Optimasi formula dan evaluasi mutu minuman berprotein tinggi berbasiskan isolat protein kedelai dan sweet whey.

(1)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Protein merupakan salah satu zat gizi makro selain karbohidrat dan lemak dalam makanan dan minuman sehari-hari. Pola makan masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung tinggi karbohidrat dan lemak tetapi rendah protein. Hal ini dapat berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan postur yang kurang optimal, serta masalah yang berhubungan dengan kelebihan berat badan (Foster, 2006). Ketidaknormalan akibat konsumsi yang tidak seimbang ini diatasi dengan meningkatkan pola konsumsi berprotein seimbang.

Perkembangan pengetahuan dalam industri pangan belakangan ini, cukup pesat terutama pada pangan fungsional. Selain sebagai makanan juga sekaligus berperan sebagai obat atau makanan yang dapat memperbaiki kualitas hidup. Hal ini mungkin dilakukan dengan memperhatikan komponen bioaktif yang terdapat dalam bahan yang digunakan. Beberapa contoh fungsi pangan yakni dapat memperbaiki penampilan, memiliki aktifitas antioksidan yang dapat meminimumkan resiko kanker, dan manfaat lainnya.

Kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu atau nilai biologi tertinggi (Sugano, 2006). Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk menggunakan kedelai sebagai sumber protein. Pemanfaatan isolat protein kedelai yang merupakan pengolahan lebih lanjut dari kedelai dalam industri pangan kebanyakan hanya terbatas sebagai pengganti protein hewani, seperti dalam industri sosis dan nugget. Padahal kemungkinan penggunaan isolat protein kedelai dalam formulasi minuman cukup berpotensi. Hal ini dapat dilihat dari kelarutan dan dari segi rasa serta komponen yang terdapat dalam isolat protein kedelai dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sumber protein dalam bentuk cair.

Protein kedelai dikenal paling baik diantara sumber protein nabati lainnya, selain itu asam amino lysine yang biasanya asam amino pembatas dalam pola konsumsi manusia memiliki kadar yang cukup tinggi dalam protein kedelai. Namun protein kedelai ini memiliki kekurangan dalam asam amino yang mengandung sulfur seperti cystein dan methionin. Hal ini dapat diatasi dengan


(2)

mengkombinasikan isolat protein kedelai dengan bahan yang dapat saling melengkapi (komplementasi) proporsi masing-masing asam aminonya sehingga dapat meningkatkan kualitas protein produk yang dihasilkan nantinya.

Bahan yang paling sesuai digunakan sebagai komplementer untuk protein kedelai untuk produk cair adalah sweet whey protein. Kesesuaian ini dapat dilihat dalam proporsi asam amino dari whey yang dapat saling melengkapi protein kedelai. Selain itu sweet whey juga memiliki aroma khas susu yang dapat menutupi aroma kedelai yang kurang disukai dalam produk turunan kedelai dan

sweet whey juga memiliki komponen fungsional yakni immunoglobulin yang bermanfaat bagi tubuh sebagai faktor imun.

Suatu produk agar dapat diklaim tinggi protein harus memenuhi minimum 20% AKG protein harian yakni 10 g persajiannya atau mengandung 5 g protein setiap 100 ml (FSANZ, 2004). Oleh karena itu perlu ditentukannya rasio kombinasi yang optimum agar dapat memenuhi hal ini namun juga memenuhi kriteria yang diinginkan oleh konsumen yakni dari segi organoleptik dan harga prosuk yang akan dihasilkan.

Diharapkan minuman yang dihasilkan dari kombinasi isolat protein kedelai dengan sweet whey ini dapat menjadi sumber protein bagi masyarakat yang membutuhkan sumber protein spesifik, namun juga memiliki manfaat dari segi kesehatan. Sumber protein spesifik dalam hal ini seperti pada orang yang tidak dapat mengkonsumsi sumber protein lainnya dengan baik karena berbagai hal, seperti alergi, lactose intoleran atau diet vegetarian dan hal-hal lainnya yang mengakibatkan dibutuhkannya sumber protein alternatif.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan bahan baku isolat protein kedelai yang paling baik dari segi rasa, penampakan, dan kemudahan didapatkan, serta harga yang murah 2. Menentukan formula optimum minuman berprotein tinggi yang sesuai

dengan syarat mutu SNI 01-2970-1999 mengenai susu kedelai bubuk dan memenuhi klaim tinggi protein.


(3)

3. Mengetahui mutu produk terpilih berdasarkan parameter fisikokimia, biologi, dan penerimaan secara organoleptik.

C. MANFAAT

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan keluaran berupa formulasi optimum yang dapat menjadi formulasi baku bagi industri yang bergerak dalam bidang produksi minuman berprotein tinggi.


(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PROTEIN

Protein (akar kata proteos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling pertama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur (Hendrix, 2005). Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus. Kebanyakan protein merupakan enzim atau subunit enzim. Jenis protein lain berperan dalam fungsi struktural atau mekanis, misalnya protein yang membentuk tulang dan sendi (sitoskeleton). Protein terlibat dalam sistem kekebalan (imunitas) sebagai antibodi, sistem kendali dalam bentuk hormon, sebagai komponen penyimpanan makanan (dalam biji) dan juga dalam transportasi nutrisi. Sebagai salah satu sumber gizi, protein berperan sebagai sumber asam amino bagi organisme yang tidak mampu membentuk asam amino sendiri (heterotrof).

Protein merupakan salah satu bentuk biomolekul raksasa, selain polisakarida, lipida, dan polinukleotida, yang merupakan penyusun utama makhluk hidup. Selain itu, protein merupakan salah satu molekul yang paling banyak diteliti dalam biokimia. Protein ditemukan oleh Jons Jakob Berzelius pada tahun 1838. Biosintesis protein alami sama dengan ekspresi genetik. Kode genetik yang dibawa DNA ditranskripsi menjadi RNA, yang berperan sebagai cetakan bagi translasi yang dilakukan ribosoma (Hendrix, 2005). Sampai tahap ini, protein masih "mentah", hanya tersusun dari asam amino proteinogenik. Melalui mekanisme pascatranslasi, terbentuklah protein yang memiliki fungsi penuh secara biologi.

Setiap orang membutuhkan protein, tapi kebutuhannya variatif berdasarkan aktifitas atau masa perkembangannya. Sebagai contoh, bayi memiliki kebutuhan protein hampir 2 g/kg BB, namun orang dewasa hanya 0.75 g protein /kg BB (Tabel 1). Sebagai pengecualian olahragawan membutuhkan lebih banyak protein dari kebutuhan orang biasa. Rata-rata setiap orang membutuhkan konsumsi protein 1g/kg berat tubuhnya per hari. Seorang olahragawan membutuhkan kurang lebih dua kali lipatnya, yaitu


(5)

sebanyak 2- 3 g/kg berat tubuhnya per hari tergantung aktivitas yang dilakukannya.

Tabel 1 Asupan protein harian yang disarankan

Umur g/kg Berat badan /hari

1-3 bulan 2.00

6 bulan 1.50

1 tahun 1.20

6 tahun 1.00

Dewasa 0.75

*)( Young, 1977) dalam(Harper & Yoshimura, 1993) angka dalam gram protein kualitas baik atau setara telur.

Kebutuhan protein menurut FAO/WHO/UNU (1985) adalah “konsumsi yang diperlukan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan, atau menyusui.” Angka Kecukupan Protein (AKP) orang dewasa menurut rataan hasil penelitian keseimbangan nitrogen adalah 0.75 g/kg berat badan, berupa protein patokan tinggi yaitu protein telur (daya cerna putih telur adalah 100). Angka ini dinamakan safe level of intake atau angka level aman. Angka kecukupan protein dipengaruhi oleh mutu protein makanan yang dinyatakan dalam skor asam amino (SAA).

B. ISOLAT PROTEIN KEDELAI

Kedelai (Glycine max.) merupakan tanaman golongan kacang-kacangan (leguminose) yang diperkirakan berasal dari daerah sekitar Cina timur (Microsoft team, 2006). Menurut Sugiyono (2006), proses pengekstrakan minyak dari kedelai akan menghasilkan bungkil kedelai dengan kadar protein hingga 40% dan dapat diolah lebih lanjut menjadi konsentrat protein kedelai atau isolat protein kedelai.

Isolat protein kedelai biasanya dibuat dari bungkil kedelai tanpa lemak dengan proses pelarutan alkali (pH 9-10) dan pemisahan karbohidrat terlarut. Komponen yang tidak terlarut mayoritas berupa karbohidrat yang kemudian dipisahkan dengan proses sentrifugasi. Setelah proses pelarutan alkali, larutan protein kedelai ini kemudian mengalami proses pengendapan pada titik isoelektrik protein kedelai yakni berkisar pada pH 4.5. Protein yang mengendap dipisahkan


(6)

dengan proses pengendapan mekanis, kemudian dicuci dan dinetralisasi hingga pH netral berkisar 6.8 dan kemudian dikeringkan dengan proses spray dried. Hasil pengeringan ini adalah protein kedelai dalam kemurnian yang tinggi dan telah berkurang aroma langu-nya.

Cara diatas sering juga dimodifikasi yakni tanpa mengalami proses netralisasi. Proses ini akan menghasilkan protein kedelai dalam bentuk protein dalam keadaan isoelektriknya. Proses ini merupakan proses yang paling sering digunakan dalam memproduksi isolat protein kedelai secara komersial.

Selain cara diatas masih banyak cara lainnya untuk memproduksi isolat protein kedelai, antaralain: 1) pemisahan berdasarkan perbedaan berat molekul, 2)proses membran, 3) ekstraksi air, dan 4) ekstraksi dengan larutan garam. Produk yang dihasilkan dari proses-proses ini dapat menghasilkan beberapa perbedaan kadar nutrisi konsentrat atau isolat protein yang dihasilkan. Sebagai gambaran nutrisi pada bungkil kedelai tanpa lemak, protein konsentrat, dan isolat protein kedelai dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimiawi produk protein kedelai Parameter Bungkil kedelai

tanpa lemak (%bk)

Konsentrat protein kedelai (%bk)

Isolat protein kedelai (%bk)

Protein (Nx6.25) 56-59 65-72 90-92

Lemak 0.5-1.1 0.5-1.0 0.5-1.0

Serat kasar 2.7-3.8 3.5-5.0 0.1-0.2

Abu 5.4-6.5 4.0-6.5 4.0-5.0

Kadar air 0 0 0

Karbohidrat (by difference)

32-34 20-22 3-4

*) dari Soy Protein Council (1987) dalam Liu (1997)

Pemanfaatan suatu bahan sebagai bahan baku minuman harus memperhatikan sifat kelarutan dalam air. Kelarutan protein dalam air dipengaruhi beberapa faktor intrisik protein yaitu hidrofobik, hidrofilik, ukuran molekul, dan muatannya. Sedangkan dari faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kelarutan protein adalah pH, jenis dan kekuatan garam terlarut, serta interaksi protein dengan komponen makanan yang dapat mempengaruhi kelarutan protein kedelai yang terdapat dalam larutan. Isolat protein kedelai paling tidak larut dalam daerah titik isoelektriknya yakni pH 4.2-4.6 dan meningkat sering kenaikan pH. Selain faktor intrisik dan ekstrinsik kelarutan protein kedelai, proses produksi protein kedelai juga sangat berpengaruh. Sebagai contoh proses pemanasan dalam inaktifasi lipoksigenase


(7)

dan tripsin inhibitor dapat memicu pengurangan kelarutan protein kedelai (Liu, 1997).

Dari segi nutrisi, isolat protein kedelai kekurangan asam amino bersulfur yaitu methionin dan diikuti asam amino cystein dan threonine, namun kelebihan asam amino lysine yang merupakan asam amino pembatas dari protein pada serealia. Secara umum protein kedelai mengandung seluruh asam amino yang dibutuhkan manusia, namun yang menjadi asam amino pembatas adalah

methionine dan diikuti tryptophan. Oleh karena itu sebenarnya kedelai sangat cocok dikombinasikan dari protein yang bersumber dari serealia.

Dari segi daya cerna protein kedelai dipengaruhi beberapa faktor yaitu: faktor internal berupa kadar faktor anti nutrisi dan struktur protein, dan faktor eksternal berupa perlakuan pemanasan dan proses pemurnian isolat protein kedelai. Secara umum proses pemanasan dapaat meningkatkan kecernaan protein kedelai karena inaktifasi tripsin inhibitor dan faktor antinutrisi lainnya. Selain itu proses pemurnian protein kedelai menjadi isolat protein kedelai dapat meningkatkan kecernaan protein kedelai karena menghilangkan faktor-faktor antinutrisi lainnya pada proses pencuciannya.

Proporsi protein pada kedelai yang paling banyak adalah globulin, suatu cadangan protein. Globulin ini tersusun dari glycinin dan β-conglysin

yang jika ditotal mencapai 80% dari total protein (Sugano, 2006). Peptida turunan dari protein kedelai ini memiliki banyak efek dalam tubuh manusia, antara lain: mengatasi kelelahan olahraga, menurunkan kadar trigliserida darah, efek hipotensi, anti-kanker, memodulasi sistem imun dan sebagai antioksidan. Semua efek ini didapatkan dari peptida turunan dari protein kedelai (Yoshikawa & Tseuruki, 2006).

Produk minuman yang berbasiskan protein kedelai beserta komponen bioaktif lainnya yang ditujukan untuk tujuan kesehatan tertentu (FOSHU) sudah banyak beredar di negara Jepang, diantaranya berupa

softdrink, softdrink yang dibubukkan, minuman berkarbonasi, dan susu kedelai yang dikontrol kadar proteinnya ataupun makanan berupa meat artificial (Yamamoto, 2006).


(8)

C. SWEET WHEY

Sweet whey merupakan fase cair (laktoserum) yang terbentuk pada proses pemisahan padatan (fase kasein) dalam proses pembuatan keju. Sweet whey

memiliki penampakan berupa tepung yang agak kasar, berwarna putih kekuningan (Gambar 1) dengan rasa dan aroma yang khas susu (milky flavour). Sweet whey

memiliki kadar protein berkisar antara 10 - 15%. Komponen utama lainnya adalah laktosa dengan kadar hingga 65% (CODEX STAN, 2006). Sweet whey hanya memiliki kadar lemak berkisar 0 – 1.25% (Anonima, 2007). Kadar protein dan laktosa pada sweet whey lebih tinggi dibandingkan susu biasa berdasarkan bobotnya. Hal ini menyebabkan Sweet whey diklaim lebih sehat.

Gambar 1. Penampakan sweet whey

Kandungan vitamin D dan kalsium membuat Sweet whey ini sering digunakan sebagai bahan campuran susu dengan klaim non-fat, susu bagi penderita osteoporosis, atau tujuan lain yang tidak menghendaki kadar lemak yang tinggi dalam produk akhir. Namun efek yang ditimbulkan karena ketiadaan lemak susu adalah flavor dan rasanya agak kurang dapat diterima jika dibandingkan susu biasa (fullcream) dan dibutuhkan penambahan flavor lain agar tingkat penerimaannya secara organoleptik lebih baik.

Susu skim adalah susu utuh tanpa lemak, sedangkan whey merupakan serum yang terbentuk pada pengolahan keju. Oleh karena itu sweet whey berbeda dengan susu skim. Perbedaan antara isolat protein whey dengan konsentrat protein whey adalah dari konsentrasi protein yang terkandung. Proses pengolahan sweet whey dari fase cair menjadi padatan relatif sederhana, cukup melalui tahap spray dried yang langsung menjadi bubuk sweet whey. Untuk pengolahan menjadi isolat atau konsentrat protein whey diperlukan adanya proses pemisahan laktosa dan


(9)

proses pemekatan protein whey hingga mencapai kadar yang diinginkan yakni lebih besar dari 90% protein untuk isolat whey protein dan lebih besar dari 70% namun lebih kecil dari 90% protein untuk konsentrat protein whey.

D. AKTIFITAS ANTIOKSIDAN ISOFLAVON

Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran ultraviolet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan lain. Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas adalah serangan jantung dan kanker. Usaha mencegah atau mengurangi penyakit kronis karena radikal bebas diperlukan antioksidan.

Antioksidan di alam sangat bervariasi, dapat dibedakan berdasar cara kerjanya menjadi tiga bagian yakni antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer bekerja langsung dengan menyumbangkan elektronnya pada molekul radikal bebas sehingga dapat memutus siklus propagasi radikal bebas. Walaupun telah kehilangan elektron molekul antioksidan ini tidak bersifat radikal yang aktif karena memiliki struktur yang dapat menstabilkannnya. Contoh antioksidan primer yang umum adalah vitamin C. Antioksidan sekunder bekerja dengan menetralkan muatan yang terjadi pada antioksidan primer. Contoh antioksidan sekunder yang umum adalah vitamin E yang bekerja dengan menetralkan vitamin C radikal. Golongan antioksidan tersier bekerja dengan memperbaiki struktur, dan kerusakan yang telah terjadi. Contohnya kerusakan DNA atau membran sel. Contoh antioksidan ini berupa enzim DNA repair yang dapat memperbaiki kerusakan DNA akibat terpaparnya dengan radikal bebas.

Isoflavon dalam kedelai merupakan salah satu antioksidan sekunder. Golongan flavonoid bekerja membantu menjaga keseimbangan sistem antioksidan dalam tubuh saat dikonsumsi. Flavonoid juga dibedakan berdasarkan kelarutannya dan ini juga dapat menjadi acuan dimana aktifitas antioksidannya lebih dominan. Isoflavon kurang larut dalam air dan lemak namun larut sempurna dalam alkohol. Makanan yang terbuat dari kedelai mempunyai jumlah isoflavon yang bervariasi, tergantung bagaimana mereka diproses. Makanan dari kedelai seperti tahu, susu kedelai, tepung kedelai dan kedelai utuh mempunyai kandungan isoflavon


(10)

berkisar antara 130 – 380 mg/100 g. Kecap dan minyak kedelai tidak mengandung isoflavon. Produk kedelai yang digunakan sebagai bahan pengganti protein, seperti isolat dan konsentrat protein kedelai mempunyai kandungan isoflavon yang bervariasi, tergantung bagaimana proses pengolahannya. Misalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan alkohol dalam proses ekstraksi protein kedelai menghasilkan isolat protein kedelai dengan kadar isoflavon yang rendah. Kedelai telah menjadi makanan sehari-hari penduduk Asia. Pada sebagian besar negara Asia, konsumsi isoflavon diperkirakan antara 25 – 45 mg/hari. Jepang merupakan negara yang mengkonsumsi isoflavon terbesar, diperkirakan konsumsi harian orang Jepang adalah 200 mg/hari. Di negara-negara Barat konsumsinya kurang dari 5 mg isoflavon per hari (Koswara, 2008).

Gambar 3 Struktur isoflavon

Isoflavon juga dikenal sebagai fitoestrogen karena memiliki sifat yang menyerupai estrogen pada manusia. Hal ini disebabkan karena kesamaan stukstur pada molekulnya yang sesuai dengan reseptor pengenal estrogen pada sel. Walau pun efeknya tidak seefisien estrogen namun isoflavon dapat menghambat efek sindrome menopause pada wanita yakni, mencerahkan kulit, menghilangkan kerut dan memperbaiki keadaan emosional yang biasa terjadi saat menopause. Namun pemberian isoflavon pada wanita beresiko tinggi kanker malah dapat meningkatkan prevalensi terjadinya kanker (Anonimb, 2008).

E. MINUMAN BERPROTEIN TINGGI

Definisi minuman berprotein tinggi secara pasti belum ditentukan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Karena minuman ini berbasiskan kedelai, maka penulis mengambil definisi yang diturunkan dari definisi susu kedelai bubuk menurut SNI 01-2970-1999, CODEX STAN 175-1989 mengenai produk turunan kedelai dan klaim tinggi protein menurut regulasi negara New Zeland berdasarkan


(11)

CODEX dalam “FINAL ASSESSMENT PROPOSAL P234 - CRITERIA AND CONDITIONS FOR MAKING NUTRITION CONTENT AND RELATED CLAIMS” oleh badan standarisasi makanan Australia dan New Zealand (FSANZ).

Minuman berprotein tinggi kombinasi isolat protein kedelai dengan sweet whey adalah suatu minuman yang terbuat dari kombinasi protein hasil isolasi dari kedelai dan sweet whey serta campuran bahan lain dengan kadar protein tidak kurang dari 20% AKG atau 10 g tiap porsi sajian, atau memiliki 5 g protein setiap 100 ml larutannya.

1. Syarat Minuman Berprotein Tinggi

Hal yang paling penting diamati dalam pembuatan minuman berprotein tinggi adalah kelarutan protein dalam air, kemampuan dicerna, jumlah asupan protein per sajian, interaksi antara komponen dalam minuman, dan kestabilan produk selama proses produksi, distribusi, dan penyimpanan hingga produk dikonsumsi, apalagi jika ditambahkan fortifikan (Astawan, 2006)

Berdasarkan literatur yang ada, Tidak ada ketentuan pasti mengenai tingkat kelarutan protein yang ideal untuk digunakan sebagai minuman. Oleh karena itu, parameter yang digunakan sebagai patokan penentuan kondisi optimum adalah diterima atau tidaknya suatu formulasi oleh konsumen. Protein yang kurang larut akan memberikan sensasi kesat jika dijadikan minuman. Hal ini juga terkait dengan sifat fisik protein yang bersifat hidrofilik atau tidak, keberadaan emulsifier, ukuran partikel dan kemampuan larut dalam air secara sempurna.

2. Bahan baku

Untuk membuat minuman berprotein tinggi bahan baku yang diperlukan harus memiliki kadar protein yang tinggi. Oleh karena itu dipilih isolat protein kedelai yang merupakan hasil ekstraksi protein pada kedelai. Selain itu digunakan juga bahan sweet whey karena selain berprotein tinggi, sweet whey juga memiliki rasa dan aroma yang dapat memperbaiki aroma dan rasa isolat protein kedelai murni.

Komponen minor lain dalam pembuatan minuman ini antara lain:


(12)

multivitamin dan mineral jika dibutuhkan. Flavor ditambahkan untuk meningkatkan daya terima konsumen yang biasanya kurang menyukai bau kedelai (langu) yang ada walaupun sudah diminimalisir dengan penggunaan ISP. Flavor yang dapat digunakan adalah vanili crystal, mocca flavor, dan cappucinno. Pemilihan flavor ini dilakukan dengan mempertimbangkan karakter aroma dan rasa yang dapat menyamarkan bau langu yang masih ada walaupun sedikit, serta warna minuman yang hampir menyerupainya. Cloudifying agent berupa titanium oksida digunakan agar memberikan kesan opaque pada minuman yang dihasilkan. Hal ini dilakukan agar penambahan flavor dan pewarna dapat ideal karena terjadinya efek tyndall yang membantu ketegasan warna. CMC merupakan salah satu agen pengental dan stabilizer. Adanya CMC akan meningkatkan kestabilan larutan yang dihasilkan saat minuman diseduh.

Premix multivitamin dan mineral merupakan suatu bentuk campuran multivitamin dan mineral yang tersedia secara praktis dengan komposisi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Premix ini didapatkan dengan menghubungi perusahaan yang bergerak dibidang supplier ingredient bahan makanan. Penggunaan premix dibutuhkan bertujuan juga sebagai usaha fortifikasi makanan agar memiliki nutrisi lebih baik dan menunjang klaim yang akan digunakan. Disisi lain, sebagai pertimbangan premix dapat berinteraksi dengan komponen yang terdapat dalam produk baik yang menguntungkan atau justru merugikan. 3. Proses pengolahan

Proses pembuatan produk yang berupa bubuk relatif hanya dry mixing saja. Hal ini bisa dilihat dalam proses pembuatan susu formulasi yang relatif tidak menggunakan proses lainnya. Proses dry mixing ini perlu memperhatikan cukup homogennya bahan yang di-mixing. Proses dry mixing dapat menggunakan alat yang relatif sederhana yakni berupa mixer dengan tipe pengaduk wisk dengan kecepatan putar rendah, atau alat mixing berupa v-tumbler yang dapat menghomogenkan campuran dengan baik.


(13)

Gambar 2 Mixer untuk proses dry mixing

Pembuatan produk berprotein tinggi yang berupa bubuk siap seduh relatif sama dengan pembuatan susu bubuk kedelai yakni dapat menggunakan proses

dry mixing ini saja. Karena bahan yang digunakan relatif keseluruhannya berupa bubuk atau tepung. Proses mixing ini harus memperhatikan interaksi bahan dengan lingkungan karena proses mixing ditempat terbuka dapat meningkatkan kelembapan bahan yang dicampur. Hal ini dapat menurunkan keawetan produk yang dihasilkan.

F. STANDAR MUTU

Pembuatan formulasi minuman berprotein tinggi ini dianggap menyerupai syarat mutu susu bubuk. Oleh karena itu, standar mutu yang digunakan adalah standar dari SNI 01-2970-1999 mengenai susu bubuk (Tabel 3). Standar mutu tentang susu kedelai bubuk belum diatur dalam SNI oleh karena itu dicari produk yang menyerupai produk yang ingin diproduksi. Dalam hal ini minuman berprotein tinggi yang akan dihasilkan mirip dengan susu berprotein tinggi namun rendah lemak. Oleh karena itu digunakan susu bubuk tanpa lemak.

Selain itu, juga diperhatikan Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996, mengenai Keamanan Pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan


(14)

kesehatan manusia. Upaya ini perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak baik dari produsen maupun konsumen. Dukungan yang dapat dilakukan dapat berupa penerapan GMP, hygene pekerja, dan memperhatikan aspek keamanan pangan dengan meminimalisir cemaran dan kontaminasi dalam proses pembuatan produk .

Tabel 3 Syarat mutu susu bubuk menurut SNI 01-2970-1999 Jenis uji Satuan

Persyaratan Susu Bubuk Lemak Susu Bubuk Rendah Lemak Susu Bubuk Tanpa Lemak Keadaan Bau Rasa - - Normal Normal Normal Normal Normal Normal Air Abu Lemak Protein b/b % b/b % % % Maks 4.0 Maks 6.0 Maks 26.0 Min 25.0 Maks 4.0 Maks 9.0 1.5-26.0 Min 26.0 Maks 4.0 Maks 9.0 0 Min 34.0 Cemaran Logam Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) Arsen (As) mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg Maks 20.0 Maks 0.3 Maks 40 Maks 40 Maks0,03 Maks 0.1 Maks 20.0 Maks 0.3 Maks 40 Maks 40 Maks0,03 Maks 0.1 Maks 20.0 Maks 0.3 Maks 40 Maks 40 Maks0,03 Maks 0.1 Cemaran Mikroba TPC Coliform E. Coli Salmonella S. Aureus Koloni/ g APM Koloni/ g Koloni/ 100g Koloni/ g

Maks 5x105 Maks 20 Negative Negative 1x 102

Maks 5x105 Maks 20 Negative Negative 1x 102

Maks 5x105 Maks 20 Negative Negative 1x 102

G. SOFTWARE DESIGN EXPERT 7.1

Design Expert 7.1 yang biasa dikenal dengan DX7 merupakan suatu piranti lunak komputer untuk menentukan suatu optimasi dari sebuah proses atau formulasi suatu produk. Program ini dapat mengolah 4 rancangan percobaan yang berbeda antara lain: Factorial Design, Combined Design, Mixture Design dan

Respon Surface Methods (RSM) Design. Masing-masing jenis desain ini memiliki fungsi yang berbeda-beda yang penggunaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Factorial Design digunakan untuk menentukan factor yang penting dan berpengaruh terhadap suatu produk atau proses. Combined Design digunakan untuk menggabungkan variabel proses dan campuran komponen penyusun suatu produk dalam suatu proses. Mixture Design digunakan untuk optimasi formula


(15)

dari serangkaian campuran komponen yang ditetapkan. Response Surface Methods (RSM) Design digunakan untuk pengaturan proses yang ideal untuk mendapatkan performa yang optimum (Anonimc, 2005).

Secara umum, proses optimasi software ini dapat dibagi menjadi 4 tahapan. Tahapan-tahapan itu antara lain : (1) perancangan komposisi formula dan penentuan respon yang akan diuji; (2) pembuatan formula yang telah diberikan dan pengukuran respon masing-masing respon setiap formula; (3) input data respon yang telah diukur pada lembar kerja DX7; dan (4) analisis signifikansi (ANOVA) dan model matematika yang berlaku untuk setiap respon serta penentuan formula optimum sesuai tujuan yang diinginkan.

Output dari software rancangan percobaan ini adalah sederet formula yang akan dibuat dan diukur tiap responnya. Penentuan formula optimum dilakukan berdasarkan respon yang diinginkan dengan pilihan maksimum, minimum, dan dalam kisaran tertentu dari setiap respon. Formula optimum akan ditentukan berdasarkan respon target yang telah ditentukan sebelumnya. Hasil output dari

software ini ditentukan dari skor kesukaan (Desirability). Semakin tinggi nilai


(16)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama terdiri dari isolat protein kedelai dan sweet whey. Sedangkan bahan tambahan yang digunakan antara lain: gula pasir, CMC, Titanium Oksida (TiO2), dan garam dapur (NaCl). Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain: H2SO4, H3BO3, HCl, NaOH, Na2SO3, HgO, K2SO4, Natrium Azida, larutan multi enzim, heksana, aquades, , asam asetat glasial, dan alkohol 70%, 96%.

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan minuman terdiri dari panci, baskom, kain saring, kompor, nampan plastik, sendok, sodet, saringan santan, timbangan analitik, dry mixer, sealer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain: cawan alumunium, cawan porselin, gegep, gelas piala, gelas ukur, labu Erlenmeyer, labu takar, tabung reaksi, labu Kjedahl, labu soxhlet, buret, kertas saring, batu didih, batang pengaduk, spatula, alat destilasi, desikator, tanur, dan heater, timer, pHmeter.

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat protein kedelai dan sweet whey. Isolat protein kedelai yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari supplier bahan makanan PT. Ekakarta Jadi Makmur yang berlokasi di daerah Cimanggis, Depok. Isolat protein kedelai ini dilengkapi dengan Certificate of Analysis (COA) (Lampiran 1, 2 dan 3). Bahan baku isolat protein kedelai yang diperoleh ada 3 jenis, yaitu: Arcon SJ, Soypro 900 ES, dan Profarm 974. Setiap isolat protein kedelai yand digunakan ini berbeda dari segi produsen, bahan baku kedelai, sifat organoleptik dan harganya. Untuk Sweet whey, diperoleh dari PT. Pulau Jaya Mandiri, yang berlokasi di daerah Blok M, Jakarta. Sweet whey digunakan sampel dari PT. Pulau Jaya Mandiri juga dilengkapi dengan COA (Lampiran 4).

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yakni 1) pemilihan bahan baku terbaik dari segi overall dan harga, 2) Penentuan rasio kombinasi isolat protein kedelai dengan sweet whey untuk formulasi optimum, dan 3) Uji mutu formula


(17)

formulasi terpilih dari software DX-7

diproduksi

Analisis Biologis: • Daya Cerna Protein • Total Fenol

• Aktifitas Antioksidan Analisis Fisiko kimia

• Derajat putih • Viskositas • Proksimat • pH • aW Produk formulasi terpilih

terpilih dan perbandingan dengan SNI mengenai susu kedelai bubuk. Lebih rincinya mengenai tahapan yang akan dilakukan, dapat dilihat dari Gambar 4.

Gambar 4 Desain tahapan penelitian optimasi formula minuman berprotein tinggi berbasiskan kedelai

Isolat Protein Kedelai 1. Profarm 974 2. Arcon Sj 3. Soypro

Tahapan Pemilihan Bahan Baku Terbaik

Larutan standar ISP dengan Gula dari benchmarking dengan

susu cair komersial Uji Hedonik I

ISP dengan Skor tertinggi Secara

mutu dan organoleptik

Sweet Whey: Kraft sweet

whey

Tahapan Optimasi Formula dan Produksi

Software Design Expert 7.1 Subtisusi ISP dengan

sweet whey berkisar antara 0-25%. Larutan standar dari 2% bahan lain berupa

pemutih, flavor dan gula

Data dinput dan diperoleh table kosong yang diisi

dengan hasil uji organoleptik tahap II Tabulasi data Uji

organoleptik II Persamaan Kurva

Optimasi


(18)

1. Pemilihan Bahan Baku Terbaik

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan bahan baku yang akan digunakan dalam penentuan formulasi minuman yang telah direncanakan. Hal yang dipertimbangkan dalam tahapan ini adalah, bahan baku isolat protein kedelai yang terpilih harus memiliki skor organoleptik tertinggi namun harga yang murah. Untuk dapat diujikan secara organoleptik perlu adanya produk pembanding

(benchmark) sebagai patokan penambahan gula dan garam agar sesuai selera konsumen untuk produk sejenis.

a. Penentuan larutan standar

Penentuan larutan standar perlu dilakukan agar dapat menyesuaikan dengan produk yang ada dimasyarakat. Hal ini dilakukan dengan memilih produk yang telah umum beredar dimasyarakat dan memiliki kategori yang mirip dengan produk yang ingin dibuat sebagai pembanding. Setelah didapatkannya produk yang dianggap sesuai, penentuan tingkat kemanisan dan gurihnya produk ini dilakukan dengan pengamatan label informasi nilai gizi yang terdapat dalam kemasan sebagai gambaran kasar jumlah gula dan garam yang akan ditambahkan, kemudian dilanjutkan dengan verifikasi dengan penerimaan konsumen secara organoleptik. Uji yang dilakukan adalah uji beda atau tidak. Jumlah panelis yang dipilih tidak perlu banyak karena hanya bersifat verifikasi “apakah rasanya sudah mendekati atau tidak”. Oleh karena itu panelis yang dipilih adalah 10 orang.

Hasil uji ini dianggap tingkat kemanisan dan gurih yang nantinya dijadikan patokan larutan standar penyeduh formula yang akan dibuat. Larutan standar ini dibuat dengan penambahan komponen minor dalam formulasi seperti TiO2 yang mengakibatkan warna larutan menjadi putih opaque yang dapat menegaskan warna. Selain itu dilakukan penambahan CMC sebagai penstabil. Suhu larutan standar ini dibuat panas (750C). Hal ini dilakukan sebagai pertimbangan produk yang dihasilkan akan diseduh dengan air hangat dan disajikan dalam keadaan hangat.

b. Pemilihan isolat protein kedelai terbaik

Penentuan isolat protein kedelai yang terbaik dilakukan dengan parameter penerimaan secara organoleptik terbaik dan mempertimbangkan dari segi harga isolat protein kedelai yang paling murah. Parameter organoleptik hanya meliputi


(19)

penerimaan secara overall karena yang dipilih hanya bahan baku dengan penerimaan secara overall-nya paling baik.

Uji organoleptik yang dilakukan dalam penentuan bahan baku terbaik ini adalah uji rangking untuk mengetahui dari ketiga bahan baku yang disajikan, bahan baku mana yang paling disukai hingga yang tidak disukai. Uji rangking ini dilakukan dengan 20 panelis tidak terlatih. Dari respon panelis kemudian ditentukan bahan baku mana yang paling disukai dan akan digunakan dalam formulasi.

Penyajian isolat protein kedelai dilakukan dengan penyeduhan dengan larutan standar terlebih dahulu dan dijaga agar tetap dalam keadaan hangat. Jumlah isolat protein kedelai yang diseduh dilihat dari kelarutan optimum isolat protein kedelai dalam air. Ini dilakukan dengan trial dan error yang menghasilkan jumlah paling sesuai digunakan sebagai minuman. Hal ini dilakukan agar menjaga keseragaman hal lain dan respon yang terukur murni dari respon terhadap jenis isolat protein kedelai yang diujikan.

Respon yang didapatkan dalam uji rangking ini kemudian diolah dengan Friedman test dan dilanjutkan dengan analisis LSDrank untuk menentukan isolat

protein kedelai terbaik dari segi penerimaan konsumen dan juga dari segi harga. Isolat protein kedelai yang terpilih kemudian akan dipilih sebagai bahan baku yang akan digunakan dalam penentuan rasio kombinasi optimum dengan sweet whey yang akan ditentukan dengan software Design Expert 7.1.

2. Formulasi dan Optimasi Formula.

Proses penentuan formulasi dan optimasi formula ini meliputi beberapa tahap yaitu: a. perancangan komposisi formula dan penentuan respon yang akan diuji; b. pembuatan formula yang telah diberikan dan pengukuran respon masing-masing respon setiap formula; c. input data respon yang telah diukur pada lembar kerja DX7; dan d. analisis signifikansi (ANOVA) dan model matematika yang berlaku untuk setiap respon serta penentuan formula optimum sesuai tujuan yang diinginkan.

a. Perancangan komposisi formula dan penentuan respon yang akan diuji Persamaan yang dipilih dalam persamaan model rancangan percobaan dengan software DX7 ini adalah D-optimal scheffe (Cornell, 1984). D-optimal merupakan


(20)

persamaan untuk menentukan kombinasi optimum suatu campuran tanpa dengan mengabaikan jumlah zat lain. Karena dianggap yang berpengaruh hanya bahan yang dipilih sebagai variabel. Pada tahap ini dilakukan penentuan variabel yang digunakan dalam formulasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Input data awal pada software Design Expert 7.1

Variabel yang dipilih adalah isolat protein kedelai dan sweet whey. Isolat protein kedelai dinotasikan sebagai huruf A, dan sweet whey sebagai huruf B. Kisaran subtitusi maksimum isolat protein kedelai dengan sweet whey ditetapkan antara 0-25% dari total campuran. Pemilihan ini dilakukan agar menjaga kadar protein masih tetap tinggi agar dapat menggunakan klaim klaim tinggi protein yang disyaratkan yakni jumlah minimum protein tiap sajian adalah 10 g (20% AKG).

Setelah diinput, software ini memberi lembar kerja yang harus diisi dengan data yang didapatkan dari uji hedonik kandidat formula terpilih yang didapatkan berupa 5 titik formulasi dengan pengulangan yang disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Titik kombinasi isolat protein kedelai dan sweet whey

Isolat Protein Kedelai (%) Sweet whey (%) Ulangan

100 0 4

91.67 83.33 3

87.5 12.5 1

83.33 16.67 3


(21)

Respon yang akan digunakan untuk penentuan titik optimum adalah parameter organoleptik yaitu dari segi warna, rasa, aroma, tekstur dan overall. Kemudian dari pengujian masing-masing respon ini dilakukan analisis ANOVA untuk menentukan parameter yang paling berpengaruh dalam mengoptimumkan formulasi nantinya.

b. Pembuatan formula yang telah diberikan dan pengukuran respon masing-masing respon setiap formula

Pembuatan formula dilakukan dengan menghitung jumlah formula yang dibutuhkan untuk pengujian. Jumlah panelis yang digunakan adalah 30 orang dan jumlah setiap sajian kurang lebih 20 ml dengan jumlah pengulangan 15 kali. Jumlah larutan standar yang dibutuhkan adalah 9 liter. Kemudian masing masing rasio kombinasi isolat protein kedelai dan sweet whey disiapkan dalam 5 wadah yang berbeda dan dibuat sesuai jumlah ulangan setiap titik yang kombinasi.

Uji yang dilakukan adalah uji hedonik rating dengan panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Panelis ini diminta menuliskan penilaian mereka terhadap atribut organoleptik setiap sampel yang disajikan dalam kuesioner yang dapat dilihat pada Lampiran 12. Skor penilaian yang digunakan yaitu pada kisaran 1 sampai 7. Skor 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka (Soekarto, 1985). Setelah pengujian selesai data dikumpulkan dan disimpan dalam format excel dan diolah untuk mencari ratan setiap respon.

c. Input data respon yang telah diukur pada lembar kerja DX7

Nilai rataan setiap respon terukur dari kuesioner, ditabulasikan dalam format excel dan dilakukan pengelompokan dan perhitungan nilai rataan setiap respon. Nilai rataan ini diinput kedalam worksheet DX7 dan kemudian dilanjutkan dengan analisis model persamaan matematika setiap respon yang nantinya akan dilanjutkan dengan optimasi setiap respon.

d. Analisis sidik ragam respon dan penentuan formula optimum

Setelah data rataan respon organoleptik diinput dalam worksheet DX7. Dilanjutkan dengan analisis sidik ragam masing-masing respon. Hal ini dilakukan untuk menentukan faktor yang berbeda nyata dan memiliki pengaruh dalam


(22)

mengoptimumkan formula yang akan dibuat. Analisis sidik ragam juga menghasilkan model matematika untuk setiap respon yang diukur. Model ini dapat digunakan untuk memperkirakan respon yang akan didapatkan untuk setiap titik kombinasi yang dilakukan selama dalam kisaran yang telah ditetapkan.

Pengoptimasian formula dilakukan dengan menentukan skala kepentingan setiap respon yang dihasilkan berdasarkan perbedaan nyata atau tidak dan pertimbangan penting atau tidaknya parameter yang diukur dalam formula yang dihasilkan.

Formula optimum yang dihasilkan kemudian diproduksi dan kemudian dilanjutkan dengan analisis mutu secara fisiko kimia, dan biologis.

C. METODE ANALISIS 1. Analisis Fisik

Analisis fisik dilakukan terhadap produk akhir minuman berprotein tinggi terpilih yang mencakup penampakan secara visual (derajat keputihan) dan properti palatibilitas yakni viskositas.

a. Analisis Derajat Putih dengan Whitenessmeter

Analisis derajat keputihan sangat penting dilakukan untuk sampel tepung-tepungan. Pengukuran derajat keputihan ini penting dilakukan karena sering digunakan sebagai standar penentu utama tepung-tepungan (Hutching, 1999). Prinsip kerja pengukuran derajat keputihan ini adalah pengukuran indeks refleksi dari permukaan sampel yang diukur oleh dioda fotoelektrik. Semakin putih sampel, maka cahaya yang dipantulkan akan semakin banyak dan nilainya semakin besar. Kalibrasi alat menggunakan putih yang diperoleh dari asap pembakaran pita Mg.

Analisis derajat putih dilakukan dengan menggunakan whitenessmeter.

Pengukuran derajat putih ini penting dilakukan pada sampel tepung-tepungan karena dapat digunakan sebagai standar mutu. Pengukuran derajat putih ini berprinsip refleksi cahaya dari permukaan sampel yang kemudian diukur dan dibandingkan dengan standar.

Pengukuran dilakukan dengan menempatkan sejumlah sampel dalam wadah sampel hingga penuh, kemudian diratakan hingga tidak ada ruang kosong.


(23)

Kemudian wadah sampel yang telah berisi sampel tersbut dimasukkan kedalam slot sensor dan nilai yang tertera pada layar whitessmeter adalah nilai derajat putih sampel. Sebelumnya alat dikalibrasi dengan plat putih MgO dengan nilai derajat putih adalah 100%.

b. Pengukuran Viskositas (flow ability).

Viskositas merupakan salah satu parameter penting dalam sifat reologi pangan. Viskositas dapat mempengaruhi sensasi dalam mulut saat makanan dikonsumsi. Dalam bahan pangan yang berupa cairan viskositas sangat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk (Winarno, 1995).

Rasio rehidrasi adalah rasio air yang digunakan untuk menyeduh minuman hingga diperoleh konsistensi yang sesuai dengan minuman sejenis komersial yang telah ada dipasaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan takaran saji untuk memperoleh kelarutan optimum dan meningkatkan efisiensi minuman. Kurang jelasnya aturan penyajian dapat mengakibatkan tidak tercapainya kondisi yang sesuai dengan penerimaan konsumen yang dapat berakibat tingginya keluhan konsumen yang akan mengurangi nilai jual produk.

Pengukuran rasio rehidrasi dilakukan dengan membandingkan jumlah air yang diperlukan untuk mencapai viskositas yang sama dengan susu komersial yang telah ada di pasaran. Pengukuran dilakukan dengan viskometer Brookfield.

Probe yang digunakan adalah probe no.1 yang berbentuk silinder dengan diameter 35mm.

2. Analisis Kimia

Analisis kimia ini dilakukan terhadap formulasi optimum. Analisis kimia meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, aw dan pH. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara by

difference.

a. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)

Kadar air yang terdapat pada suatu produk mempengaruhi kerusakan terhadap mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis. Rendahnya kadar air suatu bahan pangan merupakan salah satu faktor yang dapat membuat produk pangan menjadi lebih awet. Pengukuran kadar air ini dilakukan dengan metode dasar gravimetri tak


(24)

langsung (Harjadi, 1993) karena yang ditimbang adalah berat sampel setelah mengalami pemanasan pada suhu dan waktu tertentu. Pengukuran kadar air dengan metode ini berprinsip mengukur kehilangan berat setelah dipanaskan pada suhu air tidak mungkin berada dalam fase cairnya. Dalam hal ini suhu yang digunakan adalah 1050C. selisih berat dianggap jumlah air yang menguap. Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 g) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.0003 g). Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus:

% –

b. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Sebagian besar bahan makanan yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur mineral. Kadar abu merupakan gambaran kasar mengenai jumlah mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Abu merupakan bentuk oksida mineral yang terdapat dalam sampel. Kadar abu diukur dengan mengabukan sampel pada suhu tinggi sehingga zat-zat organik akan terurai dan hanya meninggalkan mineral yang terdapat dalam sampel. Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, berat cawan kosong ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 g dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya cawan yang berisi sampel dipijarkan di atas pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Pengabuan dilakukan di dalam tanur listrik pada suhu 400oC – 550oC selama 4 - 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Cawan yang berisi sampel tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan sebagai berikut:


(25)

c. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Pengukuran kadar protein dengan Metode Kjeldahl merupakan metode pendekatan kadar protein berdasarkan kandungan nitrogen dalam sampel. Sampel didestruksi dengan asam dan katalis, dan seluruh nitrogen dalam sampel diubah menjadi garam ammonium. Jumlah nitrogen dalam ammonium ditentukan kemudian dengan metode distilasi yang kemudian dilanjutkan dengan titrasi. Sampel sebanyak ± 0,2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0,01N/0,02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditambahkan 2 g K2SO4, 50 mg HgO, 2ml H2SO4 pekat, dan batu didih. Sampel kemudian didekstruksi selama 1-1.5 jam hingga jernih dan didinginkan. Setelah itu, ditambahkan 2 ml air yang dimasukkan secara perlahan ke dalam labu dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan X) dimasukkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (Methylen red : Methylen blue = 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam erlenmeyer ± 50ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko.

% ,

% %

d. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Lemak merupakan sumber zat tenaga yang kedua setelah karbohidrat. Lemak ada yang berbentuk cair dan ada pula yang berbentuk padat (Muchtadi, 1997). Pengukuran kadar lemak Metode Soklet bekerja berdasarkan ekstraksi semua lemak dalam sampel dengan pelarut organik. Pelarut organik yang digunakan adalah heksan. Menurut Sudarmadji, et. al (1999), heksan


(26)

adalah pelarut lipida non-polar yang paling banyak digunakan karena harganya paling murah, tidak telalu beresiko ledakan dan lebih selektif terhadap lipid non polar.

Prinsip pengukuran kadar lemak dengan metode ini relatif sama dengan metode pengukuran kadar air yakni memanfaatkan gravimetri langsung. Sampel diekstrak dengan pelarut organik sehingga seluruh lipid akan terekstrak kemudian diukur jumlahnya. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 g, dibungkus dengan kertas saring kemudian ditutup kapas bebas lemak, lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya. Lalu dimasukkan pelarut heksana ke dalam alat dan sampel.

Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

% %

Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g)

c = berat sampel awal (g) e. Kadar Karbohidrat (by difference)

Karbohidrat merupakan zat makanan yang pertama kali dikenal secara kimiawi. Karbohidrat terdiri dari tiga unsur yaitu karbon, oksigen, dan hidrogen. Berdasarkan susunan kimianya, karbohidrat terbagi atas beberapa kelompok, yaitu monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida.

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Sebanyak 60-80% dari kalori yang diperoleh tubuh berasal dari kabohidrat. Hal ini terutama berlaku bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Muchtadi, 1997). Menurut Winarno (1995), karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain.


(27)

Kadar karbohidrat dilakukan dengan Metode by Difference. Metode ini mengasumsikan selain zat makro (lemak, protein, air dan mineral) merupakan karbohidrat. Oleh karena itu perhitungan kadar karbohidrat didapatkan dari pengurangan berat sampel dengan kadar air, abu, lemak dan protein. Metode ini merupakan Metode by Difference dengan perhitungan sebagai berikut:

% % . . . .

Keterangan: k.A = kadar air k.B = kadar abu k. C = kadar lemak k. D = kadar protein f. pH (AOAC, 1995)

Power hidrogen atau pH merupakan suatu gambaran mengenai keseimbangan jumlah ion H+ dengan ion OH- yang terdapat dalam suatu senyawa. Pengukuran pH suatu bahan pangan dilakukan untuk mengetahui kadar keasaman ataupun kadar kebasaan pangan tersebut. Pengukuran pH juga sering dijadikan parameter untuk melihat daya awet suatu produk pangan, terutama produk yang diolah dengan asam karena nilai pH yang rendah dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis mikroba. Dalam makanan atau minuman, pH sangat berpengaruh terhadap mikroorganime yang tumbuh. Tapi hal ini karena minuman ini berbentuk bubuk kering pertumbuhan mikroorganisme dapat ditekan dengan aw-nya yang

rendah. pH hanya berpengaruh pada rasa minuman saat diseduh.

Biasanya pH dikaitkan dengan istilah asam atau basanya suatu zat. Pengukuran pH dilakukan dengan memanfaatkan alat pH meter yang dapat mendeteksi keseimbangan ion hidrogen dan ion hidroksi yang ditampilkan secara digital dalm bentuk data – log [H+]. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 7. Sebanyak 5 g contoh dihaluskan, ditambahkan sedikit air dan diaduk sampai merata. Kemudian elektroda ditempatkan dalam sampel sehingga dapat terbaca nilai pH yang diukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.


(28)

g. Aktivitas air (aw)

Aktifitas air merupakan salah satu parameter penting bagi masa simpan bahan pangan. Aktifitas air biasanya disingkat dengan aw yang merupakan

perbandingan tekanan uap air dengan tekanan udara total pada titik equilibrium isotermis (Belitz et. al, 1999). Pada titik kesetimbangan ini tidak terjadi perpindahan air dari maupun kedalam bahan. Aktifitas air sangat berpengaruh terhadap masa simpan dan keawetan produk.

Aktifitas air dalam penelitian ini diukur menggunakan alat aw -meter

Shibaura WA-360. Sebelum digunakan untuk mengukur sampel, alat ini dikalibrasi terlebih dahulu dengan NaCl jenuh. Sampel diletakkan dalam cawan sensor. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sensor aw

-meter. Tekan tombol start untuk memulai pengukuran. Nilai aw dapat dibaca

pada layar setelah ada tulisan complete. 3. Analisis Biologi

Analisis nilai biologis yang akan dilakukan meliputi daya cerna protein dan jumlah total isoflavon dalam bahan yang akan digunakan dalam penetapan klaim minuman ini. Detail analisis yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Analisis Daya Cerna Protein Metode In Vitro (Muchtadi, 1993). Metode ini merupakan metode analisis daya cerna protein dengan menggunakan multienzim (campuran pepsin, khimotripsisn dan peptidase) yang digunakan oleh Anderson et. al (1969). Hasil dapat didentifikasi dengan besarnya protein yang tidak tercena dengan analisis Kjeldahl biasa.

Sampel sebanyak 250mg dimasukkan kedalam erlenmeyer 50ml kemudian ditambahkan HCl 0,1 N yang mengandung 1,5mg enzim pepsin, dikocok dengan kecepatan rendah pada suhu 370C selama 3 jam dengan

shaker. Kemudian larutan dinetralkan dengan Natrium hidroksida 0.5 N dan ditambahkan 4mg enzim pankreatin didalam 7,5ml larutan buffer fosfat 0,2 M dengan pH 8,0 yang mengandung natrium azida 0,005 M. larutan ini kemudian dikocok pada kecepatan rendah, pada suhu 37°C selama 24 jam dengan shaker kemudian sentrifuse pada 2500rpm selama 5 menit. Endapan


(29)

yang diperoleh dari penyaringan supernatan dan total endapan dengan kertas saring Whatman 41, dikeringkan dalam oven 105°C selama 2 jam, lalu ditimbang. Kemudian dianalisis total protein dengan Metode Kjeldahl.

%

%

b. Total Fenol dan Aktifitas Antioksidan

Penentuan total fenol dilakukan menurut metode Shetty et. al (1995) dalam Septiana (2002). Sebanyak 50 mg sampel dimasukkan kedalam tabung apendorf yang berisi 2.5 ml etanol 95% kemudian disentifus pada 13000 G selama 10 menit. Lalu, 1 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 1ml etanol dan 5 ml air bebas ion. Pereaksi folin ciocalteau (50%, 0.5 menit) ditambahkan ke dalam masing-masing sampel. Setelah 5 menit ditambahkan 1ml larutan Na2CO3 5%, divorteks dan dibiarkan dalam ruang gelap selama 60 menit. Kemudian dihomogenisasi kembali dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm. Larutan untuk kurva standar dilakukan menggunakan asam galat.

Penentuan aktifitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan DPPH. Sebanyak 2 ml buffer asetat ditambah 3.75 ml methanol dan 200 µl DPPH. Kemudian campuran divorteks dan ditambahkan 50 µl larutan sampel atau larutan standar antioksidan. Larutan ini kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit. Setelah diinkubasi larutan ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm. Aktifitas antioksidan sampel dapat dibandingkan dengan antioksidan standar seperti vitamin C dan dinyatakan dalam AEAC (ascorbic acid equivalen antioksidant capacity).


(30)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMILIHAN BAHAN BAKU TERBAIK

Pemilihan bahan baku terbaik dilakukan untuk memberikan gambaran selera konsumen terhadap bahan minuman yang akan diformulasi. Oleh karena itu dipilih produk yang memang sudah dikenal luas. Langkah pertama dilakukan dalam penentuan bahan baku terbaik ini adalah penetapan larutan standar minuman. Kemudian baru dilanjutkan dengan pemilihan isolat protein kedelai yang terbaik. Hal-hal yang dilakukan dapat dilihat sebagai berikut:

1. Larutan standar

Penentuan larutan standar yang dilakukan menggunakan produk yang umum dikenal dipasaran. Dalam penelitian ini digunakan susu cair “Ultra Coklat”. Karena yang ditentukan hanya tingkat kemanisan dan rasa gurih yang akan digunakan pada produk terpilih nantinya, perkiraan jumlah gula dan garam berdasarkan pengamatan langsung pada label informasi gizi produk hanya bersifat gambaran kasar. Verifikasi yang dilakukan berdasarkan uji beda atau tidak diketahui tingkat kemanisan dan gurih yang paling sesuai dengan produk

benchmark adalah 69 g dan 4 g tiap 750 ml larutan standar (Lampiran 5). Tabel 5 Formula larutan standar

Komponen Kadar (dalam 1 liter)

Gula 92 g

Garam 5.33 g

Putih Opaque 0.3 g

Penstabil CMC 0.36 g

Larutan yang digunakan sesuai dengan keadaan saat akan digunakan untuk penyeduhan yakni dijaga agar tetap hangat yakni suhu 750C, dan ditambahkan dengan pewarna putih opaque, Titanium Oksida dan penstabil berupa CMC. Berat pemutih opaque dan penstabil CMC yang ditambahkan sebanyak 0.5% dan 0.6% dari total kombinasi isolat protein kedelai dan sweet whey. Kelarutan isolat protein kedelai dalam air paling baik pada jumlah 60 g setiap 1 liter air. Angka ini didapatkan dari jumlah isolat protein kedelai yang ditambahkan dalam air hingga dapat larut sempurna dengan diaduk secara manual. Komponen minor yang


(31)

berdasarkan persentase rasio berat terhadap total kombinasi isolat protein kedelai dan sweet whey ditentukan dari nilai ini. Rasio larutan standar yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5.

Setelah didapatkan formula larutan standar, kemudian larutan ini diproduksi untuk penentuan isolat protein kedelai terbaik. Larutan standar yang dibuat sebanyak tiga liter dengan perkiraan setiap sampel isolat protein kedelai membutuhkan satu liter larutan standar untuk menyeduhnya.

2. Isolat protein kedelai terbaik

Larutan standar yang dihasilkan dari langkah diatas kemudian dibagi menjadi 3 bagian yaitu satu liter untuk masing-masing sampel yang digunakan. Kemudian setiap sampel isolat protein kedelai ditimbang masing- masing seberat 60 g yang merupakan jumlah ideal isolat protein kedelai yang digunakan sebagai minuman. Pencampuran dilakukan dengan pengadukan secara mekanis hingga seluruh isolat protein kedelai larut sempurna.

Gambar 6 Bahan baku isolat protein kedelai yang digunakan

Setelah larutan uji telah selesai dibuat, Sebelum diujikan dilakukan coding

pada sampel yakni A adalah sampel Soypro 900ES, B adalah Profarm 974, dan C adalah Arcon SJ (Gambar 6). Hal ini dilakukan untuk menjaga agar memudahkan pengenalan tanpa memberikan identitas yang dapat dikenali panelis selain atribut


(32)

organoleptiknya. Saat pengujian dijaga agar sampel disajikan tetap dalam keadaan hangat dan segar. Panelis kemudian diminta menuliskan respon mereka dalam kuesioner yang diberikan. Kuesioner ini dapat dilihat dalam Lampiran 12.

Hasil respon panelis kemudian ditabulasikan dan hasil uji organoleptik ini kemudian diujikan dengan Friedman T-test. dan didapatkan isolat protein kedelai yang digunakan berbeda nyata (Lampiran 5). Taraf nyata yang digunakan adalah 95% dengan α = 0.05.Karena nilai signifikansi asimtotik (0.047) < dari α = 0.05 dari uji Friedman, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nyata di antara ketiga bahan baku pada taraf nyata 95%. kemudian analisis dilanjutkan dengan LSDrank untuk menentukan hubungan perbedaan antar sampel.

Berdasarkan hasil perhitungan LSDrankA < dari LSDrankB (1 < 12.4), maka tidak ada perbedaan nyata antara A dan B. Tetapi A dan B berbeda nyata dengan C karena LSDrankA dan LSDrankB > dari LSDrankC (13;14 > dari 12.4). Hal ini berarti sampel A memiliki skor organoleptik tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan sampel B. Sampel C mendapatkan skor rangking terendah dan berbeda nyata dengan kedua sampel lainnya. Oleh karena itu, sampel C tidak akan digunakan dalam formulasi ini. Walaupun sampel A tidak berbeda nyata dengan B (profarm 974), tapi harga Profarm 974 relatif mahal, hampir 1.5 kali harga Soypro 900ES. Oleh karena itu, bahan baku yang digunakan dalam formulasi selanjutnya adalah SoyPro 900ES yang memperoleh nilai tertinggi dan dianggap yang terbaik dengan harga relatif murah.

B. FORMULASI DAN OPTIMASI FORMULA.

Formulasi dasar pembuatan minuman ini mengacu pada Standar Nasional Indonesia SNI 01-2970-1999 tentang susu bubuk dan dikombinasikan dengan ketentuan penetapan klaim mengenai klaim berprotein tinggi yang didapatkan dari negara New Zealand dan ketentuan CODEX. Minuman dapat diklaim berprotein tinggi jika mengandung protein yang dapat memenuhi 20% AKG persajiannya (10 g protein setiap sajian berdasarkan diet 2000 Kal).

Sesuai dengan hasil pemilihan bahan baku terbaik, isolat protein kedelai yang digunakan dalam formulasi adalah Soypro 900ES. Untuk optimasi, faktor harga juga dijadikan sebagai pertimbangan. Formulasi ditentukan dengan software DX7 dengan tahapan sebagai berikut:


(33)

1. komposisi formula dan respon yang akan diuji

Tahapan awal yang dilakukan untuk menentukan komposisi formula dan respon yang diuji dengan software DX7 adalah dengan memilih bahan-bahan yang akan digunakan dalam formulasi. Jenis model yang dipilih adalah D-optimal dengan kadar subtitusi maksimum isolat protein kedelai dengan sweet whey adalah 25%. Nilai ini dapat dilihat pada Gambar 5. Titik kombinasi yang disarankan untuk diuji dapat dilihat pada Tabel 4.

Respon yang akan diukur berupa parameter organoleptik yakni respon panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan penerimaan secara overall. Oleh karena itu pada software DX7 ini respon yang diukur ada 5 bagian sesuai dengan atribut organoleptik yang dipilih sebagai parameter. Pemilihan respon kelima respon ini dengan menetapkan respon dalam worksheet DX7 dan mencantumkan parameter ini dalam kuesioner yang dibagikan pada panelis. Selain respon yang diukur pada panelis, parameter harga juga dipertimbangkan dalam proses optimasi, Harga dihitung berdasarkan proporsi isolat protein kedelai dan sweet whey yang digunakan. Harga yang digunakan dalam perhitungan adalah isolat protein kedelai Rp 37.500,00 /kg, dan sweet whey Rp 45.000,00 /kg.

2. Pembuatan formula dan pengukuran respon formula

Jumlah larutan standar yang digunakan dalam pengukuran setiap respon ini didapatkan dengan menghitung jumlah persajian, ulangan dan jumlah panelis yang akan diuji. Total larutan standar yang dibuat adalah 9 liter. Kemudian dibagi menjadi 15 wadah masing-masingnya 600 ml. jumlah sajian setiap sampel adalah 20 ml. setiap panelis disajikan 15 sampel sesuai titik rancangan dari DX7. Sebelum disajikan masing-masing sampel juga dilakukan coding.

Hasil respon organoleptik kemudian ditabulasikan dalam format excel dan dihitung rataan setiap respon untuk setiap kategori yang diukur. Untuk parameter harga hanya dilakukan pengalian harga masing-masing komponen dengan proporsinya dalam campuran.

3. Input data respon

Data kuesioner uji hedonik yang telah diisi oleh panelis ditabulasikan dalam format excel. Kemudian data ini dicari nilai rataanya untuk setiap parameter


(34)

hedoniknya dan perlakuannya. Setelah didapatkan nilai rataan, nilai ini diinput dalam worksheet software DX7. Hasil input dapat dilihat dalam Lampiran 13.

Pada worksheet DX7 ditentukan juga urutan simulasi masing-masing respon. Respon yang diukur secara berurutan adalah warna, aroma, rasa tekstur, dan penerimaan secara overall. Masing-masing parameter ini terdiri dari 15 perlakuan yang diisi dengan nilai rataan yang telah didapatkan dari pengolahan dengan

software microsoft excel pada penjelasan sebelumnya.

4. Analisis sidik ragam respon dan penentuan formula optimum

Respon yang telah diinput kemudian dianalisis sidik ragamnya untuk mengetahui faktor yang paling nyata mempengaruhi proses optimasi. Hasil sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 6 hingga 11. Sebelum dilakukannya analisis sidik ragam DX7 membuat persamaan model polinomial dengan ordo yang sesuai dengan hasil yang didapatkan dari setiap respon. Jenis persamaan polinomial yang mungkin adalah linier, kuadratik, kubik, dan spesial kubik. Proses untuk menentukan persamaan yang paling sesuai untuk masing-masing respon ada 3 cara yaitu berdasarkan Sequential model sum of squares (type I), lack of fit test,

dan model summary statistics.

Proses pemilihan model dengan cara pertama yaitu berdasarkan Sequential model sum of squares (type I) dengan membandingkan nilai “prob>f”. Model persamaan yang dianggap paling sesuai adalah model polinomial dengan ordo tertinggi dengan nilai “prob>f” dibawah 0.05 (Anonimc, 2005)

Proses pemilihan model dengan cara yang kedua adalah dengan lack of fit test

dengan nilai model yangsesuai adalah model dengan nilai “prob>f”>0.1.

Pemilihan model dengan cara terakhir Sequential model sum of squares (type I),adalah dengan mengacu pada nilai ”adjusted R-square” dan “Predicted R-square” tertinggi (Anonimc, 2005)

Berdasarkan ketiga proses tersebut, DX7 akan memberikan saran model matematika yang paling sesuai untuk setiap respon. Kemudian masing-masing model tersebut dianalisis sidik ragam (ANOVA). Analisis sidik ragam ini akan digunakan dalam penentuan optimasi formula.


(35)

Faktor yang diujikan adalah warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall. Masing masing respon ini juga menghasilkan persamaan model matematikanya yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Persamaan model matematika respon yang diukur

Respon Model Matematika

Warna Y= 4.7338676* A + 4.9672034 * B - 0.3313955 * A * B -1.9499944 * A * B * (A-B)

Aroma Y= 4.4006524 * A + 4.6929601 * B - 0.3381643 * A * B

Rasa Y= 4.6677695 * A + 5.2344337 * B + 0.6106225 * A * B + 0.8249944 * A * B * (A-B)

Tekstur Y = 4.3997585* A+ 5.1664251 * B - 0.6608696* A * B - 0.975* A * B *(A-B)

Overall Y= 4.696597713 * A+5.165828482* B - 0.400966184* A * B Harga Y= 37500.00 *A + 45000*B

*A=Isolat protein kedelai; B = Sweet whey

Model yang dihasilkan ini dianalisis sidik ragamnya (ANOVA) untuk menentukan faktor yang berpengaruh pada optimasi. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Analisis sidik ragam (ANOVA) model tiap respon Respon Jumlah

kuadrat

Db Kuadrat tengah F hitung Nilai P Prob>f

Keterangan Warna 0.3316073 3 0.1105358 849.44714 < 0.0001 significant

Aroma 0.2070463 2 0.1035231 23.792495 < 0.0001 significant

Rasa 0.720348 3 0.240116009 439.08822 < 0.0001 significant

Tekstur 1.4992657 3 0.4997552 18965.711 < 0.0001 significant

Overall 0.5078663 2 0.2539331 135.40637 < 0.0001 significant

Harga 7617187 1 7617187 63660000 < 0.0001 significant

Dari hasil pengujian didapatkan semua respon berpengaruh nyata pada optimasi formula. Hal ini berarti perubahan nilai pada setiap respon akan mempengaruhi nilai optimasi yang akan dihasilkan. Kurva model dari setiap respon ini dapat dilihat dalam Lampiran 14.

Optimasi dengan DX7 dilakukan berdasarkan kriteria yang diinginkan. Penentuan parameter yang diinginkan sebagai acuan optimasi dapat diatur pengguna sesuai pertimbangan yang diinginkan, baik dari komponen penyusunnya maupun dari respon yang ingin dicapai. Kriteria yang dapat dipilih bisa berupa target (titik yang hendak dicapai), in range (dalam kisaran tertentu),

maximize (maksimum atau batas atas limit), minimize (minimum atau batas bawah limit). Selain pengaturan jumlah atau komposisi ini DX7 juga memperhitungkan


(36)

skala kepentingan suatu respon terhadap optimasi yang diinginkan. Tingkat kepentingan ini dikenal dengan skala prioritas atau importance. Skala kepentingan setiap respon dapat dipilih dari yang terendah hingga tertinggi (dari +, ++, +++, ++++, dan +++++). Semakin tinggi skala kepentingan respon maka semakin berpengaruh respon tersebut terhadap proses optimasi dan pemenuhan kriteria yang diharapkan dari formula yang akan dihasilkan (Anonimc, 2005).

Optimasi yang dilakukan dalam penelititan ini dilakukan dengan menetapkan parameter warna, aroma, rasa, tekstur, overall dan harga sebagai parameter penting. Karena secara ANOVA keenam faktor ini signifikan. Berdasarkan ANOVA untuk data baku dengan software statistik SPSS, data yang signifikan hanya dari parameter tekstur. Perbedaan hasil ini mungkin karena data yang diolah dengan SPSS adalah data baku dari setiap respon, sedangkan hasil ANOVA dari software DX7 merupakan rataan untuk setiap respon. Oleh karena itu faktor tekstur diatur memiliki skala kepentingan +++++. Sedangkan parameter lainnya diatur dengan skala kepentingan +++. Variabel berupa isolat protein kedelai dan sweet whey diset in range, karena jumlah rasio yang diharapkan berada dalam rentang nilai yang telah ditetapkan sebelumnya yakni 75-100% untuk isolat protein kedelai dan 0-25% untuk sweet whey.

Formula terpilih adalah formula yang memiliki nilai desirability yang tertinggi. Desirability merupakan suatu gambaran seberapa memenuhinya formula yang dihasilkan dengan parameter yang telah diatur. Kurva optimasi yang dihasilkan software DX7 ini dapat dilihat sebagai dalam Gambar 7. Dari kurva optimasi yang dihasilkan tanpa memperhitungkan faktor harga terlihat bahwa subtitusi isolat protein kedelai dengan sweet whey akan memperbaiki perfomance minuman. Karena kurva yang terbentuk cenderung dengan gradien negatif maka titik maksimum kurva tidak dapat ditentukan. Namun karena variabel yang ditetapkan berupa isolat protein kedelai maksimum boleh disubtitusi dengan sweet whey sebanyak maksimum 25% maka formula yang dianggap optimum adalah formulasi pada titik kombinasi maksimum yakni 75% isolat protein kedelai dengan 25 % sweet whey. Dari pengukuran desirability formula yang dihasilkan memiliki nilai 1.000 dengan nilai maksimum 1. Hal ini terlihat formula yang


(37)

dihasilkan sangat memenuhi parameter organoleptik dan variabel yang telah ditetapkan sebelumnya.

Gambar 7 Kurva optimasi formula terpilih tanpa parameter harga

Saat faktor harga dipertimbangkan dalam proses optimasi didapatkan persamaan kurva optimasi yang dapat dilihat dalam Gambar 8. Titik optimum dalam kurva ini adalah pada rasio isolat protein kedelai dengan sweet whey 77.28: 22.72. Pada titik ini nilai desirability adalah 0.702 dan harga yang dicapai adalah Rp 39.203,80. Nilai desirability yang dicapai dengan memperhitungkan faktor harga ini lebih rendah, namun didapatkan harga yang paling sesuai. Dianggap paling sesuai karena tidak mengorbankan mutu dan juga harga yang paling optimum.

Walaupun kurva yang dihasilkan berbeda, namun kurva yang akan digunakan sebagai penentuan titik optimum adalah kurva yang mempertimbangkan seluruh faktor termasuk parameter harga sebagai kurva optimasi yang ideal. Kurva ini memiliki bentuk yang lebih baik karena memiliki puncak dan lebih mudah ditentukan titik maksimumnya.


(38)

Gambar 8 Kurva optimasi formula terpilih

Setelah didapatkannya titik optimum ini kemudian dilanjutkan dengan produksi formula terpilih yakni dengan membuat campuran antara isolat protein kedelai dengan sweet whey dengan rasio 77.28: 22.72 sebanyak 5 kg. Kemudian berdasarkan formula larutan standar dibuat formula produk terpilih yang dapat dilihat dalam Tabel 8.

Tabel 8 Formula terpilih

Komponen Jumlah (g) Persentase (%)

Isolat protein kedelai 3864 29.34

Sweet whey 1139 8.65

Gula tepung 7666 58.22

Garam 444.15 3.37

TiO2 25 0.19

CMC 30 0.23

Total 13168.15 100

Formula yang dianalisis adalah formula yang belum dicampur dengan komponen larutan standar yaitu campuran isolat protein kedelai dengan sweet whey saja. Hasil analisisnya dapat dilihat pada analisis mutu produk terpilih. C. MUTU PRODUK TERPILIH


(39)

Formula terpilih dianalisis kemudian dibandingkan dengan syarat mutu yang diacu yakni CODEX dan SNI tentang susu bubuk. Hasil analisisnya dapat dilihat dari Tabel 9.

Tabel 9 Mutu produk terpilih dengan prasarat SNI susu bubuk tanpa lemak Parameter SNI Produk terpilih Keterangan Kadar air Maks 4.0 % 7.54% Tidak memenuhi

Kadar abu Maks 9.0 % 4.53% Memenuhi

Kadar lemak 0 % 0.5299 % Memenuhi

Kadar protein Min 34.0 % 60.96 % Memenuhi Lebih detail mengenai analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Mutu kimia

a. Proksimat

Analisis proksimat dilakukan pada isolat protein kedelai, sweet whey, dan produk terpilih. Ringkasan hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Proksimat isolat protein kedelai, sweet whey, dan produk terpilih. Parameter %

(b/b) Isolat protein kedelai murni Sweet whey

Produk terpilih

Kadar air 5.5% (COA) 5.5% (COA) 7.54%

Kadar abu 4.47% ; COA (4%-6%) 4,72% ; COA (7%

-14%) 4.53%

Kadar protein 75.85% 11.65% 60.97%

Kadar lemak 0.5% 1.25% 0.52%

Karbohidrat 17.68% 76.88% 26.44%

Kadar air formula terpilih adalah 7.54% yang berarti setiap 100 g bahan mengandung air sebanyak 7.54 g (Lampiran 16). Tingginya kadar air ini dapat diakibatkan seringnya terpapar dengan kelembaban yang tinggi selama proses

mixing atau pada saat penyimpanan. Wadah yang digunakan dalam proses penyimpanan adalah wadah plastik dengan tutup kedap udara, tapi kemungkinan tutup ini sudah tidak terlalu rapat sehingga masih memungkinkan air untuk masuk.

Perlakuan mixing yang kedua dilakukan dengan memanaskan wadah pencampuran terlebih dahulu baru kemudian dilakukan pencampuran bahan. Produk yang dihasilkan dengan perlakuan ini cukup berbeda dengan yang tanpa perlakuan pemanasan terlebih dahulu yakni produk ini memiliki tekstur yang lebih halus dan tidak bergumpal. Berdasarkan hasil pengukuran kadar air didapatkan


(40)

kadar airnya menurun hingga 4,05% yang berarti mendekati SNI tentang susu bubuk kedelai. Metode ini dapat diterapkan di perusahan skala rumah tangga dalam usaha menurunkan kadar air produk yang akan dihasilkan yang juga dapat meningkatkan keawetannya. Lebih jelasnya mengenai pengukuran kadar air lihat Lampiran 16.

Pada pengujian kadar abu formula terpilih didapatkan hasil rataan 4.53% yang berarti setiap 100 g bahan mengandung 4.53 g abu (Lampiran 17). Pengujian kadar abu juga dilakukan terhadap bahan baku, yakni isolat protein kedelai dan

sweet whey. Kadar abu isolat protein kedelai bernilai rata-rata 4.47% basis basah. Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang tercantum dalam COA-nya yakni 4% dan maksimum 6% basis basah. Hasil pengujian kadar abu Sweet whey berada dibawah kisaran yang tercantum dalam COA-nya (7-14%) yakni hanya 4,72% basis basah. Kadar abu formula terpilih ini masuk dalam kisaran yang ditetapkan SNI mengenai susu bubuk tanpa lemak yakni kadar abu yang diperbolehkan adalah maksimum 9%.

Kadar protein yang terukur dengan metode Kjeldahl merupakan konversi total nitrogen dalam bahan dengan angka konversi 6.25. Nilai 6.25 digunakan karena produk diformulasi dengan komponen selain kedelai, yang jika dalam keadaan tunggalnya nilai konversinya adalah 5,71. Metode Kjeldahl merupakan metode yang paling sering digunakan dalam pengukuran nitrogen organik dalam bahan pangan (Nollet, 1996). Namun, senyawa-senyawa lain yang bukan protein tetapidapat juga mengandung nitrogen antara lain amonia, asam amino bebas, asam nukleat, vitamin, purin, dan pirimidin (Soedarmadji et. al, 1999). Hal ini merupakan faktor yang dapat menyebabkan bias dalam penentuan kadar protein dengan metode ini. Agar analisa lebih akurat perlu dilakukannya pengukuran blanko untuk menentukan faktor koreksi senyawa yang mengandung nitrogen dalam reagen yang digunakan (Soedarmadji et. al, 1999).

Hasil uji kadar protein formula terpilih rata-rata adalah 60.97% yang berarti setiap 100 g formula terpilih mengandung 60.97 g protein (Lampiran 18). Untuk memenuhi klaim berprotein tinggi jumlah formula terpilih setiap sajiannya adalah 16,46 g. Karena setiap 45 g isolat protein paling baik dilarutkankan dengan 750 ml air, maka disarankan setiap sajian dilarutkan dalam 250 ml air. Pengujian


(41)

kadar protein dari bahan baku isolat protein kedelai adalah 75.85% yang berarti setiap 100 g bahan mengandung 75.85 g protein. Nilai ini berada dibawah standar isolat yang seharusnya memiliki kadar protein diatas 90% dan juga berada diluar kisaran kadar protein yang ada dalam COA-nya yakni 90.5% . Sedangkan pengukuran kadar protein Sweet whey bernilai rata-rata 11.65 %. Nilai ini sesuai dengan yang ada pada COA nya yakni berkisar antara 11.0-14.0%.

Kadar lemak formula terpilih adalah sebesar 0.5299 % yang berarti setiap 100g bahan mengandung 0.5299 g lemak (Lampiran 19). Nilai ini berada dalam standar yang ditetapkan dalam COA isolat protein kedelai dan sweet whey. Selain itu, nilai ini berada dalam standar SNI mengenai susu bubuk tanpa lemak yakni kadar lemak yang diperbolehkan 0% dengan pembulatan satu angka.

Kadar karbohidrat dihitung dengan metode empiris by difference yang diperoleh dengan menggangap semua zat selain air, lemak, protein, dan mineral adalah karbohidrat. Untuk itu kadar karbohidrat yang dihitung bukan kadar absolut. Formula terpilih berdasarkan metode ini memiliki kadar karbohidrat 26.93%. Kadar karbohidrat tidak ditentukan dalam SNI mengenai jumlah maksimumnya. Oleh karena itu, kadar karbohidrat ini relatif tidak mempengaruhi klaim produk yang akan dihasilkan, dalam hal ini formula terpilih.

Karbohidrat dalam kedelai yang terukur kemungkinan dalam bentuk molekul kompleks yang tidak ikut terbawa pada proses pembilasan endapan protein yang terjadi pada proses asidifikasi protein kedelai saat ekstraksi. Karena saat pencucian molekul gula sederhana yang relatif larut sempurna dalam air akan terbawa dengan air pembilasan, maka dapat diperkirakan karbohidrat yang terukur ini berupa serat dan polisakarida yang tidak larut air.

b. pH

Formulasi optimum yang diproduksi memiliki ph rata-rata 6.53 yang berarti berada dalam kisaran sedikit asam. pH formula terpilih lebih rendah dibandingkan pH isolat protein kedelai murni yang berada pada kisaran 7,21 (Tabel 11). Hal ini mungkin terjadi karena bahan bahan lain berupa gula dan Sweet whey yang digunakan bersifat asam. pH larutan yang agak basa biasanya berasa agak pahit karena biasanya rasa dari ion hidroksida adalah pahit. Formula terpilih yang


(42)

diproduksi sudah tidak memiliki rasa sedikit pahit sebagai mana larutan isolat protein kedelai saja.

Proses proses produksi isolat protein untuk membuat isolat protein kedelai juga memanfaatkan pH agar terjadi kondisi optimum ekstraksi. Kemungkinan garam-garaman yang terjadi saat proses netralisasi ikut terbawa dalam proses pengeringan isolat protein dapat mempengaruhi pH produk akhir. Hasil pengukuran pH lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 20.

Tabel 11 Pengukuran pH

Sampel pH

Sweet whey 5.4-6.6

Isolat protein kedelai murni 7.21

Formula terpilih 6.53

c. Aktivitas air (aw)

Aktivitas air berhubungan erat dengan masa simpan karena air merupakan salah satu faktor esensial bagi kehidupan. Produk yang dihasilkan berupa bubuk yang diharapkan memiliki keawetan yang baik. Karena itu diharapkan produk yang dihasilkan memiliki kadar air dan aw

rendah. Parameter yang dapat digunakan dalam mengukur aw adalah air

bebas karena dapat mempengaruhi reaksi kimia dan kemampuan mikroorganisme untuk berkembangbiak (Belitz, 1999).

Formula terpilih memiliki aw 0,480 pada suhu 29,2°C dan 0.436 pada

suhu 29,5°C yang berarti pada suhu tersebut perbandingan tekanan uap air dengan total tekanan udara berada pada titik kesetimbangan (equilibrium).

aw formula terpilih ini cukup rendah jika dibandingkan dengan aw minimum

untuk tumbuhnya mikroorganisme yakni 0.68 bagi mikroorganisme berupa kapang dan khamir (Belitz, 1999). Namun untuk lebih amannya aw perlu

diturunkan lagi agar benar-benar dapat menjamin tidak adanya pertumbuhan mikroorganisme dalam produk yang akan dihasilkan selama penyimpanan.


(43)

Gambar 9 Pengaruh aktivitas air terhadap pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia pada bahan pangan

Berdasarkan Gambar 9 terlihat formula terpilih relatif aman dan diprediksi memiliki masa simpan yang relatif panjang karena aw yang

dimiliki formula terpilih berada dibawah wilayah rawan untuk tumbuhnya mikroorganisme. Namun untuk lebih pastinya perlu dilakukannya pengujian secara langsung mengenai masa simpannya.

2. Parameter Fisik a. Derajat Keputihan

Pengukuran derajat keputihan ini dilakukan terhadap bubuk formula terpilih yang belum diseduh. Pengukurannya menghasilkan nilai 75.36% dibandingkan dengan putih standar MgO adalah 100%.

Sebagai pembanding derajat keputihan digunakan berbagai produk sejenis lainnya yang dapat dilihat pada Tabel 12. Formula terpilih lebih putih dibandingkan produk sejenis lainnya, tapi tidak lebih putih jika dibandingkan susu bubuk. Dari Tabel diatas terlihat formula terpilih kurang putih dibandingkan dengan sampel tepung-tepungan yang lain.


(44)

Jenis Tepung Derajat Putih (%)

Tepung Beras 102.3

Susu bubuk ”Dancow” 82.28

Susu kedelai instant 43.56

Formula Terpilih 75.36

b. Viskositas

Pengukuran viskositas formula terpilih dilakukan dengan alat viscometer

brookefield. Spindle yang digunakan adalah no.1, karena minuman yang dihasilkan tidak terlalu kental. Faktor konversinya adalah 2 karena kecepatan putar spindel yang digunakan adalah 30 rpm. Dalam pengukuran viskositas, formula terpilih juga dibandingkan dengan susu cair komersial. Nilai rataan yang dapatkan dari pengukuran viskositas formula terpilih adalah 5.8 cp. Jika dibandingkan dengan susu cair komersial viskositasnya mencapai 23 cp (Lampiran 20). Ini berarti minuman dari formula terpilih lebih encer dibandingkan dengan susu cair komersial. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang stabilnya larutan yang terbentuk yakni dengan terpisahnya larutan menjadi beberapa fase setelah beberapa saat produk diseduh.

3. Daya cerna Protein

Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna protein (nilai daya cerna). Protein dalam isolat protein kedelai diharapkan memiliki daya cerna yang baik, karena telah melewati proses pemurnian sehingga komponen tripsin inhibitor yang dapat menurunkan kecernaan protein telah terbuang. Protein yang mudah dicerna, jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Protein yang tidak tercerna akan dibuang oleh tubuh bersama feses (Muchtadi, 1993).

Pengukuran daya cerna protein sangat penting dilakukan untuk menghitung keefektifan suatu makanan sebagai sumber protein. Metode in-vitro dilakukan dengan memanipulasi keadaan reaksi agar mirip dengan yang terjadi dalam tubuh, yakni pH yang asam (pH<1) dan kemudian dibasakan, enzim yang sesuai (pepsin,


(1)

(2)

Lampiran 20 Data pengukuran pH, aw, Derajat Putih dan Viskositas

Data pengukuran ph larutan formula terpilih

pH

ulangan 1 ulangan 2

sampel FT 6.52 6.54

Derajat putih ulangan 1 ulangan 2

Susu bubuk “dancow” 74.8 74.8

Susu kedelai instant 39.3 39.9

sampel FT 76.2 74.52

Standard 100

Data pengukuran aktifitas air (aw)

Suhu aw

29.2 0.48 29.5 0.436

Data pengukuran viskositas (Centipoise)

Viskositas sampel benchmark "susu Ultra"

Ulangan 1 5.6 24

Ulangan 2 6 22


(3)

Lampiran 21 Perhitungan daya cerna protein

N HCl = 0.03188226N Blanko =0.1ml

Ulangan Berat Sampel Titrasi HCL % N Protein Tidak Tercerna

Daya Cerna (%)

1 0.2580 3.5 3.68 93.94

2 0.2787 3.95 3.85 93.66

Contoh perhitungan ulangan 1

% ,

. . . ,

. %

% . .

= 3.68 %

%

%

. .

. x 100 %


(4)

Lampiran 22 Pengukuran total fenol

Kurva standar asam galat

konsentrasi (mg/l) absorbansi

50 0.222 100 0.451 150 0.720 200 1.000 250 1.285

Ulangan berat (mg)

Duplo absorbansi Kurva standar (mg/L)

Total fenol (mg/100g sampel)

1 55 1 0.008 13.7963 125.4209

2 0.009 14.0370 127.6094

2 55 1 0.013 14.7778 134.3434

2 0.010 14.2963 129.9663

Rata-rata 129.335

Contoh perhitungan: Ulangan 1

Total fenol/100 g sampel

=

=

.

= 125.42 mg /100 g

Kurva standar asam galat

y = 0.005x - 0.066 R² = 0.998

0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400

0 50 100 150 200 250 300

Absorbansi


(5)

Lampiran 23 Pengukuran aktifitas antioksidan Berat sampel = 1.0009 g

Volume pelarut = 10 ml

Konsentrasi Standar Asam Askorbat (ppm) Absorbansi A ktrl (-) - A

0 0,762 0,038

50 0,76 0,04

100 0,71 0,09

200 0,594 0,206

500 0,354 0,446

Kontrol negatif (rataan) 0,8

Sample Absorbansi (A) rata-rata A

A kontrl (-) - A sampel

AEAC sampel Kapasitas Antioksidan (%) ulangan 1 ulangan 2 Formula

terpilih 0.754 0.774 0,764 0.036 21.11 4.5 Kontrol

negatif 0,77 0,83 0,8

Persamaan linier standar Asam askorbat: y = 0.0009x + 0.0179 y = {A ktrl (-) – A sampel} x = konsentrasi (mg/100ml) 0.036 = 0.0009x + 0.0179

0.036 -0.0179 = 0.0009(x) 0.0181 = 0.0009(x)

x = 20.11

= 20.11 AEAC

Kapasitas Antioksidan= A kntrl negatif- A Sampel x 100% A kntrl negatif

= 0.8 – 0.764 x 100% 0.8

= 4.5 %

y = 0.0009x + 0.0179 R² = 0.989 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600


(6)

Muhammad Arief Fadli. F24104085. 2009. Optimasi formula dan evaluasi mutu minuman berprotein tinggi berbasiskan isolat protein kedelai dan sweet whey. Di bawah bimbingan Nurheni Sri Palupi.

Ringkasan

Kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu atau nilai biologi tertinggi. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk menggunakan kedelai sebagai sumber protein. Pemanfaatan isolat protein kedelai yang merupakan pengolahan lebih lanjut dari kedelai dalam industri pangan kebanyakan hanya terbatas sebagai pengganti protein hewani, seperti dalam industri sosis dan nugget. Padahal penggunaan isolat protein kedelai dalam formulasi minuman cukup berpotensi. Hal ini dapat dilihat dari kelarutan dan dari segi rasa serta komponen yang terdapat dalam isolat protein kedelai dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sumber protein dalam bentuk cair.

Protein kedelai dikenal paling baik diantara sumber protein nabati lainnya, selain itu asam amino lysine yang biasanya asam amino pembatas dalam pola konsumsi manusia memiliki kadar yang cukup tinggi. Namun protein kedelai ini memiliki kekurangan dalam asam amino yang mengandung sulfur seperti cystein dan methionin. Bahan yang paling sesuai digunakan sebagai komplementer untuk protein kedelai adalah sweet whey protein. Kesesuaian ini dapat dilihat dalam proporsi asam amino dari whey yang dapat saling melengkapi protein kedelai. Selain itu sweet whey juga memiliki aroma khas susu yang dapat menutupi aroma kedelai yang kurang disukai dalam produk turunan kedelai dan sweet whey juga memiliki komponen fungsional yakni immunoglobulin yang bermanfaat bagi tubuh sebagai faktor imun.

Pembuatan formulasi minuman berprotein tinggi ini menggunakan persamaan model formula (mixture design) d-optimal scheffe (Cornell, 1984). Model ini menentukan komposisi yang tepat dari 2 atau lebih campuran yang menghasilkan formulasi yang sesuai kehendak tanpa memperhatikan interaksi komponen lain yang dianggap tetap. Untuk mempermudah operasi aritmatikanya, penulis menggunakan software Design Expert 7.1 yang dapat menentukan titik pengujian, analisis dan persamaan formula yang sesuai dengan kehendak. Titik dilakukannya pengujian didapatkan dengan perbandingan Isolat protein kedelai dengan sweet whey adalah 75:25 ;83.33:16.67 ; 87.5:12.5 ; 91.67:8.33 dan 100:0. Setelah diujikan secara organoleptik, bahan baku terbaik adalah Soypro 900ES. Kemudian, bahan baku ini digunakan dalam formulasi, dan didapatkan formulasi optimum pada rasio subtitusi Isolat Protein Kedelai dengan sweet whey sebesar 77.28:22.72.

Hasil yang diperoleh dari pengukuran sifat fisiko kimia dan biologisnya adalah Formula Terpilih memenuhi standar kadar abu, protein dan lemak untuk susu bubuk menurut SNI tapi tidak untuk standar kadar air. Produk terpilih memiliki derajat putih yang lebih baik dibandingkan produk sejenis lainnya dipasaran. Dari segi nilai biologi formula terpilih memiliki kecernaan hingga 93,96 %. Total senyawa fenol adalah 129.34/100g formula terpilih dan memiliki aktifitas antioksidan 20.11 setara asam askorbat (AEAC).