Humairah dan Kharisma yang cerewet dan terus

memotivasi penulis agar cepat tamat, Icetea (esty), Dicky Eko, Anggre (tembung), Silky dan semua teman-teman 08 yang tidak bisa penulis sebut namanya.

8. Teman-teman yang sedang dalam tahap menyelesaikan skripsi Mitha Mutia, Sri

Rahmadani, Gusnimar, Fikar dan seluruh teman-teman angkatan 2008 yang masih berjuang menyelesaikan skripsi.

9. Pemerintah daerah Kabupaten Asahan yang telah memberikan bantuan kepada penulis

yaitu Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Asahan serta Bappeda Kabupaten Asahan.


(4)

10.Bapak Lurah kelurahan Bunut, Ibu Tika sekretaris Lurah dan kak Ita yang banyak membantu Penulis selama dilapangan dan semua jajaran kelurahan Bunut yang telah banyak membantu penulis.

11.Untuk para pengrajin sepatu Bunut dan semua orang yang telah banyak membantu

penulis, memberikan informasi yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12.Semua pihak yang telah banayak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan kalian. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini dikemudian hari. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi semua pihak. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih.

Medan, Mei 2014

Penulis


(5)

ABSTRAK

Industri kecil dalam perekonomian suatu negara memiliki peran dan perkembangan yang sangat penting karena memiliki nilai strategi dalam memperkokoh perekonomian nasional (ekonomi rakyat), maka selayaknya pemerintah memberikan perhatian yang layak untuk memberdayakannya, yaitu dipandang sebagai suatu kelompok unit usaha yang seharusnya terintegrasi dalam dunia usaha secara nasional yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidup dan daya saing. Dalam penelitian ini terjadi mobilitas sosial pada industri pengrajin sepatu bunut dan keberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh pengrajin sepatu Bunut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ketika pabrik Uni Royal tempat para karyawan yang dulunya bekerja untuk membuat sepatu tutup.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mobilitas sosial yang terjadi pada pengrajin sepatu Bunut dan Kerberdayaan Sosial pengrajin Bunut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkkan bahwa mobilitas yang terjadi pada pengrajin sepatu Bunut adalah mobilitas antargenerasi karena pengrajin sepatu yang dulunya bekerja dipabrik sepatu yang bernama Uni Royal yang pemiliknya merupakan orang Amerika bernama Colehan. Setelah pabrik tutup karyawan yang dulunya bekerja di pabrik tersebut membuka usaha sepatu karena terbatasnya lapangan pekerjaan dan dengan bermodalkan tabungan mereka berinisiatif membuka usaha sepatu Bunut. Keterampilan membuat sepatu mereka wariskan kepada anaknya. Produk sepatu ini pun mulai berkembang dari hanya memproduksi sepatu karet dan olahraga menjadi berbagai jenis sepatu seperti vansus, sendal, dan sepatu yang sesuai dengan permintaan dari pembeli. Ciri khas dari sepatu Bunut adalah pada bagian atas sepatu terdapat jahitan. Sepatu Bunut juga mendapat bantuan dari Dinas Perindustrian berupa alat pelembut kulit, dari Dinas Tenaga Kerja berupa pelatihan ke Sidoarjo dan bantuan dari Dinas Koperasi dan UMKM berupa bantuan dana.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR………. i

ABSTRAK……… iv

DAFTAR ISI……… v

DAFTAR TABEL………... viii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………. 1

1.2Rumusan Masalah………. 8

1.3Tujuan Penelitian……….. 9

1.4Manfaat Penelitian………... 9

BAB ll. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Mobilitas Sosial………. 10

2.1.1 Pengertian Mobilitas Sosial………... 10

2.1.2 Bentuk-bentuk Mobilitas Sosial………. 12

2.2 Keberdayaan………. 14

2.3 Keberdayaan Ekonomi………. 18

2.4 Etos Kerja……….….... 21

2.5 Motivasi Berprestasi atau n-Ach……….. 23

2.5 Defenisi Konsep……….….. 25

BAB lll METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………. 28

3.2 Lokasi Penelitian……….. 29


(7)

3.3.1 Unit Analisis………. 29

3.3.2 Informan……….... 29

3.4 Teknik Pengumpulan Data………... 30

3.5 Interpretasi Data………... 31

3.6 Jadwal Kegiatan………... 33

3.7 Keterbatasan Penelitian……… 34

BAB IV. DESKRIPSI WILAYAH dan INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 35

4.2 Kondisi Demografi………... 36

4.3 Profil Informan………. 47

4.4 Temuan dan Interpretasi Data……….. 57

4.4.1 Sejarah dan Latar Belakang Sentra Industri Kecil Sepatu Bunut……….. 57

4.4.2 Terbatasnya Lapangan Kerja……….. 59

4.4.3 Insiatif Membuka Usaha Sepatu……… 61

4.4.4 Mobilitas Sosial Pengrajin Sepatu... ………. 62

4.4.4.1 Perubahan Sosial Pengrajin Sepatu Sebelum dan Setelah menjadi pengrajin……… 64

4.4.5 Keberdayaan dalam Berusaha………...…. 66

4.4.5.1 Modal memulai usaha Sepatu………..……... 66

4.4.5.2 Keahlian Membuat Sepatu ………... 69

4.4.6 Etos Kerja Pengrajin Sepatu dalam Berusaha……….... 71


(8)

4.4.7 Jaringan yang di Manfaatkan Pengrajin untuk Meningkatkan Usaha...………. 73

4.4.7.1 Keterampilan, Kreatifitas, dan Model……… 73

4.4.7.2.Pemasaran……….... 75

4.4.7.3 Organisasi Kelompok Pengrajin………... 77

4.4.7.4 Bantuan Pemerintah……….... 79

4.4.8 Faktor-faktor Penghambat dalam Pengembangan Usaha Sepatu.………. 83

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan………... 90


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indikator Keberdayaan………. 15

Tabel 4.1 Pemanfaatan Tanah di Kelurahan Bunut……… 35

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kewarganegaraan di Bunut……… 37

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Menurut Usia……….. 37

Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Menurut Agama……….. 38

Tabel 4.5 Lulusan Pendidikan Umum……… 39

Tabel 4.6 Lulusan Pendidikan Khusus………... 39

Tabel 4.7 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian………... 41

Tabel 4.8 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku………... 42

Tabel 4.9 Jumlah Industri Besar dan Industri Sedang Menurut Kecamatan………. 44


(10)

ABSTRAK

Industri kecil dalam perekonomian suatu negara memiliki peran dan perkembangan yang sangat penting karena memiliki nilai strategi dalam memperkokoh perekonomian nasional (ekonomi rakyat), maka selayaknya pemerintah memberikan perhatian yang layak untuk memberdayakannya, yaitu dipandang sebagai suatu kelompok unit usaha yang seharusnya terintegrasi dalam dunia usaha secara nasional yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidup dan daya saing. Dalam penelitian ini terjadi mobilitas sosial pada industri pengrajin sepatu bunut dan keberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh pengrajin sepatu Bunut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ketika pabrik Uni Royal tempat para karyawan yang dulunya bekerja untuk membuat sepatu tutup.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mobilitas sosial yang terjadi pada pengrajin sepatu Bunut dan Kerberdayaan Sosial pengrajin Bunut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkkan bahwa mobilitas yang terjadi pada pengrajin sepatu Bunut adalah mobilitas antargenerasi karena pengrajin sepatu yang dulunya bekerja dipabrik sepatu yang bernama Uni Royal yang pemiliknya merupakan orang Amerika bernama Colehan. Setelah pabrik tutup karyawan yang dulunya bekerja di pabrik tersebut membuka usaha sepatu karena terbatasnya lapangan pekerjaan dan dengan bermodalkan tabungan mereka berinisiatif membuka usaha sepatu Bunut. Keterampilan membuat sepatu mereka wariskan kepada anaknya. Produk sepatu ini pun mulai berkembang dari hanya memproduksi sepatu karet dan olahraga menjadi berbagai jenis sepatu seperti vansus, sendal, dan sepatu yang sesuai dengan permintaan dari pembeli. Ciri khas dari sepatu Bunut adalah pada bagian atas sepatu terdapat jahitan. Sepatu Bunut juga mendapat bantuan dari Dinas Perindustrian berupa alat pelembut kulit, dari Dinas Tenaga Kerja berupa pelatihan ke Sidoarjo dan bantuan dari Dinas Koperasi dan UMKM berupa bantuan dana.


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Industri kecil dalam perekonomian suatu negara memiliki peran dan perkembangan yang sangat penting karena memiliki nilai strategi dalam memperkokoh perekonomian nasional (ekonomi rakyat), maka selayaknya pemerintah memberikan perhatian yang layak untuk memberdayakannya, yaitu dipandang sebagai suatu kelompok unit usaha yang seharusnya terintegrasi dalam dunia usaha secara nasional yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidup dan daya saing. Tambunan (dalam Ahimsa-Putra, 2003:254) mengemukakan, bahwa kontribusi langsung industri kecil kepada pembangunan ekonomi antara lain penciptaan lapangan kerja untuk memproduksi barang-barang.

Industri merupakan aktivitas manusia untuk mengelola sumber daya-sumber daya

(resources) baik Sumber Daya Manusia (SDM), maupun Sumber Daya Alam (SDA) di

bidang produksi dan jasa dasar, seperti makanan, pakaian, bahan bangunan, peralatan rumah tangga dan sebagainya. Ini dapat dilihat pada keadaan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 sampai 1998 di Indonesia bahwa IKM (Industri Kecil Menengah) dan UKM (Usaha Kecil Menengah) merupakan sabuk pengaman bagi perekonomian nasional. Dalam keadaan krisis tersebut banyak industri dan usaha besar yang gulung tikar, namun IKM dan UKM yang mampu menjadi penopang perekonomian nasional. Industri kecil juga memberikan manfaat sosial yang sangat berarti yaitu dapat menciptakan peluang berusaha yang luas dengan pembiayaan yang relatif murah, mengambil peranan dalam peningkatan dan mobilisasi tabungan domestik serta industri kecil mempunyai kedudukan yang komplementer terhadap industri besar dan sedang.

Pembinaan industri kecil telah dimulai sejak Pelita I (dalam Saleh, 1986:11-13) yakni melalui proyek pembinaan kerajinan rakyat (Probinkra). Selanjutnya, pada awal Pelita II


(12)

Probinka digantikan dengan proyek bimbingan dan pengembangan industri kecil (BIPIK), dengan program utamanya berupa diklat dan penyuluhan yang umumnya bersifat insidental. Oleh karena kegiatan ini belum mampu menciptakan proses pengembangan yang kondusif dan berkesinambungan, maka sejak akhir Pelita II mulai dikembangkan sarana-sarana pembinaan yang tetap. Dalam Pelita III dilakukan upaya meningkatkan investasi dan kegiatan golongan ekonomi lemah. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan pembinaan industri kecil dalam Pelita IV. Pembinaan diarahkan pada penciptaan iklim usaha, peningkatan kerjasama, peningkatan bantuan, peningkatan sarana pelayanan lapangan, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan industri kecil, dan peningkatan perangkat pelaksana. Dan dalam Pelita V kebijaksanaan pengembangan industri kecil meliputi antara lain: (1) pengembangan industri rumah tangga dan kerajinan di daerah-daerah yang belum berkembang, maupun didaerah pemukiman transmigrasi; (2) peningkatan pertumbuhan industri kecil pada aspek kemampuan dan kemandirian usaha; (3) pelibatan berbagai instansi seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Departemen Sosial, dan Departemen Dalam Negeri dalam Pembinaan industri kecil tersebut.

Menurut Bank Indonesia No. 26/1/UKK tanggal 29 Mei 1993 (Hubeis, Musa, 2009 hal 11). industri kecil adalah usaha yang memiliki total asset maksimum Rp. 600 juta tidak termasuk tanah rumah yang ditempati. Pengertian usaha ini meliputi usaha perorangan, badan usaha swasta dan koperasi, sepanjang asset yang dimiliki tidak melebihi nilai Rp. 600 juta. Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1995 pasal 14 tentang industri kecil merumuskan bahwa pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melakukan pembinaan serta pengembangan industri kecil dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, SDM, ketenagakerjaan atau kewirausahaan, teknologi dan pelayanan. Industri kecil dapat mengurangi tingkat pengangguran dengan pembukaan lapangan kerja baru, meningkatkan penghasilan individu, membentuk dan menguatkan jaringan sosial, budaya dan ekonomi lokal, sebagai alat


(13)

mempercepat siklus financial suatu komunitas masyarakat, memperpendek rentang kesenjangan sosial yang tercipta, sekaligus mengurangi dampak kriminalitas yang ditimbulkannya, dan sebagai alat penganekaragaman sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Menurut Ina Primania (2009:35) dalam proses pengembangan industri kecil mencakup tiga aspek, yaitu:

1. pendanaan

2. pembinaan dan pengembangan potensi

3. dan manajerial

Undang-undang No.5 tahun 1984 tentang perindustrian pasal 1 juga menyatakan industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1 sampai 4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.

Menurut hasil studi Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (dalam Anoraga, 2002: 225), menunjukkan bahwa di Indonesia kriteria atau ciri-ciri industri kecil itu sangat berbeda-beda, tergantung pada fokus permasalahan yang dituju dan instansi yang berkaitan dengan sektor ini. Ciri-ciri dari industri kecil adalah usaha dimiliki secara bebas, terkadang tidak berbadan hukum, skala usaha yang kecil (baik modal, tenaga kerja, maupun potensi pasarnya); berlokasi di pedesaan dan kota-kota kecil atau pinggiran kota besar, modal bergantung pada modal sendiri dan kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya.


(14)

Di Indonesia hasil survei yang dilakukan oleh Ahimsa (dalam Ahimsa-Putra, 2003:254) tentang usaha-usaha kecil menunjukkan bahwa setengah dari usaha-usaha kecil ini bermula dari usaha industri rumah tangga. Selanjutnya dikatakan pula bahwa produk-produk industri kecil tersebut berasal dari kerajinan yang berkembang terbatas pada keterampilan dan keahlian lokal, serta menggunakan bahan lokal. Kabupaten Asahan merupakan kabupaten yang mempunyai sektor unggulan dalam bidang pertanian dan industri. Berdasarkan data Asahan Dalam Angka pada tahun 2013, sektor pertanian merupakan kontributor utama pada PDRB Kabupaten Asahan sebesar 38.75%, kemudian disusul oleh sektor industri sebesar 32,36% dan sektor-sektor lainnya hanya memberikan kontribusi sebesar 17,76%. Pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Asahan mencapai 5,89% pertumbuhan terbesar terjadi pada sektor industri yaitu 9,74% sedangkan pada sektor pertanian hanya 2,64%. Perusahaan besar di Asahan pada tahun 2007 berjumlah 20 unit, industri sedang berjumlah 111 unit dan jumlah industri kecil dan industri rumah tangga berjumlah 650 unit. Jenis indutri kecil dan rumah tangga di Kabupaten Asahan cukup banyak yaitu 650 unit, diantaranya yaitu industri Sepatu Bunut, industri pengolahan daging, industri pengasinan ikan, industri pengasinan buah, industri roti/kue basah/kering, industri gula aren, industri tahu/tempe, industri makanan ringan, industri kerupuk, industri batu bata/keramik, industri sulaman dan industri sabut kelapa.

Kabupaten Asahan juga memiliki sejumlah produk unggulan yang dihasilkan dari industri kecil dan kerajinan rumah tangga. Beberapa bidang usaha yang berkembang antara lain adalah pengolahan meubel kayu batang kelapa, pembuatan pupuk kompos, pengolahan sabuk kelapa, kerajinan kulit (sepatu Bunut), anyaman pandan, sapu lidi hias, makanan ringan (dodol, keripik), dan lain-lain (www.pemkab-asahan.go.id). Pengrajin sepatu Bunut yang terletak di Kelurahan Bunut Kecamatan Kisaran merupakan salah satu industri kecil tempat pengrajin dan penjual sepatu yang ada di Kabupaten Asahan. Pada awalnya industri ini hanya


(15)

didirikan oleh tiga rumah tangga yang ada di kelurahan Bunut, namun sekarang industri sepatu ini diproduksi oleh 14 toko sepatu. Toko sepatu Bunut ini terletak berjajar di sepanjang jalan lintas Sumatera sehingga tempat ini terbilang cukup strategis di tambah lagi industri sepatu Bunut ini juga sudah berdiri cukup lama sehingga menjadi salah satu daya tarik masyarakat untuk menjadi oleh-oleh khas kabupaten Asahan. Jarak tempuh antara kelurahan Bunut dengan pusat kota tidak cukup jauh yaitu hanya sekitar 8 km. Menurut sejarahnya, sepatu Bunut pada awalnya diproduksi oleh perusahaan perkebunan karet milik pengusaha Amerika yang bernama Colehan. Modal dan bahan-bahan baku untuk membuat sepatu ini di datangkan langsung dari Amerika. Produk sepatu ini pun ditujukan hanya untuk kalangan terbatas, yaitu untuk staf perkebunan dan para tamu istimewa sehingga apabila ada orang selain staf perkebunan dan para tamu istimewa memakai sepatu tersebut maka orang tersebut akan ditangkap. Sepatu Bunut sampai terkenal keluar negeri tepatnya, setelah tamu perkebunan sering membawa sepatu Bunut ke Negara asalnya sebagai oleh-oleh dan pada akhirnya, nama kelurahan Bunut ini pun mulai dikenal di mancanegara.

Pada tahun 80-an Abdul Rizal Bakrie membeli pabrik tersebut dengan tujuan agar sepatu Bunut tersebut dapat dipasarkan kedalam negeri. Ketika produksi dibuat dan sepatu mulai dipasarkan kedalam negeri ternyata hasilnya kurang memuaskan karena promosi yang di lakukan kurang menarik minat konsumen sehingga konsumen tidak begitu suka dan tidak begitu tertarik dengan sepatu Bunut ini dan juga karena adanya persaingan dari sepatu di Jawa. Akhirnya Bakrie pun mulai memasarkan sepatu Bunut ini kembali lagi ke AS namun ternyata pihak AS menolak karena bahan bakunya tidak berasal dari Amerika dan pihak AS pun tidak mau menjalin hubungan kerjasama dengan Bakrie sehingga kerugian pun terjadi. tidak mau menjalin hubungan kerjasama dengan Bakrie sehingga kerugian pun terjadi. Akibat dari kerugian tersebut terjadilah penurunan gaji karyawan dan pemberhentian karyawan yang menyebabkan banyak pengangguran dan tidak memiliki penghasilan yang dikarenakan


(16)

penurunan jumlah produksi sepatu sehingga akhirnya Bakrie pun memberhentikan para karyawannya.

Setelah beberapa tahun pabrik sepatu ditutup para pekerja yang menjadi pengangguran mulai mengembangkan keterampilan yang mereka dapat selama bekerja di pabrik. Dengan berbekalkan keterampilan dari pabrik sepatu tempat bekerja dulu dan dengan didorong oleh tekad yang kuat, para pengrajin tersebut memberanikan diri membuka usaha pembuatan sepatu secara kecil-kecilan di rumah masing-masing dengan bantuan anggota keluarga dan dengan modal sendiri yang bersumber pada tabungan pribadi, pinjaman dari bank, dan pinjaman dari kerabat atau tetangga. Tidak butuh waktu lama bagi para pengrajin sepatu untuk membuat masyarakat tertarik untuk membeli sepatu buatan mereka, hal ini dikarenakan sepatu Bunut dulunya memang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Ternyata sepatu yang diproduksi secara rumahan ini cukup laku di masyarakat sehingga para pengrajin membutuhkan tenaga kerja tambahan dan mulai merekrut pekerja dari warga sekitar yang tinggal di daerah kelurahan Bunut.

Pada akhirnya, keterampilan membuat sepatu secara rumahan ini pun diwariskan secara turun temurun kepada anak-anaknya sehingga kini telah menjadi bagian dari karya industri khas dari Asahan. Jika dulu sepatu Bunut diproduksi oleh perusahaan perkebunan karet, sekarang sepatu Bunut ini telah diproduksi oleh warga kelurahan Bunut itu sendiri. Kualitas sepatu Bunut sangat baik dan tahan lama ditambah lagi model sepatunya tidak kalah dengan sepatu merk terkenal lainnya sehingga sepatu Bunut sangat terkenal di berbagai

daerah mulai dari dalam negeri seperti Jawa, Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Jambi dan

Kalimantan hingga di luar negeri seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan sebagainya. Harga sepatu ini berkisar antara Rp 150 ribu hingga jutaan rupiah, sehingga tidak aneh bila para pengrajin merasakan keuntungan dari industri tersebut.


(17)

Alat-alat dalam proses pembuatan sepatu ini masih menggunakan teknologi yang sederhana yaitu terdiri dari alat seset, mesin pres sepatu dan mesin jahit sepatu. Cara untuk membuat sepatu Bunut tersebut yang pertama adalah memilih bahan baku kulit untuk sepatu lalu membuat pola sepatu diatas bahan baku kulit sesuai dengan desain sepatu. Kedua, setelah pola selesai, pola tersebut dipotong dan kulit yang sudah dipotong masuk kedalam proses seset. Ketiga, masuk dalam tahap penyetelan sepatu dan dalam proses pembuatan upper (potongan kulit atas). Keempat, proses perakitan sepatu mulai dari melakukan pengeleman dan tahap penjahitan. Terakhir, dipres setelah itu mulai pengecekan produksi sol lalu masuk dalam proses penyemprotan dan sepatu pun siap untuk dijual. Pengrajin sepatu ini menjual sepatu di toko yang terdapat didepan rumahnya dan ada juga sebagian toko yang hanya menjual sepatunya saja dan mengambil sepatu langsung kepada pengrajin sepatu.

Sepatu Bunut ini banyak dibeli ketika menjelang hari-hari besar seperti hari lebaran, natal dan hari-hari libur seperti hari libur sekolah. Kebanyakan pembeli berasal dari luar daerah Asahan seperti dari Pekanbaru atau dari pulau Jawa. Sepatu ini memiliki kualitas yang bagus karena kualitas kulit sepatu yang bagus, model sepatu yang senyawa sehingga tidak mudah rusak dan ciri khas sepatu Bunut dengan model jahitan dikepala sepatunya serta sepatu ini juga menggunakan tapak yang terbuat dari bahan karet sehingga jika dilengkukan tidak akan merusak bentuk dari tapak tersebut. Sehingga pekerja kantoran seperti pegawai negeri sering menempah sepatu untuk berkerja di tempat ini. Sepatu Bunut ini tidak kalah kualitasnya apabila dibandingkan dengan sepatu dari Cibaduyut ataupun dari Sidoarjo.

Bantuan dari pemerintah juga ada yaitu dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) berupa pelatihan yang dilakukan oleh beberapa pengrajin sepatu Bunut ke Sidoarjo pada tahun 2008 yang dibiayai langsung oleh dinas tersebut dan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) berupa barang atau alat yang dibutuhkan oleh pengrajin. Namun bantuan dari Disperindag ini kurang bermanfaat karena alat yang diberikan oleh dinas ini tidak sesuai


(18)

dengan alat yang dibutuhkan oleh pengrajin. Misalnya saja pengrajin kekurangan mesin seset yaitu alat untuk mengurangi ketebalan kulit tapi dinas terkait memberikan mesin untuk menjahit. Padahal mesin untuk menjahit sudah cukup banyak, maka mesin tersebut pun tidak dipergunakan dan menjadi tidak bermanfaat. Namun yang menjadi masalah adalah kurangnya modal, pemasaran dan manajemen yang kurang baik membuat sepatu Bunut ini kurang dapat berkembang dengan pesat, ditambah lagi kurangnya dukungan dan bantuan dari pemerintah setempat dan dinas-dinas yang terkait kalaupun bantuan tersebut ada kurang bermanfaat karena bantuan yang diperlukan oleh pengrajin tidak sesuai dengan yang diberikan oleh dinas tersebut.

Kondisi ini sangat berbeda dengan pengrajin sepatu yang berada di Cibaduyut, pengrajin sepatu Cibaduyut mendapatkan dukungan dari pemerintah. Pada bulan oktober pada tahun 2011, pemerintah mengadakan kegiatan pelatihan manajemen dan peningkatan mutu produksi sepatu Cibaduyut. Pelatihan ini diikuti pengrajin sepatu yang merupakan anggota forum rereongan pengrajin alas kaki, tas, sepatu sareng sajabina (Repalts), ditandai pembagian alat cetakan standarisasi alas kaki berbahan baku fiber dan diserahkan pula 5 ribu eksemplar katalog sarana pemasaran hasil produk. Kegiatan ini merupakan pelaksanaan program penyaluran Corporate Social Responsibility (CSR) Bank BJB (Bank Jabar Banten) tahun 2011 alokasi Kota Bandung senilai Rp 200 juta dari Rp 700 juta yang diterima Pemkot

Bandung.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti mencoba menarik suatu permasalahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian yang dilakukan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :


(19)

1. Bagaimana mobilitas sosial keluarga pengrajin sepatu di Bunut?

2. Bagaimana keberdayaan ekonomi keluarga pengrajin sepatu di Bunut?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah jawaban atas pertanyaan apa yang akan dicapai dalam penelitian itu menurut misi ilmiah ( Sudarwan Danim,2009:91). Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui mobilitas sosial yang terjadi pada keluarga pengrajin sepatu di

Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan.

2. Untuk mengetahui keberdayaan ekonomi yang terdapat pada pengrajin terutama

keluarga pengrajin sepatu di Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu sosiologi dan juga menambah referensi hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa sosiologi selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperluas cakrawala pengetahuan.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah tentang mobilitas sosial dan keberdayaan ekonomi keluarga pengrajin sepatu dan untuk memberikan masukan-masukan kepada pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang kurang memperhatikan industri kecil.


(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Mobilitas Sosial

2.1.1 Pengertian Mobilitas Sosial

Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau

banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial. Mobilitas sosial adalah perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun penurunan dalam segi status sosial dan peran termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Misalnya, seorang pensiunan pegawai rendahan salah satu departemen beralih pekerjaan menjadi seorang pengusaha dan berhasil dengan gemilang. Proses perpindahan posisi atau orang dalam (social mobility).

` Menurut

sosial adalah suatu gerak perpindahan dari sat pindah dari penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Pernyataan Horton dan Hunt di dukung oleh Huky bahwa istilah mobilitas diartikan sebagai suatu gerak orang perorangan atau grup dari suatu kelompok ke kelompok lainnya dalam masyarakat.

Sementara menurut 2010:208), mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam yang mengatur organisasi suat antar mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat yang


(21)

bersistem sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi, sebaliknya, pada sistem sosial tertutup seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.

Dalam dunia modern, banyak orang berupaya untuk melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa melakukan mobilitas sosial akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Apabila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda, mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi danm apabila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkurung dalam status nenek moyang mereka, maka mereka hidup dalam Contohnya, transformasi pekerjaan petani ke pengrajin industri kecil yang terjadi di sentra industri kecil di Surakarta, juga telah mengakibatkan terjadinya proses mobilitas sosial, baik secara vertikal maupun horizontal. Mobilitas sosial itu dapat dijelaskan dengan proses petani menjadi buruh, pengrajin atau pengrajin pengusaha. Karena terbatasnya pekerjaan di sektor pertanian, buruh tani pindah atau bekerja sambilan sebagai buruh di industri kecil. Mereka yang sebagai buruh purna waktu umumnya tidak memiliki lahan sawah atau tegalan, atau karena terbatasnya jumlah upah sebagai buruh tani mereka memilih bekerja sebagai buruh pengrajin.

Dengan demikian pekerjaan buruh industri kecil bagi mereka adalah sebagai "pekerjaan utama". Adapun bagi buruh pengrajin yang masih memiliki lahan pertanian, mereka hanya bekerja sebagai buruh sambilan, dan fungsi pekerjaannya hanyalah penambah pendapatan. Istilah yang sering diungkapkan oleh mereka yaitu “nasinya dari sawah dan lauknya dari pekerjaan industri.” Dalam kasus ini sebenarnya merupakan proses mobilitas sosial yang vertikal "ke bawah," karena kemudian menjadi pekerja dari orang lain. Namun jika bekerja


(22)

sambilan ini dilihat sebagai "proses belajar" untuk dapat menjadi pengrajin, maka disebut mobilitas vertikal. Bagi pengrajin (sering disebut “juragan kecil”), umumnya masih bekerja sebagai pengrajin sambil bertani. Kalaulah juragan kecil tidak bertani, tanah-tanah mereka disewakan kepada petani lain. Mereka belum sepenuhnya menaruh harapan kepada industri kecil, dan karenanya tanah-tanah pertaniannya dijadikan penyangga atau alternatif jika terjadi kerugian dalam usaha industrinya. Hal ini contoh lain dari proses mobilitas sosial horizontal (si.uns.ac.id/profil/.../Jurnal/195707071981031006ravik_6 .pdf).

`2.1.2 Bentuk-bentuk mobilitas sosial

Mobilitas sosial mempunyai beberapa bentuk (dalam Narwoko, 2010: 208-209) yaitu :

1. Mobilitas sosial horizontal

Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya dalam mobilitas sosial yang horizontal. Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa karena ancaman kekeringan. Contohnya seorang buruh petani yang pada musim paceklik berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan. Hal ini bisa digolongkan sebagai mobilitas sosial horizontal terpaksa yang artinya, petani tersebut terpaksa pindah ke pekerjaan lain karena memang di desanya tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan dalam sektor pertanian dikarenakan ancaman kekeringan. Contoh mobilitas sosial sukarela yaitu, seorang pegawai bank yang sudah bosan dan jenuh dengan pekerjaannya kemudian berpindah karier menjadi pengusaha atau pekerjaan lainnya.


(23)

2. Mobilitas sosial vertikal

Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, karena itu dikenal dua jenis mobilitas vertikal yaitu yang pertama, gerakan sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial yang rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Contohnya, seorang staf yang dipromosikan naik pangkat menjadi kepala bagian di sebuah perusahaan swasta. Dan yang kedua, gerak sosial yang menurun (social sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain yang lebih rendah posisinya. Contohnya, seorang petani cengkeh yang jatuh miskin karena komoditas yang ditanamnya tidak laku-laku dijual di pasar. Menurut Soedjatmoko (dalam Narwoko, 2010: 209) mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertikal salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluwesan struktur sosial di mana orang itu hidup.

3. Mobilitas antargenerasi

Mobilitas antargenerasi secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Suatu studi yang sering menjadi acuan dalam bahasan mengenai mobilitas antargenerasi ialah penelitian Blau dan Duncan ( dalam Sunarto, 2004: 214) terhadap mobilitas pekerjaan di Amerika Serikat. Kedua ilmuwan sosial ini menyimpulkan dari data mereka bahwa masyarakat Amerika merupakan masyarakat yang relatif terbuka karena di dalamnya telah terjadi mobilitas sosial antargenerasi dan didalam mobilitas intragenerasi pengaruh pendidikan dan pekerjaan individu yang bersangkutan lebih


(24)

besar daripada pengaruh pendidikan dan pekerjaan orang tua. Dengan kata lain, dalam tiap-tiap generasi telah terjadi peningkatan status anak melebihi status orang tuanya, dan dalam tiap generasi pun telah terjadi peningkatan status anak sehingga melebihi status yang diduduki pada awal kariernya sendiri. Dalam hal ini pengrajin sepatu Bunut termasuk dalam mobilitas antargenerasi karena dulunya pengrajin tersebut merupakan pekerja di sebuah perusahaan karet pembuat sepatu. Namun, setelah pabrik tutup pekerja mulai membuka usaha dengan cara mengembangkan keterampilannya yang didapat ketika menjadi buruh dengan cara menjadi pengrajin sepatu Bunut dan keterampilan membuat sepatu tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anaknya.

4. Mobilitas intragenerasi

Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi yang sama. Mobilitas intragenerasi dapat mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya, misalnya dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau dari perwira pertama menjadi perwira tinggi.

2.2 Keberdayaan

Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik dan kuat serta inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain nilai fisik di atas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat kita, kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu


(25)

mencapai kemajuan kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Slamet (dalam dalam Suharto, 2009: 67) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Dengan kata lain, keberdayaan adalah kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan harkat dan martabat dalam lapisan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya dari kemiskinan dan keterbelakangan.

Tabel 1. Indikator Keberdayaan (Schuler, Hashemi dan Riley dalamSuharto, 2009)

Jenis Hubungan Kekuasaan Kemampuan Ekonomi Kemampuan Mengakses Manfaat Kesejahteraan Kemampuan Kultural dan Politis

Kekuasaan di dalam: Meningkatkan kesadaran dan keinginan untuk berubah

1. Evaluasi positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya. 2. Keinginan memiliki kesempatan ekonomi yang setara.

3. Keinginan memiliki kesamaan hak

terhadap sumber yang ada pada rumah

1. Kepercayaan diri dan kebahagiaan. 2. Keinginan memiliki kesejahteraan yang setara. 3. Keinginan membuat keputusan mengenai diri dan orang lain.

1. Assertiveness dan otonomi.

2. Keinginan untuk menghadapi

subordinasi gender termasuk tradisi budaya, diskriminasi hukum dan pengucilan politik.


(26)

tangga dan masyarakat.

4. Keinginan untuk mengontrol jumlah anak.

dalam proses-proses budaya, hukum dan politik. Kekuasaan untuk: Meningkatkan kemampuan individu untuk berubah, Meningkatkan kesempatan untuk memperoleh akses.

1. Akses terhadap pelayanan keuangan mikro.

2. Akses terhadap pendapatan. 3. Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumah tangga.

4. akses terhadap pasar

5. Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak. 1. Keterampilan, termasuk kemelekan huruf.

2. Status kesehatan dan gizi

3. Kesadaran mengenai dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi 4. Kesediaan

pelayanan

kesejahteraan publik

1. Mobilitas dan akses terhadap dunia di luar rumah

2. Pengetahuan mengenai proses hukum, politik dan kebudayaan 3. Kemampuan menghilangkan

hambatan formal yang merintangi akses terhadap proses hukum, politik, dan kebudayaan. Kekuasaan atas: -Perubahan pada hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan

1. Kontrol atas

penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya.

1. Kontrol atas ukuran konsumsi keluarga dan aspek bernilai lainnya dari pembuatan

1. Aksi individu dalam menghadapi dan mengubah persepsi budaya kapasitas dan hak


(27)

pada tingkat rumah tangga, masyarakat dan makro; Kekuasaan atau tindakan individu untuk menghadapi hambatan- hambatan tersebut.

2. Kontrol atas pendapatan aktivitas produktif keluarga yang lainnya. 3. Kontrol atas aset produktif dan

kepemilikan keluarga. 4. Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga. 5. Tindakan individu menghadapi

diskriminasi atas akses terhadap sumber dan pasar.

keputusan keluarga termasuk keputusan keluarga berencana. 2. Aksi individu untuk

mempertahankan diri dari kekerasan keluarga dan masyarakat.

wanita pada tingkat keluarga dan masyarakat. 2. Keterlibatan individu dan pengambilan peran dalam proses budaya, hukum dan politik.

Kekuasaan dengan: Meningkatnya solidaritas atau tindakan bersama dengan orang lain untuk

menghadapi

hambatan-hambatan sumber

1. Bertindak sebagai model peranan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan publik dan modern. 2. Mampu memberi gaji terhadap orang lain.

3. Tindakan bersama menghadapi

1. Penghargaan tinggi terhadap dan peningkatan

pengeluaran untuk anggota keluarga. 2. Tindakan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan publik.

1. Peningkatan jaringan untuk memperoleh

dukungan pada saat krisis.

2. Tindakan bersama untuk membela orang lain menghadapi perlakuan salah dalam keluarga dan


(28)

dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga masyarakat dan makro

diskriminasi pada akses terhadap sumber (termasuk hak atas tanah), pasar dan diskriminasi gender pada konteks ekonomi makro.

masyarakat.

3. Partisipasi dalam gerakan-gerakan menghadapi subordinasi gender yang bersifat kultural, politis, hukum pada tingkat masyarakat dan makro.

2.3 Keberdayaan Ekonomi

Kekuatan swadaya bangsa akan terbentuk apabila semua elemen bangsa mau dan mampu menumbuhkan dan memotivasi diri untuk bergerak ke arah peningkatan kapasitas sehingga tercipta keberdayaan di semua aspek (ekonomi, sosial, dan politik) dan terlibat aktif dalam kegiatan pembangunan bagi tercapainya masa depan Indonesia yang lebih baik. Partisipasi aktif dari semua elemen bangsa sangat diperlukan dalam pembangunan. Namun demikian sebagaimana diketahui kebijakan masa lalu tidak memberikan mereka peluang gerak yang luas untuk mengakses ruang pendidikan, ekonomi, dan politik sehingga pada saat ini sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam kondisi yang serba terbatas atau tidak berdaya atau tidak memiliki kapasitas yang memadai.

Hanya terdapat segelintir orang atau sekelompok orang yang hidupnya lebih baik dan berdaya. Karena keterbatasan kapasitas tersebut maka mereka belum mampu berperan serta secara aktif dan menyeluruh dalam pembangunan, kalaupun terlibat peran mereka hanyalah bersifat parsial sehingga mengakibatkan banyaknya pengangguran. Namun, apabila


(29)

masyarakat tersebut memiliki keberdayaan untuk berusaha maka masyarakat tersebut dapat lepas dari kondisi keterpuruka yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pengangguran adalah memanfaatkan keahlian dan pengetahuan seseorang atau sekelompok masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri atau bahkan membuka lapangan kerja untuk orang lain.

Kewirausahaan merupakan modal yang ada pada diri manusia untuk melakukan proses produksi, kewirausahaan merupakan konsep, maka untuk menerapkan dalam kegiatan usaha harus diwujudkan dalam tindakan, bisa saja seseorang memiliki potensi kewirausahaan yang bagus tetapi tidak diwujudkan dalam perilaku, maka potensi itu tidak mempunyai nilai tambah dalam dunia kewirausahaan.

Pengetahuan kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Para wirausaha ini biasanya memulai usahanya secara mandiri dengan modal sendiri atau modal bersama. Kemandirian ini merupakan modal awal terciptanya ekonomi usaha yang sehat. Kemandirian pribadi direfleksikan dalam bentuk kemampuan mengerjakan suatu pekerjaan yang baik dan benar sesuai dengan kapasitas yang ada dalam dirinya serta kemampuan dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya

serta upaya untuk menciptakan lapangan kerja baru tanpa harus bergantung kepada orang

lain, mulai dari menciptakan ide, menetapkan tujuan, sampai pada pencapaian kepuasan. Keberdayaan berusaha yang dimaksudkan adalah perolehan kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang direfkleksikan dengan adanya nilai tambah dari keadaan sebelumnya. Faktor pengalaman dalam pekerjaan juga sangat berperan dalam melaksanakan suatu pekerjaan, sebab pengalaman itu sendiri berfungsi sebagai seni, dalam menangani berbagai masalah yang timbul dalam rangka menjalankan suatu usaha.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberdayaan tersebut bersumber dari pengetahuan kewirausahaan, keinginan untuk maju atau motivasi berprestasi dan juga kemandirian pribadi dalam berpikir sehingga setiap pengusaha mampu secara maksimal memanfaatkan keterampilan usaha pada dirinya. Kemampuan memahami lingkungan bisnis, menurut Cunningham merupakan faktor yang menyebabkan 28,1% keberhasilan usaha skala kecil. Faktor ini terkait dengan sifat-sifat kepribadian dan kemauan untuk belajar dan menerima perubahan. Kepekaan ini menuntut pribadi-pribadi dengan inisiatif, kreativitas dan


(30)

motivasi yang tinggi. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku kewirausahaan yang mereka miliki. Dengan demikian masing-masing pelaku usaha akan terdorong dalam meningkatkan kreativitas berpikir, menentukan keputusan yang lebih baik dan mandiri dalam pencapaian sukses usaha. Keberdayaan untuk mengembangkan usaha bergantung kepada upaya para pengrajin itu sendiri memanfaatkan keterampilan usahanya untuk memuaskan pembeli. Penelitian Cunningham terhadap 178 wirausaha dan manajer profesional di Singapura, menunjukkan bahwa keberhasilan berkaitan dengan sifat-sifat kepribadian (49%), seperti keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, keinginan untuk berhasil, motivasi diri, percaya diri dan berfikir positif, komitmen dan sabar. Penelitian Mc. Ber & CO menemukan bahwa wirausaha yang berhasil memiliki sifat yang proaktif, berorientasi prestasi dan komitmen dengan pihak lain /25436).

Pada dasarnya, keberdayaan ekonomi adalah kemampuan dan kemandirian seseorang maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara membuka usaha ataupun bekerja sesuai dengan kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh orang tersebut. Kemandirian yang dimiliki oleh pengrajin sepatu Bunut adalah kemampuan atau keahlian yang mereka dapat ketika menjadi buruh pembuat sepatu di perusahaan karet. Setelah perusahaan karet tersebut di tutup para buruh yang dulunya bekerja di perusahaan tersebut menjadi pengangguran karena susahnya mencari pekerjaan. Namun, dengan berbekalkan kemampuan atau keahlian membuat sepatu yang mereka dapat para buruh tersebut pun mulai bangkit kembali. Dengan menggunakan modal yang didapat dari tabungan sendiri dan pinjaman dari tetangga atau pinjaman dari bank buruh tersebut membuka usaha sepatu kecil-kecilan pengrajin tersebut pun menunjukkan keahliannya dalam membuat sepatu, dari hasil pembuatan dan penjualan sepatu itulah pengrajin tersebut memenuhi kebutuhan hidupnya.


(31)

2.4 Etos Kerja

Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti ’tempat hidup’. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah Ethikos yang berarti ’teori kehidupan’, yang kemudian menjadi ’etika’. Etos menurut Geertz (dalam Abdullah, 1979:3) adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluatif, yang bersifat menilai.

Dasar pengkajian kembali makna Etos Kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber (Soetrisno, 1995: 177). Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu

rasionalitas (rationality) menurut Weber lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama

merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Berbicara etos kerja sama halnya berbicara tentang kebudayaan masyarakat. Contohnya, budaya Konfusianisme yang merupakan budaya bangsa Cina, Korea, dan Jepang menjadi bukti akan pentingnya etos kerja sebagai suatu penjelasan sosiologis mengapa ketiga bangsa itu dapat muncul sebagai negara-negara industrial. Konfusianisme mengajarkan pemeluknya untuk hidup sederhana dan bekerja keras, dua sifat yang mendorong terjadinya pemupukan modal yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan perekonomian.

Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan - namun hemat dan bersahaja (asketik), serta


(32)

menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di

dunia modern. Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of

Capitalism (Budiman Arief, 2000:20), berbagai studi tentang Etos Kerja berbasis agama

sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas.

Menurut Direktorat Jendral Industri Kecil, Departemen Keuangan dan Departemen Tenaga Kerja (dalam Ahimsa, 2003: 68) menyebutkan ada dua hal yang menjadi penghambat pengembangan industri kecil. Pertama, adalah mental maupun skill. Mental yang dimaksud adalah “kultur” ataupun etos kerja pengusaha yang cepat puas, sedangkan skill menyangkut profesionalisme usaha, seperti desain dan kualitas produk, pemasaran serta pengorganisasian. Kedua,hambatan yang berkaitan dengan modal dan pemasaran hasil industri. Penelitian Prasasti (dalam Ahimsa,: 2003:69) menemukan dua faktor yang dapat mendukung perkembangan usaha kecil. Pertama, faktor dari dalam (internal) yang berupa kemampuan pada diri seorang pengusaha untuk mengembangkan suatu usaha seperti etos kerja yang tinggi, kemampuan manajemen yang baik, serta keberanian untuk berinovasi. Kedua, faktor dari luar (eksternal) berupa bantuan modal dari pemerintah atau lembaga non-pemerintah, luasnya permintaan barang, kemudahan dalam mendapatkan bahan baku dan sebagainya.

Huda dalam tesisnya mengenai industri kecil antara etos kerja pengusaha dengan kebijakan pembinaan yang dijalankan pemerintah (dalam Ahimsa, 2003:69) menyimpulkan bahwa etos kerja yang meliputi sikap disiplin, kerja keras, memiliki pandangan kedepan, kreatif, bertanggung jawab serta memiliki sikap hidup hemat, bertanggung jawab akan dapat menghasilkan sebuah industri kecil yang memiliki produktivitas tinggi, baik kualitas maupun kuantitas, yang dikemudian hari akan turut menentukan luasnya pemasaran bila didukung


(33)

oleh kebijakan pembinaan dari pemerintah berupa bimbingan dan penyuluhan, pemberian bantuan dalam hal promosi, serta koperasi. Dalam mengembangkan industri sepatu ini diperlukan peningkatan etos kerja dalam mendesain atau mengembangkan model sepatu dengan pelatihan, seperti pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dengan mengirimkan beberapa pengrajin sepatu Bunut ke Sidoarjo, Jawa Timur.

2.5 Motivasi Berprestasi atau n-Ach

Perkembangan ekonomi selalu dilakukan dan merupakan hasil dari penyebaran inovasi untuk berprestasi (kebutuhan untuk berprestasi). Motivasi tersebut menemukan jalan keluarnya yang terbaik dalam aktivitas kewirausahaan. Masyarakat dengan motivasi untuk berprestasi tinggi akan menghasilkan usahawan yang lebih giat dan selanjutnya akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang lebih cepat ( McClelland dalam Sztompka Piotr 2010:282).

Motivasi Berprestasi adalah suatu pembentukan perilaku yang ditandai oleh bentuk-bentuk aktivitas atau kegiatan melalui proses psikologis, baik yang dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik, yang dapat mengarahkannya dalam mencapai apa yang diinginkannya.

McClelland (dalam Budiman Arief, 2000:23) mengatakan bahwa kalau dalam sebuah masyarakat ada banyak orang yang memiliki n-Ach yang tinggi, dapat diharapkan masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan untuk membuat sebuah pekerjaan berhasil, yang paling penting adalah sikap terhadap pekerjaan tersebut. Dari hasil penelitian antarnegara yang dilakukan oleh McClelland menemukan bahwa Negara yang memiliki derajat yang tinggi kebutuhan berprestasinya, juga memiliki derajat yang tinggi pula pembangunan ekonominya. Orang dengan n-Ach yang tinggi, yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, mengalami kepuasan bukan karena hasil kerja tersebut dianggapnya sangat baik. Akan tetapi, ada kepuasan batin tersendiri kalau ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya


(34)

dengan sempurna. Menurut McClelland (dalam Suwarsono, 2006:27) ada 4 ciri-ciri berprestasi yaitu:

a. Mempunyai keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi yang gemilang

b. Penampilan kerja yang baik

c. Selalu berpikir untuk maju

d. Berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja

yang dicapainya.

Menurut McClelland ada beberapa klasifikasi dalam menilai tingkat motivasi berprestasi seseorang, yaitu: amat rendah, sangat rendah, dan amat kuat. Individu yang mempunyai motivasi berprestasi cenderung mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi, mempunyai tanggung jawab dalam usaha, aktif dalam kehidupan sosial serta tahan terhadap tekanan-tekanan dalam masyarakat sehingga tidak suka mengerjakan tugas yang terlalu mudah karena hal tersebut tidak banyak memberikan tantangan dan selalu memperhitungkan resiko. Beberapa cara dalam menilai tingkat motivasi berprestasi seseorang adalah dengan menerapkan berbagai metode dalam menilai tingkat motivasi berprestasi, baik itu orang perorang maupun tingkat berprestasi di sebuah Negara sekalipun, salah satunya dengan menggunakan metode proyeksi untuk menilai tingkat berprestasi seseorang dan kemudian meminta pendapat mengenai gambar yang ditampilkan, selanjutnya membandingkan dengan pendapat dari orang lain dengan gambar yang sama. Motivasi berprestasi yang terdapat pada pengrajin adalah usaha yang dimiliki oleh buruh pabrik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengembangkan keterampilan ataupun kreatifitas yang dimiliki dalam membuat sepatu dan kemampuan pengrajin dalam mengatasi berbagai masalah baik dari permodalan, persaingan produk ataupun perluasan pemasaran.


(35)

2.6 Definisi Konsep

Dalam penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep merupakan definisi, abstraksi mengenai gejala atau realita ataupun suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Meleong, 2006: 667). Di samping berfungsi untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian, konsep ini juga berfungsi sebagai panduan yang nantinya di gunakan peneliti untuk menindak lanjut sebuah kasus yang di teliti dan menghindari dari terjatuhnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalan sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini antara lain adalah:

a. Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari

lapisan yang satu ke lapisan yang lain. Mobilitas sosial terbagi menjadi empat yaitu pertama mobilitas vertikal adalah adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat, kedua

mobilitas horizontal adalah peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari

suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat, ketiga mobilitas antar generasi adalah pergerakan atau pergeseran yang terjadi pada dua generasi atau lebih dan yang keempat mobilitas intragenerasi adalah mobilitas yang dialami seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi yang sama. Mobilitas yang terjadi pada pengrajin sepatu Bunut adalah mobilitas antargenerasi yang terjadi pada pengrajin sepatu Bunut yaitu perpindahan posisi dari buruh pabrik pembuat sepatu menjadi pengrajin sepatu dan keterampilan tersebut di wariskan kepada anaknya secara turun temurun.


(36)

b. Pengrajin adalah orang yang pekerjaannya membuat barang-barang kerajinan atau orang yang mempunyai keterampilan berkaitan dengan kerajinan tertentu, seperti kelompok pembuat sepatu dapat disebut pengrajin sepatu.

c. Kondisi sosial ekonomi adalah dimana kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan

non-material. Kondisi ini terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tenpat tinggal, dan pendapatan terpenuhi, serta manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

d. Keberdayaan ekonomi adalah tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas

mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki.

e. Industri kecil adalah usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang

setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan.

f. Kualitas sepatu adalah keseluruhan karakteristik produk sepatu, di mana produk

tersebut akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.

g. Etos kerja adalah bentuk semangat kerja yang menjadi cirri khas dan keyakinan

seseorang atau suatu kelompok dalam memandang, mempersepsikan dan menghayati, dan menghargai sebuah nilai kerja.


(37)

h. Motivasi berprestasi adalah suatu pembentukan perilaku yang ditandai oleh bentuk-bentuk aktivitas atau kegiatan melalui proses psikologis, baik yang dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik, yang dapat mengarahkannya dalam mencapai apa yang diinginkannya.

i. Sepatu Bunut adalah alas kaki yang penjualan dan tempat pembuatannya terdapat di


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistic dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Meleong,2006:6). Jenis penelitian yang masuk dalam penelitian deskriptif yaitu penelitian survey, studi kasus, penelitian perkembangan, analisis korelasi dan analisis dokumentasi (Suharsimi, 2007:236). Dengan menggunakan penelitian kualitatif peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai mobilitas sosial dan keberdayaan ekonomi keluarga pengrajin sepatu di Bunut kec. Kisaran Barat kab. Asahan.

Tujuan penelitian kualitatif ini adalah untuk memahami permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan dapat mendapatkan data dan informasi dari apa yang diamati. Pendekatan deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan, berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi atau fenomena tertentu (Bungin, 2007:68).


(39)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kel. Bunut Kec. Kota Kisaran Barat Kab. Asahan. Lokasi ini dipilih karena dilokasi ini terdapat pusat pengrajin sepatu Bunut di Kabupaten Asahan dan juga terdapat 5 toko yang hanya menjual sepatu Bunut serta 8 toko sepatu yang mempunyai pengrajin sepatu ditambah lagi letaknya yang cukup strategis karena terdapat di jalan lintas Sumatera tepatnya di Kelurahan Bunut.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1999: 22). Salah satu ciri atau karakteristik dari hasil penelitian sosial adalah menggunakan apa yang disebut dengan ‘unit of analysis’. Ada sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial yaitu individu, kelompok, dan sosial. Adapun yang menjadi unit analisis atau objek kajian dalam penelitian ini adalah 8 pengrajin sepatu yang tinggal di Kel. Bunut Kec. Kota Kisaran Barat Kab. Asahan, pembeli, Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

3.3.2 Informan

Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin, 2007: 76). Adapun informan dari penelitian ini adalah

1. Pengrajin sepatu merupakan orang yang bekerja sebagai pembuat sepatu Bunut


(40)

2. Penjual sepatu merupakan orang yang bekerja untuk menjual sepatu yang telah jadi sebanyak 5 orang.

3. Pembeli sepatu merupakan orang yang membeli sepatu yang telah jadi sebanyak 10

orang.

4. Petugas penyuluhan pengrajin sepatu dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan

merupakan Dinas Pemerintahan yang telah memberikan bantuan kepada pengrajin sepatu sebanyak 1 orang.

5. Staf bagian umum Dinas Tenaga Kerja merupakan Dinas Pemerintahan yang telah

memberikan bantuan berupa pelatihan ke Sidoarjo kepada para pengrajin sepatu sebanyak 1 orang.

6. Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan yang merupakan Dinas dari

Pemerintahan yang memberikan bantuan berupa pinjaman uang kepada para pelaku usaha industri sebanyak 1 orang.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian digolongkan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder:

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipasif maupun wawancara secara mendalam. Pengumpulan data dengan langsung terjun ke lokasi penelitian yang dapat digunakan melalui:

a. Observasi, adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek

pengamatan dengan langsung mengamati kehidupan masyarakat dan merasakan berada dalam aktivitas kehidupan dengan langsung hidup bersama. Observasi


(41)

menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utama serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Data yang diperoleh adalah mengenai aktivitas kehidupan yang melakukan mobilitas sosial berhubungan dengan keberdayaan ekonomi pengrajin sepatu Bunut.

b. Wawancara mendalam, bertujuan untuk memperoleh keterangan, pendapat secara

lisan dari seseorang dengan berbicara langsung ataupun tanya jawab dengan informan. Wawancara ini dapat menggunakan alat bantu perekam atau tape recorder jika memang dibutuhkan untuk memudahkan peneliti menangkap keseluruhan informasi yang dioberikan informan. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara dan untuk memperoleh data secara mendetail tentang mobilitas sosial dan keberdayaan ekonomi keluarga pengrajin sepatu di Bunut.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian.

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, koran, majalah, jurnal dan bahan dari situs-situs internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data adalah pencarian pengertian yang luas tentang data yang telah dianalisis dengan jalan bekerja oleh data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, membuat ikhtisarnya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain. Disini peneliti akan mengelompokkan data-data yang


(42)

diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan sebagainya yang selanjutnya akan dipelajari dan ditelaah secara seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang baik.

Data-data yang diperoleh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan kedalam kategori, pola, atau uraian tertentu maka, langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan secara abstraksi. Abstraksi yang dimaksud adalah dengan membuat rangkuman yang terperinci, merujuk keinti dengan menelaah p-ernyataan-pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian. Langkan yang harus dilakukan selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan kemudian dikategorisasikan dan diinterpretasikan secara kualitatif.


(43)

7.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

1 Pra Observasi √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √ √

4 Seminar Proposal √

5 Revisi Proposal √

6 Penelitian Lapangan √ √ √

7 Pengumpulan dan

Interprestasi Data

√ √ √ √

8 Penulisan Laporan √ √ √ √

9 Bimbingan Skripsi √ √ √


(44)

7.7 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Selain itu terkait erat dengan kelemahan instrument wawancara mendalam. Kendala lain adalah keterbatasan waktu saat melakukan wawancara dengan informan, hal ini disebabkan kegiatan informan yang rentan akan kesibukan. Tidak terlepas dari permasalahan teknis penelitian dan kendala dilapangan, peneliti menyadari keterbatasan peneliti mengenai metode yang menyebabkan lambatnya proses penelitian yang dilakukan, dan masih terdapat keterbatasan dalam hal kemampuan pengalaman melakukan penelitian ilmiah serta referensi buku atau jurnal. Walaupun demikian peneliti berusaha untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini semaksimal mungkin agar data dan tujuan yang ingin dicapai dapat diperoleh.


(45)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Asahan merupakan salah satu Kabupaten yang berada di kawasan pantai Timur Sumatera Utara, secara geografis Kabupaten Asahan berada pada 203’00”-326’00” Lintang Utara 99 00-100 00 Bujur Timur dengan ketinggian 0-1000 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Asahan merupakan ibukota Kisaran Barat yang terdiri dari 13 kelurahan yang salah satunya merupakan Kelurahan Bunut. Kelurahan Bunut merupakan hasil pemekaran dari Kelurahan Kisaran Baru. Kondisi kelurahan Bunut merupakan dataran rendah yang luas wilayahnya 126 Ha. Berikut perincian luas wilayah kelurahan Bunut berdasarkan kegunaannya.

Table 4.1

Pemanfaatan Tanah di Kelurahan Bunut

NO Pemanfaatan Tanah Luas (Ha)

1 Pemukiman 29

2 Pertanian _

3 Perkebunan 91

4 Hutan _

5 Fasilitas Umum dan Lainnya 6

Jumlah 126


(46)

Kelurahan Bunut mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut. Dengan batas sebagai berikut:

1.Sebelah utara berbatasan dengan desa Sidomulyo

2. Sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Dadimulyo

7.Sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Bunut Barat

8.Sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Sidomukti

Kelurahan Bunut terletak disebelah Utara Ibukota Kabupaten Asahan dengan jarak 5Km. dan jarak tempuh dengan ibukota provinsi cukup jauh yaitu sekitar 160 km dan memakan waktu sekitar ± 4 jam dari kabupaten Asahan.

4.2Kondisi Demografi

4.2.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan dari data Kelurahan Bunut pada tahun 2011, penduduk Kelurahan Bunut berjumlah sebanyak 3.074 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 1.564 (51%) jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 1.510 jiwa (49%).

4.2.2 Komposisi Penduduk Menurut Kewarganegaraan

Komposisi penduduk menurut kewarganegaraan terbagi menjadi dua yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Indonesia turunan. Warga Negara Indonesia merupakan penduduk asli atau lokal yang tinggal di Kelurahan Bunut yang terdiri dari 3.059 orang (99%) dan Warga Negara Asing adalah individu yang menetap di Kelurahan Bunut sebanyak 15 orang (1%) karena suatu hal seperti telah tugas atau telah menikah dengan warga Kelurahan Bunut dan kemudian tinggal di sana. Berikut komposisi penduduk menurut kewarganegaraan yaitu:


(47)

Tabel 4.2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Kewarganegaraan di Bunut

No. Kewarganegaraan F %

1 WNI 3.059 99

2 WNA 15 1

Total 3.074 100

Sumber : Profil Kelurahan Bunut tahun 2012

Tabel 4.3

Komposisi Penduduk Menurut Usia

No. KELOMPOK USIA F %

1 0-6 tahun 350 11

2 7-12 tahun 335 10

3 13-15 tahun 177 6

4 16-18 tahun 180 6

5 19-24 tahun 365 12

6 25-40 tahun 639 21

7 41-56 tahun 672 22


(48)

Total 3.074 100

Sumber : Profil Kelurahan Bunut tahun 2012

Pada tabel 4.3, jelas tergambar bahwa mayoritas kelompok masyarakat berdasarkan usia di dominasi oleh masyarakat yang sudah berusia produktif yaitu antara usia 41-56 tahun sebesar 672 orang (22%) sehingga sudah mampu untuk bekerja dan dapat menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya sehari-hari. Antara umur 19 tahun keatas ada sekitar 1.974 orang yang sudah bekerja, akan tetapi angka ini belum memisahkan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan usia.

4.2.3 Komposisi Penduduk Menurut Agama

Berdasarkan data dari kelurahan Bunut mayoritas warga Kelurahan Bunut beragama Islam yaitu sebesar 2.749 orang (89%) dan 299 orang (10%) yang menganut agama Kristen protestan, Kristen khatolik dan Budha hanya beberapa orang saja. Kerukunan umat beragama di kelurahan Bunut tergolong baik karena tidak adanya keributan atau konflik yang terjadi yang dikarenakan masalah agama. Berikut penjelasan komposisi penduduk menurut agama:

Tabel 4.4

Komposisi Penduduk Menurut Agama di Kelurahan Bunut

No. AGAMA F %

1 Islam 2.749 89

2 Protestan 299 10

3 Khatolik 18 1


(49)

Total 3.074 100

Sumber: profil kelurahan Bunut tahun 2012

4.2.4 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penunjang keberhasilan pembangunan, karena dengan pendidikan yang baik akan terciptanya sumber daya manusia yang mampu mengelola sumber daya alam dan potensi daerah secara efektif dan efisien. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dibagi menjadi 2 yaitu Lulusan Pendidikan umum dan lulusan pendidikan khusus.

Tabel 4.5

Lulusan Pendidikan Umum

No TINGKAT PENDIDIKAN F %

1 Taman Kanak-kanak 57 4

2 SD 432 32

3 SMP/ SLTP 301 23

4 SMA/ SLTA 437 33

5 AKADEMI (D1-D3) 35 3

6 SARJANA (S1-S2) 73 5

Total 1335 100


(50)

Tabel 4.6

Lulusan Pendidikan Khusus

No. TINGKAT PENDIDIKAN F %

1 Pondok pesantren 2 8

2 Madrasah 12 46

3 Pendidikan keagamaan _ _

4 Sekolah luar biasa 1 4

5 Kursus/ ketrampilan 11 42

Total 26 100

Sumber : profil kelurahan Bunut tahun 2012

Pada lulusan pendidikan umum dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Bunut terdapat 437 orang (33%) yang merupakan tamatan SMA. Mereka tidak dapat melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi disebabkan oleh berbagai alasan seperti keadaan ekonomi yang kurang memadai atau mendukung, ingin membantu orangtua dengan cara bekerja dan berbagai alasan lainnya. Apabila lulusan SMA ada yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi biasanya mencari perguruan tinggi dengan uang kuliah yang murah atau karena beasiswa, ataupun keluarga yang mampu dan mempunyai kemampuan ekonomi keatas. Pada tempat kedua ditempati oleh lulusan SD yaitu sebanyak 432 orang (32%). Hal ini disebabkan karena orang tua ketika dulu masih sekolah dasar tidak begitu mementingkan pedidikan, bagi mereka tahu membaca dan menghitung saja sudah cukup ditambah lagi tingkat ekonomi yang cukup rendah sehingga begitu tamat sekolah dasar mereka langsung bekerja. Lulusa SMP/SLTP sebanyak 301 orang (23%). Pada lulusan pendidikan khusus mayoritasnya


(51)

ditempati oleh pendidikan madrasah yaitu 12 orang (46%) dan pada pendidikan kursus atau keterampilan sebesar 11 orang (42%). Hal ini dikarenakan di kelurahan Bunut terdapat sekolah pendidikan ketrampilan menjahit yang di adakan setiap hari rabu dan kamis. Pengajar keterampilan menjahit juga berasal dari Bunut dan terdiri dari 3 orang staf pengajar, murid-murid yang belajar pun mayoritas ibu-ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan. 4.2.5 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Berdasarkan data kelurahan Bunut pada tahun 2011 mayoritas masyarakat Bunut bermata pencaharian sebagai karyawan. Hal ini dikarenakan wilayah Bunut dekat dengan Perkebunan BSP (Bakrie Sumatera Plantation) yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, yaitu pabrik yang dulunya sebagai pabrik sepatu kemudian beralih menjadi pabrik pengolahan karet sehingga banyak masyarakat sekitar yang menjadi karyawan di pabrik tersebut terdapat 368 orang (54%) dan 126 orang (18%) bekerja sebagai swasta seperti penarik becak atau buruh serabutan, sedangkan jumlah wiraswata atau pedagang sebanyak 79 orang (12%) termasuk pengusaha industri sepatu Bunut didalamnya. Pekerjaan sebagai pertukangan terdapat 39 orang (7%) dan pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 34 orang (6%). Ini dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 4.7

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

NO JENIS PEKERJAAN F %

1 Karyawan 368 54

2 PNS 34 6

3 ABRI 15 2


(52)

5 Wiraswasta/Pedagang 79 12

6 Tani 3 1

7 Pertukangan 39 7

Total 700 100

Sumber : profil Kelurahan Bunut tahun 2012 4.2.6 Komposisi Penduduk Menurut Suku

Menurut data kelurahan Bunut pada tahun 2011 mayoritas penduduk di Kelurahan Bunut merupakan suku Jawa yaitu sebesar 1580 orang (51%), suku Batak Mandailing di urutan kedua terdapat 830 orang (27%), Batak Toba sebesar 451 orang (15%) dan Melayu 145 orang (5%). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.8

Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

No JENIS SUKU F %

1 Jawa 1580 51

2 Batak Mandailing 830 27

3 Batak Toba 451 15

4 Melayu 145 5

5 Minang 19 1


(53)

7 Tionghoa 15 0

8 Batak Karo 13 0

9 Ambon 2 0

10 Banjar 2 0

Total 3074 100

Sumber: profil Kelurahan Bunut tahun 2012

4.2.7 Sarana dan Prasarana

Industri sepatu Bunut terletak di jalan lintas antar propinsi atau yang biasa disingkat dengan jalinsum. Keadaan jalan di Bunut secara umum adalah jalan beraspal yang sampai saat ini dalam keadaan baik. Jarak tempuh antara Kelurahan Bunut dengan Kecamatan hanya 5 km dan jarak tempuh ke Kabupaten cukup dekat yaitu berjarak 4 km hanya diperlukan waktu sekitar 10 menit untuk mencapai Kabupaten. Dekatnya jarak antara Bunut dengan Kabupaten membuat masyarakat lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan seperti berbelanja kebutuhan sehari-hari ataupun berbelanja keperluan yang lain. Sarana transportasi yang sering digunakan masyarakat adalah kendaraan roda dua (sepeda motor, kendaraan roda empat (mobil) atau angkutan umum seperti angkot atau becak. Sedangkan jarak tempuh ke Ibukota Provinsi yaitu Medan 160 km memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 4-5 jam dan transportasi yang digunakan pun bisa menggunakan kendaraan pribadi atau pun kendaraan umum seperti bus ataupun kereta api. Untuk penerangan yang digunakan oleh masyarakat adalah jasa PLN yang telah terpasang sejak dulu, dan segala kebutuhan rumah tangga seperti memasak nasi menggunakan tenaga listrik. Begitu juga dengan halnya penyediaan air bersih, masyarakat sudah menggunakan air sumur pompa ataupun sumur gali dan ada juga yang memakai air PDAM.


(54)

4.2.8 Gambaran Umum Industri Kecil di Kabupaten Asahan

Kabupaten Asahan merupakan kabupaten yang mempunyai sektor unggulan dalam bidang pertanian dan industri. Berdasarkan data Asahan Dalam Angka pada tahun 2013, sektor pertanian merupakan kontributor utama pada PDRB Kabupaten Asahan sebesar 38.75%, kemudian disusul oleh sektor industri sebesar 32,36% dan sektor-sektor lainnya hanya memberikan kontribusi sebesar 17,76%. Pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Asahan mencapai 5,89% pertumbuhan terbesar terjadi pada sektor industri yaitu 9,74% sedangkan pada sektor pertanian hanya 2,64%.

Berdasarkan data Asahan dalam Angka 2013, pada tahun 2012 jumlah industri besar dan industri sedang di Kabupaten Asahan sebanyak 116 unit, sedangkan jumlah industri kecil dan kerajinan rumah tangga sebanyak 722 unit. Menurut kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Asahan perkembangan sektor industri secara umum cukup baik bahkan jika perbandingan pertumbuhan ekonomi antara sektor pertanian dan sektor industri bertambah baik maka, besar kemungkinan beberapa tahun kedepan sektor industri akan menjadi kontributor utama pada PDRB Kabupaten Asahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(55)

Tabel 4.9

Jumlah Industri Besar dan Industri Sedang menurut Kecamatan

No Kecamatan 2008

(unit)

2009

(unit)

2010

(unit)

2011

(unit)

2012

(unit)

1 Kota Kisaran Barat 13 13 11 8 8

2 Kota Kisaran Timur 16 16 12 11 11

3 Meranti 4 4 1 1 1

4 Buntu Pane 3 3 2 2 2

5 Bandar Pasir Mandoge 2 2 3 3 3

6 Air Batu 10 10 7 6 6

7 Pulau Rakyat 1 1 1 1 1

8 Bandar Pulau 4 4 - - -

9 Simpang Empat 7 7 4 4 4

10 Tanjung Balai 10 10 9 7 7

11 Air Joman 58 58 8 11 11

12 Sei Kepayang - - - - -

13 Aek Kuasan 2 2 1 1 1


(56)

15 Aek Ledong - - 2 - -

16 Teluk Dalam - - 3 3 3

17 Sei Dadap - - 4 3 3

18 Setia Janji - - 1 1 1

19 Tinggi Raja - - - - -

20 Pulo Bandring - - 3 3 3

21 Silau Laut - - 47 47 47

22 Sei Kepayang Barat - - 1 1 1

23 Sei Kepayang Timur - - - - -

Jumlah 130 130 123 116 116

Sumber: Asahan dalam Angka 2013

Tabel 4.10

Jumlah Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga menurut Kecamatan

No Kecamatan 2008

(unit)

2009

(unit)

2010

(unit)

2011

(unit)

2012

(unit)

1 Kota Kisaran Barat 257 259 268 271 271

2 Kota Kisaran Timur 151 154 157 162 167


(57)

4 Buntu Pane 5 5 5 5 6

5 Bandar Pasir Mandoge 4 4 4 4 4

6 Air Batu 31 32 32 34 35

7 Pulau Rakyat 22 23 23 23 24

8 Bandar Pulau 6 6 6 6 6

9 Simpang Empat 24 24 25 25 25

10 Tanjung Balai 19 19 20 23 23

11 Air Joman 21 21 21 27 27

12 Sei Kepayang 13 13 13 13 13

13 Aek Kuasan 7 8 9 9 9

14 Aek Songsongan 3 3 4 4 4

15 Rahuning 3 3 3 3 3

16 Aek Ledong 6 6 6 6 6

17 Teluk Dalam 8 8 8 8 8

18 Sei Dadap 19 19 20 23 24

19 Setia Janji 6 6 6 6 6

20 Tinggi Raja 6 6 6 6 6


(58)

22 Rawang Panca Arga 3 3 3 3 5

23 Silau Laut 6 6 6 6 6

24 Sei Kepayang Barat 10 10 10 10 10

25 Sei Kepayang Timur 4 4 4 4 4

Jumlah 660 669 686 708 722

Sumber: Asahan dalam Angka 2013

Perbandingan antara jumlah industri kecil dengan jumlah industri besar dan sedang di kabupaten Asahan cukup jauh. Jumlah industri kecil dan kerajinan tangan jauh lebih banyak daripada jumlah industri besar dan sedang. Tiap tahunnya jumlah industri kecil di Asahan terus bertambah dan hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah industri besar dan industri sedang yang mengalami penurunan pada tiap tahunnya. Industri besar dan sedang pada tahun 2008 berjumlah 130 unit namun pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 116 unit. Namun pada industri kecil justru mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat pada tahun 2008 industri kecil berjumlah 660 unit dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan yaitu berjumlah 722 unit. Jenis industri kecil dan kerajinan rumah tangga di Kabupaten Asahan cukup banyak, terdapat 54 jenis industri dan kerajinan rumah tangga seperti pengolahan meubel kayu batang kelapa, pembuatan pupuk kompos, pengolahan sabuk kelapa, kerajinan kulit (sepatu Bunut), anyaman pandan, sapu lidi hias, makanan ringan (dodol, keripik), dan lain-lain . Dengan berbagai jenis industri kecil dan kerajinan rumah tangga ini dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 2.930 jiwa.


(59)

4.3 Profil Informan

4.3.1 Profil Informan Pengrajin Sepatu Bunut

4.3.1.1 Nama : Doni Artadi

Umur : 32 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan Terakhir : SMA

Toko : Egalite

Abang Doni bekerja sebagai pengrajin sepatu Bunut di mulai sejak tahun 1998 hingga sekarang. Jadi, abang Doni ini sudah bekerja sebagai pengrajin sepatu kurang lebih sekitar 15 tahun. Abang Doni memiliki 2 orang anak yang masih kecil. Abang Doni awalnya bekerja sebagai pengrajin sepatu ditempat orangtuanya, orangtua bang Doni ini memiliki usaha sepatu Bunut menjual dan membuat sekaligus juga menerima tempahan sepatu Bunut. Setelah orangtua Bang Doni ini pensiun sebagai pengrajin sepatu maka usahanya diteruskan oleh Bang Doni sendiri. Orangtua Abang Doni membuka usaha sepatu Bunut pada tahun 90an dengan bermodalkan uang Rp.500.000 yang didapat dari pinjaman saudara, kemudian pada tahun 1998 usaha tersebut di ambil alih oleh Abang Doni. Keahlian membuat sepatu Abang Doni didapat dari melihat dan belajar mencoba membuat sepatu dari para pekerja dan orangtua Abang Doni. Karena sering melihat para pengrajin dan orangtuanya bekerja muncul keinginan Abang Doni untuk belajar membuat sepatu. Jumlah yang bekerja di usaha sepatu Abang Doni sekitar 5 orang. Mulai dari pemotongan pola untuk tapak sepatu dan pola kulit sepatu, menyeset atau menipiskan kulit agar mudah dilipat atau dibentuk, pengeleman dan lain sebagainya. Pekerja tersebut merupakan saudara dan pemuda yang tinggal disekitar rumah orangtua Abang Doni. Abang Doni dulu pernah kuliah sampai semester 4 di suatu


(60)

Universitas swasta di Medan namun karena kurangnya biaya maka Bang Doni berhenti kuliah

dan kemudian meneruskan usaha orangtuanya .Hal yang menyebabkan Abang Doni tersebut

harus berhenti melanjutkan kuliahnya karena ekonomi keluarga yang kurang mencukupi. Maka dari itu daripada melanjutkan kuliah Bang Doni memutuskan untuk berhenti dan mulai menekuni menjadi pengrajin sepatu. Selain dapat membantu orangtua juga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari. Hasil yang didapat dari membuat sepatu ini pun lumayan menguntungkan dikarenakan banyak yang telah mengenal usaha sepatu Abang Doni yaitu toko sepatu EGALITE. Dalam sehari usaha sepatu Abang Doni dapat memproduksi 10 pasang sepatu/hari dan 30 pasang sandal/hari. Ketika hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri atau Natal hasil penjualan sepatu banyak peminatnya, ditambah lagi bila ada pameran-pameran Dinas Perindustrian dan Perdagangan sering mengambil contoh sepatu di usaha milik Abang Doni ini. Abang Doni lebih memilih menjadi pengusaha sepatu dibandingkan menjadi pekerja kantoran karena lebih menguntungkan menjadi wiraswasta dan tidak terpaku pada waktu kerjanya. Menurut Abang Doni pendapatan selama Hari Raya bisa mencapai Rp.50.000.000. Dalam sehari pendapatan dari penjualan sepatu Abang Doni tidak menentu. Hal ini dikarenakan Abang Doni hanya menjual sepatu di toko sepatu yang terdapat di depan rumah orangtuanya. Kadang ada juga yang menempah sepatu ke tempat usaha Abang Doni. Abang Doni membeli kulit dan bahan-bahan untuk membuat sepatu ini di Medan. Usaha membuat sepatu Bunut ini menurut Abang Doni sangat menguntungkan karena hasilnya yang didapat juga lumayan. Dalam membuat sepasang sepatu hanya diperlukan modal sekitar Rp.92.000 itu pun tergantung dari model sepatunya. Namun Abang Doni dapat menjual Sepatu dimulai dari harga Rp. 150.000 sampai jutaan. Hambatan yang dirasakan ketika harga bahan baku pembuatan sepatu naik dan ketika bahan bahan baku tersebut langka.


(1)

INTERVIEW GUIDE DINAS PERINDUSTRIAN dan PERDAGANGAN Kab. ASAHAN

Nama :

Umur :

Pendidikan terakhir :

Agama :

Jabatan :

Status :

1. Bantuan apa saja yang telah Disperindag ini berikan kepada pengrajin sepatu Bunut ? 2. Apakah bantuan tersebut bermanfaat untuk para pengrajin sepatu ?

3. Sudah berapa kalikah Disperindag memberikan bantuan kepada pengrajin sepatu ? 4. Biasanya bantuan tersebut diberikan dalam jangka waktu berapa lama ?

5. Apakah Disperindag ini selalu mensurvei terlebih dahulu sebelum memberikan bantuan kepada pengrajin ?

6. Apakah ada program khusus untuk menaungi ataupun memberikan bantuan kepada para pengrajin dan penjual sepatu Bunut ?

7. Bagaimana Disperindag ini melihat kebertahanan usaha pengrajin dan penjual sepatu Bunut sampai saat ini ?

8. Apakah Disperindag pernah bekerjasama dengan bank atau perusahaan untuk membantu pengrajin dan penjual sepatu Bunut ?

9. Apa saja kendala atau hambatan yang di alami oleh pengrajin dan penjual sepatu ? 10.Bagaimana cara dinas tersebut membantu pengrajin dan penjual sepatu untuk

mengatasinya ?


(2)

INTERVIEW GUIDE DINAS TENAGA KERJA Kab. ASAHAN

Nama :

Umur :

Pendidikan terakhir :

Agama :

Jabatan :

Status :

1. Bantuan apa saja yang telah Disnaker ini berikan kepada pengrajin sepatu Bunut ? 2. Apakah bantuan tersebut bermanfaat untuk para pengrajin sepatu ?

3. Apa ada program khusus yang menaungi para pengrajin sepatu Bunut ?

4. Sudah berapa kalikah Disnaker ini memberikan bantuan kepada para pengrajin dan penjual sepatu ?

5. Biasanya bantuan tersebut diberikan dalam jangka waktu berapa lama ?

6. Bagaimanakah Disnaker melihat kebertahanan usaha pengrajin dan penjual sepatu Bunut ?

7. Apa saja kendala atau hambatan yang di alami oleh pengrajin dan penjual sepatu ? 8. Bagaimana cara dinas tersebut membantu pengrajin dan penjual sepatu untuk

mengatasinya ?


(3)

Gambar 1. Plang dari Disperindag yang menandakan berada di kawasan pengrajin sepatu Bunut

Gambar 2. Model sepatu Bunut yang juga merupakan ciri dari Sepatu Bunut yaitu terdapat jahitan di atas sepatunya.


(4)

Gambar 3. Pembeli yang membeli sepatu Bunut dan Sendal di toko sepatu Bunut


(5)

Gambar 5. Pengrajin Sepatu yang sedang membuat pola tapak untuk membuat sepatu Bunut


(6)

Gambar 7. Mesin Desek yang berguna untuk melembutkan kulit sehingga kulit mudah untuk dibentuk

Gambar 8. Mesin jahit yang berguna untuk menjahit kulit sepatu ataupun sendal Bunut


Dokumen yang terkait

Kontribusi Perempuan Pengrajin Ulos Terhadap Ekonomi Keluarga di Desa Lumban Siagian Julu Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara

3 102 107

Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh Harian Lepas di Kelurahan Muliorejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

7 122 122

era Perempuan Pengrajin Bambu Dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga Dengan Memanfaatkan Potensi Sumber Daya Alam Lokal

1 74 100

Evaluasi Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga Miskin di Kelurahan Kisaran Baru Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan

3 116 161

Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung (Studi Antropologi Tentang Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung Etnik Batak di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang).

11 140 119

EKSISTENSI JEMBATAN TABAYANG TERHADAP KEADAAN SOSIAL EKONOMI DI KECAMATAN SEI KEPAYANG BARAT KABUPATEN ASAHAN.

0 8 24

MOBILITAS PENDUDUK NON PERMANEN DAN PERUBAHAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA MOBILITAS PENDUDUK NON PERMANEN DAN PERUBAHAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DI DESA GADUDERO DAN DESA PAKEM KECAMATAN SUKOLILO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH.

0 0 17

MOBILITAS SOSIAL ANTAR GENERASI KELUARGA PETANI PADI DI KELURAHAN PASIRAN KECAMATAN SINGKAWANG BARAT

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Mobilitas Sosial Dan Keberdayaan Ekonomi Keluarga Pengrajin Sepatu Di Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan

0 2 9

Evaluasi Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga Miskin di Kelurahan Kisaran Baru Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan

0 0 20