Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max)

(1)

PENGARU

SUHU AWAL

ELEKTROF

MUTU TEKSTU

FAKU

I

RUH UMUR KOAGULAN

WHEY

TAHU

AL PROSES KOAGULASI TERHAD

OFORESIS PROTEIN TERKOAGULA

TEKSTUR

CURD

KEDELAI (

Glycin

SKRIPSI

YOGI KARSONO

F 24060109

AKULTAS TEKNOLOGI PERTANIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

TAHU DAN

HADAP POLA

GULASI DAN

cine max

)


(2)

The Effect of Coagulant-Tofu Whey’s Age and Initial Temperature

of Coagulation Process to The Electrophoretic Pattern

of Coagulated Protein and Texture Quality

of Soybean Curd (

Glycine max

)

Yogi Karsono1, Dahrul Syah1 dan Dadang Supriatna2

1

Departement of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Dramaga Bogor 16002, Indonesia

2

Center for Agro-Based Industry, Industrial-Ministry Republic of Indonesia, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122, Indonesia

ABSTRACT

Nowadays consumer preference in consuming food is not only about nutrition value but also good shape, taste, and mouthfeel. Tofu is nutritious food that belongs to curd-basis food. Tofu needs good shape, taste, and mouthfeel so it can be accepted by consumer. One of the tofu mouthfeel parameter is texture. Curd/tofu texture is influenced by soybean quality, coagulant type, coagulation process, and curd protein composition. Whey or tofu whey, one of the acid coagulant types, is usually used by tofu industries in Indonesia. The Influences of whey age and initial temperature of coagulation process to coagulated protein electrophoretic pattern and texture quality of curd have been studied by this research. There were three aged-difference whey; one, two and three-days, and two initial temperature of coagulation process; 63 oC and 83 oC, used in this research.

One, two, and three-days whey have different pH value which are 3.81, 3.83, and 3.87 respectively. Different whey age causes different texture profile. Three-days whey produced curd with lowest hardness value, 1.48 kg Force at 63 oC and 1.98 kg Force at 83 oC. Hardness value has direct proportional correlation with cohesiveness, gumminess, and springiness. Two-days whey produced curd with highest hardness value, 1.74 kg Force at 63 oC and 2.66 kg Force at 83 oC. Hardness has proportional correlation with portion of glycinin, glycinin/β-conglycinin ratio and curd protein content. But hardness has inversely correlation with curd water content, portion of β-conglycinin, and curd solid content. Different coagulation temperature also causes different texture profile.


(3)

Yogi Karsono. F24060109. Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max). Di bawah bimbingan Dahrul Syah dan Dadang Supriatna. 2010

RINGKASAN

Curd kedelai adalah produk hasil koagulasi (penggumpalan) protein susu kedelai menggunakan bahan penggumpal (koagulan). Koagulasi protein menjadi bagian penting dalam pengolahan produk pangan seperti curd. Proses koagulasi protein berpengaruh terhadap pembentukan matriks curd yang berimplikasi terhadap karakteristik mutu produk akhir, khususnya tekstur. Karakteristik koagulan dan kondisi koagulasi akan memberikan hasil koagulasi yang berbeda dan mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap tekstur curd yang dihasilkan. Kondisi koagulasi yang berpengaruh terhadap mutu tekstur curd antara lain: suhu, waktu, pH, dan kecepatan pengadukan selama proses koagulasi. Whey tahu atau biang tahu merupakan salah satu koagulan jenis asam yang banyak digunakan oleh industri tahu skala kecil dan menengah di Indonesia. Pada penggunaan koagulan whey tahu, kemampuan dalam menggumpalkan protein kedelai dipengaruhi oleh umur dan konsentrasi koagulan yang ditambahkan. Selain itu, suhu ketika koagulan whey tahu ditambahkan juga berpengaruh terhadap kemampuannya dalam menggumpalkan protein kedelai. Pengetahuan mengenai pengaruh proses koagulasi, baik umur koagulan whey tahu maupun suhu awal proses koagulasi, terhadap mutu tekstur curd yang diperoleh akan membantu para pelaku industri tahu skala kecil dan menengah dalam memproduksi tahu yang berkualitas dan konsisten secara organoleptik. Melalui penelitian ini, telah dipelajari pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap profil whey pres dan curd hasil koagulasi protein kedelai dan pola elektroforesis protein yang muncul, serta pengaruhnya terhadap mutu tekstur curd yang dihasilkan, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan produk berbasis curd.

Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu: 1) tahap penelitian pendahuluan yang meliputi karakterisasi pH koagulan whey tahu dan penentuan standar pembuatan curd, 2) tahap penelitian utama yang meliputi pembuatan curd, pelarutan protein curd dan analisis curd serta wheycurd. Curd

diperoleh melalui proses koagulasi protein susu kedelai KOPTI pada suhu awal proses koagulasi 63

o

C dan 83 oC dengan menggunakan koagulan whey tahu berumur 1, 2, dan 3 hari sebanyak 20% (v/v) susu kedelai. Analisis yang dilakukan pada tahap penelitian utama meliputi analisis tekstur curd

secara objektif dan subjektif, analisis kadar protein Kjeldahl, analisis kadar air, analisis pH whey pres, analisis transmitan dan kadar protein whey pres, pelarutan protein, analisis kadar protein terlarutkan, dan analisis SDS-PAGE.

Perlakuan yang berbeda terhadap suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey tahu memberikan variasi pada profil whey pres dan curd hasil koagulasi protein. Profil whey pres dan curd

hasil koagulasi ini dapat diamati melalui pengukuran parameter-parameter kimia seperti pH whey (pH koagulasi), kadar protein whey, transmitan whey,kadar protein curd, kadar air curd, massa curd, serta total padatan curd. Semakin tua umur koagulan whey tahu yang digunakan, semakin tinggi pH koagulasi yang diperoleh. Suhu awal proses koagulasi juga berpengaruh terhadap pH koagulasi atau pH whey pres. Suhu awal proses koagulasi 63 oC menghasilkan curd dengan pH whey pres yang lebih rendah (4.66-5.02) dibandingkan suhu awal proses koagulasi 83 oC (5.42-5.57). Selain itu, curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 oC memiliki kandungan protein (b/b) yang lebih rendah (8.99%-10.73%) dan kadar air (b/b) yang lebih tinggi (81.45%-82.25%) dibandingkan dengan curd

yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 oC (kadar protein (b/b) berkisar antara 11.46% sampai 12.84%; kadar air (b/b) = 79.59%-80.19%). Kondisi pH optimum untuk koagulasi protein kedelai KOPTI berada pada kisaran pH 5.42 yang diperoleh pada suhu awal proses koagulasi 83 oC dan penambahan koagulan whey tahu berumur 1 hari (pH 3.81).


(4)

Pita-pita protein hasil SDS-PAGE secara visual tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Protein yang diekstrak dari curd dengan berbagai perlakuan menghasilkan pola pita yang hampir sama atau bahkan sama dan diduga sebagian besar protein dalam curd adalah globulin, yang terdiri atas subunit-subunit glisinin dan β-konglisinin. Oleh karena itu, dilakukan analisis densitas pita protein. Rata-rata curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 oC memiliki proporsi glisinin sebesar 73.27%, lebih rendah dari rata-rata proporsi glisinin pada curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 oC (75.21%). Rata-rata β-konglisinin dalam curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 oC lebih tinggi, sekitar 26.73%, dibandingkan dengan rata-rata β-konglisinin dalam curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 oC (24.79%). Proporsi glisinin tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 oC dan penggunaan umur koagulan

whey tahu berumur 2 hari, sedangkan proporsi terendah diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 oC dan penggunaan koagulan whey tahu berumur 2 hari. Proporsi β-konglisinin berbanding terbalik dengan proporsi glisinin.

Parameter tekstur curd yang diamati secara objektif menggunakan instrumen TA-XT2i menunjukkan bahwa nilai kekerasan sampel curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63

o

C lebih rendah daripada curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 oC dengan nilai kisaran masing-masing 1.48-1.74 kg F dan 1.98-2.66 kg F. Kisaran nilai untuk parameter kohesivitas dan daya kunyah sampel curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 oC dan 83 oC masing-masing adalah 37.60-39.88 % dan 41.67-43.61 % serta 0.54-0.76 kg F dan 0.82-1.14 kg F. Baik pada suhu awal proses koagulasi 63 oC maupun 83 oC, koagulan whey tahu berumur 3 hari menghasilkan curd yang paling lunak dibandingkan dengan koagulan whey tahu berumur 1 dan 2 hari.

Curd yang paling keras, dengan nilai kekerasan paling tinggi, diperoleh dari penggunaan koagulan

whey tahu berumur 2 hari. Nilai kekerasan curd berkorelasi positif/berbanding lurus dengan kadar protein, proporsi glisinin, dan rasio glisinin dengan β-konglisinin dalam protein curd pada taraf 5%. Namun, pada taraf yang sama, nilai kekerasan curd berkorelasi negatif/berbanding terbalik dengan proporsi β-konglisinin, kadar air, dan total padatan dalam curd. Jadi, kekerasan curd dipengaruhi oleh profil curd hasil koagulasi (kadar protein, kadar air, dan total padatan curd) dan proporsi protein penyusun curd.

Penilaian kekerasan tekstur curd secara subjektif dilakukan dengan menggunakan persamaan hubungan antara nilai objektif dan subjektif tekstur curd komersial, yang secara matematis dirumuskan y = 2.876x + 1.358 (R2 = 0.935), dengan x mewakili nilai kekerasan objektif curd dan y mewakili nilai kekerasan subjektif curd. Berdasarkan persamaan di atas, curd yang dihasilkan dari perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey memiliki nilai kekerasan subjektif berkisar 5.63 hingga 9.00 pada skala garis uji rating yang panjangnya 15 cm, dari sangat lunak (0) hingga sangat keras (15). Curd paling keras diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83

o

C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari. Sedangkan curd paling lunak diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 oC dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Meskipun kekerasan yang dihasilkan bervariasi antar perlakuan, uji rating skala garis menunjukkan bahwa curd yang dihasilkan memiliki kekerasan sedang.


(5)

PENGARUH UMUR KOAGULAN

WHEY

TAHU DAN

SUHU AWAL PROSES KOAGULASI TERHADAP POLA

ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI DAN

MUTU TEKSTUR

CURD

KEDELAI (

Glycine max

)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

YOGI KARSONO

F 24060109

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(6)

Judul Skripsi : Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd

Kedelai (Glycine max)

Nama : Yogi Karsono

NIM : F24060109

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. Dahrul Syah) (Ir. Dadang Supriatna, M.P.)

NIP : 19650814.199002.1.001 NIP : 19630304.199003.1.004

Mengetahui, Ketua Departemen

(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP : 19650814.199002.1.001


(7)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi Terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 15 Desember 2010 Yang membuat pernyataan

Yogi Karsono F 24060109


(8)

iv © Hak cipta milik Yogi Karsono, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(9)

v

BIODATA PENULIS

Yogi Karsono. Lahir di Pemalang, Jawa Tengah, 8 Mei 1988 dari ayah Salamun dan ibu Rianah, sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMAN 1 Pemalang, dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun ke-2 penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjalani studi, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) IPB, Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) Komisariat IPB, majalah Emulsi, dan Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang (IMPP) IPB. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kegiatan seminar dan pelatihan seperti Pelatihan Leadership and Entrepreneurship School (LES) BEM KM IPB tahun 2007, Pelatihan Penyuluh PMTAS (Penyuluhan Makanan Tambahan Anak Sekolah) tahun 2008, Seminar Food Ethics, Culture, and Regulation oleh Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan (HMTP) UPH tahun 2009, dan Pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) with ISO 22000 Himitepa tahun 2010. Pada tahun ajaran 2009/2010 penulis menjadi asisten praktikum Evaluasi Sensori dan Pengantar Komputer di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selain aktif dalam organisasi kemahasiswaan, penulis juga mengikuti berbagai kompetisi nasional dalam bidang inovasi pangan dan bisnis dengan hasil yang cukup membanggakan, diantaranya Juara I National Food Innovation HMTP UPH tahun 2009, Juara I National Food Innovation Competition Himitepa IPB tahun 2009, Juara I Agroindustrial Product Competition Himalogin IPB tahun 2009, Peserta ‘Trust Day’ Trust by Danone Danone Indonesia tahun 2010, Juara II Functional Food Poster Competition

Ilmagi UGM tahun 2010, Juara I National Product Design Competition Hi-Great 2010 Himatitan Universitas Brawijaya tahun 2010, Juara I dan Juara Favorit National Food Technology Competition 2010 BEM FTP Unika Widya Mandala Surabaya tahun 2010. Berbagai kompetisi di atas mengantarkan penulis menjadi salah satu Mahasiswa Berprestasi IPB di Bidang Ekstrakurikuler pada tahun 2010. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah dan Ir. Dadang Supriatna, M.P.


(10)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Pengaruh Umur Koagulan Whey

Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max) dilaksanakan di Laboratorium SEAFAST Center IPB dan Laboratorium Departemen ITP IPB sejak bulan Maret sampai November 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Dahrul Syah selaku dosen pembimbing akademik atas waktu, arahan, kritik, saran dan seluruh bentuk bimbingan yang diberikan.

2. Ir. Dadang Supriatna, M.P. selaku pembimbing lapang atas waktu, arahan, kritik, dan saran yang mendukung terselesaikannya skripsi ini.

3. Faleh Setia Budi, S.T., M.T. selaku dosen penguji atas waktu, kritik, dan saran yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

4. Orang tuaku tercinta, Bapak Salamun dan Ibu Rianah, serta adik-adikku tersayang, Sri Wilujeng dan Alip Santoso, atas segala bentuk dukungan, semangat, dan doa yang diberikan hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

5. Mba Dilla atas waktu, kritik, saran, dan bantuannya selama ini.

6. Teman satu bimbingan dan satu perjuangan, Victor dan Mba Dita, atas kebersamaan, kerja sama dan bantuannya selama ini.

7. Teman-teman panelis terlatih dalam bidang kekerasan tekstur curd, Trancy, Tami, Melia, Nadea, Lukman, Rozak, Belinda, Rossy, Ajeng, Nadiah, dan Chintia, atas kerja sama dan bantuannya selama ini.

8. Teman-teman laboratorium biokimia pangan dan SEAFAST, mba Maya, mba Dwi, mba Vidi, mba Elvi, Widi, Wina, Neng, Vani, Ipit, Jupe, Tsani, Yurin, mas Nono, mba Alin, dan mas Arif, atas kebersamaan dan bantuannya selama ini.

9. Sahabat-sahabatku, Ega, Abdi, Aan, Anto, Stef, Pram, Sadek, Yua, Henni, Laras, Eri, Helen, Pales, Sandra, Septi, Wejhe, Erick, Iyus, Widi, Rincil, dan Tito, atas persahabatannya selama ini dan atas semua dukungan dan doa yang mendukung terselesaikannya skripsi ini.

10. Dini Queentasari, atas kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini, serta atas canda, tawa, dan doa yang selalu memberikan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Laboran yang saya hormati Abah, pak Jun, pak Deni, bu Rub, pak Gatot, pak Wahid, pak Yahya, pak Sidiq, pak Rojak untuk semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang diberikan.

12. Sahabat-sahabatku ITP 43, 42, 44, 45, 46, dan keluarga besar ITP. 13. Semua pihak yang sudah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan khususnya pembuatan curd kedelai.

Bogor, Desember 2010


(11)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN ... 2

1.3 HIPOTESIS. ... 2

1.4 MANFAAT ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 KEDELAI ... 3

2.1.1 Komposisi Kimia Kedelai ... 3

2.1.2 Protein Kedelai ... 4

2.1.3 Gelasi Protein Kedelai ... 5

2.2 KOAGULASI DAN KOAGULAN... 7

2.3 CURD KEDELAI ... 9

2.4 WHEYCURD ... 11

2.5 PELARUTAN PROTEIN ... 12

2.6 TEKNIK ELEKTROFORESIS DALAM ANALISIS PROTEIN ... 13

2.7 TEKSTUR ... 14

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

3.1 BAHAN DAN ALAT ... 17

3.2 TAHAPAN PENELITIAN ... 17

3.2.1 Tahap Penelitian Pendahuluan ... 17

3.2.2 Tahap Penelitian Utama ... 18

3.3 PROSEDUR ANALISIS ... 19

3.3.1 Analisis Kadar Air Metode Oven ... 19

3.3.2 Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl ... 19

3.3.3 Analisis pH dan Transmitan Whey Pres ... 19

3.3.4 Pelarutan Protein ... 19

3.3.5 Analisis Kadar Protein Metode Bradford ... 21

3.3.6 Analisis SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis ... 21

3.3.7 Analisis Densitas Pita Protein ... 22

3.3.8 Analisis Tekstur Curd secara Objektif ... 22

3.3.9 Analisis Kekerasan Curd secara Subjektif ... 23

3.4 RANCANGAN PERCOBAAN ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 TAHAP PENELITIAN PENDAHULUAN ... 25


(12)

viii

4.1.2 Penentuan Standar Pembuatan Curd ... 25

4.1.3 Karakterisasi pH koagulan Whey Tahu (Biang Tahu) ‘Diazara Tresna’ ... 27

4.1.4 Penentuan Jumlah Koagulan yang Ditambahkan ... 28

4.1.5 Penentuan Suhu dan Waktu Koagulasi serta Jumlah Pengadukan ... 29

4.1.6 Penentuan Tekanan Pres ... 29

4.2 TAHAP PENELITIAN UTAMA ... 30

4.2.1 Profil Whey Pres dan Curd Hasil Koagulasi ... 30

4.2.2 Pelarutan Protein ... 34

4.2.3 Analisis Elektroforesis ... 36

4.2.4 Analisis Objektif Tekstur Curd ... 40

4.2.5 Analisis Subjektif Kekerasan Curd ... 44

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 KESIMPULAN ... 46

5.2 SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia kedelai dan bagian-bagiannya dalam basis kering ... 4

Tabel 2. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan ... 8

Tabel 3. Hasil analisis proksimat wheycurd ... 12

Tabel 4. Beberapa karakteristik mekanikal dan definisinya ... 16

Tabel 5. Setting TA-XT2i untuk pengukuran TPA curd ... 23

Tabel 6. Profil pH koagulan whey tahu (biang tahu) ‘Diazara Tresna’ ... 28

Tabel 7. Trial jumlah whey tahu yang ditambahkan sebagai koagulan ... 29

Tabel 8. Kadar protein whey dan transmitan whey hasil pengepresan curd... 31

Tabel 9. Kadar protein*, kadar air, massa, dan total padatan curd. ... 33

Tabel 10. Perbandingan total protein terekstrak dengan total protein Kjeldahl sampel bebas lemak masing-masing perlakuan ... 35

Tabel 11. Korelasi antara glisinin, β-konglisinin dan kekerasan curd ... 43


(14)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kedelai (Anonimc, 2010) ... 3

Gambar 2. Model pita protein: (a) Glycinin (11S) subunit A3B4 (G5) (Anonima, 2003), dan (b) β-Conglycinin (7S) subunit α’ (Maruyama et al., 2010) ... 5

Gambar 3. Model pembentukan struktur matriks protein dengan perubahan konsentrasi protein, pH, dan kekuatan ion (Hegg, 1982; Oakenfull et al., 1997) ... 6

Gambar 4. Curd kedelai (Reta, 2010) ... 9

Gambar 5. Whey pres (Reta, 2010) ... 11

Gambar 6. Skema alat SDS-PAGE (Jage, 2008) ... 13

Gambar 7. Grafik TPA untuk produk pangan secara umum beserta parameter analisis dan perhitungannya (Anonimb, 2010) ... 15

Gambar 8. Diagram alir tahap penelitian utama ... 18

Gambar 9. Diagram alir ekstraksi protein modifikasi Mujoo et al. (2003) ... 20

Gambar 10. Diagram alir pembuatan tahu Sumedang di pabrik ‘Diazara Tresna’ ... 26

Gambar 11. Diagram alir standar pembuatan curd yang meliputi: (a) persiapan susu kedelai dan (b) koagulasi ... 27

Gambar 12. Koagulan whey tahu pabrik ‘Diazara Tresna’ berumur 1, 2, dan 3 hari ... 28

Gambar 13. Alat pencetak tahu skala laboratorium (a) yang dibuat mirip alat pencetak tahu di pabrik ‘Diazara Tresna’ (b) ... 30

Gambar 14. Grafik pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap pH whey pres ... 31

Gambar 15. Mekanisme pemutusan ikatan disulfida oleh 2-merkaptoetanol (Rabilloud, 1996) ... 35

Gambar 16. Profil SDS-PAGE: (a) protein tepung kedelai dan (b) protein curd terlarut ... 37

Gambar 17. Perbandingan proporsi polipeptida penyusun glisinin (11S) dan β-konglisinin(7S) dalam protein curd dan protein tepung kedelai terlarut ... 38

Gambar 18. Grafik TPA hasil pengukuran TPA curd perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 oC dan penggunaan koagulan whey tahu berumur 1 hari ... 40


(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Larutan-larutan untuk SDS-PAGE ... 54

Lampiran 2. Kuesioner uji segitiga dan uji rangking untuk seleksi panelis... 55

Lampiran 3. Kuesioner uji rating penekanan curd ... 56

Lampiran 4. Penentuan tekanan penekan cetakan curd di ‘Diazara Tresna’ (Fahmi, 2010) ... 57

Lampiran 5. Data analisis pH koagulan whey (biang tahu) pabrik ‘Diazara Tresna’ ... 58

Lampiran 6. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh umur penyimpanan terhadap pH koagulan whey (biang tahu) pabrik ‘Diazara Tresna’... 59

Lampiran 7. Data analisis pH whey pres hasil penekanan curd ... 60

Lampiran 8. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap pH whey pres ... 60

Lampiran 9. Data analisis kadar protein metode Bradford untuk whey pres hasil penekanan curd ... 61

Lampiran 10. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein whey pres dengan metode Bradford ... 62

Lampiran 11. Data analisis transmitan whey pres hasil penekanan curd ... 63

Lampiran 12. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap transmitan whey pres ... 63

Lampiran 13. Hasil analisis korelasi antara pH, kadar protein metode Bradford, dan transmitan whey pres ... 64

Lampiran 14. Data analisis kadar protein curd metode Kjeldahl (% basis basah) ... 64

Lampiran 15. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein Kjeldahl curd (% basis basah) ... 65

Lampiran 16. Data analisis kadar air curd (% basis basah) ... 66

Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar air curd (% basis basah) ... 66

Lampiran 18. Data analisis massa curd ... 67

Lampiran 19. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap massa curd ... 67

Lampiran 20. Data analisis total padatan curd ... 68

Lampiran 21. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap total padatan curd ... 68

Lampiran 22. Hasil analisis korelasi antara pH whey, kadar protein metode Bradford dan transmitan whey pres ... 69


(16)

xii

Lampiran 23. Data analisis kadar protein curd bebas lemak ... 70

Lampiran 24. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein curd bebas lemak ... 70

Lampiran 25. Data analisis ekstraksi protein ... 71

Lampiran 26. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap total protein terekstrak ... 73

Lampiran 27. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap persen recovery ekstraksi protein ... 73

Lampiran 28. Hubungan Rf dengan log BM untuk sampel ekstrak protein ... 74

Lampiran 29. Data analisis densitas pita protein hasil SDS-PAGE ... 78

Lampiran 30. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap pita protein hasil elektroforesis ekstrak curd ... 81

Lampiran 31. Data analisis objektif tekstur curd ... 89

Lampiran 32. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap tekstur curd ... 91

Lampiran 33. Hasil analisis korelasi antara kadar protein, kadar air, total padatan curd, dan parameter tekstur curd ... 94

Lampiran 34. Hasil analisis korelasi antara subunit protein globulin dan kekerasan curd ... 95

Lampiran 35. Hasil analisis korelasi antara glisinin, β-konglisinin, glisinin/β-konglisinin dan kekerasan curd ... 96

Lampiran 36. Data analisis objektif tekstur curd komersial ... 97

Lampiran 37. Data analisis rating skala garis kekerasan curd komersial secara subjektif ... 97

Lampiran 38. Hubungan antara kekerasan curd komersial secara objektif dan secara subjektif ... 98

Lampiran 39. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kekerasan curd secara subjektif ... 99


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Bentuk, rasa, dan mouthfeel yang baik dari suatu produk pangan seringkali menjadi faktor utama yang berperan dalam penerimaan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas produk pangan dari segi organoleptik tanpa melupakan kandungan gizi yang terkandung di dalamnya. Hal inilah yang mendorong dilakukannya berbagai penelitian ilmiah dalam bidang rekayasa pangan.

Mutu organoleptik produk pangan dapat ditingkatkan melalui proses rekayasa pangan dengan memanfaatkan sifat fungsional komponen produk pangan tersebut. Salah satu komponen yang bersifat fungsional adalah protein, yaitu berupa gelasi protein yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan karakteristik organoleptik tertentu. Tahu atau tofu merupakan produk curd dari kacang-kacangan yang memanfaatkan sifat gelasi protein. Pada pembuatan tahu, gelasi protein terjadi ketika koagulan ditambahkan ke dalam susu kedelai. Proses ini dikenal dengan koagulasi protein (Obatulu, 2007).

Koagulasi protein menjadi bagian penting dalam pengolahan produk pangan berbasis curd

seperti tahu. Curd yang terbentuk akan mempengaruhi mutu akhir dari produk yang dihasilkan. Pembentukan curd ini tergantung dari penggunaan koagulan sebagai penggumpal protein, sehingga akan dihasilkan produk dengan ciri khas yang unik. Pada produk tahu, dikenal berbagai jenis tahu dengan tingkat kekerasan yang berbeda-beda, mulai dari tahu sangat keras (extra firm tofu) hingga tahu paling lembut (silken tofu) (Muchtadi, 2010). Oleh karena itu, untuk memperoleh produk dengan karakteristik organoleptik yang seragam diperlukan pengetahuan mengenai hubungan antara penggunaan koagulan dengan sifat organoleptik yang dihasilkan, khususnya tekstur.

Perbedaan tekstur diduga karena adanya perbedaan komposisi dalam curd, khususnya protein dan kadar air. Penggunaan koagulan dan kondisi koagulasi tertentu dapat mengendapkan subunit protein tertentu yang berkorelasi dengan kualitas curd dan kemampuan mengikat komponen lain yang berpengaruh terhadap tekstur curd (Poysa et al., 2006). Subunit protein yang berbeda akan menghasilkan mutu tekstur produk yang berbeda pula, baik secara objektif (menggunakan alat) maupun secara subjektif (menggunakan indera manusia). Menurut Sarwono dan Saragih (2003), whey

tahu atau biang tahu merupakan salah satu jenis koagulan asam yang sering digunakan pada industri tahu skala kecil dan menengah di Indonesia. Umur koagulan whey berpengaruh terhadap kualitas tekstur curd yang dihasilkan (Supriatna, 2007). Tekstur curd juga dipengaruhi oleh kondisi koagulasi, seperti suhu dan pH koagulasi serta kecepatan pengadukan selama koagulasi (Blazek, 2008; Mujoo et al., 2003).

Suhu pada saat penambahan koagulan akan mempengaruhi kecepatan proses koagulasi dan agregasi protein menjadi curd. Pada suhu tinggi, protein memiliki energi vibrasi dan rotasi yang tinggi sehingga koagulasi berlangsung cepat. Energi vibrasi dan rotasi yang tinggi menyebabkan pergerakan partikel-partikel protein semakin cepat dan intensitas pembentukan agregat protein semakin besar. Kecepatan koagulasi protein akan mempengaruhi banyaknya protein yang menyatu membentuk matriks curd dan kemampuan matriks protein untuk mengikat komponen lain, khususnya air yang pada akhirnya akan mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan (Milewski, 2001).

Mekanisme koagulasi protein dalam menghasilkan tekstur tertentu belum banyak diteliti, meskipun hal ini penting dalam upaya memperoleh produk pangan dengan tekstur yang konsisten. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh korelasi yang spesifik antara umur koagulan whey


(18)

2 maupun subjektif. Selain itu diharapkan akan diperoleh pula hubungan antara umur koagulan whey

tahu dan suhu awal proses koagulasi dengan fraksi protein yang terkoagulasikan.

1.2

TUJUAN

1. Mempelajari pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap profil

whey pres dan curd hasil koagulasi protein kedelai serta pola elektroforesis protein yang muncul. 2. Mempelajari pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap

kualitas tekstur curd, baiksecara objektif maupun subjektif

1.3

HIPOTESIS

Suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey tahu mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan. Perbedaan tekstur diduga karena adanya perbedaan profil whey pres dan curd hasil koagulasi protein dan kecepatan koagulasi dalam pembuatan curd. Kondisi koagulasi tertentu akan menghasilkan profil whey pres dan curd serta kecepatan koagulasi tertentu yang mempengaruhi kemampuan protein mengikat komponen lain dalam pembentukan curd. Umur koagulan whey tahu yang berbeda akan menghasilkan profil whey pres dan curd yang berbeda dan suhu awal proses koagulasi yang berbeda akan menghasilkan kecepatan koagulasi yang berbeda.

1.4

MANFAAT

Manfaat penelitian ini adalah memberikan dasar ilmiah dalam proses rekayasa pangan, khususnya dalam teknik pembuatan produk pangan berbasis curd.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KEDELAI

Kedelai atau Glycine max merupakan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam famili

Leguminosa, subfamili Papilionidae, genus Glycine, dan spesies max (Koswara, 1992). Menurut Saidu (2005), seluruh bagian kedelai termasuk daun, batang, dan bijinya dapat dimanfaatkan untuk pangan, obat, dan pakan. Penampakan fisik kedelai dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kedelai (Anonimc, 2010)

Penampakan fisik kedelai memiliki keragaman yang cukup luas. Warna, ukuran, bentuk biji, sifat fisik maupun sifat kimia kacang kedelai sangat bervariasi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor varietas dan keadaan lingkungan tanamnya (Smith dan Circle, 1977).

Menurut Koswara (1992), struktur biji kedelai terdiri atas 3 bagian utama, yaitu 7.3% kulit, 90.3% kotiledon, dan 2.4% hipokotil. Bagian keping biji (kotiledon) merupakan bagian yang paling umum untuk diolah menjadi berbagai produk olahan pangan. Keping biji memiliki kandungan protein dan lemak yang tinggi (Wolf dan Cowan, 1971). Berbagai varietas kedelai yang ada di Indonesia memiliki kandungan protein antara 30.53% hingga 44% dan lemak antara 7.5% hingga 20.9% (Koswara, 1992).

2.1.1

Komposisi Kimia Kedelai

Kedelai mengandung jumlah protein yang bervariasi antara 38% hingga 49% (Saidu, 2005). Sebagian besar protein kedelai (85%-95%) terdiri atas globulin (Koswara,1992). Protein kedelai mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan metionin sebagai asam amino pembatas. Leusin, isoleusin, lisin, dan valin merupakan asam amino yang paling tinggi kandungannya di dalam kedelai. Kadar protein kedelai yang tinggi menjadikan tanaman ini memiliki kualitas yang sama dengan protein hewani (Liu, 1997). Komposisi kimia bagian biji kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.

Kedelai juga mengandung lemak yang cukup tinggi. Menurut Muchtadi (2010), kedelai mengandung sekitar 18% - 20% lemak. Kandungan lemak total kedelai sekitar 19.9 g/100 g; yang terdiri atas 2.9 g/100 g lemak jenuh, 4.4 g/100 g asam lemak tidak jenuh tunggal dan 11.3 g/100 g asam lemak tidak jenuh jamak. Menurut Saidu (2005), sebanyak 85% bagian lemak kedelai merupakan asam lemak tak jenuh dan tinggi akan kandungan asam linoleat dan asam linolenat. Kandungan asam lemak lainnya dalam kedelai, antara lain asam oleat (23%), asam palmitat (16%), serta asam stearat dan arachidat (2%) (Saidu, 2005; Syarief dan Irawati, 1988). Selain itu, lemak


(20)

4 kedelai juga mengandung beberapa fosfolipida penting, yaitu lesitin, sepalin, dan lipositol (Koswara, 1992).

Tabel 1. Komposisi kimia kedelai dan bagian-bagiannya dalam basis kering

Sumber: Wolf dan Cowan (1971)

Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 30%, terdiri atas 15% karbohidrat tak dapat larut (insoluble carbohydrate) dan 15% karbohidrat yang dapat larut (soluble carbohydrate) (Saidu, 2005). Karbohidrat yang dapat dimanfaatkan secara biologis hanya 12% - 14% dari total yang terkandung dalam kedelai. Karbohidrat pada kedelai terdiri atas golongan oligosakarida dan polisakarida (Koswara, 1992).

Kedelai juga mengandung beberapa vitamin dan mineral. Vitamin-vitamin tersebut antara lain vitamin A, vitamin B (terutama niacin, riboflavin, dan tiamin), vitamin D, vitamin E, dan vitamin K. Sedangkan mineral yang terkandung dalam kedelai, antara lain Ca, P, Fe, Na, K, dan yang terdapat dalam jumlah kecil seperti Mg, Mn, Zn, Co, Cu, Se, dan F (Smith dan Circle, 1977). Selain itu, kedelai juga mengandung isoflavon dan zat anti-nutrisi, seperti saponin, fosfolipid, protease inhibitor, fitat, dan tripsin inhibitor (Saidu, 2005).

2.1.2

Protein Kedelai

Komponen kimia tertinggi dalam kedelai adalah protein, yaitu antara 38% hingga 49% (Saidu, 2005). Menurut Wolf dan Cowan (1971), protein kedelai terdiri atas campuran komponen-komponen yang mempunyai berat molekul antara 8 kDa hingga 600 kDa. Melalui ultra-sentrifugasi, protein kedelai dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu protein 2S, 7S, 11S dan 15S. Penggolongan ini didasarkan pada kecepatan sedimentasi ketika protein kedelai dilarutkan dalam buffer pH 7.6 dan kekuatan ion 0.5 M (Koshiyama, 1969).

Protein kedelai juga dapat digolongkan ke dalam empat fraksi berdasarkan kelarutannya, yaitu albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam larutan garam), prolamin (larut dalam alkohol 70%), dan glutelin (larut dalam basa encer) (Belitz dan Grosch, 1999). Kandungan protein kacang kedelai didominasi oleh globulin (85% - 95%) serta sisanya adalah albumin, proteosa, prolamin, dan glutelin (Wolf, 1977; Koswara, 1992). Menurut Zayas (1997), kelarutan protein kedelai dalam air meningkat dengan meningkatnya pH dari 6 ke 8 dan suhu dari 10 oC sampai 70 oC. Ketika suhu meningkat, struktur protein terbuka (unfold) menjadi rantai lurus sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan interaksi antara protein dan air, dan kelarutan protein kedelai pun ikut meningkat.

Globulin merupakan protein terpenting pada kedelai. Protein ini tidak larut dalam air di sekitar titik isoelektriknya, tetapi akan segera larut dengan penambahan garam seperti natrium klorida atau kalsium klorida. Globulin larut dalam larutan garam encer pada pH di atas atau di bawah titik isoelektriknya (Pearson, 1983). Pada pH sekitar 4.2-4.6, kelarutan protein kedelai mencapai minimum; kisaran pH tersebut dikenal sebagai titik isoelektrik protein kedelai (Berk, 1992). Protein 7S dan 11S merupakan dua protein utama yang menyusun globulin dengan jumlah masing-masing sekitar 18.5%

Bagian Kedelai Porsi Keseluruhan

(%) Protein (%) Lemak (%) KH (%) Abu (%)

Keseluruhan - 40 21 34 4.9

Kotiledon 90 43 23 29 5

Kulit 3-8 9 1 86 4.3


(21)

5

(a) (b)

dan 31% dari total protein kedelai (Wolf dan Cowan, 1971). Baik globulin 7S maupun globulin 11S terdiri atas subunit-subunit protein (Liu et al., 2008). Model diagram pita globulin 7S dan 11S dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Model pita protein: (a) Glisinin (11S) subunit A3B4 (G5) (Anonim a

, 2003), dan (b) β-konglisinin (7S) subunit α’ (Maruyama et al., 2010)

Glisininatau protein 11S merupakan protein heksamer (AB)6 dengan berat molekul berkisar

300 kDa - 380 kDa. Glisininterdiri atas lima subunit yang diberi label A1aB1b (G1), A2B1a (G2), A1bB2

(G3), A5A4B3 (G4), dan A3B4 (G5) (Szczapa, 2001). Subunit-subunit glisininterdiri atas polipeptida

asam (A) dan polipeptida basa (B) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida (Blazek, 2008; Liu et al., 2008; Staswick et al., 1984). Hanya polipeptida asam A4 yang tidak dihubungkan dengan polipeptida

basa oleh ikatan disulfida (Staswick et al., 1984). Struktur kuartener glisinindistabilkan oleh interaksi elektrostatik dan hidrofobik serta ikatan disulfida (Badley et al., 1975, Peng et al., 1984). Polipeptida asam dalam glisininmemiliki berat molekul sekitar 35 kDa, sedangkan polipeptida basanya memiliki berat molekul sekitar 20 kDa (Mujoo et al., 2003). Berat molekul polipeptida A3, grup polipeptida

asam (A1, A2 dan A4), A5 dan polipeptida basa (B) masing-masing adalah 36 kDa, 34 kDa, 10 kDa,

dan 15 kDa (Fontes et al., 1984; Thanh et al., 1975). Subunit asam memiliki titik isoelektrik pada kisaran pH 4.75 hingga 5.40 sedangkan subunit basa berada pada kisaran pH 8.0 hingga 8.5 (Hermansson, 1994).

β-konglisininmerupakan protein trimer yang tersusun atas 3 subunit utama, yaitu α’, α, dan β (Liu et al., 2008; Mujoo et al., 2003). Subunit-subunit ini disatukan oleh interaksi hidrofobik dan ikatan hidrogen tanpa ikatan disulfida (Thanh dan Shibasaki, 1978). Subunit α’ memiliki berat molekul sekitar 72 kDa, sedangkan α dan β memiliki berat molekul masing-masing sekitar 68 kDa dan 52 kDa (Mujoo et al., 2003). Kombinasi subunit-subunit tersebut memberikan berat molekul sekitar 180 kDa tergantung dari subunit penyusunnya (Blazek, 2008). Menurut Lewis dan Chen (1979), β -konglisinin merupakan glikoprotein yang mengandung 3.8% - 5.4% karbohidrat. Jenis gula yang terdapat dalam protein ini adalah manosa dan glukosamin.

2.1.3

Gelasi Protein Kedelai

Protein kedelai memiliki banyak sifat fungsional yang menentukan karakteristik mutu pangan. Sifat fungsional itu, antara lain kemampuan larut, kemudahan terdenaturasi oleh panas, kemampuan membentuk gel, emulsifier, kemampuan membentuk busa, kemampuan mengikat air (water holding capacity), kemampuan membentuk karakteristik struktur dan sifat reologi, serta kemampuan membentuk tekstur (Liu et al., 2008). Kapasitas gelasi protein merupakan salah satu sifat fungsional


(22)

6 protein yang menentukan karakteristik mutu suatu produk pangan, khususnya sifat tekstur dan

juiciness (Zayas, 1997).

Gelasi protein merupakan tahapan penting dalam pembentukan tekstur produk pangan. Denaturasi oleh panas yang diikuti proses agregasi dan pembentukan gel merupakan tahapan penting untuk menjamin semua protein dalam suspensi menyatu dan membentuk struktur matriks protein (Aguilera, 1995). Sifat gelasi protein ini berhubungan dengan agregasi protein. Gelasi protein terjadi ketika protein beragregasi membentuk jaringan (Tay et al., 2005). Menurut Schmidt (1981) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi protein adalah fenomena agregasi protein saat interaksi polimer-polimer dan polimer-polimer-pelarut setimbang sehingga jaringan atau matriks tersier terbentuk. Menurut Tay

et al. (2005), agregasi protein dapat terjadi melalui pemanasan, pengaturan pH, atau pengaturan kekuatan ionik dalam larutan protein. Menurut Hettiarachchy dan Kalapathy (1998), pembentukan gel oleh perlakuan panas terjadi pada konsentrasi protein lebih besar dari 8 %. Pengaruh konsentrasi protein, pH, dan kekuatan ion terhadap pembentukan struktur matriks protein dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Model pembentukan struktur matriks protein dengan perubahan konsentrasi protein, pH, dan kekuatan ion (Hegg, 1982; Oakenfull et al., 1997).

Gel terbentuk ketika protein yang strukturnya terbuka sebagian (unfold) terurai menjadi segmen-segmen polipeptida yang kemudian berinteraksi pada titik tertentu untuk membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi. Protein dengan struktur unfold, dimana struktur sekundernya mengalami perubahan, diperlukan pada proses gelasi protein. Perubahan ini dapat terjadi melalui perlakuan panas, asam, alkali, dan urea (Zayas, 1997).

Menurut Zayas (1997), pada pembentukan gel, transisi dari bentuk alami menjadi bentuk terdenaturasi merupakan prekursor penting dalam interaksi protein-protein. Jaringan gel baru terbentuk setelah sebagian protein terdenaturasi. Pembentukan gel protein merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik, ikatan Van der Waals, dan ikatan kovalen disulfida.

Gel yang terbentuk memiliki sifat reologi yang bervariasi, yaitu kekerasan, kelengketan, kohesivitas, dan adesivitas. Protein sering digunakan untuk menghasilkan tekstur dengan sifat tertentu melalui fenomena gelasi protein. Sifat unik dari gel protein adalah bentuknya yang padat tetapi memiliki karakteristik seperti cairan (Zayas, 1997). Water-Holding Capacity (WHC) protein kedelai memegang peranan utama dalam menentukan parameter tekstur berbagai jenis pangan. Banyaknya air yang terperangkap dalam protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino, konformasi protein, hidrofobisitas permukaan, pH, kekuatan ionik, suhu, dan konsentrasi protein (Hettiarachchy dan Kalapathy, 1998).


(23)

7 Sifat gelasi protein kedelai sering dihubungkan dengan keberadaan protein 7S dan 11S yang merupakan penyusun utama protein globulin kedelai. Kandungan protein 11S dan rasio 11S dan 7S dilaporkan memberikan korelasi positif terhadap kekerasan gel protein kedelai (Mujoo et al., 2003). Menurut Corredig (2006), gel yang diperoleh dari isolasi glisinin(11S) memberikan karakter gel yang lebih keras dibandingkan gel yang diperoleh dari β-konglisinin dan struktur jaringan yang terbentuk oleh keduanya memiliki perbedaan, tergantung dari komposisi protein. Kekerasan gel glisininkedelai berbanding lurus dengan banyaknya subunit A3, komponen terbesar dari polipeptida asam glisinin

(Szczapa, 2001). Rasio 11S dan 7S mempengaruhi kekerasan dan elastisitas gel. Glisinin berkontribusi terhadap kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan β-konglisinin berkontribusi terhadap elastisitas gel yang dihasilkan (Blazek, 2008). Gel yang terbentuk dari fraksi protein 11S mempunyai kekuatan gel dan WHC yang besar dibandingkan dengan gel yang terbentuk dari fraksi protein 7S. Perbedaan ini dikarenakan adanya ikatan disulfida pada protein 11S yang mempengaruhi dissosiasi/assosiasi dan perilaku subunit protein unfold (struktur terbuka). Ikatan disulfida dalam protein 11S mempromosikan terbentuknya matriks tiga dimensi selama proses gelasi sehingga menghasilkan gel yang lebih kuat dan WHC yang lebih besar (Hettiarachchy dan Kalapathy, 1998).

2.2

KOAGULASI DAN KOAGULAN

Meng et al. (2002) mendefinisikan koagulasi protein sebagai interaksi acak molekul-molekul protein yang menyebabkan terbentuknya agregat-agregat protein, baik bersifat larut maupun tidak larut. Koagulasi dapat terjadi dengan penambahan bahan penggumpal protein (koagulan).

Koagulasi susu kedelai merupakan tahapan yang paling penting dalam pembuatan curd

sekaligus menjadi tahapan yang paling sulit dikendalikan karena merupakan hasil interaksi kompleks dari berbagai variabel (Blazek, 2008; Prabhakaran et al., 2006). Menurut Obatolu (2007), proses koagulasi susu kedelai dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara jenis kedelai, suhu pemasakan, volum, kandungan padatan, pH, jenis dan jumlah koagulan, serta waktu koagulasi. Penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan yang berbeda akan mempengaruhi rendemen, sifat tekstur, dan flavor curd

yang dihasilkan (Blazek, 2008; Mujoo et al., 2003).

Poysa dan Woodrow (2004), menyatakan bahwa koagulan yang berbeda akan memberikan tekstur serta flavor yang berbeda pula. Koagulasi protein susu kedelai berlangsung pada pH 4.1-4.6. Melalui proses tersebut, diperoleh curd yang mengandung protein yang sebagian besar terdiri atas globulin. Hermansson (1994) melaporkan bahwa kehadiran garam (koagulan) dan pemanasan menyebabkan curd terbentuk pada kisaran pH 4 hingga 6. Menurut Prabhakaran et al. (2006), perbedaan jenis koagulan yang digunakan akan menghasilkan perbedaan kandungan air dalam curd. Kekuatan anion dan kation berpengaruh terhadap pembentukan struktur jaringan gel yang berimplikasi terhadap kemampuan gel protein kedelai dalam mengikat air (WHC). Oleh karena itu, konsentrasi koagulan dan jenis anion ini mempengaruhi kekerasan curd yang dihasilkan.

Konsentrasi koagulan yang terlalu rendah menyebabkan pengendapan protein menjadi tidak sempurna serta pemisahan whey dan curd menjadi sulit(Blazek, 2008). Pengendapan protein yang tidak sempurna menyebabkan struktur matriks curd menjadi renggang sehingga curd yang terbentuk terlalu lunak (Obatolu, 2007). Sebaliknya, kelebihan konsentrasi koagulan membuat tekstur curd

kedelai menjadi keras dan dapat mengurangi palatabilitas (Blazek, 2008). Johnson dan Wilson (1984) menyatakan bahwa jumlah koagulan yang dibutuhkan tergantung pada kadar padatan yang terdapat dalam susu kedelai.

Rendemen pembentukan curd dipengaruhi oleh penggunaan koagulan. Semakin lambat kemampuan koagulan dalam mengkoagulasi susu akan memberikan rendemen massa curd yang lebih


(24)

8 baik karena agregat protein dalam curd memerangkap air lebih banyak. Sebaliknya, koagulan yang mengkoagulasikan protein lebih cepat kurang memerangkap air sehingga massa curd yang dihasilkan lebih sedikit (Obatolu, 2007). Menurut Blazek (2008), peningkatan suhu koagulasi dan kecepatan pengadukan sesaat setelah penambahan koagulan juga akan menurunkan rendemen curd dan mempengaruhi kekerasan curd yang terbentuk.

Shurtleff dan Aoyagi (1984) menggolongkan bahan penggumpal tahu menjadi empat golongan, yaitu: 1) golongan garam klorida atau nigari; 2) golongan garam sulfat; 3) golongan lakton; dan 4) golongan asam. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan disajikan dalam Tabel 2. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), penambahan bahan penggumpal sebaiknya dilakukan setelah susu kedelai mencapai suhu 70 oC - 90 oC, tergantung dari jenis bahan penggumpal yang digunakan. Pada koagulan golongan garam, kation logam yang terdapat di dalamnya (seperti Mg2+ atau Ca2+) bereaksi dengan protein susu kedelai dan mengendapkannya bersama lemak untuk menghasilkan curd.

Tabel 2. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan

Sumber: Shurtleff dan Aoyagi (1984)

Nigari alami diekstrak dari air laut dengan menghilangkan sebagian besar garam (NaCl) dan air. Koagulan jenis ini mengandung komponen mineral air laut alami terutama magnesium klorida. Penggunaan koagulan jenis nigari membutuhkan waktu pembuatan tahu yang cukup lama karena koagulan jenis ini harus ditambahkan sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, akibatnya dibutuhkan teknik yang baik dalam pembuatan tahu. Selain itu, penggunaan koagulan nigari akan menghasilkan tahu dengan tekstur yang cenderung kurang lembut (Shurtleff dan Aoyagi, 1984).

Garam sulfat merupakan golongan koagulan yang paling umum digunakan dalam pembuatan

curd protein kedelai. Koagulan ini akan terdispersi perlahan di dalam susu kedelai sehingga memberikan waktu koagulasi yang lambat (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Koagulan sulfat mengkoagulasi protein kedelai dengan cara membentuk jembatan antar molekul protein dan meningkatkan ikatan silang polimer sehingga terjadi agregasi protein (Obatolu, 2007).

Lakton, yang dikenal sebagai glukono-δ-lakton, merupakan koagulan yang umum digunakan untuk membuat tahu Jepang dengan tekstur sangat lembut. Tahu ini dikenal dengan sebutan tahu sutra (silken tofu). Pada dasarnya, koagulan golongan lakton berbeda dengan nigari maupun garam sulfat. Penggunaan glukono-δ-lakton sebagai koagulan akan menurunkan pH susu kedelai dan meningkatkan sifat hidrofobik dan ketidaklarutan sehingga terjadi agregasi protein terdenaturasi (Kohyama dan Nishinari, 1993). Ketika koagulan dicampur dengan susu kedelai dan dipanaskan, lakton menghasilkan asam glukonat yang mengkoagulasikan protein susu kedelai menjadi curd tahu sutra (Shurtleff dan Aoyagi, 1984).

Keistimewaan lakton dalam pembuatan curd adalah dalam jumlah sedikit dapat dicampurkan pada susu kedelai dingin, kemudian dimasukkan dalam wadah, dan ditutup rapat. Selanjutnya dicelupkan dalam air panas pada suhu 85 – 95 oC selama 30 - 35 menit sehingga terbentuk curd. Panas

Golongan Jenis yang Umum Digunakan

Garam klorida (nigari) Nigari alami, MgCl2.6H2O, air laut, CaCl2, CaCl2.2H2O

Garam sulfat CaSO4 dan MgSO4.7H2O

Lakton C6H10O6 (glukono-δ-lakton)/GDL


(25)

9 tersebut akan mengaktifkan lakton untuk menghasilkan tahu dalam wadah tanpa pemisahaan whey dan

curd dengan pengepresan.

Koagulan asam mampu mengkoagulasi dan mengagregasi protein dengan menurunkan pH sistem (Obatolu, 2007). Asam laktat, salah satu koagulan jenis asam, diperoleh melalui aktivitas bakteri asam laktat. Asam laktat menurunkan pH susu kedelai menjadi 4.5 yang merupakan titik isoelektrik bagi protein globulin kedelai. Penurunan pH mendekati titik isoelektrik menyebabkan terjadinya koagulasi protein. Di Indonesia, koagulan asam laktat secara tradisional diperoleh melalui fermentasi whey hasil pengolahan tahu sebelumnya. Koagulan tersebut dikenal sebagai koagulan whey

tahu atau biang tahu. Di industri tahu, penggunaan koagulan whey tahu dikombinasikan dengan pemanasan (Kastyanto, 1985; Koswara, 1992).

Pemanasan susu kedelai merupakan prasyarat terbentuknya gel. Pemanasan membuat struktur molekul protein kedelai terbuka (unfold), akibatnya ikatan hidrogen (-SH), ikatan disulfida (S-S), dan sisi rantai asam amino hidrofobik akan terekspos dengan lingkungan luar. Melalui penambahan koagulan, misalnya koagulan asam, muatan negatif molekul protein akan berkurang akibat protonasi COO- pada residu asam amino. Akibatnya, molekul-molekul protein akan cenderung saling mendekat karena memiliki muatan yang sama. Ikatan hidrogen (-SH), ikatan disulfida (S-S), serta interaksi hidrofobik pun terjadi secara intermolekul. Reaksi ini memfasilitasi terjadinya agregasi protein membentuk struktur jaringan tiga dimensi gel curd (Liu et al., 2004).

Pemanasan juga mempengaruhi laju koagulasi serta tekstur curd yang dihasilkan. Pada suhu yang tinggi, protein memiliki energi vibrasi dan rotasi tinggi yang menyebabkan koagulasi berlangsung cepat. Curd yang dihasilkan cenderung memiliki Water Holding Capacity (WHC) yang rendah, tekstur yang keras dan kasar, serta rendemen yang rendah. Suhu koagulasi yang rendah memiliki efek sebaliknya. Namun jika suhu terlalu rendah, koagulasi menjadi tidak sempurna, curd

mengandung banyak air, dan tidak mampu mempertahankan bentuknya (Liu, 2008).

2.3

CURD KEDELAI

Curd adalah produk hasil penggumpalan protein larutan susu. Curd kedelai, yang secara komersial dikenal sebagai tahu, merupakan hasil penggumpalan protein susu kedelai menggunakan bahan penggumpal (koagulan). Curd diperoleh dengan mengekstrak protein kacang kedelai kemudian mengendapkannya menggunakan koagulan. Setelah itu, curd dipres untuk membentuk padatan curd

(Cai et al., 1997). Hasil dari curd yang dipres tampak pada Gambar 4.

Gambar 4. Curd kedelai (Reta, 2010)

Pembentukan curd merupakan fenomena yang memanfaatkan sifat fungsional protein kedelai, yaitu sifat gelasi protein. Curd memiliki kemampuan untuk membentuk matriks yang mampu


(26)

10 menahan air, lemak, polisakarida, flavor, dan komponen lainnya. Karakteristik utama gel protein kedelai adalah kemampuannya dalam menahan air yang disebut sebagai WHC (Water Holding Capacity) (Zayas, 1997).

Rendemen dan kualitas curd dipengaruhi oleh varietas kedelai, kualitas kedelai, kondisi selama proses, serta koagulan yang dipakai (Cai et al., 1997). Koagulasi susu kedelai dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara jenis kedelai, suhu pemasakan, volum, kandungan padatan, pH, tipe koagulan, serta waktu koagulasi (Cai dan Chang, 1998).

Menurut Obatolu (2007), kualitas pembentukan curd dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu mutu kedelai, kondisi pengadukan, koagulan, serta penekanan yang diberikan pada curd. Perbedaan penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan, pengadukan yang dilakukan selama koagulasi, dan penekanan terhadap curd akan memberikan variasi tekstur curd mulai dari keras hingga lunak dengan kandungan air berkisar 70% hingga 90% dan kandungan protein 5% hingga 16% berdasarkan berat basah (Blazek, 2008).

Pembuatan curd terdiri atas dua tahap utama, yaitu tahap pembuatan susu kedelai dan tahap koagulasi (penggumpalan) susu kedelai, sehingga terbentuk agregat protein yang selanjutnya dipres membentuk curd (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Kedelai yang akan dibuat susu terlebih dahulu direndam dalam air bersih dengan tujuan melunakkan struktur seluler kedelai sehingga mempermudah dan mempercepat penggilingan, serta menghasilkan ekstrak protein kedelai yang optimum. Lamanya perendaman perlu diperhatikan. Perendaman yang terlalu singkat akan membuat biji kedelai sulit dipecahkan ketika penggilingan, sedangkan bila terlalu lama akan terjadi pembentukan busa pada permukaan air rendaman akibat fermentasi kedelai (Subardjo dkk, 1987).

Kedelai yang telah direndam kemudian digiling hingga menghasilkan bubur kedelai. Penggilingan kedelai ini bertujuan meningkatkan efektivitas ekstraksi protein kedelai selama pemasakan. Selanjutnya, bubur kedelai dimasak pada suhu mendidih dan kemudian disaring untuk memperoleh susu/sari kedelai. Supriatna (2007) menyebutkan bahwa untuk menghasilkan sari kedelai yang optimal dari segi kualitas dan kuantitasnya, bubur kedelai dimasak dahulu sebelum akhirnya disaring. Koswara (1992) melaporkan bahwa ekstraksi dengan panas menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Menurut Liu et al. (2004), pemanasan optimal dalam pembuatan susu kedelai dilakukan selama 3 - 10 menit setelah mendidih dengan tujuan mengekstrak protein kedelai, mendenaturasi protein, dan memudahkan proses koagulasi. Fungsi lain dari pemanasan dalam pembuatan susu kedelai menurut Koswara (1992) adalah mengurangi bau langu, menginaktivasi antitripsin, meningkatkan daya cerna, dan menambah daya awet produk.

Proses selanjutnya adalah penggumpalan protein susu kedelai dengan bantuan bahan penggumpal. Penggumpalan dilakukan pada suhu tertentu, tergantung jenis koagulan yang dipakai. Koswara (1992) menyebutkan bahwa bahan penggumpal yang biasa digunakan secara tradisional adalah biang tahu, yaitu cairan yang keluar pada waktu pengepresan dan sudah diasamkan semalam. Selain biang tahu, air jeruk, cuka, larutan asam laktat, larutan CaCl2 atau CaSO4 juga dapat digunakan

sebagai zat penggumpal. Gumpalan protein kedelai ini selanjutnya dipres dan dicetak. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), untuk mendapatkan hasil yang baik pengepresan dilakukan pada tekanan sebesar 0.15 - 0.21 psi selama 15 - 20 menit.

Obatolu (2007) melaporkan bahwa perbedaan karakteristik tekstur curd dapat dihubungkan dengan kandungan air di dalam curd. Curd dengan kekerasan tinggi memiliki kemampuan menahan air (WHC) yang rendah. Curd yang lunak memiliki kandungan air yang tinggi, yaitu antara 84% hingga 90%. Lunaknya curd juga disebabkan oleh tidak sempurnanya pengendapan protein kedelai yang mengakibatkan renggangnya jaringan (matriks) yang terbentuk. Curd dengan kandungan air yang tinggi secara visual akan memberikan penampakan yang lembut sedangkan curd dengan


(27)

11 kandungan air yang rendah cenderung memiliki penampakan yang kasar. Menurut Muchtadi (2010),

curd atau tahu keras lebih banyak mengandung protein, lemak, dan kalsium dibandingkan jenis tahu lainnya.

2.4

WHEY CURD

Whey curd merupakan limbah cair sisa penggumpalan protein kedelai. Hasil samping dari pembuatan curd ada 2 macam, yaitu limbah cair sisa penggumpalan protein kedelai (whey) dan limbah padat (ampas curd) yang merupakan sisa kedelai yang telah diekstrak proteinnya. Menurut Sarwono dan Saragih (2003) whey atau disebut juga biang tahu merupakan bahan penggumpal berupa air sisa penggumpalan sari kedelai. Sebelum digunakan, cairan ini didiamkan dulu selama 1 sampai 2 malam agar bakteri yang ada menghasilkan asam laktat. Asam laktat inilah yang banyak berperan dalam pengendapan protein kedelai pada pembuatan curd berikutnya. Akan tetapi apabila penanganannya tidak higienis, whey akan terkontaminasi oleh bakteri proteolitik. Penampakan fisik dari wheycurd

dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Whey pres (Reta, 2010)

Wheycurd mengandung hanya 1% padatan dan 59% diantaranya merupakan protein yang tidak terkoagulasi; 9% protein kedelai larut bersama whey (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Linaya dan Singkanparan (1983) melaporkan bahwa pada waktu pembuatan curd, tidak semua kandungan protein kedelai yang terekstrak dapat diendapkan atau tergumpalkan. Protein kedelai yang terdapat pada curd

hanya sekitar 73.5%, sedangkan 9% akan terbuang bersama whey-nya.

Selain itu, whey curd mengandung vitamin larut air khususnya vitamin B dalam persentase yang cukup besar dan lesitin. Wheycurd juga mengandung 60% – 80% oligosakarida yang dipercaya dapat menyebabkan flatulensi, 70% koagulan yang ditambahkan, dan 76% inhibitor tripsin dari kedelai (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Hasil analisis proksimat dari wheycurd dapat dilihat pada Tabel 3.

Whey atau biang tahu tergolong penggumpal asam. Koagulan atau penggumpal asam akan menurunkan pH sistem sehingga memungkinkan terjadinya agregasi protein (Obatolu, 2007). Pada umumnya curd yang dibuat dengan penggumpal asam akan mempunyai rasa lebih asam dengan tekstur partikel yang kecil-kecil, halus dan kurang kompak sehingga curd bersifat rapuh dan mudah pecah karena banyaknya air yang terkandung di dalamnya (Shurtleff dan Aoyagi, 1979).

Menurut Kastyanto (1985), wheycurd dapat digunakan sebagai bibit dalam pembuatan curd. Limbah cair yang digumpalkan dengan asam asetat masih dapat digunakan sebagai penggumpal lagi dalam pembuatan curd berikutnya, sedangkan limbah cair curd yang digumpalkan dengan batu tahu (garam kalsium sulfat) tidak dapat dimanfaatkan lagi.


(28)

12 Tabel 3. Hasil analisis proksimat wheycurd

Komposisi Jumlah

Kadar air (%) 99.28

Kadar abu (%) 0.06

Total padatan (%) 0.67

Protein (%) 0.17

Lemak (%) 0.09

Karbohidrat (%) 0.35

pH 4.27

Isoflavon (mg/g bahan) 4.513 x 103

Sumber: Hariyadi dkk. (2002)

Umur biang tahu atau whey memberikan efek yang berbeda terhadap tekstur curd yang dihasilkan. Umur biang satu hari akan menghasilkan curd dengan tekstur yang keras. Sementara biang tahu berumur dua atau tiga hari akan menghasilkan curd dengan tekstur yang lebih halus dan gurih (Supriatna, 2007).

2.5

PELARUTAN PROTEIN

Pelarutan protein didefinisikan sebagai pemutusan interaksi antara protein dengan zat pengganggu, menghilangkan zat pengganggu dan mencegah protein mengalami agregasi kembali selama pemisahan. Intinya proses ini bertujuan memecah gaya agregasi antara protein dengan komponen lain (Rabilloud, 1996).

Umumnya rantai polipeptida tidak terikat dalam kompleks biologis oleh ikatan kovalen, kecuali ikatan disulfida, dan ikatan yang dibentuk oleh transglutaminase (TAG). TAG menginisiasi terbentuknya ikatan amida yang secara kimia tak dapat dibedakan dari ikatan peptida. Ikatan ini tidak dapat dipecah selain dengan mendegradasi protein tersebut menjadi bentuk asam aminonya. Sementara itu, ikatan disulfida merupakan ikatan kovalen yang dapat dengan mudah dirusak tanpa harus mendegradasi protein. Sebagai ikatan kovalen, ikatan disulfida dapat diputus secara kimiawi, namun reagen perusak harus dapat masuk dan kontak dengan ikatan disulfida tersebut. Sementara itu, ikatan disulfida terletak di dalam struktur protein sehingga dibutuhkan proses denaturasi untuk membuka sebagian struktur protein (unfold) dan reagen perusak pun dapat menyerang ikatan disulfida. Reagen perusak yang dapat memutus ikatan disulfida, antara lain merkaptoetanol, tiogliserol, sisteamin, ditiotreitol (DTT), atau ditioeritritol (DTE) (Rabilloud, 1996).

Pemanasan menyebabkan perubahan konformasi protein sehingga mengekspos bagian reaktif yang sebelumnya tersembunyi dalam struktur tiga dimensinya (Corredig, 2006). Atau dengan kata lain, pemanasan menyebabkan struktur protein terbuka (unfold) sehingga bagian terdalam dari protein terekspos (Wang dan Damodaran, 1991). Selama pemanasan, struktur protein kedelai yang unfold

memungkinkan terbentuknya interaksi hidrofobik dan perubahan ikatan disulfida. Setelah itu, ikatan hidrogen akan terbentuk terutama selama dan setelah pendinginan (Corredig, 2006). Menurut Utsumi dan Kinsella (1985), ikatan hidrogen menyebabkan terbentuknya gel globulin 7S. Sementara interaksi elektrostatik dan ikatan disulfida terlibat dalam pembentukan struktur matriks protein 11S. Menurut Rabilloud (1996), selain dapat memutus ikatan disulfida, pelarutan protein juga dapat merusak gaya-gaya nonkovalen yang menjamin gaya-gaya kohesi dari kompleks supramolekuler protein.


(29)

13

2.6

TEKNIK ELEKTROFORESIS DALAM ANALISIS PROTEIN

Elektroforesis didefinisikan sebagai migrasi molekul atau partikel bermuatan di dalam larutan atau medium karena adanya pengaruh medan listrik (Nielsen, 2003). Migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi karena perbedaan muatan total, ukuran, dan bentuk partikel (Pomeranz dan Meloan, 1994). Metode analisis elektroforesis protein merupakan metode analisis yang memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (Bolag dan Edelstein, 1991).

Copeland (1994) menyebutkan bahwa teknik elektroforesis telah banyak digunakan dalam analisis protein untuk menentukan tingkat kemurnian sampel, berat molekul, maupun titik isoelektrik. Selain itu, menurut Nielsen (2003) teknik elektroforesis juga sering digunakan untuk menentukan komposisi protein dari suatu produk pangan. Sebagai contoh, dalam penentuan komposisi konsentrat protein kedelai dan konsentrat protein whey.

Pemisahan protein berdasarkan muatannya tergantung pada karakter asam dan basa protein. Hal ini ditentukan oleh jumlah dan jenis rantai samping (gugus R) yang dapat terionisasi dalam rantai polipeptida serta pH lingkungan. Pada pH lingkungan yang lebih besar daripada pH isoelektriknya (pI), protein akan memiliki muatan negatif sehingga migrasi protein akan menuju anoda yang bermuatan positif. Sebaliknya, bila pH lingkungan di bawah pI, muatan protein menjadi positif yang membuatnya akan bermigrasi menuju katoda yang bermuatan negatif (Autran, 1996). Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan protein dengan elektroforesis.

Metode elektroforesis protein yang paling umum dan banyak dilakukan adalah SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis). SDS-PAGE merupakan teknik elektroforesis dalam sistem buffer diskontinyu yang menggunakan dua tipe gel sebagai medianya, yaitu stacking gel dan separating gel. Sistem buffer yang diskontinyu membuat sampel terkonsentrasi dalam stacking gel sehingga menghasilkan resolusi yang lebih baik ketika pemisahan protein terjadi di

separating gel (Garfin, 1990). Skema alat elektroforesis SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 6. Garfin (1990) menambahkan, resolusi yang dihasilkan melalui SDS-PAGE tergantung dari ukuran pori-pori polimer gel, sehingga persentase akrilamid yang digunakan pada tahap persiapan gel akan mempengaruhi kemampuan elektroforesis dalam memisahkan protein.

Gambar 6. Skema alat SDS-PAGE (Jage, 2008)

Gel poliakrilamid dibentuk dari hasil ko-polimerisasi monomer akrilamid, CH2=CH-CO-NH2,

dengan bantuan senyawa yang bertindak sebagai cross-linking agent,yaitu N,N’-metilen-bisakrilamid, CH2=CH-CO-NH-CH2-NH-COCH=CH2. Mekanisme polimerisasi akrilamid tersebut dikatalisis oleh

TEMED (tetrametietilendiamin) dan APS (amonium persulfat). TEMED akan menyebabkan pembentukan radikal bebas dari amonium persulfat yang mengakibatkan reaksi pembentukan


(30)

14 akrilamid aktif. Akrilamid aktif ini akan bereaksi dengan akrilamid lainnya membentuk rantai polimer yang panjang. Hasil dari polimerisasi ini adalah terbentuknya gel dengan struktur jala dari rantai akrilamid. Ukuran pori dan jala gel tersebut ditentukan oleh jumlah akrilamid yang digunakan per unit volumnya dan derajat ikatan silangnya (Autran, 1996; Garfin, 1990).

Sodium dodecyl sulfate (SDS) adalah detergen anionik yang paling umum digunakan dalam elektroforesis. SDS memiliki dua fungsi, yaitu: 1) untuk memisahkan protein-protein yang beragregasi, hidrofobik, atau memiliki kelarutan yang rendah, seperti membran protein; dan 2) memisahkan protein berdasarkan bentuk, ukuran dan berat molekulnya. SDS menyelimuti protein dengan muatan negatif, serta mengikat protein dengan rasio yang konstan, yaitu 1.4 g SDS per gram polipeptida (Autran, 1996; Garfin, 1990).

Interaksi SDS dengan protein akan merusak seluruh ikatan non-kovalen protein sehingga struktur protein akan terbuka. Selanjutnya, penggunaan reducing agent seperti 2-merkaptoetanol atau ditiothreitol akan membantu mendenaturasi protein melalui pemutusan ikatan disulfida pada protein sehingga memecahnya menjadi subunit-subunit protein. Akibatnya, mobilitas elektroforetik dari kompleks detergen-polipeptida hanya merupakan fungsi dari berat molekul protein (Garfin, 1990).

Penggunaan buffer dalam elektroforesis gel dapat digunakan dengan dua sistem, yaitu kontinyu (homogenous) dan diskontinyu (multiphasic) (Copeland, 1994). Perbedaan mendasar pada sistem diskontinyu adalah penggunaan dua gel dalam satu slab, yaitu stacking gel dan separating gel. Buffer dan konsentrasi akrilamid yang digunakan pada kedua jenis gel tersebut berbeda (Boyer, 1993). Pada

stacking gel digunakan buffer dengan pH 6.8 dan konsentrasi akrilamid yang lebih rendah (ukuran pori besar) sedangkan pada separatinggel digunakan buffer dengan pH 8.8 dan konsentrasi akrilamid yang tinggi (ukuran pori kecil) (Wilson dan Walker, 2000). Hal ini akan menghasilkan pemisahan yang baik dengan pita yang tajam karena protein terkonsentrasi pada stacking gel dan mengalami resolusi yang tinggi pada separating gel.

2.7

TEKSTUR

Tekstur merupakan salah satu faktor penting penentu penerimaan produk pangan oleh konsumen selain penampakan dan flavor. Apabila salah satu dari ketiga faktor tersebut tidak memenuhi harapan konsumen, produk tersebut tidak akan dikonsumsi, atau apabila dikonsumsi akan menimbulkan respon yang negatif dari konsumen.

Menurut Smith (2004), tekstur menjadi faktor kunci penerimaan konsumen atas produk pangan. Bourne (2002), yang dikutip oleh Smith (2004), mendefinisikan sifat tekstur produk pangan sebagai sekelompok karakteristik fisik yang: 1) diperoleh dari elemen struktural produk pangan, 2) dipersepsikan oleh indera peraba, dan 3) berhubungan dengan deformasi, disintegrasi, dan gaya yang diberikan, serta 4) diukur secara objektif sebagai fungsi dari massa, waktu, dan jarak.

Analisis tekstur produk pangan dapat dilakukan secara instrumen menggunakan alat ataupun secara organoleptik menggunakan indera manusia. Analisis secara instrumen akan memberikan hasil yang lebih akurat karena bersifat objektif. Sebaliknya, analisis tekstur secara organoleptik memberikan hasil yang subjektif dan beragam, tergantung pada penilaian yang diberikan oleh panelis dalam pengujian. (Peleg, 1983).

Menurut Scott-Blair (1958) yang dikutip Rosenthal (1999), teknik instrumental untuk pengukuran tekstur pangan dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) pengukuran empiris, yaitu metode yang mengukur atribut mekanik produk dengan mengombinasikan beberapa tipe prinsip pengujian seperti penetrasi, kompresi, pemotongan, dan sebagainya; 2) pengukuran imitatif, yaitu


(31)

metode pengukuran yang manusia. Dalam hal ini, dipakai; 3) pengukuran fu viskositas atau modulus el

Analisis tekstur d

Texture Analyser, dan Sta

karakteristik tekstur curd

dengan metode Texture P

mekanik seperti kekerasa pengukuran tekstur panga dapat dilihat pada Gambar

Gambar 7. Grafik TP perhitunga

Persepsi manusia dalam mulut. Faktor lain persepsi tentang tekstur persepsi tekstur yang dite yaitu: somesthesis (secara dari kulit, dan kinesthesis

sentuhan dapat dilakukan kontak oral (kinesthesis) langit-langit mulut, dan gi Szczesniak (1963) parameter tekstur yang di tiga kategori, diantaranya yang dipersepsikan oleh in 2) karakteristik geometri orientasi partikel yang dip

gritty, grainy, flaky, strin

ang didesain dengan mengimitasi pengunyahan mak , Texture Profile Analysis (TPA) merupakan metod fundamental, yaitu metode yang mengukur atribut reo elastis.

dapat dilakukan menggunakan alat atau instrumen s

Stable Micro System TA-XT2i Texture Analyser (Smew secara objektif dianalisis menggunakan instrumen text e Profile Analysis (TPA). Analisis dilakukan terhadap asan, kohesivitas, dan daya kunyah (Prabhakaran et a

gan secara umum dengan metode TPA dan perhitung bar 7.

TPA untuk produk pangan secara umum beserta p ngannya (Anonimb, 2010)

ia terhadap tekstur tidak hanya ditentukan ketika prod ain seperti penampakan dan pengaruh indera pendenga ur suatu produk (Kilcast, 2004). Kilcast (1999) juga

iterima oleh manusia melalui indera peraba dapat diper ara taktil) yang merupakan respon yang diperoleh man

esis, yaitu respon yang diterima melalui aktivitas otot an melalui pengujian produk pangan menggunakan tang ) diperoleh melalui pengujian di dalam mulut akibat gigi.

3) yang dikutip Faridi dan Faubion (1990) menyatak digunakan untuk mengklasifikasikan atribut tekstur sec ya: 1) karakteristik mekanikal, yaitu reaksi bahan pan h indra kinestetik, meliputi kekerasan, kohesivitas, visko etrikal, yaitu karakteristik yang berhubungan dengan dipersepsikan oleh syaraf pengecap dalam mulut atau den

ringy, dan smooth; dan 3) karakteristik lain, meliputi a

15 akanan di dalam mulut tode yang paling umum reologi atau fisik seperti

n seperti Instron, LFRA ewing, 1999). Umumnya,

exture analyser TA-XT2i dap parameter-parameter

t al., 2006). Grafik hasil ngan parameter mekanik

parameter analisis dan

roduk pangan berada di ngaran juga memberikan ga menyebutkan bahwa peroleh melalui dua cara, anusia melalui sentuhan tot dan tendon. Stimulus angan dan jari sedangkan bat aktivitas bibir, lidah,

takan bahwa parameter-secara sensori terdiri atas pangan terhadap tekanan kositas, dan kerenyahan; an ukuran, bentuk dan dengan sentuhan meliputi ti atribut mouthfeel yang


(32)

16 berhubungan dengan persepsi terhadap lemak dan air selama pengunyahan dan penelanan. Beberapa karakteristik mekanikal dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Beberapa karakteristik mekanikal dan definisinya

Karakteristik Definisi Sensorial Definisi Instrumental

Kekerasan

Gaya yang diberikan hingga terjadi perubahan bentuk (deformasi) pada objek

Kerapuhan

Titik dimana besarnya gaya yang diberikan membuat objek menjadi patah (break/fracture)

Adesivitas

Gaya yang dibutuhkan untuk menahan tekanan yang timbul diantara

permukaan objek dan permukaan benda lain saat terjadi kontak antara objek dengan benda tersebut

Elastisitas

Laju suatu objek untuk kembali kebentuk semula setelah terjadi

perubahan bentuk (deformasi) Siklus = Kontak kedua – Kontak pertama Elastisitas = Siklus untuk material

inelastik

- Siklus untuk pangan

Kohesivitas Kekuatan dari ikatan-ikatan yang berada di dalam objek yang menuyusun bentuk objek

Daya kunyah

Tenaga yang dibutuhkan untuk menghancurkan (memecah) pangan semi padat menjadi bentuk yang siap untuk ditelan. Gumminess berhubungan dengan hardness dan cohesiveness

= Kekerasan x Kohesivitas

Kelengketan

Tenaga yang dibutuhkan untuk mengunyah (menghancurkan) pangan padat menjadi bentuk yang siap untuk ditelan. Chewiness berhubungan dengan hardness, cohesiveness dan

elasticity

= Kekerasan x Kohesivitas x Elastisitas

Sumber: DeMan (1985); Rosenthal (1999)

Kohesivitas = B/A


(1)

94

Lampiran 33.

Hasil analisis korelasi antara kadar protein, kadar air, total padatan

curd

, dan parameter tekstur

curd

Correlations

Protein Curd Kadar Air Total Padatan Kekerasan Curd Kohesivitas Curd

Daya Kunyah Curd

Protein Curd Pearson Correlation 1 -0.713** -0.445 0.590* 0.648* 0.560

Sig. (2-tailed) 0.009 0.147 0.044 0.023 0.058

N 12 12 12 12 12 12

Kadar Air Pearson Correlation -0.713** 1 0.572 -0.840** -0.859** -0.887**

Sig. (2-tailed) 0.009 0.052 0.001 0.000 0.000

N 12 12 12 12 12 12

Total Padatan Pearson Correlation -0.445 0.572 1 -0.823** -0.469 -0.713**

Sig. (2-tailed) 0.147 0.052 0.001 0.124 0.009

N 12 12 12 12 12 12

Kekerasan Curd Pearson Correlation 0.590* -0.840** -0.823** 1 0.728** 0.966**

Sig. (2-tailed) 0.044 0.001 0.001 0.007 0.000

N 12 12 12 12 12 12

Kohesivitas Curd Pearson Correlation 0.648* -0.859** -0.469 0.728** 1 0.807**

Sig. (2-tailed) 0.023 0.000 0.124 0.007 0.002

N 12 12 12 12 12 12

Daya Kunyah Curd

Pearson Correlation 0.560 -0.887** -0.713** 0.966** 0.807** 1

Sig. (2-tailed) 0.058 0.000 0.009 0.000 0.002

N 12 12 12 12 12 12

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

9


(2)

95

Lampiran 34.

Hasil analisis korelasi antara subunit protein globulin dan kekerasan

curd

Correlations

Acidic Basic A5 α’ dan α β

Kekerasan Curd

Acidic Pearson Correlation 1 -0.886** 0.353 -0.233 -0.313 0.223

Sig. (2-tailed) 0.000 0.260 0.466 0.322 0.487

N 12 12 12 12 12 12

Basic Pearson Correlation -0.886** 1 -0.436 -0.041 0.544 -0.206

Sig. (2-tailed) 0.000 0.157 0.898 0.067 0.521

N 12 12 12 12 12 12

A5 Pearson Correlation 0.353 -0.436 1 -0.633* -0.498 0.724**

Sig. (2-tailed) 0.260 0.157 0.027 0.100 0.008

N 12 12 12 12 12 12

α’ dan α Pearson Correlation -0.233 -0.041 -0.633* 1 -0.213 -0.672*

Sig. (2-tailed) 0.466 0.898 0.027 0.507 0.017

N 12 12 12 12 12 12

β Pearson Correlation -0.313 0.544 -0.498 -0.213 1 -0.048

Sig. (2-tailed) 0.322 0.067 0.100 0.507 0.882

N 12 12 12 12 12 12

Kekerasan Curd Pearson Correlation 0.223 -0.206 0.724** -0.672* -0.048 1

Sig. (2-tailed) 0.487 0.521 0.008 0.017 0.882

N 12 12 12 12 12 12

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

9


(3)

96

Lampiran 35.

Hasil analisis korelasi antara glisinin, β-konglisinin, glisinin/ β-konglisinin dan kekerasan

curd

Correlations

Glisinin β-Konglisinin Glisinin/ β

-Konglisinin Kekerasan Curd

Glisinin Pearson Correlation 1 -1.000** 0.992** 0.697*

Sig. (2-tailed) 0.000 0.000 0.012

N 12 12 12 12

β-Konglisinin Pearson Correlation -1.000** 1 -0.992** -0.697*

Sig. (2-tailed) 0,000 0,000 0,012

N 12 12 12 12

Glisinin/ β-Konglisinin Pearson Correlation 0.992** -0.992** 1 0.742**

Sig. (2-tailed) 0.000 0.000 0.006

N 12 12 12 12

Kekerasan Curd Pearson Correlation 0.697* -0.697* 0.742** 1

Sig. (2-tailed) 0.012 0.012 0.006

N 12 12 12 12

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

9


(4)

97

Lampiran 36.

Data analisis objektif tekstur

curd

komersial

No Merek Tahu Kekerasan (g F) Kohesivitas (%) Daya Kunyah (g F)

1 Kongkee 456.17 17.52 80.13

2 Mico (Padat) 698.67 19.37 135.45

3 Giant 1648.50 30.25 499.09

4 Traditional 4747.00 35.96 1714.50

5 Gemelli 3135.83 39.61 1242.60

6 Sakura 1409.83 25.56 354.26

Lampiran 37.

Data analisis rating skala garis kekerasan

curd

komersial secara subjektif

No. Panelis Kongkee Mico

(Padat) Giant Traditional Gemelli Sakura

1 Trancy 1.00 4.10 5.05 14.05 12.10 5.20

2 Tami 0.95 - 5.90 14.10 - 7.55

3 Melia 1.20 - 5.45 13.95 11.30 6.33

4 Nadea 1.00 - 5.50 14.05 11.35 7.00

5 Lukman 1.20 3.35 5.55 13.90 11.20 7.35

6 Rozak 1.00 3.60 - 14.00 11.60 -

7 Belinda 1.00 3.30 6.10 - 12.25 -

8 Rossy 1.00 4.80 5.55 14.00 11.80 -

9 Ajeng 0.95 - 5.80 14.10 - 7.40

10 Nadiah - 3.80 - 14.00 - -

11 Chintia 1.00 - - 14.00 - -

Rata-rata 1.03 3.83 5.61 14.02 11.66 6.80

SD 0.09 0.51 0.30 0.06 0.38 0.82


(5)

98

Lampiran 38.

Hubungan antara kekerasan

curd

komersial secara objektif dan secara

subjektif

Kongkee Mico

(Padat) Giant Traditional Gemelli Sakura

Objektif (Kg F) 0.456 0.699 1.649 4.747 3.136 1.410

Subjektif 1.030 3.825 5.612 14.015 11.657 6.804

y = 2.876x + 1.358 R² = 0.935

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000

R

a

ti

n

g

S

u

b

je

k

ti

f

Kekerasan Objektif (Kg F)

Grafik Hubungan Kekerasan Curd Komersial secara Objektif dan secara Subjektif


(6)

99

Lampiran 39.

Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses

koagulasi dan umur koagulan

whey

(biang tahu) terhadap kekerasan

curd

secara subjektif

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekerasan Subjektif

Source

Type III Sum of Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected Model 13.752a 5 2.750 45.693 0.000

Intercept 573.115 1 573.115 9521.508 0.000

Umur Whey 3.908 2 1.954 32.464 0.001

Suhu Koagulasi 8.383 1 8.383 139.279 0.000

Suhu Koagulasi * Umur Whey 1.460 2 0.730 12.128 0.008

Error 0.361 6 0.060

Total 587.228 12

Corrected Total 14.113 11

a

. R Squared = 0.974 (Adjusted R Squared = 0.953) POST HOC – UMUR WHEY

Kekerasan Subjektif Duncana,b

Umur Whey N Subset

1 2

3 4 6.3325

1 4 6.7125

2 4 7.6875

Sig. 0.071 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 0.060. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = 0.05.

POST HOC – INTERAKSI

Kekerasan Subjektif Duncana,b

Interaksi N Subset

1 2 3 4

63 oC - 3 Hari 2 5.6250

63 oC - 1 Hari 2 6.2250 6.2250

63 oC - 2 Hari 2 6.3750

83 oC - 3 Hari 2 7.0400

83 oC - 1 Hari 2 7.2000

83 oC - 2 Hari 2 9.0000

Sig. 0.050 0.563 0.538 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 0.060. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = 0.05.