commit to user 6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Anak Tunarungu-wicara
a. Pengertian Tunarungu-wicara
Anak tunarungu adalah salah satu anak yang dikategorikan sebagai anak yang memiliki kekurangan dalam hal kemampuan mendengar, memiliki gangguan dalam
beberapa hal. Mulyono Abdurrahman 1994: 73 menyebutkan beberapa gangguan yang ditimbulkan dari kerusakan pendengaran Anak tunarungu antara lain :gangg
uan perseptual, gangguan bicara, gangguan komunikasi, gangguan kognitif, gangguan sosial, gangguan emosi, masalah pendidikan, gangguan dalam intelekual, masalah
vokasional. Anak tunarungu dan Istilah tunarungu
diambil dari kata “tuna” dan “rungu” tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan
tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Permanarian Somad,Tati Hernawati, 1996: 26.
Menurut Moores dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996: 27 ”orang Tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat
70 dB ISO atau lebih sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa
menggunakan alat bantu mendengar”. Andreas Dwidjosumarto dalam seminar ketunarunguan di Bandung 1988
dalam Permanarian Somad,Tati Hernawati 1996: 27, mengemukakan “tunarungu”
dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indera
pendengaran”.
commit to user 7
Moores dalam Mulyono Abdurrahman, 1994: 59 menyatakan “Orang
dikatakan tuli pendengarannya rusak sampai pada satu saraf tertentu biasanya 70 dB atau lebih sehingga menghalangi pengertian terhadap suatu pembicaraan melalui
indra pendengaran,baik tanpa maupun dengan alat bantu dengar hearing aid ”.
Sudibyo Markus dalam Sardjono, 2000: 8 ”Tunarungu-wicara adalah mereka
yang menderita tunarungu sejak bayisejak lahir, yang karenanya tak dapat mengangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan
kemampuan bicara meskipu n tak mengalami gangguan pada alat suaranya”.
Menurut Moh. Amin dalam Sardjono, 2000: 8 menjelaskan anak tunarungu- wicara adalah:
Mereka yang sejak lahir demikian kurang pendengarannya, sehingga memustahilkan mereka dapat belajar bahasa dan berbicara dengan cara-cara
normal. Mereka yang sekalipun lahir dengan pendengaran normal tetapi sebelum dapat
berbicara mendapat hambatan taraf berat pada pendengarannya. Mereka yang sekalipun sudah mulai dapat berbicara karena saat terjangkitnya
gangguan pendengaran, sebelum umur kira-kira 2 tahun, maka kesan-kesan yang diterima mengenai suara dan bahasa seolah-seolah hilang.
Menurut Soewito dalam Sardjono,
2000: 9 Tunarungu adalah “seseorang yang mengalami ketulian berat sampai total, yang tidak dapat lagi menangkap tutur kata
tanpa membaca bibir lawan bicaranya ”.
Menurut Imas A. R. Gunawan dalam Sardjono, 2000: 9 anak tunarungu adalah
”anak yang kehilangan kemampuan pendengarannya demikian rupa sehingga anak tersebut tidak dapat mengerti bahasa oral walaupun menggunakan alat bantu
dengar ”.
Menurut Andreas Dwidjosumarto Sutjihati Somantri, 1996: 74 “tuli adalah
mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah
mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat
commit to user 8
berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar hearing aids
”. Menurut Mufti Salim dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74-75
“Anak tunarungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya
sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya”.
Mohammad Efendi 2006: 56 mengkategorikan n ormal, “apabila sumber bunyi
didekat telinga yang memancarkan getaran-getaran suara dan menyebar ke sembarang arah dapat tertangkap dan masuk ke dalam telinga sehingga membuat gendang
pendengaran menjadi bergeta r”.
Mohammad-Hossein Azizi 2010: 116 mengemukakan “Noise-induced
hearing loss NIHL is an irreversible damage of the cochlear hair cells of the inner ear”.dari pendapat ini dapat kita ketahui kehilangan pendengaran karena suara yang
terlalu keras adalah kerusakan permanen pada sel rambut koklea di telinga dalam. Jadi kehilangan pendengaran yang dialami sudah tetap tidak dapat diobati.
Dari pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas dapat di tarik kesimpulan anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran
pada tingkat 70 dB atau lebih, ketulian berat sampai total sehingga anak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
b. Klasifikasi Anak Tunarungu-wicara
Klasifikasi anak tunarungu berfungsi untuk mencapai tujuan pendidikan dimana penderita kelainan pendengaran diklasifikasikan sesuai dengan kehilangan
pendengaran. Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel A Kirk dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996: 29
1 0 dB
: menunjukkan pendengaran yang optimal
commit to user 9
2 0-26 dB
:menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran normal
3 27-40 dB
: mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh 4
41-55 dB : mengerti bahasa percakapan tidak dapat mengikuti diskusi
kelas membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara tergolong tunarungu sedang
5 56- 70 dB
: hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat 6
71- 90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat
7 91 dB ke atas
: mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran banyak bergantung pada penglihatan daripada pendengaran
untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli berat.
Permanarian Somad dan Tati Hernawati 1996: 32 1. Tunarungu hantaran konduksi ialah ketunarunguan yang disebabkan
kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah.
2. Tunarungu syaraf sensorineural ialah tunarungu yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinnya alat- alat pendengaran bagian dalam syaraf
pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada lobus temporalis.
3. Tunarungu campuran adalah kelainan pendengaran yang disebabkan krusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran.
Sardjono 2000: 21 mengklasifikasikan anak tunarungu-wicara menjadi 6
antara lain : Sam IsbaniIsbani dalam Sardjono, 2000: 21
1 Berdasarkan bagian alat pendengaran mana yang mengalami kerusakan:
a Tunarungu konduktif conductive deafness: pada tunarungu secara
konduktif telinga bagian luar dan tengah yang mengalami kerusakan. b
Tunarungu perseptif perceptive loss deafness: pada tunarungu perseptif yang mengalami kerusakan ialah telinga bagian dalam,sehingga serabut-
serabut syaraf tidak dapat berfungsi normal.
commit to user 10
c Gejala tunarungu campuran Mixed deafness. Pada jenis gangguan atau
kelainan pendengaran ini ogan pendengarannya rusak, baik bagian luar, tengah maupun dalam.
2 Berdasarkan bentuk kelainan pendengaran
Menurut Samuel A. Kirk dalam Sardjono, 2000: 30 a
Conductive losses adalah seseorang yang kehilangan intensitas pencapaian suara, telinga bagian tengah saat mulainya getaran syaraf pendengaran.
b Sensory neural or perceptive losses disebabkan kelainan telinga bagian
dalam atau pada pengiriman syaraf pendengaran yang merangsang menuju ke otak.
c Central deafness kelainan jenis ini termasuk kondisi dimana suara seseorang
dapat didengar, tetapi tidak dapat menafsirkannya. 3
Berdasarkan etiologis, anatomis dan fisiologis ukuran nada yang dapat didengar. Emon sastro Winoto dalam Sardjono, 2000: 30 mengklasifikasikan
ketunaan sesuai dengan dasar-dasarnya yaitu: a
Klasifikasi etiologis: tunarungu endogenpembawaan, tunarungu eksogen yang disebabkan karena penyakit atau kecelakaan.
b Klasifikasi anatomis-fisiologis: tunarungu hantaran konduktif dan
tunarungu perceptive syaraf. c
Klasifikasi menurut ukuran nada yang tidak dapat didengar. d
Klasifikasi menurut saat terjadinya ketunarunguan: anak tunarungu yang terjadi pada waktu masih dalam kandungan ibu atau pre natal, tunarungu
yang terjadi pada saat kelahiran atau neo natal dan anak tunarungu yang terjadi pada saat setelah kelahiran atau post natal.
e Klasifikasi menurut taraf ketunarunguan atas dasar ukuran audiometris dapat
dibedakan menjadi : 1. Tunarungu taraf 5-25 dB: yaitu tunarungu taraf ringan, pada taraf ini
anak masih dapat belajar bersama dengan anak normalpada umumnya dengan memakai alat bantu dengar hearing aid
2. Tunarungu taraf 26-50 dB: pada taraf ini anak termasuk dalam kelompok tunarungu taraf sedang, anak memerlukan pendidikan khusus
dengan latihan bicara dan membaca ujaran. 3. Tunarungu taraf 51-75 dB yaitu tunarungu taraf berat, pada taraf ini
anak memerlukan program pendidikan di sekolah luar biasa bagian B dengan mengutamakan pelajaran Bahasa Indonesia, bicara dan membaca ujaran
4. Tunarungu taraf 75 dB ke atas. Kelompok ini termasuk dalam kelas tunarungu taraf sangat berat, anak memerlukan pendidikan program
commit to user 11
pendidikan kejuruan, meskipun pelajaran bahasa dan bicara dapat masih dapat diberikan.
4 Berdasarkan sifat dan cara rehabilitas.
Soewito dalam Sardjono, 2000: 32 membagi tunarungu dalam 3 kategori : a
Tuli konduksi b
Tuli persepsi sensorineural, saraf c
Tuli campuran 5
Berdasarkan tingkat gangguan dengan pemahaman bahasa dan bicara Connix dalam Sardjono 2000: 34 mengklasifikasikan tunarungu sebagai berikut:
Rata-rata frekuensi ucapan yang didengar lebih baik
Pengaruh kehilangan dalam memahami bahasa dan bicara
Ringan slight 27-40dB ISO
Mungkin mempunyai
kesulitan pendengaran yang ringan, kesulitan
dalam berbahasa Ringan Mild
41-55 ISO Mengerti percakapan ucapan pada jarak
5 kakiberhadapan muka. Marked
56-70dB ISO Percakapan harus keras untuk dapat
dimengerti. Keras Severe
71-90 dB ISO Bisa mendengar suara keras sekitar satu
kaki dari telinga. Ekstrim Extreme
91 dB atau lebih ISO Bisa mendengar suara yang keras tetapi
pada getaranvibrasi yang lebih dari pada contoh-contoh nada.
commit to user 12
Klasifikasi tunarungu menurut Boothroyd dalam Murni Winarsih, 2007: 23- 24 adalah sebagai berikut:
Kelompok I : kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan
ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. Kelompok II
: kehilangan 31-60 dB, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara
cakapan manusia hanya sebagian. Kelompok III
: kehilangan 61-90 dB: severe hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
Kelompok IV : kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia
tidak ada sama sekali. Kelompok V
: kehilangan lebih dari 120 dB: total hearing losses atau ketunarunguan total: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada
sama sekali. Uden dalam Murni Winarsih, 2007: 24 membagi klasifikasi ketunarunguan
menjadi tiga yakni: 1
Berdasar saat terjadinya ketunarunguan : a
Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi
lagi. b
Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.
2 Berdasarkan tempat kerusakan
a Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat
bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut tuli konduktif. b
Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyisuara, disebut tuli sensoris.
3 Berdasarkan taraf penguasaan bahasa
a Tuli pra bahasa prelingually Deaf adalah mereka yang menjadi tuli
sebelum dikuasainya suatu bahasa usia 1,6 tahun artinya anak menyamakan tanda signal tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih
dan sebagainya namun belum membentuk sistem lambang.
b Tuli bahasa Post Lingually Deaf adalah mereka yang menjadi tuli setelah
menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami sistem lambang, yang berlaku di lingkungan.
commit to user 13
Sutjihati Somantri 1996: 75 mengemukakan klasifikasi tunarungu sebagai berikut:
1 Klasifikasi secara etiologis
Yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab ketunarungau ada beberapa factor :
a Pada saat sebelum dilahirkan
b Pada saat kelahiran
c Pada saat setelah kelahiran
2 Klasifikasi menurut tarafnya
Andreas Dwidjosumarto dalam Sutjihati Somantri 1996: 76 mengemukakan klasifikasi anak tunarungu sebagai berikut:
a Tingkat I
: kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 db, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar
secara khusus. b
Tingkat II : kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 db, penderita kadang- kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus
dalam kebiasaan sehari- hari memerlukan latihan berbicara, dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.
c Tingkat III : kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.
d Tingkat IV : kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.
Penggolongan ketunarunguan menurut Connix dalam Sardjono, 2000: 37 sebagai berikut:
1 Kehilangan 0-30 dB pendengaran normal
2 Kehilangan 31-50 dB ketunarunguan ringan
3 Kehilangan 51-70 dB ketunarunguan sedang
4 Kehilangan 71-90 dB ketunarunguan berat
5 Kahilangan lebih dari 90 dB tergolong tuli.
Dari klasifikasi yang sudah dipaparkan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan klasifikasi anak tunarungu adalah:
1 Berdasarkan bagian alat pendengaran mana yang mengalami kerusakan
2 Berdasarkan bentuk kelainan pendengaran
3 Berdasarkan “gradasitingkatan” dari pada gangguan pendengaran.
4 Berdasarkan etiologis, anatomis dan fisiologis ukuran nada yang dapat
didengar. 5
Berdasarkan sifat dan cara rehabilitas.
commit to user 14
6 Berdasarkan jenis ketunarunguan serta kemampuan mengerti bicara dan bahasa.
c. Karakteristik Anak Tunarungu
Anak tunarungu secara sepintas fisik mereka tidak tampak jelas mengalami kelainan, tetapi ketika kita mencoba untuk berkomunikasi dengan anak akan katahuan
anak tunarungu mengalami kelainan pendengarannya. Dampak dari kelainan pendengaran ini menyebabkan anak memiliki ciri yang khas. Adapun karakteristik
anak tunarungu menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut: Sardjono 2000: 45 menjelaskan ciri-ciri anak tunarungu dalam segi
penguasaan bahasanya antara lain: “miskin dalam kosa kata, sulit mengartikan ungkapan- ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan, sulit mengartikan
ungkapan- ungkapan bahasa yang mengandung irama dan gaya bahasa”.
Permanarian Somad dan Tati Hernawati 1996: 34-36 1
Karakteristik dalam segi inteligensi Anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata-rata akan tetapi karena
perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa maka anak tunarungu menampakkan intelegensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan
memahami bahasa 2
Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara Kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan anak yang
mendengar, hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat kaitannya dengan kemampuan mendengar.
3 Karakteristik dalam segi emosi dan sosial
Ketunarunguan dapat mengakibakan merasa asing dari pergaulan sehari-hari, yang berarti mereka merasa asing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku dalam
masyarakat dimana ia hidup. Sardjono 2000: 43-44 menjelaskan ciri khas anak tunarungu antara lain:
1 Ciri-ciri khas dalam segi pisik
commit to user 15
Cara berjalannya cepat dan agak membungkuk, gerakan matanya cepat, agak beringas, gerakan anggota badannya cepat dan lincah, pada waktu bicara
pernafasan pendek dan agak terganggu, dalam keadaan biasa bermain, tidur, tidak bicara pernafasan biasa.
2 Ciri-ciri khas dalam intelegensi
Intelegensi merupakan motor dari perkembangan mental seseorang. Pada anak tunarungu dalam hal intelegensi tidak banyak berbeda dengan anak normal pada
umumnya. Ada yang memiliki intelegensi tinggi, rata-rata, dan ada yang intelegensinya rendah. Sesuai dengan sifat ketunaan pada umumnya anak
tunarungu sukar menangkap pengertian-pengertian yang abstrak. Dalam hal intelegensi potensial tidak berbeda dengan anak normal pada umunya, tetapi dalam
hal intelegensi fungsional rata-rata lebih rendah. 3
Ciri-ciri khas dalam segi emosi Kekurangan pemahaman akan bahasa lisan atau tulisan sering kali dalam
komunikasi menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab sering menimbulkan kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan hal yang negatif dan
menimbulkan tekanan pada emosinya. 4
Ciri-ciri khas dalam segi sosial Dalam kehidupan sosial anak tunarungu mempunyai kebutuhan yang sama
dengan anak biasa pada umunya, yaitu mereka memerlukan interaksi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dengan keluarga dan
dengan lingkungan masyarakat yang lebih luas. 5
Ciri-ciri dalam segi bahasa Sesuai dengan kekurangan atau kelainan yang disandangnya anak tunarungu
dalam penguasaan bahasa mempunyai ciri-ciri khas seperti: Miskin dalam kosa kata, sulit mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang
mengandung arti kiasan, sulit mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung irama dan gaya bahasa.
commit to user 16
Jan Stiles dan Kim Clark 1996: 96 menyatakan bahwa ”Children with hearing
or communication disabilities 1
May have difficulty understanding directions and routines 2
May have limited communication with other children and may interfere with their play
3 May act out due to frustration with their inability to be understood
4 May demonstrate a lack of attention
5 May lack appropriate or expected speech development
6 May have difficulty making themselves understood
7 May lack the language skills to initiate or enter into play or learning situations
8 May have difficulty following directions
9 May use limited vocabulary
Pernyataan di atas mengungkapkan adanya ciri-ciri anak tunarungu dengan berbagai permasalahan yang ada. Anak mempunyai masalah adanya kesulitan dalam
memahami arah dan kebiasaan, anak mempunyai keterbatasan dalam komunikasi dengan anak yang lainnya, anak bertingkah karena frustasi terhadap ketidakmampuan
mereka mengerti, anak menunjukkan kurangnya perhatian, anak kesulitan untuk diri mereka sendiri, anak kurang dalam ketrampilan berbahasa, anak memiliki kesulitan
dalam mengikuti arah dan masalah yang terakhir adalah terbatasnya kosakata anak, dimana masalah ini menjadikan anak sulit untuk menerima apa yang disampaikan
oleh orang lain. Freiberg 1997: 75 menyatakan bahwa
“disorder language is usally more difficult to remedy than delayed language. Disorder language may be due to a
receptive problem difficulty understanding voice sounds, an expressive problem difficulty producting the voice sounds that follow the arbitrary rules for that
language, or to both”. Dari pernyataan di atas terdapat karakteristik anak yang mempunyai masalah dalam segi berbahasa, anak tunarungu dengan cacat bahasa yang
dialami biasanya sulit untuk diobati daripada terlambat menguasai bahasa. Cacat bahasa mungkin disebabkan masalah keterterimaan kesulitan memahami suara,
masalah ekspresi, kesulitan mengeluarkan suara yang diikuti kesewenang- wenangan
commit to user 17
sikap untuk berbahasa. Hal inilah yang menjadikan apa yang diucapkan anak sulit dipahami.
Dari karakteristik yang sudah dipaparkan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan karakteristik anak tunarungu antara lain:
1 Karakteristik dalam segi fisik
2 Karakteristik dalam segi intelegensi
3 Karakteristik dalam segi emosi
4 Karakteristik dalam segi sosial
5 Karakteristik dalam segi bahasa
d. Penyebab Anak Tunarungu
Secara umum penyebab anak tunarungu dapat terjadi sebelum lahir prenatal, ketika lahir natal dan sesudah lahir post natal. Beberapa ahli mengungkap
penyebab ketunarunguan dengan berbagai sudut pandang berbeda. Trybus dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996: 32-33
mengemukakan enam penyebab ketunarunguan pada anak-anak di Amerika Serikat yaitu:
1 Keturunan
2 Campak Jerman dari pihak ibu
3 Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
4 Radang selaput otak meningitis
5 Otitis media radang pada bagian telinga bagian tengah
6 Penyakit anak-anak, radang dan luka-luka.
Murni Winarsih 2007: 28-29 mengelompokkan penyebab ketunarunguan sebagai berikut:
1 Factor internal diri anak: factor dalam diri anak terdapat beberapa hal yang
menyebabkan ketunarunguan: a
Factor keturunan dari salah satu atau kedua orang tua yang mengalami ketunarunguan
commit to user 18
b Penyakit campak jerman Rubella yang diderita ibu yang sedang
mengandung c
Keracunan darah atau toxaminia yang diderita ibu yang sedang mengandung. 2
Factor Eksternal Diri Anak a
Anak mengalami infeksi saat dilahirkan. b
Meningitis atau radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri yang menyerang labyrinth telinga dalam melalui system sel-sel udara pada
telinga tengah. c
Radang telinga bagian tengah otitis media pada anak.
Jan Stiles dan Kim Clark 1996: 96 menyatakan penyebab kelainan pendengaran sebagai berikut:
Hearing impairments can be caused by: 1
The aging process 2
Birth defects 3
Certain drugs 4
ear wax 5
head trauma or head injuries 6
heredity 7
middle ear infections 8
prolonged or repeted exposure to loud noises 9
tumors 10
viral infections Dari penyebab kelainan pendengaran di atas dapat diketahui penyebab kelainan
pendengaran antara lain: proses penuaan, cacat lahir, obat-obatan tertentu, cairan yang keluar dari telinga, trauma kepala, keturunan, infeksi telinga tengah, di tempat
yang berisik berulang-ulang, tumor dan infeksi virus.
commit to user 19
Moores dalam Mohammad Efendi, 2006: 64 mengidentifikasi beberapa penyebab ketunarunguan masa kanak-kanak yang terjadi di Amerika, berdasarkan
penelitiannya, i a menemukan bahwa “factor keturunan, penyakit maternal rubella,
lahir sebelum waktunya prematur, radang selaput otak, serta ketidaksesuaian antara darah anak dengan ibu yang mengandungnya, toxemia, pemakaian antibiotic
overdeses, infeksi, otitis media kronis dan infeksi pada alat-alat pernafasan menjadi penyebab utama terjadinya ketunarunguan”.
Mohammad-Hossein Azizi 2010: 116 menyatakan “the history of
occupational NIHL ONIHL probably dates back to many centuries ago, even though as Alberti stated, it only became a major occupational aural disorder after
discovery of gunpowder and has increased significantly after the industrial Revolution”. Dari penjelasan di atas dapat diketahui sejarah penyakit telinga karena
pekerjaan yang berhubungan dengan suara yang terlalu keras sudah terjadi beberapa beberapa abad yang lalu, meskipun sesuai yang alberti katakan, ini hanya menjadi
kelainan masalah pendengaran utamanya karena pekerjaan setelah ditemukannya bubuk mesiu dan meningkat secara signifikan setelah revolusi industri.
Dari pendapat beberapa ahli terkait penyebab ketunarunguan maka penulis menyimpulkan penyebab ketunarunguan antara lain
1 Keturunan
2 Campak Jerman dari pihak ibu
3 Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran cacat lahir, premature
4 Radang selaput otak meningitis
5 Otitis media radang pada bagian telinga bagian tengah
6 Penyakit anak- anak, radang dan luka-luka
7 proses penuaan
8 obat-obatan tertentu, pemakaian antibiotic overdeses
9 cairan yang keluar dari telinga
10 trauma kepala, keturunan
commit to user 20
11 di tempat yang berisik berulang-ulang
12 tumor dan infeksi virus
13 penyakit maternal rubella
14 toxemia
15 serta ketidaksesuaian antara darah anak dengan ibu yang mengandungnya.
e. Prevalensi
Heward dan Orlansky dalam Mulyono Abdurrahman, 1994: 70 memperkirakan “5 dari semua anak usia sekolah mengalami gangguan
pendengaran. Akan tetapi banyak diantara anak yang mengalami gangguan pendengaran ini yang tidak cukup berat untuk diberikan pelayanan pendidikan
khusus”. Hoeman dan Briga dalam Mulyono Abdurrahman, 1994: 70 memperkirakan
bahwa “ hanya 0,2 1 diantara 500 dari populasi anak sekolah memiliki pendengaran yang rusak atau sangat berat.
Davis 2011: 916-917 dari hasil penelitian yang telah dilakukan memperkirakan bahwa:
The presence of acoustically abstructing wax was recorder in 2,3; it occurred in conjunction with a ≥25 dBHL impairment in 1 of the population. These
results do not substantially affect the the implication for rehabilitation, as 1 is a relatively small proportion of the 16 with such impairment. Among this 1
were individuals who also had significant sensorineural hearing impairments. The average effect of acoustically obstructing wax, after
accounting for age, was 5.9 dBs.e. 1,5 dB over the four frequency average in the Better ear.
Dari pernyataan Davis, kita dapat mengetahui presentasi dari gangguan suara
akibat cairan telinga ini terjadi lebih besar atau sama dengan 25 dBHL dalam 1 populasi, hasil ini tidak menimbulkan efek yang substansi untuk rehabilitasi. 15
adalah proporsi yang relative kecil dari 16 kelainan. Hampir 1 individu juga mempunyai kelainan sensori pendengaran yang signifikan.
commit to user 21
Dari pernyataan beberapa ahli di atas dapat kita simpulkan bahwa prevalensi anak tunarungu terhitung sangat sedikit 1 diantara 500 populasi anak sekolah . dari
presentasi inipun masih dibagi sesuai dengan jenis kecacatannya, jadi untuk masing- masing kecacatan memiliki presentas yang berbeda, salah satunya adalah adanya
gangguan suara akibat cairan telinga sebanyak 1 dari jumlah kelainan dengar dan 1 juga mempunyai kelainan sensori pendengaran yang signifikan.
2. Tinjauan Tentang Hakikat Kosakata