dkk 2010, mengatakan bahwa lansia yang tidak melakukan aktivitas fisik akan meningkatkan risiko kejadian hipertensi sistolik terisolasi sebesar 2,33 kali lebih
besar dibandingkan dengan lansia yang melakukan aktivitas fisik dan bermakna.
5.2.2. Pengaruh Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi di RSUD Dr.H.Kumpulan Pane Tebing Tinggi
Hasil penelitian tentang variabel pola makan diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus dengan persentase tertinggi pada pola makan yang tidak baik sebesar
70 dan pola makan baik sebesar 30, sedangkan pada kelompok kontrol persentase tertinggi pada pola makan yang baik sebesar 78,6 dan pola makan tidak baik
sebesar 21,4. Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan nilai p value = 0,000 p0,05, artinya variabel pola makan berpengaruh terhadap kejadian hipertensi
dengan OR sebesar 8,556 95 CI = 3,976-18,410. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa responden yang menderita hipertensi 8,5 kali kecenderungan
dengan pola makan tidak baik dibanding dengan responden yang tidak menderita hipertensi.
Pola makan adalah cara bagaimana kita mengatur asupan gizi yang seimbang serta yang di butuhkan oleh tubuh. Pola makan yang sehat dan seimbang bukan hanya
menjaga tubuh tetap bugar dan sehat tapi juga bisa terhindar dari berbagai penyakit termasuk hipertensi. Pola makan yang menyebabkan terjadinya penyakit hipertensi
karena pengkonsumsian makanan yang tidak sehat seperti jeroan, keripik asin, otak- otak, makanan dan minuman yang didalam kaleng sarden, kornet. Hal ini
dikarenakan makanan diatas tidak sesuai dengan kalori yang dibutuhkan dan
Universitas Sumatera Utara
mengandung banyak bahan pengawet, pola makan tersebut dapat memicu terjadinya hipertensi Muhammadun, 2010.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya 2009 di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Said Sukanto Jakarta yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola makan dengan kejadian hipertensi di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Said Sukanto Jakarta, dengan
nilai p value = 0,000 dan nilai chi square hitung 8,325. Pola makanan yang tidak baik akan menimbulkan beberapa gangguan seperti kolesterol tinggi, tekanan darah
meningkat dan kadar gula yang meningkat. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bidjuni dan Malara 2013 di di Puskesmas
Kolongan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara gaya hidup dalam bentuk konsumsi makanan
dengan kejadian hipertensi di Puskesmas Kolongan, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara.
Pada penelitian ini diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus lebih banyak dengan pola makan tidak baik, hal ini menunjukkan bahwa responden pada
kelompok kasus banyak yang makan daging, makan yang berlemak, makanan gorengan, makanan yang mengandung garam
≥ 3 kali dalam seminggu sebesar 70. Keadaan ini akan memacu timbulnya kejadian hipertensi. Pola makan tidak baik
menyebabkan tubuh kita menjadi rentan terhadap penyakit. Pada kelompok kontrol lebih banyak dengan pola makan baik, hal ini
menunjukkan bahwa responden membatasi makan daging, makan yang berlemak,
Universitas Sumatera Utara
makanan gorengan, makanan yang mengandung garam kesehariannya dan mereka lebih banyak dengan mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buhan. Pola makanan
yang tidak seimbang antara asupan dengan kebutuhan baik jumlah maupun jenis makanannya, seperti makan makanan tinggi lemak, kurang mengonsumsi sayuran,
buah dan sebagainya juga makan makanan yang melebihi kebutuhan tubuh bisa menyebabkan obesitas atau kegemukan. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya
hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti
volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga
meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan
risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan
dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat
menurunkan tekanan darah. Beberapa responden menyadari bahwa kebiasaan konsumsi lemak jenuh merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi. Tetapi
kebanyakan dari mereka tidak bisa menghindari kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh karena mereka sudah terbiasa dengan makanan yang mengandung lemak jenuh.
Universitas Sumatera Utara
5.2.3. Pengaruh Kebiasaan Istirahat terhadap Kejadian Hipertensi di RSUD Dr.H.Kumpulan Pane Tebing Tinggi
Hasil penelitian tentang variabel kebiasaan istirahat diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus dengan persentase tertinggi dengan kebiasaan
istirahat cukup sebesar 61,4 dan kebiasaan istirahat tidak cukup sebesar 38,6, sedangkan pada kelompok kontrol proporsi tertinggi dengan kebiasaan istirahat
cukup sebesar 81,4 dan kebiasaan istirahat yang tidak cukup sebesar 18,6. Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan nilai p value = 0,015 p0,05 artinya
variabel kebiasaan istirahat berpengaruh terhadap kejadian hipertensi dengan OR sebesar 2,753 95 CI = 1,273-5,952. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat
dijelaskan bahwa responden yang menderita hipertensi 2,7 kali kecenderungan dengan istirahat tidak cukup dibanding dengan responden yang tidak menderita
hipertensi. Hal ini disebabkan istirahat sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan
proses penyembuhan penyakit, karena tidur bermanfaat untuk menyimpan energi, meningkatkan imunitas tubuh dan mempercepat proses penyembuhan penyakit juga
pada saat tidur tubuh mereparasi bagian-bagian tubuh yang sudah aus. Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat. Jadi istirahat dan tidur yang
cukup sangat penting untuk kesehatan Depkes RI, 2008. Kebiasaan istirahat adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu
yang relatif menetap dan meliputi jadwal jatuh masuk tidur dan bangun, irama tidur, frekuensi tidur dalam sehari, mempertahankan kondisi tidur dan kepuasan tidur
Universitas Sumatera Utara
Depkes RI, 2008. Gangguan pola tidur merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami atau mempunyai resiko perubahan jumlah dan kualitas pola istirahat yang
menyebabkan ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan. Gangguan ini terlihat dengan adanya perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah,
lesu dan apatis, kehitaman di daerah sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, kurang konsentrasi, sakit kepala dan mengantuk. Pada penelitian
ini diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus lebih banyak terbangun pada waktu tidur malam 2 kali, mengalami susah tidur, istirahat yang kurang pada siang
hari dan kurang tidur secara teratur sebanyak 27 orang 38,6. Keadaan ini akan memacu timbulnya kejadian hipertensi. Sepertiga dari waktu dalam kehidupan
manusia adalah untuk tidur. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wijaya 2009 di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Said Sukanto Jakarta yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan istirahat dengan
kejadian hipertensi di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Said Sukanto Jakarta, dengan nilai p value = 0,017.
Penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Hypertension menyatakan bahwa mereka yang hanya tidur 6 jam, 42 cenderung mengalami hipertensi, sedangkan
yang terbiasa tidur tidak lebih dari 6 jam risikonya 31 . Menurut ketua penelitian, Cappuccio dari Warwick Medical School, Coventry, 2002 menunjukkan adanya
kemungkinan hubungan khusus penurunan waktu tidur dengan tekanan darah. Buruknya kualitas tidur berbanding lurus dengan kesehatan seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Pada kelompok kontrol lebih banyak tertidur pada waktu tidur malam, tidak mengalami susah tidur, istirahat yang cukup pada siang hari dan tidur secara teratur.
Keadaan ini akan memacu pada kelompok kontrol tidak menimbulkan kejadian hipertensi. Setiap manusia membutuhkan waktu tidur kurang lebih sekitar sepertiga
waktu hidupnya atau sekitar 6-8 jam sehari. Secara alami dan otomatis jika tubuh lelah maka akan merasa mengantuk sehingga memaksa tubuh untuk beristirahat
secara fisik dan mental. Pada siang hari manusia lebih dipengaruhi saraf simpatis yang bersifat aktif. Saraf ini membuat manusia turut aktif dalam bekerja sehingga
meningkatkan tekanan darah dan mempercepat denyut jantung. Pada malam hari saatnya saraf parasimpatik mengistirahatkan tubuh anda. Jika anda kurang tidur maka
keharmonisan ini akan terganggu. Jantung yang seharusnya beristirahat dipaksa terus bekerja, begitu pula dengan tekanan darah. Kurang tidur akan meningkatkan kadar
hormon strees, yaitu hormon kortisol yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah. Kinerja jantung akan lebih baik dan jantung akan lebih sehat bila kita cukup istirahat.
5.2.4. Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian Hipertensi di RSUD Dr.H.Kumpulan Pane Tebing Tinggi
Hasil penelitian tentang variabel kebiasaan merokok diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus dengan persentase kebiasaan merokok sebesar
21,4 dan kebiasaan tidak merokok sebesar 78,6, sedangkan pada kelompok kontrol persentase tertinggi dengan kebiasaan tidak merokok sebesar 92,9 dan
kebiasaan merokok sebesar 7,1. Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan nilai p value 0,030 p0,05, artinya variabel kebiasaan merokok berpengaruh
Universitas Sumatera Utara
terhadap kejadian hipertensi dengan nilai OR sebesar 3,945 95 CI = 1,211-10,377. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa responden yang menderita
hipertensi 3,9 kali kecenderungan dengan kebiasaan merokok dibanding dengan responden yang tidak menderita.
Pada penelitian ini diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus lebih banyak yang merokok dan 20 batang dalam sehari dibandingkan pada kelompok
kontrol yang merokok. Keadaan ini akan memacu timbulnya kejadian hipertensi. Rokok sangat berisiko karena dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Pendapat ahli selain dari lamanya merokok, risiko akibat merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang lebih dari satu pak rokok sehari
menjadi 2 kali lebih rentan dari pada mereka yang tidak merokok Bustan, 2007. Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara
setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran
darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas
epinefrin adrenalin. Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah
merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit
setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang,
Universitas Sumatera Utara
tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari Shep, 2005.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya 2009 di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Said Sukanto Jakarta yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Said Sukanto Jakarta,
dengan nilai p value = 0,004. Merokok merupakan salah satu kebiasaan hidup yang dapat memengaruhi tekanan darah yang dapat mengakibatkan hipertensi. Pada
keadaan merokok pembuluh darah dibeberapa bagian tubuh akan mengalami penyempitan, dalam keadaan ini dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi supaya darah
dapat mengalir ke alat-alat tubuh dengan jumlah yang tetap. Untuk itu jantung harus memompa darah lebih kuat, sehingga tekanan pada pembuluh darah meningkat.
Rokok yang dihisap dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Namun rokok akan mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan pembuluh di ginjal
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Xianglan Zhang, dkk.,
dan Sheps, Sheldon G 2005, yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok sebagai faktor risiko hipertensi OR 1,28 – 1,62. Berhenti merokok sangat penting untuk
menurunkan dan mengendalikan tekanan darah. Menghindari rokok dapat menjauhkan dari risiko penyakit jantung dan pembuluh darah lain. Hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bidjuni dan Malara 2013 di Puskesmas Kolongan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara yang
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara gaya hidup dalam bentuk merokok dengan kejadian hipertensi di Puskesmas Kolongan, Kecamatan
Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara. Hasil uji statistik Spearman’s rho dengan nilai kemaknaan á = 0,05 didapatkan nilai Signifikan p = 0, 447 yang lebih besar dari á
= 0,05.
5.3. Keterbatasan Penelitian