Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang

(1)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007.

USU Repository © 2009

Skripsi

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Juni Irianti Sitinjak NIM : 030200187

Departemen/PK : Hukum Administrasi Negara/Hukum Agraria

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH YANG TELAH DIGANTI RUGI OLEH PT. KWALA GUNUNG KEPADA MASYARAKAT MARIAH

HOMBANG

Skripsi

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Juni Irianti Sitinjak NIM : 030200187

Departemen/PK : Hukum Administrasi Negara/Hukum Agraria Diketahui oleh :

Ketua Departemen,

(Dr. Pendastaren Tarigan, S.H. M.S.) NIP. 131 410 462

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

(Tampil Anshari Siregar, S.H. M.S.) (

MEDAN

Mariati Zendrato, S.H. M.H.) NIP. 130 250 421 NIP. 131 661 438

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007


(3)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAK ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 3

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 4

F. Metode Penelitian ... 12

a) Bahan atau Materi Penelitian... 12

b) Alat Penelitian ... 15

c) Variabel Penelitian ... 16


(4)

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : TUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH

OLEH MASYARAKAT MARIAH HOMBANG

KEPADA PT. KWALA GUNUNG ... 20

A. Keadaan Mayarakat Mariah Hombang dan PT. Kwala Gunung ... 20

B. Sengketa Hukum atas Tanah... 29

BAB III : ALASAN PENUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH ... 66

A. Sengketa Tanah di Desa Mariah Hombang ... 66

B. Alasan Penuntutan Pengembalian Tanah yang Dilakukan Masyarakat Mariah Hombang Kepada PT. Kwala Gunung ... 86

C. Alasan Penuntutan Pengembalian Tanah yang Ditentukan oleh Hukum ... 93

BAB IV : PELAKSANAAN PENUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH YANG TELAH DIGANTI RUGI OLEH PT. KWALA GUNUNG ... 100

A. Risalah Umum Desa Mariah Hombang... 100

1. Lokasi ... 100


(5)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

4. Iklim ... 101

5. Sosial Ekonomi ... 101

5.1.Penduduk ... 101

5.2.Mata Pencaharian ... 102

5.3.Agama ... 102

5.4.Perhubungan ... 102

5.5.Pendidikan dan Kesehatan ... 103

B. Pelaksanaan Penuntutan Pengembalian Tanah yang Telah Diganti Rugi oleh PT. Kwala Gunung kepada Masyarakat Mariah Hombang ... 103

C. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Penuntutan Pengembalian Tanah yang Telah Diganti Rugi oleh PT. Kwala Gunung ... 106

D. Penyelesaian Sengketa Tanah antara Masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung ... 108

BAB V : PENUTUP ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA


(6)

DAFTAR TABEL

1. Banyaknya curah hujan dan hari hujan menurut Stasiun Pengamat Cuaca Pusat Penelitian Marihat tahun 1989

2. Keadaan Penduduk berdasarkan jumlah dan jenis kelamin di Kabupaten Dati II Simalungun yang dirinci per kecamatan tahun 1989

3. Banyaknya penduduk menurut golongan agama di Kecamatan Tanah Jawa pada tahun 1989

4. Panjang jalan Negara dan propinsi di Kabupaten Simalungun dirinci menurut jenis permukaan, kondisi dan kelas jalan tahun 1989


(7)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

DAFTAR GAMBAR

1. Sumatera Utara Kronik Perjuangan Petani Nagori Mariah Hombang

(Sumber :

2. Sumatera Utara 17 Petani Mariah Hombang Beb as Setelah Jalani Persidangan Selama 4 Bulan

(Sumber :

3. Peta Hasil Pengukuran Areal Inlijving/Areal Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk, Skala 1 : 10.000.


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Riset yang ditujukan kepada BPN Simalungun

2. Surat Riset yang ditujukan kepada Dinas Kehutanan Simalungun

3. Surat Riset yang ditujukan kepada Kantor Kepala Desa Mariah Hombang 4. Surat Riset yang ditujukan kepada Dinas Kehutanan Kotamadya Medan

5. Surat Keterangan dari BPN Simalungun yang menyatakan bahwa benar penulis telah melakukan riset di BPN Simalungun

6. Surat Keterangan dari Dinas Kehutanan Simalungun yang menyatakan bahwa benar penulis telah melakukan riset di Dinas Kehutanan Simalungun

7. Surat Keterangan dari Kantor Kepala Desa Mariah Hombang yang menyatakan bahwa benar penulis telah melakukan riset di Kantor Kepala Desa Mariah Hombang

8. Surat Keterangan dari Dinas Kehutanan Kotamadya Medan yang menyatakan bahwa benar penulis telah melakukan riset di Dinas Kehutanan Kotamadya Medan

9. Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/2807/K Tahun 1991, tanggal 10 Oktober 1991 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung

10. Surat PT. Kwala Gunung Nomor 60/KG/I/1992, tanggal 13 Januari 1992

11. Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, tanggal 8 Pebruari 1992 Nomor 275/II/Kwl-5/1992 tentang Pengukuran Lahan Inlijving/Areal Reboisasi

12. Surat Perintah Tugas dari Kepala Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang Siantar Nomor 2230/I/SUB.1-1/1992, tanggal 6 Maret 1992


(9)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

13. Berita Acara Hasil Pengukuran Areal Inlijving/Areal Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk

14. Daftar masyarakat yang telah melepaskan hak atas tanahnya kepada PT. Kwala Gunung dengan menerima ganti rugi

15. Daftar nama-nama orang yang menerima biaya ganti rugi tanah dan tanaman areal inlijving kehutanan oleh PT. Kwala Gunung di Desa Bosar Galugur dan Mariah Hombang, di Kecamatan Tanah Jawa dan Kecamatan Hutabayu Raja, Dati II Simalungun

16. Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh Muller Gultom, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, bahwa benar penulis telah melakukan wawancara

17. Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh W. Manurung, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, bahwa benar penulis telah melakukan wawancara

18. Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh Binahar Gultom, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, bahwa benar beliau tidak pernah menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun


(10)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan alasan penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan masyarakat Mariah Hombang maupun alasan penuntutan pengembalian tanah yang ditentukan oleh hukum. Penulisan ini juga bertujuan untuk menjelaskan wujud konkrit penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan oleh masyarakat Mariah Hombang.

Penulis melakukan wawancara dengan warga Dusun Parsaguan dan melakukan riset pada Instansi Pemerintah. Wawancara dilakukan untuk mengetahui sengketa tanah antara masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung dan memastikan kebenaran data-data yang telah penulis peroleh dari pihak BPN Simalungun.

PT. Kwala Gunung memiliki hak keperdataan atas lahan masyarakat yang telah diganti rugi dan memperoleh izin dari Gubernur Sumatera Utara berdasarkan SK Gubernur KDH Tk. I Sumatera Utara Nomor 593.41/2807/K Tahun 1991, tentang Izin Lokasi /Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung. Masyarakat tidak mempunyai dasar atas kepemilikan lahan tersebut dan sampai saat ini, legalitas FPNMH untuk mewakili kepentingan petani tidak kuat karena tidak ada Surat Kuasa Khusus dan sewajarnya masyarakat yang menginginkan lahan tersebut harus memberikan ganti rugi kepada PT. Kwala Gunung.


(11)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penulis memilih masalah penuntutan pengembalian tanah yang telah diganti rugi oleh PT. Kwala Gunung kepada masyarakat Mariah Hombang sebagai bahan penulisan karena masalah ganti rugi tanah sangat rentan terjadi dan berdampak negatif, baik pada saat pelepasan tanah dilakukan maupun pada masa yang akan datang, seperti terjadinya sengketa tanah antara masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung dimana masyarakat Mariah Hombang menuntut agar tanah mereka dikembalikan oleh PT. Kwala Gunung, padahal tanah tersebut telah diganti rugi oleh PT. Kwala Gunung. Karena PT. Kwala Gunung telah memberikan ganti rugi atas tanah tersebut sesuai dengan kesepakatan, maka PT. Kwala Gunung tidak mau mengembalikan tanah tersebut, sementara masyarakat bersikeras menuntut kembali tanah mereka dengan alasan bahwa PT. Kwala Gunung tidak memanfaatkan atau menterlantarkan tanah tersebut. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan sengketa antara masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung perlu dicari solusinya.


(12)

Penulis memilih judul untuk dapat dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu Penuntutan Pengembalian Tanah yang Telah Diganti Rugi oleh PT. Kwala Gunung kepada Masyarakat Mariah Hombang karena penulis memandang bahwa yang menjadi inti dari permasalahan ini adalah masyarakat Mariah Hombang menuntut pengembalian tanah kepada PT. Kwala Gunung, sehingga dengan melihat inti dari permasalahan tersebut, maka penulis mengangkat masalah ini sebagai judul skripsi. Dengan mengangkat masalah ini, penulis berusaha untuk mencari solusi yang tepat dan memaparkannya di dalam tulisan ini dimana sampai saat ini, masalah ini masih dalam tahap pencarian solusi atau belum ada titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa.

B. Perumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini yang kemudian akan menjadi pembahasan adalah sebagai berikut :

1) Bagaimana penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan masyarakat Mariah Hombang?

2) Mengapa masyarakat Mariah Hombang menuntut pengembalian tanah kepada PT. Kwala Gunung?


(13)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

3) Sejauh mana tuntutan pengembalian tanah yang diajukan masyarakat Mariah Hombang dan hambatan-hambatan dalam melakukan penuntutan tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah :

1) Untuk menjelaskan penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan oleh masyarakat Mariah Hombang.

2) Untuk menjelaskan alasan-alasan penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan oleh masyarakat Mariah Hombang, baik alasan-alasan yang diajukan oleh masyarakat maupun alasan-alasan yang diperbolehkan oleh hukum.

3) Untuk menjelaskan wujud konkrit penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan oleh masyarakat Mariah Hombang.

Selain menambah pengetahuan penulis dalam mengangkat permasalahan ini menjadi bahan penulisan, penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk mencari solusi atas permasalahan ini, yaitu membantu pihak-pihak yang terkait atau yang berwenang menemukan alternatif kebijakan yang lebih baik, sehingga apabila ada sengketa pertanahan yang inti permasalahannya sama dengan masalah yang menjadi pembahasan dalam penulisan ini, maka dapat dilakukan langkah-langkah


(14)

atau kebijakan dengan mudah dan dalam waktu yang singkat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian ini merupakan hasil penelitian dari penulis sendiri yang mengangkat masalah mengenai penuntutan pengembalian tanah yang telah di ganti rugi oleh PT. Kwala Gunung kepada masyarakat Mariah Hombang dan objek ini belum pernah diteliti oleh peneliti lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

Menyangkut terminologi tanah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai permukaan bumi atau lapisan bumi yang paling atas.1 Dalam Hukum Tanah, pengertian tanah lebih kepada pengertian yang yuridis,2

1

Hasan Basri Nata Menggala, S.H., dan Sarjita, S.H., M.Hum., Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah, Edisi Revisi, Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, Hal. 5.

2

Ibid.

yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA bahwa tanah adalah bagian dari permukaan bumi dan karena itu, hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Dengan kata


(15)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

lain, tanah yang diberikan dan dipunyai oleh orang-orang dengan hak-hak yang diberikan oleh UUPA adalah digunakan atau dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi.3

Michael G. Kitay mengatakan, “Land is unique and limited; it is therefore valuable. And whoever controls and the land controls a potentially profitable asset.”

Berdasarkan hal tersebut, tanah mempunyai nilai yang sangat strategis dan berharga sebagai potensi modal yang menguntungkan. Akibatnya, harga tanah cenderung meningkat dalam kehidupan masyarakat.

4

3

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, Hal. 18.

Artinya, “tanah merupakan hal yang unik dan terbatas; oleh karena itu ia berharga. Barangsiapa yang menguasai tanah tersebut, juga menguasai potensi modal yang menguntungkan.” Pendapat Michael G. Kitay tersebut sejalan pula dengan pendapat Lawson da Rudden, yang mengatakan bahwa tanah adalah sesuatu yang unik dan bersifat tetap dan hampir tidak dapat dihancurkan serta memiliki nilai pendapatan dan penghasilan. Di samping itu, menurut Gray dan Symes, tanah bukanlah sekedar tanah belaka atau kebutuhan yang turun-temurun, tetapi lebih dari sekedar gumpalan tanah,


(16)

tambang, mineral di bawahnya, dan bangunan-bangunan yang berdiri di permukaannya.5 Peter Butt mengatakan “barangsiapa memiliki tanah (permukaan bumi), dia juga memiliki segala apa yang ada di atasnya sampai surga/nirwana dan segala yang ada di bawahnya sampai pusat bumi.” 6

Menurut Sulasi Rongiyati, tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar.

Tanah merupakan salah satu komponen dari hak asasi manusia, maka setiap orang harus diberi akses untuk memperoleh, memiliki, memanfaatkan, dan mempertahankan bidang tanah yang akan atau yang sudah dimilikinya.

7

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh bangsa Indonesia dan tidak semata-mata kepada individu-individu pemegang hak atas tanah.8 Sedangkan sistem Pemerintahan masa Orde Baru menempatkan tanah sebagai benda komoditas perdagangan, objek investasi para pemilik modal besar serta menjadi objek spekulan tanah.9

4

Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, Hal. 7.

5 Ibid. 6 Ibid. 7 http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_content&task=blogcategory 8

Hasan Basri Nata Menggala, S.H., dan Sarjita, S.H., M.Hum., Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah, Edisi Revisi, Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, Hal. 15.

9

Ibid.

Defenisi tanah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, tanah merupakan salah satu modal pokok bangsa Indonesia


(17)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

dan salah satu unsur utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Mengenai defenisi penuntutan, di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, tuntut atau menuntut adalah meminta dengan keras, mengharuskan supaya dipenuhi. Tuntutan, yaitu sesuatu yang dituntut seperti permintaan keras, gugatan, dakwaan, dan sebagainya. Menggugat artinya membawa atau mengadukan kepada pengadilan; mempertahankan haknya atas sesuatu; berusaha atau berdaya upaya supaya mencapai atau mendapat sesuatu; berusaha mendapat ilmu pengetahuan; menuju; berusaha keras untuk mendapat (hak atas sesuatu). Gugatan adalah suatu cara untuk menuntut hak melalui putusan pengadilan (perkara perdata).10 Claim is assertion of a legal right; document used in the County Court to start a legal action; statement that someone has a right to property held by another person; to start that something is a fact.11 Claim of ownership, yaitu tuntutan untuk mengembalikan hak, terutama mengenai tanah.12

10

Zainal Bahry, S.H., Kamus Umum Khususnya di Bidang Hukum dan Politik, Angkasa Bandung, Bandung, 1993, Hal. 80.

11

P.H. Collin, Dictionary of Law, Third Edition, Peter Collin Publishing, 2000, Hal. 60.

12

I.P.M. Ranuhandoko, B.A., Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal. 131.

Sedangkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, pada Pasal 1 butir 7, yang dimaksud dengan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.


(18)

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Menurut Sarjita S.H., M.Hum., pelepasan hak atas tanah adalah perbuatan hukum melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah dan benda-benda yang terdapat di atasnya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah, sehingga tanah yang bersangkutan menjadi tanah Negara dan kemudian diberikan hak baru yang sesuai kepada pihak yang memerlukan tanah.13

Mengenai ganti rugi, dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut, yaitu : dari sudut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan dari sudut Undang-undang Pokok Agraria.

Pembebasan tanah menurut Surat Edaran Dirjen Agraria Nomor: Ba 12/108/12/1975 adalah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak/penguasa atas tanah tersebut. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang sebelumnya disebut pembebasan tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.

13

Sarjita, S.H., M.Hum., Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, cet. 10, Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, Hal. 44.


(19)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Pertama, menurut KUH Perdata, tinjauan tentang ganti rugi meliputi persoalan yang

menyangkut apa yang dimaksud dengan ganti rugi itu, bilamana ganti rugi itu timbul dan apa ukuran dari ganti rugi itu serta bagaimana peraturannya dalam undang-undang. Dalam Pasal 1243 KUH Perdata dirumuskan :

Penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan.

Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa ganti kerugian itu adalah karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikannya atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.14

Artinya, ganti rugi itu adalah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi, kerugian itu wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Bertolak dari pengertian ganti rugi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ganti rugi menurut Hukum Perdata adalah dikaitkan dengan adanya wanprestasi, sehingga siapa yang wanprestasi akan dihukum untuk membayar


(20)

ganti rugi berupa biaya (kosten), rugi (schaden), dan bunga (interesten) berupa kehilangan keuntungan yang dapat diharapkan (winstderving).

Kedua, dalam Undang-undang Pokok Agraria yang berkaitan dengan

pencabutan hak atas tanah diatur dalam Pasal 18, yang berbunyi : ”Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dan rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”

Salah satu kunci yang kelihatannya juga cukup menentukan dalam perbuatan hukum yang berkenaan dengan ganti rugi dalam pelepasan hak atau pembebasan tanah itu merupakan imbalan sebagai pengganti nilai tanah yang diserahkan oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah. Mengenai pencabutan atau pelepasan hak tanah, A.P. Parlindungan menyatakan :

“Orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin setelah pencabutan hak tersebut, ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang pembayaran ganti rugi itu telah habis karena dikonsumsi. Minimal dia harus dapat dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti dicabut haknya, syukur kalau bertambah lebih baik.”15

14

Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, Hal. 86.

15

A.P.Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak atas Tanah, Suatu Perbandingan,


(21)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Sejalan dengan pendapat tersebut, Boedi Harsono merumuskan bahwa baik dalam perolehan tanah atas dasar kata sepakat maupun cara pencabutan hak kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak, sehingga sedemikian rupa keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi mundur.16

Seperti diketahui bahwa dalam masyarakat sering terjadi kerancuan dalam penggunaan istilah “ganti kerugian” dalam bentuk tuntutan/unjuk rasa apabila terjadi pengosongan/pengusiran penghuni/penggarap liar. Berkaitan dengan hal ini, dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pasal 15 menyebutkan bahwa dasar dan

Dengan demikian, maka pemberian ganti rugi ini harus betul-betul mampu mengantisipasi munculnya kemiskinan dalam masyarakat, bukan penyebab timbulnya kemiskinan baru. Ganti kerugian adalah imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah sebagai pengganti dari nilai tanah termasuk yang ada di atasnya, yang telah dilepaskan atau diserahkan (Oloan Sitorus dan Carolina Sitepu dalam SKH Sinar Indonesia Baru, 5 November 1994). Perlu ditegaskan bahwa dalam ganti kerugian tidak boleh ada keinginan untuk menekan kepentingan pihak lain. Sedangkan Pasal 1 butir 7 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 merumuskan ganti rugi sebagai pengganti atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.”

16


(22)

cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar harga tanah yang sebenarnya, nilai jual bangunan dan nilai jual tanaman. Di samping itu, bentuk dan besarnya ganti kerugian ditetapkan dalam musyawarah. Musyawarah dalam keppres tersebut diartikan sebagai proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa istilah ganti kerugian yang diberikan akan berkaitan dengan pihak pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan dipergunakan untuk pembangunan. Dengan kata lain, ganti kerugian hanya diberikan kepada pihak pemegang hak atas tanah.

F. Metode Penelitian

a) Bahan atau materi penelitian

Sebagai bahan atau materi penelitian, penulis menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam masalah ini, yaitu masyarakat Mariah Hombang yang berada di Kecamatan Hutabayu Raja. Wawancara dilakukan untuk mengetahui asal mula terjadinya sengketa tanah antara masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung, dimana belakangan terjadi kerusuhan atau bentrokan antara masyarakat


(23)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Mariah Hombang dengan pihak kepolisian yang memihak kepada PT. Kwala Gunung. Namun, wawancara dilakukan dengan sebagian masyarakat Mariah Hombang yang terlibat dalam masalah ini, menimbang bahwa penulis tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan wawancara dengan masyarakat Mariah Hombang secara keseluruhan.

Penulis mewawancarai warga Dusun Parsaguan yang tergabung dalam Forum Petani Nagori Mariah Hombang (FPNMH), dimana dari hasil wawancara, ada beberapa warga Dusun Parsaguan yang telah menerima ganti rugi dari PT. Kwala Gunung. Namun, ada juga salah seorang warga Dusun Parsaguan yang mengaku tidak pernah menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun meskipun telah melepaskan tanahnya kepada PT. Kwala Gunung. Binahar Gultom mengatakan, ia tidak pernah menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun, padahal ia telah melepaskan tanahnya seluas ± 3 Ha kepada PT. Kwala Gunung.17

Penulis memandang bahwa dengan mewawancarai sebagian masyarakat Mariah Hombang terutama yang telah menerima ganti rugi dari pihak PT. Kwala Gunung sudah mewakili jumlah keseluruhan masyarakat Mariah Hombang yang telah menerima ganti rugi tersebut. Dengan kata lain, dalam penelitian ini penulis mempergunakan jenis sampel yang disebut sampel kuota (quota sample), yaitu

17

Wawancara dengan Binahar Gultom, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.


(24)

peneliti menghubungi subjek yang memenuhi persyaratan ciri-ciri populasi tanpa menghiraukan dari mana asalnya, atau bisa juga diartikan bahwa penarikan sampel dari populasi didasarkan kepada terpenuhinya kualifikasi yang telah ditetapkan oleh peneliti. Wawancara dengan masyarakat Mariah Hombang juga bertujuan untuk memastikan kebenaran data-data yang telah penulis peroleh dari pihak BPN Simalungun. Selain melakukan wawancara dengan masyarakat Mariah Hombang, penulis juga melakukan wawancara dengan pihak BPN Simalungun, yaitu Drs. Hiskia Simarmata selaku Kasi Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan dan juga pihak Dinas Kehutanan Simalungun, yaitu Edward Pangaribuan selaku Staf Pegawai pada Balai Pengukuran dan Perpetaan Dinas Kehutanan Wilayah II Pematang Siantar, terkait dengan sengketa antara masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung.

Sedangkan data sekunder diperoleh terutama dari pihak BPN Simalungun dalam bentuk tertulis, dimana data-data tersebut berupa fotocopy Berita Acara yang memuat bukti pelepasan hak atas tanah oleh masyarakat Mariah Hombang kepada PT. Kwala Gunung dan pemberian ganti rugi oleh PT. Kwala Gunung kepada masyarakat Mariah Hombang. Data sekunder juga diperoleh dari Dinas Kehutanan Simalungun berupa foto copy Penjelasan tentang Areal Inlijving (Reboisasi) Komplek Bah Hapasuk/Bah Boluk, dua (2) lembar foto copy tanda terima uang dari PT. Kwala Gunung kepada Bendaharawan Rutin Kantor Wilayah Departemen


(25)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Kehutanan Sumatera Utara sebagai tanda bukti bahwa pihak PT. Kwala Gunung telah memberikan kewajibannya mengganti dana pago-pago yang dikeluarkan Pemerintah (Dinas Kehutanan) dalam proses inlijving dan satu (1) berkas foto copy Berita Acara Hasil Pengukuran Batas Areal Inlijving (Reboisasi) Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk sebagai tanda bukti telah dilakukan pengukuran letak dan luas lahan sebenarnya di lapangan untuk penegasan/pendefinitifan.

Penulis juga memperoleh data sekunder dari Dinas Kehutanan Kotamadya Medan, yaitu berupa Laporan Hasil Pengukuran Batas Areal Inlijving/Areal Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk, dimana laporan tersebut disusun dan diterbitkan dengan dana PT. Kwala Gunung. Di dalam Laporan itu dilampirkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/2807/K Tahun 1991, tanggal 10 Oktober 1991 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung, Surat PT. Kwala Gunung Nomor 6/KG/I/1992, tanggal 13 Januari 1992, Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sumatera Utara Nomor 275/II/Kwl-5/1992, tanggal 8 Pebruari 1992 tentang Pengukuran Lahan Inlijving/Areal Reboisasi, Surat Perintah Tugas dari Kepala Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang Siantar Nomor 2230/I/SUB.1-1/1992, tanggal 6 Maret 1992, Berita Acara Hasil Pengukuran Areal Inlijving/Areal Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk, dan Peta Hasil Pengukuran Areal Inlijving/Areal Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk skala 1:10.000.


(26)

Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari berbagai sumber bacaan, seperti buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Agraria untuk membantu dalam menjelaskan konsep mengenai judul skripsi ini dan mencari solusi atas kasus atau permasalahan ini. Penulis juga mempergunakan internet dalam mencari berbagai informasi dan solusi yang berkaitan dengan permasalahan ini.

b) Alat Penelitian

Alat atau instrumen penelitian ini adalah wawancara karena dikaitkan dengan jenis penelitian ini bahwa wawancara diperlukan dalam penelitian studi kasus, yang bertujuan untuk mencari kebenaran atas kasus yang sedang diteliti dan mencari solusi atas permasalahan yang diteliti. Wawancara merupakan data primer yang diperoleh dari berbagai pihak yang terkait dengan masalah ini, yaitu masyarakat Mariah Hombang, namun tidak secara keseluruhan, hanya beberapa warga Dusun Parsaguan yang tergabung dalam Forum Petani Nagori Mariah Hombang (FPNMH), juga pihak BPN Simalungun, Dinas Kehutanan Simalungun serta Dinas Kehutanan Kotamadya Medan.

c) Variabel Penelitian

Variabel atau objek pokok yang diteliti lebih dari satu, yaitu penuntutan pengembalian tanah yang telah diganti rugi oleh PT. Kwala Gunung diakibatkan


(27)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

karena PT. Kwala Gunung tidak memanfaatkan atau menterlantarkan tanah yang telah dilepaskan oleh masyarakat Mariah Hombang kepada PT. Kwala Gunung. Mengenai ganti rugi, masyarakat terpaksa menerima ganti rugi dari PT. Kwala Gunung karena masyarakat merasa ditekan melalui umpasa Batak yang disampaikan oleh Djabanten Damanik pada pertemuan di gereja HKBP Pokan Baru. Umpasanya adalah sebagai berikut : “Baris-Baris ni gajah di rurah pangaloan, molo mangido Raja Dae so oloan. Molo so ni oloan, tubu hamagoan; molo ni oloan, ro ma pangolu-ngoluan.”18 Artinya, kalau raja yang meminta, rakyat harus memberinya; kalau rakyat tidak mau menerima uang pago-pago (ganti rugi), maka rakyat akan tetap kehilangan haknya atas tanah tersebut. Berkaitan dengan penuntutan yang dilakukan masyarakat bahwa masyarakat menuntut kembali tanah mereka karena mereka tidak mempunyai tanah lagi untuk dikelola/digarap.19

18

Wawancara dengan W. Manurung, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.

19

Wawancara dengan Muller Gultom, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.

Mereka juga melihat bahwa tanah yang telah dilepaskan itu tidak dimanfaatkan/diterlantarkan oleh PT. Kwala Gunung. Penuntutan pengembalian tanah yang telah diganti tersebut akan menjadi bagian dari penelitian ini, yaitu apakah perbuatan tersebut diperbolehkan oleh hukum.


(28)

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan teknik analisis data secara kualitatif, yaitu menggunakan analisis kualitatif atau non-statistik. Pada analisis ini, penulis berfokus pada isi peraturan perundang-undangan (content analysis) atau mengenai penggambaran (description analysis) objek penelitian dengan naratif, sehingga penulis mudah menarik kesimpulan. Penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar tabel, yaitu tabel banyaknya curah hujan dan hari hujan menurut Stasiun Pengamat Cuaca Pusat Penelitian Marihat tahun 1989, keadaan penduduk berdasarkan jumlah dan jenis kelamin di Kabupaten Dati II Simalungun yang dirinci per kecamatan tahun 1989, banyaknya penduduk menurut golongan agama di Kecamatan Tanah Jawa pada tahun 1989, panjang jalan Negara di Kabupaten Dati II Simalungun dirinci menurut jenis permukaan, dan kondisi dan kelas jalan tahun 1989 serta keadaan sepanjang rintis batas pada areal inlijving.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Judul

2. Halaman Pengesahan/Persetujuan 3. Kata Pengantar

4. Daftar Isi 5. Daftar Tabel


(29)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

6. Abstrak

7. Bab Pendahuluan, berisi : Latar belakang

Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penulisan Keaslian Penulisan

Tinjauan Kepustakaan Metode Penelitian Sistematika Penulisan

8. Bab Pembahasan

9. Bab Penutup terdiri dari : Kesimpulan

Saran

10. Daftar Pustaka 11. Lampiran


(30)

(31)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007.

USU Repository © 2009

MARIAH HOMBANG KEPADA PT. KWALA GUNUNG

A. Keadaan Masyarakat Mariah Hombang dan PT. Kwala Gunung

Jumlah penduduk tahun 1989 dalam wilayah Kecamatan Tanah Jawa tercatat 126.910 jiwa dan luas wilayah 714,50 Km2

. Dengan demikian, densitas penduduk adalah rata-rata 178 jiwa/Km2. Penduduk asli daerah ini adalah suku Batak Simalungun dan suku Batak Toba, sedangkan suku Jawa, Aceh dan suku Batak dari Tapanuli Selatan adalah sebagai pendatang. Namun, bahasa Indonesia sudah dapat dimengerti seluruh masyarakat, sehingga bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Dan mengenai agama yang dianut oleh masyarakat Mariah Hombang, berdasarkan data pada Buku Kabupaten Simalungun dalam angka tahun 1989, penduduk Kecamatan Tanah Jawa sebahagian besar memeluk agama Kristen Protestan (47,49%).

Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani, yaitu jenis tanaman pangan, seperti padi dan palawija serta tanaman keras lainnya dari jenis buah-buahan seperti durian, jeruk manis, dan lain sebagainya. Berdasarkan data produksi beras tahun 1989, Kecamatan Tanah Jawa adalah produser beras terbesar di Kabupaten


(32)

Daerah Tingkat II Simalungun dengan angka produksi 83.134 ton, sedangkan kebutuhan pada kecamatan tersebut adalah 22.244 ton, berarti surplus 6.089 ton.

Mengenai PT. Kwala Gunung sebagai perusahaan yang memohon izin lokasi, penulis tidak mendapatkan data yang lengkap. Penulis hanya mengetahui data PT. Kwala Gunung20

Produk Utama : Minyak Goreng Sawit sebagai berikut :

Nama Perusahaan : Kwala Gunung, PT.

Alamat Pabrik : Dusun V. Patumbak Kampung

Propinsi : Sumatera Utara

Kabupaten : Deli Serdang

Kecamatan : Petumbak

Telp. Pabrik : 061-525854

Alamat Kantor : Jl. Hos. Cokroaminoto No. 16 Medan

Kontak : Alwi

Jabatan : Direktur

No. KLUI : 15144

Uraian : Industri Minyak Goreng dari Minyak Kelapa Sawit

20


(33)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Selain data PT. Kwala Gunung di atas, penulis juga menemukan informasi mengenai data detail PT. Kwala Gunung yang menurut penulis bahwa PT. Kwala Gunung juga mempunyai cabang perusahaan. Data PT. Kwala Gunung21

21

yang juga penulis peroleh adalah sebagai berikut :

Nama Perusahaan : Kwala Gunung, PT. Alamat Pabrik : Ds. Pkb. Kwala Gunung

Propinsi : Sumatera Utara

Kabupaten : Asahan

Kecamatan : Limapuluh

Telp. Pabrik : 525854

Alamat Kantor : Jl. Hos. Cokroaminoto No. 16 Medan

Telp. Kantor : (061) 525854

Kontak : Toni Lumban Tobing

Jabatan : Administratur

No. KLUI : 15141

Uraian : Ind. Minyak Kasar (Minyak Makan) dari Nabati dan Hewani


(34)

Produk Utama : CPO

PT. Kwala Gunung sebagai investor yang berniat membuka usaha di bidang Perkebunan mengajukan permohonan kepada Pemerintah untuk usaha tersebut, sehingga dikeluarkanlah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/2757/K/Tahun 1989, tanggal 27 September 1989. Berdasarkan Bahan Rapat Tim Teknis Tetap tanggal 3 Desember 1990, permasalahan yang timbul setelah dikeluarkannya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/2757/K/Tahun 1989, yaitu : telah berakhir masa berlakunya, areal telah dikuasai masyarakat, dan ada sebagian masyarakat yang tidak bersedia melepaskan tanah dengan ganti rugi. Kemudian, dikeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/3785/K/90 Tahun 1990 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung.

Berdasarkan Izin Lokasi yang diberikan Gubernur pada tahun 1990, PT. Kuala Gunung melakukan pembebasan lahan dengan memberikan ganti rugi atas tanah garapan dan tanaman yang ada di atasnya dengan bukti penerimaan yang ditandatangani oleh masing-masing pihak. Jumlah ganti rugi yang telah diberikan oleh PT. Kwala Gunung atas pelepasan lahan masyarakat seluas 212,10 Ha untuk 70 orang masyarakat.

Berdasarkan Izin Lokasi yang diberikan Gubernur pada Tahun 1991, PT. Kwala Gunung melakukan pengembalian pengganti dana reboisasi untuk areal inliving


(35)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

seluas 687,50 Ha yang mengakibatkan peralihan hak atas areal inliving yang semula merupakan hak pemerintah melalui Dinas Kehutanan menjadi hak PT. Kwala Gunung. Dari dokumen yang ada diketahui bahwa masyarakat yang pernah menguasai dan menggarap lahan eks inliving oleh PT. Kwala Gunung telah diberikan ganti rugi sebesar Rp. 103.283.100,- untuk 51 orang warga.

Berdasarkan Bahan Rapat Kelompok Kerja (Pokja), tanggal 7 Mei 1991, PT. Kwala Gunung dengan Surat Nomor 60/KG/II/1991, tanggal 4 Maret 1991 memohon untuk memperoleh Areal Inlijving Kehutanan seluas ± 687,50 Ha di Desa Bosar Galugur dan Desa Mariah Hombang, Kecamatan Tanah Jawa, Dati II Simalungun untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Simalungun dengan Suratnya Nomor 593/2373/Pemum-91, tanggal 13 Maret 1991 menyatakan :

1. Areal inlijving kehutanan seluas ± 687,50 Ha berbatasan langsung dengan areal izin lokasi/penyediaan tanah untuk perkebunan kelapa sawit PT. Kwala Gunung, yang saat ini sedang dalam proses pembebasan atau ganti rugi.

2. Sebagian besar areal tersebut ditumbuhi alang-alang dan sebagian lagi telah digarap penduduk dengan tanaman palawija.

3. Areal tersebut telah pernah direboisasi oleh pihak Kehutanan dengan tanaman pinus, namun terbakar hanya tinggal beberapa pohon pinus.


(36)

4. Pihak kami tidak merasa keberatan dan mendukung permohonan PT. Kwala Gunung tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Setelah membaca Surat Permohonan PT. Kwala Gunung Nomor 60/KG/II/1991, tanggal 4 Maret 1991 tentang Permohonan Izin Lokasi/Penyediaan Tanah pada Areal Inlijving Kehutanan seluas ± 687,50 Ha di Desa Bosar Galugur/Mariah Hombang, Kecamatan Tanah Jawa, Dati II Simalungun untuk Keperluan Perkebunan Kelapa Sawit dan Surat Bupati KDH Tk. II Simalungun Nomor 593/2373/Pemum-91, tanggal 23 Maret 1991 menyatakan tidak merasa keberatan dan mendukung permohonan PT. Kwala Gunung teersebut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, maka dikeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 593.41/2807/K/Tahun 1991, tanggal 10 Oktober 1991 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

a. Bahwa sesuai dengan Pola Dasar Pembangunan Lima Tahun Tahap V Propinsi Dati I Sumatera Utara guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah perlu dikembangkan dan disertakan usaha-usaha swsta dalam poses pembangunan.


(37)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

b. Bahwa penetapan izin lokasi/penyediaan tanah untuk pembangunan pada areal tanah di luar Kawasan Hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan adalah wewenang Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara.

c. Bahwa guna menjamin kepastian hukum tentang penetapan izin

lokasi/penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut perlu dituangkan dalam suatu Surat Keputusan.

Berdasarkan SK Gubernur KDH Tk. I Nomor 593.41/2807/K/Tahun 1991, tanggal 10 Oktober 1991 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung, maka areal inlijving seluas ± 2.000 Ha termasuk eks inlijving seluas 687,50 Ha. Oleh PT. Kwala Gunung, ganti rugi kepada Departemen Kehutanan telah dipenuhi sesuai ketentuan yang berlaku. Pada tanggal 25 Mei 2006, telah diadakan peninjauan lapangan terhadap areal izin lokasi, termasuk pada areal inlijving oleh Pemkab Simalungun bersama-sama dengan PT. Dita. Areal inlijving PT. Kwala Gunung yang di lapangan, sekarang izinnya sudah beralih kepada PT. Dita, telah diusahai oleh masyarakat pada saat kunjungan lapangan, tetapi ada masyarakat, yaitu Pak Gultom mengetahui bahwa areal tersebut memang eks inlijving dan telah pernah menerima ganti rugi dari PT. Kwala Gunung.

Adapun Izin Lokasi kepada PT. Dita dikeluarkan oleh Bupati Simalungun pada bulan September 2005 dan masa izin 1 (satu) tahun. Untuk selanjutnya, PT. Dita


(38)

melakukan konsolidasi kepemilikan lahannya di lapangan. Hasil rapat tanggal 7 Juni 2006, akan dibentuk tim dari Kabupaten Simalungun untuk mendata ulang di lapangan, terhadap areal-areal yang diklaim PT. Dita dan masyarakat. Apabila PT. Dita memohon untuk rekonstruksi batas eks inlijving dimaksud, maka disarankan untuk mengikutsertakan Balai Pengukuran dan Perpetaan Kehutanan Wilayah II Pematang Siantar.

Dan mengenai izin lokasi dapat dijelaskan bahwa izin lokasi atau pencadangan tanah ialah suatu keputusan izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau pejabat lain yang berwenang, yang diberikan kepada suatu badan hukum misalnya, Perseroan Terbatas atau subjek hukum lainnya untuk menguasai suatu bidang tanah dengan luasan tertentu di suatu lokasi untuk suatu peruntukan penggunaan tanah yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana pengembangan suatu wilayah.

Sasaran penerbitan izin lokasi/pencadangan tanah adalah dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan khususnya setiap tahapan pelita, untuk menciptakan suatu suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi bagi kegiatan-kegiatan pembangunan.

Manfaat izin lokasi/pencadangan tanah, antara lain :

− Mencukupi kebutuhan pengusaha atau pihak lain akan tanah, sehingga diperoleh manfaat pada semua pihak.


(39)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada − Terselenggaranya tertib penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku, sehingga tanah yang tersedia benar-benar dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya.

− Terciptanya tertib hukum dan administrasi pertanahan, sehingga tanah dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan.

− Terciptanya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang sinkron dan terpadu antar satu sektor dengan sektor lainnya dan tidak terjadi tumpang tindih atau sengketa kepentingan dan peruntukan.

− Terciptanya pengendalian peruntukan dan penggunaan tanah yang tidak semestinya, sehingga terhindar adanya kerusakan tanah dan lingkungannya.

Ketentuan-ketentuan mengenai penyediaan tanah untuk keperluan perusahaan di atas diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974. Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut mengatur tentang penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan, baik untuk perumahan (real estate) maupun industrial estate, dan keperluan penyediaan industri dan untuk kepentingan lainnya. Lokasi perusahaan ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dengan memperhatikan planologi daerah. Syarat-syaratnya, antara lain :

menghindari areal pertanian subur


(40)

dihindari pemindahan penduduk dicegah adanya pencemaran

B. Sengketa Hukum atas Tanah

Timbulnya sengketa hukum atas tanah adalah bermula dari pengaduan suatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.22

22

Rusmadi Murad, S.H., Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, Alumni, Bandung, 1999, Hal. 22.

Akan tetapi, dari alasan-alasan tersebut di atas, sebenarnya tujuannya

akan berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah sengketa. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari sifat atau masalah yang diajukan, sehingga prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan.

Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara lain :


(41)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

a. Masalah/persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.

b. Bantahan terhadap suatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak (perdata).

c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar.

d. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat strategis).

Kita sering dibingungkan dengan istilah “masalah” di samping istilah “sengketa”. Suatu masalah dapat bersifat teknis semata-mata yang penyelesaiannya cukup berupa petunjuk-petunjuk teknis/instruksi dinas yang biasanya merupakan cara pemecahan apabila suatu aparat pelaksana menemukan kesulitan teknis peraturan. Ini adalah fungsi dari Bimbingan Teknis, akan tetapi apabila yang mengajukan usul tersebut seorang warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh karena suatu penetapan seorang pejabat, misalnya seorang pemohon hak milik ternyata hanya dikabulkan dengan Hak Guna Bangunan atau hak lain, maka ini adalah tugas Pelayanan Masyarakat yang merupakan fungsi penyelesaian sengketa hukum/masalah hak-hak atas tanah.


(42)

Sengketa pertanahan mencakup jumlah yang cukup besar dan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Jika dirinci, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa pertanahan tersebut terdiri dari orang-perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum, badan hukum dengan Instansi Pemerintah termasuk di dalamnya TNI dan Polri serta masyarakat dengan masyarakat. Sedangkan sengketa pertanahan tersebut dapat dikelompokkan dalam 8 (delapan) tipe, yakni : penguasaan dan pemilikan tanah, penetapan hak dan pendaftaran tanah, batas/letak bidang tanah, pembebasan/pengadaan tanah, tanah objek landreform, tuntutan ganti rugi tanah partikelir, tanah ulayat dan pelaksanaan putusan pengadilan.

Rumitnya penyelesaian kasus pertanahan diakui Kepala BPN sebab sengketa tanah bersifat sosial, sehingga penyelesaiannya harus ditangani tidak parsial, tetapi sistematik antara aturan dan kelembagaan. Penyelesaian sengketa akan dilakukan dengan program Reforma Agraria. Dalam penyelesaian kasus-kasus pertanahan memang diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan konsisten serta berkesinambungan. Penyelesaian atas sengketa tanah tidak bisa dilakukan secara instan.

Sehubungan makin mencuatnya kasus-kasus pertanahan tersebut, Pakar Hukum Agraria, Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, S.H. MLI., mengusulkan perlunya dibentuk Pengadilan Ad-hoc (khusus) yang menangani kasus-kasus pertanahan.23 Ide itu sudah lama dilontarkan sekitar tahun 2000 lalu. Ide serupa juga pernah dilontarkan Prof.


(43)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Maria dari UGM. Menurut Guru Besar Hukum Agraria dari UI ini, kalau kasus kepailitan bisa dibawa ke Pengadilan Niaga (dalam Pengadilan Negeri), kenapa tidak bisa dibentuk adanya Pengadilan Khusus Tanah. Apalagi ini menyangkut perdata khusus yang setengahnya masalah administrasi. Jika diadakan sendiri Pengadilan Tanah dengan hakim-hakim yang benar-benar terdidik dan menguasai pertanahan, maka akan lebih baik. Dengan demikian, nantinya tuntutan akan lebih ke materinya, bukan ke formalitasnya saja. Dengan tuntutan itu pula, hakim-hakim nantinya perlu ditraining melihat kasus-kasus tanah yang ada. Dalam banyak putusan kasus tanah, sama sekali tidak mendasar pada substansi hukum tanah, melainkan lebih ke arah pembuktian, prosedur dan masalah administrasi negara.

Pendapat serupa juga disampaikan anggota DPR, M. Nasir Djamil dan Ny. Moestokoweni Moerdi, untuk menangani kasus-kasus pertanahan yang makin meningkat dan kompleks, maka perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pertanahan.24

23

http://dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_contennt&task=view&id=24...

Pasalnya, hampir 90% kasus pertanahan di Indonesia dimenangkan oleh pihak swasta dan disinyalir hakim-hakim di pengadilan kurang menguasai masalah pertanahan. Menurut Ny. Moestokoweni, adanya Pengadilan Khusus, maka bisa mempercepat penyelesaian sengketa pertanahan. Di pihak BPN sendiri juga perlu melakukan pembenahan-pembenahan, seperti memperbaiki administrasi pertanahan secara on line system, mempercepat pemetaan tanah dan menghilangkan biaya tinggi, pungli dan semacamnya sebab membebani rakyat yang akan mengurus surat-surat tanah.


(44)

Pembentukan Pengadilan Pertanahan sebaiknya dengan dasar hukum keppres, sifatnya sementara untuk mempercepat penyelesaian sengketa tanah. Dengan adanya Pengadilan Khusus, maka sengketa bisa cepat diselesaikan sejalan dengan tekad Pemerintah melakukan Reforma Agraria. Dengan Pengadilan khusus juga diharapkan para mafia tanah yang selama ini membuat kisruh kasus pertanahan akan bisa diberantas.

Terkait dengan banyaknya sengketa tanah ini, maka selain Pengadilan Khusus, juga diperlukan Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). Lembaga ini di Indonesia belum ada, sehingga kasus tanah langsung diselesaikan lewat pengadilan. Padahal dalam proses pengadilan banyak yang dikorbankan, baik waktu, tenaga, pikiran serta biaya yang mahal, sementara eksekusi tidak bisa langsung dilaksanakan. Alternatif penyelesaian lewat PSA ini, sebelum suatu kasus masuk ke pengadilan, perlu dibuat mekanisme PSA. Di antaranya, membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan. Kalau lembaga mediasi mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa, sedangkan arbitrase melakukan penyelesaian di luar pengadilan, tetapi berkas ada di pengadilan.

Sebagaimana diketahui, masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat konstan tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah semakin


(45)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

menambah tingginya nilai tanah. Dalam prakteknya, pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum, baik yang dilakukan Pemerintah maupun swasta sering kali menjadi salah satu penyebab sengketa atas tanah yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik berupa konflik yang disebabkan oleh pengalihan hak milik warga atau hak ulayat masyarakat adat untuk kegiatan pembangunan atau investasi mapun sengketa tanah yang melibatkan pihak aparat seperti TNI dan kepolisian.

Potensi konflik yang diakibatkan sengketa tanah hingga sekarang masih kerap terjadi. Sengketa tanah berawal dari sisi regulasi dan implementasi yang belum bisa berjalan dengan semestinya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu pemikiran kritis dan konstruktif guna mengantisipasi persoalan dan perkembangan hukum pertanahan. Melalui pemikiran konstruktif dan kritis, maka produk hukum pertanahan yang dihasilkan diharapkan benar-benar bijak, bertanggung jawab dan tidak memihak. Untuk menyelesaikan sengketa tanah diperlukan penanganan menyeluruh dan sistematis.

Nasir Djamil menilai penyebab terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia karena masih lemahnya manajemen pengelolaan tanah. Menurutnya, semua aturan yang terkait dengan pertanahan perlu ditinjau kembali supaya ke depan tidak terjadi lagi konflik atau sengketa tanah di masyarakat. Manajemen pengelolaan tanah dan sistem informasi pertanahan serta regulasi pertanahan (UUPA) masih lemah dan perlu dilihat kembali. Menurutnya, dalam UUPA ada beberapa pasal yang sudah tidak efektif dan ada beberapa hal yang belum diakomodir di undang-undang tersebut.


(46)

Tidak efektifnya UUPA untuk diterapkan disebabkan lamanya umur UUPA, perubahan dinamika kehidupan manusia, perkembangan tanah dan besarnya kepentingan orang akan tanah.

Guna meminimalisir sengketa pertanahan yang kemungkinan dapat terjadi di kemudian hari, Nasir Djamil mendesak Pemerintah melalui BPN untuk melakukan pembenahan. Pembenahan yang harus segera dilakukan BPN, yaitu pembenahan politik dan hukum pertanahan serta pemetaan tanah. Pemetaan tanah menjadi urusan dari BPN karena berkaitan dengan pengukuran dan menggunakan teknologi untuk pemetaan tanah. Sementara, untuk pembenahan politik dan hukum, lebih kepada DPR ikut membantu Pemerintah untuk membuat aturan-aturan agar permasalahan tanah dapat terselesaikan. Jika dalam perjalanan, ada beberapa kelemahan yang timbul, itu adalah konsekuensi dari lemahnya UUPA.

Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan Pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia, belum ada langkah PSA. Selama ini, permasalahan sengketa pertanahan selalu diselesaikan di pengadilan. Persoalan sengketa pertanahan di Indonesia harus sebisa mungkin dihindari prosesnya di pengadilan. Untuk meningkatkan kinerja BPN, khususnya dalam meminimalisir kasus sengketa pertanahan, BPN melakukan restrukturisasi dengan menambah Deputi di dua bidang, yaitu Deputi Sengketa dan Deputi


(47)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Pengukuran Tanah. Menurut Nasir Djamil, pengukuran tanah juga sering menjadi salah satu faktor sengketa tanah.

Munculnya Keppres Nomor 65 Tahun 2006 adalah revisi dari Keppres Nomor 36 Tahun 2005. Keppres Nomor 36 Tahun 2005 mendapat penolakan dari berbagai kalangan, khususnya para petani. Penolakan atas keppres itu bermunculan karena dinilai tidak berpihak kepada petani. Alasannya, aturan itu tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. DPR pun memberi rekomendasi agar keppres itu ditunda dan direvisi. Namun, bagi para petani dan pemerhati hak asasi manusia, revisi itu isinya setali tiga uang. Sebagaimana pendahulunya, Keppres Nomor 65 Tahun 2006 tetap dianggap berpihak pada kepentingan kapital, khususnya dunia infrastruktur. Koalisi lembaga swadaya masyarakat seperti YLBHI, PBHI, KPA, dan FSPI dengan tegas menolak keppres tersebut. Mereka, misalnya menunjuk Pasal 13 dalam keppres itu sebagai salah satu contoh ketidakberpihakan Pemerintah terhadap rakyat, khususnya petani. Pasal itu hanya menyatakan, untuk pelepasan tanah, ganti rugi yang diberikan bisa berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, dan atau gabungan dari itu atau bentuk ganti kerugian lain. Padahal, harusnya penggantian kerugian menjamin mereka yang dirugikan untuk tidak mengalami penurunan kualitas hidup. Ganti kerugian itu mestinya juga mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pemerintah dianggap kurang peka terhadap tuntutan rakyat, khususnya petani yang membutuhkan tanah. Koalisi LSM itu kemudian merujuk UUPA yang dianggap lebih memberi tempat dan jaminan bagi petani. Gunawan dari Perhimpunan Bantuan


(48)

Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengemukakan, dalam UUPA itu hak petani untuk memperoleh dan memiliki tanah dijamin. Ada konsolidasi tanah yang kemudian menjadi subjek Reforma Agraria.

Dalam Pasal 11 misalnya, disebutkan jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa Pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat. Dalam ayat berikutnya, bahkan Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi dan perorangan yang bersifat monopoli swasta.

Gunawan mengungkapkan, UUPA itu memang memberi jaminan kepada rakyat kecil kepemilikan tanah dan mencegah munculnya tuan tanah.25

Namun, kelemahan dari UUPA adalah idiom-idiom sosialisme Indonesia yang tentu saja tidak lagi berlaku untuk saat ini. Namun, aturan itu dalam banyak hal, tetap cocok untuk saat ini karena mampu meredam munculnya konflik agraria dan dapat menjadi dasar bagi strategi pembangunan ekonomi yang lebih luas. Usep Setiawan mengatakan, Keppres Nomor 65 Tahun 2006 jelas-jelas menjadi karpet merah bagi investor. Keppres Nomor 65 Tahun 2006 dilihat dalam posisi yang lebih memihak pemilik modal. Kebijakan itu dilihat sebagai komitmen Pemerintah yang berencana menggelar Infrastructure Summit II. Saragih mengemukakan, dari Pasal 5 Keppres Nomor 65


(49)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Tahun 2006 itu tampak bahwa semua proyek yang disebutkan dalam pasal itu adalah proyek-proyek dalam bidang infrastruktur.

Ada beberapa ketentuan peraturan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum mengenai fungsi penyelesaian sengketa hukum, antara lain Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan pada Pasal 12 dan 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 serta dasar operasionalnya yang dapat kita temukan di dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Agraria Propinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya, yaitu pada Pasal 35.

Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum ini belum diatur secara konkrit, seperti mekanisme permohonan hak atas tanah (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973). Oleh karena itu, penyelesaian kasus per kasus tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam. Akan tetapi, dari beberapa pengalaman yang ada, pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih samar-samar.

Mekanisme penanganan sengketa26

1. Pengaduan

tersebut lazimnya diselenggarakan dengan pola sebagai berikut :

26

Rusmadi Murad, S.H., Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991, Hal. 24.


(50)

Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan lampirannya bukti-bukti dan mohon penyelesaian disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya.

2. Penelitian

Terhadap penanganan tersebut kemudian dilakukan penelitian, baik berupa pengumpulan data/administratif maupun hasil penelitian fisik di lapangan (mengenai penguasaannya). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut. Jika ternyata terdapat dugaan kuat bahwa pengaduan tersebut dapat diproses, maka lebih lanjut diselesaikan melalui tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan mutatis mutandis menyatakan tanah tersebut dalam keadaan sengketa. Namun, apabila pengaduan tersebut mengandung alasan-alasan yang kuat atau masalahnya terlalu prinsipil dan harus menempuh proses lembaga atau instansi lain, maka kepada yang bersangkutan diberitahukan hal-hal


(51)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

tersebut dan ternyata dinyatakan bahwa pengaduan tidak atau belum dapat dipertimbangkan.

3. Pencegahan Mutasi (Status Quo)

Sebagai tindak lanjut dari penyelesaian sengketa tersebut di atas, kemudian baik atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah-langkah pengamanan berupa pencegahan/penghentian untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan (mutasi). Maksud dari pencegahan adalah menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan. Kegunaannya yang pertama adalah untuk kepentingan penelitian di dalam penyelesaian sengketa (status quo). Kalau tidak demikian, penyelesaian sengketa akan mengalami kesulitan di dalam meletakkan keputusannya nanti. Misalnya, tanah yang dalam keadaan sengketa diperjualbelikan, sehingga keputusannya akan merugikan pihak pembeli yang beritikad baik. Kegunaan yang kedua adalah untuk kepentingan pemohon sendiri. Sebab apabila tidak dilakukan penghentian, sudah tentu pengaduan tersebut tidak akan ada gunanya.


(52)

Istilah-istilah sehubungan dengan pencegahan kita mengenal istilah “pembeslahan”, biasanya dalam kaitannya dengan proses di pengadilan. “penyegelan” yang lazim dipergunakan oleh instansi kepolisian atau kejaksaan untuk keperluan penyidikan dan istilah “pemblokiran”, yaitu istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat umum, yang maksud dan artinya adalah sama dengan pencegahan mutasi.

Yang berwenang untuk menyatakan atau memerintahkan pencegahan mutasi menurut ketentuan peraturan yang berlaku adalah :

1. Menteri Dalam Negeri ic. Direktur Jenderal Agraria

2. Instansi pengadilan sehubungan dengan penetapan suatu sita terhadap tanah (PP Nomor 10 Tahun 1961)

3. Secara tidak langsung instansi lain yang berkepentingan dengan perizinan bangunan atau instansi penyidikan (kepolisian, kejaksaan). Yang terakhir, di dalam menempatkan pemblokiran atau pembeslahan seyogianya memberitahukan hal tersebut kepada Instansi Agraria, akan tetapi sering hal itu jarang dilaksanakan, sehingga sering menimbulkan kesulitan penyelesaian.

Syarat-syarat untuk dapat dilakukan pencegahan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian :


(53)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

a. Terdapat alasan yang sah, misalnya si pemohon atau pengadu akan terancam haknya, apabila tidak dilakukan pencegahan.

b. Demi kepentingan hukum perlu dilakukan pencegahan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian.

Apabila syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, misalnya si pengadu ternyata tidak mempunyai kepentingan terhadap tanah yang bersangkutan, maka pengaduan tersebut harus dijawab dengan memberikan pertimbangan penolakan.

4. Musyawarah

Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah. Tindakan ini tidak jarang menempatkan pihak Instansi Pemerintah ic. Direktur Jenderal Agraria untuk menempatkan dirinya sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan. Untuk itu, diperlukan sikap tidak memihak serta tidak melakukan tekanan-tekanan, akan tetapi tidak berarti bahwa mediator tersebut harus bersikap pasif. Pihak Agraria harus mengemukakan beberapa cara penyelesaian, menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul, yang dikemukakan kepada para pihak.


(54)

Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga. Hal-hal semacam ini biasanya kita temukan dalam akta perdamaian, baik yang dilakukan di muka hakim maupun di luar pengadilan atau notaris.

5. Penyelesaian melalui Pengadilan

Apabila usaha-usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu, atau ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh instansi lain yang berwenang misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan. Hal tersebut di atas tidak menutup kemungkinan bagi Instansi Agraria untuk dapat memutuskan sengketa dengan mengeluarkan suatu keputusan administrasi sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Jadi, pada umumnya sifat dari sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya.


(55)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Adakalanya pihak warga yang bersangkutan tidak dapat menerima suatu keputusan/kebijaksanaan yang ditetapkan Pemerintah dengan alasan antara lain: penetapan tersebut memiliki kekurangan dan dipandang tidak adil, sehingga sangat merugikan dirinya. Dasar yang digunakan sebagai alasan gugatan di pengadilan biasanya berupa dalil bahwa Pemerintah di dalam menerbitkan keputusan tersebut, telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overhidsdaad). Gugatan atau tuntutan warga masyarakat terhadap Pemerintah ini pada hakekatnya merupakan salah satu jenis sengketa di bidang hukum administrasi.

Sering dipersoalkan, lembaga lembaga peradilan mana yang berwenang memeriksa gugatan seperti tersebut di atas. Yurisprudensi menjawab masalah ini dengan pendapat bahwa selama lembaga peradilan administrasi negara belum dibentuk, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa gugatan-gugatan tersebut, dengan menggunakan hukum acara yang berlaku bagi pengadilan tersebut (Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 28/JS/1983G).

Sebagaimana diketahui, hukum acara bagi pemeriksaan sengketa-sengketa perdata dengan berpedoman kepada HIR, R.bg dan RV (Surat Edaran Mahkamah Agung Tahun 1963) timbul suatu keganjilan, yaitu terhadap materi gugatan yang menyangkut hukum administrasi, akan tetapi diselenggarakan dengan menggunakan ketentuan hukum acara perdata.

Di dalam Ilmu Hukum, yang dimaksud dengan hak pada hakekatnya adalah suatu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap suatu benda


(56)

maupun orang, sehingga di antaranya menimbulkan hubungan hukum. Jadi, apabila seseorang memperoleh hak atas tanah, maka terhadap orang tersebut telah melekat kekuasaan atas tanah tersebut dengan dibatasi kewajiban yang diperintahkan oleh hukum. Pembatalan pada dasarnya adalah suatu perbuatan yang bermaksud memutuskan, menghentikan atau menghapuskan suatu hubungan hukum. Di dalam hukum (peraturan) kita mengenal ajaran kebatalan (nietigheid, nulliteit), yaitu yang membedakan antara pengertian :

1. Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut kebatalan demi hukum, yaitu suatu perbuatan harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak atau tidak perlu dituntut secara tegas. Ini disebut absolute nietigheid.

2. Kebatalan nisbi adalah suatu kebatalan perbuatan yang terjadi apabila diminta oleh orang tertentu. Jadi, ada syarat bagi orang tersebut untuk memohon/menuntut secara tegas. Ini disebut relatif nietigheid.

Biasanya tuntutan yang diajukan oleh salah satu pihak karena cacat hukum berupa paksaan, kekeliruan, penipuan, dan lain-lain. Pembatalan nisbi ini terbagi menjadi dua macam, yaitu :

1. Batas atas kekuatan sendiri (nietig van rechtswege), dimana kepada hakim dimintakan agar menyatakan batal (nietig verklaard) misalnya, perbuatan tersebut di kemudian hari ternyata mengandung cacat.


(57)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

2. Dapat dibatalkan (vernietigbaar), dimana hakim akan membatalkan apabila terbukti perbuatan tersebut mengandung hal-hal yang menyebabkan batal, misalnya, paksaan, kekeliruan, penipuan, dan lain-lain.

Di dalam buku KUH Perdata (BW) pada Pasal 1320 s.d. Pasal 1337 dinyatakan bahwa suatu persetujuan mengakibatkan batal apabila mengandung paksaan, penipuan, kekhilafan, ketidakcakapan si pembuat dan tanpa sebab (kausa tidak halal). Sedangkan mengenai kebatalan dalam arti “nietigheid” diberikan dalam hal :

a. Kebatalan sebagaimana ditegaskan oleh undang-undang atau kebatalan resmi (textuela of formela nulliteit), yaitu kebatalan yang didalilkan oleh pembuat undang-undang secara tegas sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan peraturan.

b. Kebatalan pokok hakiki atau yang sebenarnya (essentiele, substantif, vertrek nulliteit) yang karena sifat masalah dan kepentingan suatu peraturan walaupun tidak dinyatakan secara tegas oleh hakim adalah batal.

Sebelumnya telah diuraikan bahwa dengan diberikannya hak/diperolehnya hak (atas tanah) tersebut kepada seseorang, maka terjalinlah hubungan hukum antara pemegang hak tersebut dengan tanahnya. Perolehan hak tersebut dapat dibedakan dalam hal :


(58)

a. Orang tersebut memperoleh haknya secara originair. Misalnya, okupasi, membuka hutan, pemberian hak dari Pemerintah.

b. Pemberian dengan cara derivatief, yaitu yang dicabut oleh UUPA dan PP Nomor 10 Tahun 1961, maka stelsel yang digunakan dalam administrasi pendaftaran tanah kita adalah stelsel negatif.

Di dalam stelsel ini terkandung pengertian bahwa tanda bukti hak (sertifikat) yang dipegang seseorang belum menunjukkan orang tersebut sebagai pemegang hak yang sebenarnya. Dengan perkataan lain, tanda bukti terkuat atas tanah, oleh sertifikat tersebut setiap waktu dapat dibatalkan apabila ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik yang sebenarnya. Lain halnya di dalam sistem yang positif, yaitu tanda bukti hak seseorang atas tanah adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila ternyata terdapat bukti yang cacat, menunjukkan cacat hukum dari perolehan hak tersebut, maka ia tidak dapat menuntut pembatalan kecuali tuntutan pembayaran ganti kerugian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA yang memberikan wewenang hak menguasai negara terhadap bumi, air dan ruang angkasa khususnya tanah, tersirat di dalamnya mengatur hubungan hukum seseorang terhadap tanah yang dalam hal ini adalah termasuk pemutusan hubungan atau pembatalan hak seseorang atas tanah.

Maka demikianlah suatu prosedur “uitwijzing” (Stb. 1872 Nomor 118), yaitu suatu penetapan hakim yang menyatakan bahwa seseorang ditetapkan sebagai pemilik tanah sejak berlakunya UUPA telah tidak berlaku lagi, oleh karena wewenang untuk


(59)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

mengatur hubungan hukum dan menetapkan hak seseorang atas tanah telah ditegaskan dalam undng-undang tersebut, yaitu menjadi wewenang Pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, pembatalan hak atas tanah adalah secara struktural organisatoris merupakan wewenang Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria.

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan hukum tidak sah dengan akibat dokumen/surat-surat bukti tersebut dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan, secara umum ketentuannya dapat kita temukan dalam beberapa pasal KUH Perdata (BW), misalnya :

Pasal 617 : Setiap akta yang bermaksud memindahkan kebendaan tidak bergerak, harus dibuat dalam bentuk otentik dengan ancaman pembatalan.

Pasal 1312 : Suatu persetujuan adalah tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan.

Pasal 1323 : Paksaan merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, apabila hal tersebut dilakukan oleh pihak ketiga.


(60)

Pasal 1328 : Penipuan juga merupakan alasan untuk pembatalan persetujuan.

Pasal 1330 : Ketidakcakapan di dalam membuat persetujuan dapat dituntut pembatalannya.

Pasal 1341 : Setiap debitur boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang diwajibkan, dan lain-lain pasal yang tidak cukup disebutkan di sini.

Dari beberapa uraian pasal-pasal tersebut, jelas bahwa banyak sekali pengertian batal yang harus diteliti secara seksama sebelum kita menilai batalnya suatu perbuatan/dokumen hukum tersebut. Yang penting bagi kita adalah bagaimana menarik kesimpulan bahwasanya suatu perbuatan oleh sesuatu peraturan dinyatakan batal, apabila telah diperoleh suatu keputusan hakim atau pernyataan/kesepakatan para pihak pembuat persetujuan. Sudah barang tentu, dengan pembatalan ini tidak dapat untuk mengesampingkan begitu saja, seandainya barang yang menjadi objek persetujuan tersebut telah dimiliki/dialihkan kepada pihak lain.

Boedi Harsono berpendapat bahwa setelah berlakunya UUPA, maka di dalam suatu permohonan hak tanah, sesuatu hak kebendaan beralih secara kontan/serentak pada saat terjadi jual beli (akta PPAT). Pengertian itikad (baik/buruk) seorang pihak ketiga di dalam memperoleh benda yang kemudian menjadi objek sengketa merupakan masalah penafsiran terhadap suatu perbuatan hukum, dimana penilaian


(61)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

atau dugaan hukumnya hanya dapat disimpulkan oleh hakim melalui pemeriksaan/keputusan pengadilan. Bagi kita, hal tersebut hanya dapat dinilai dari segi administratifnya. Apabila peralihan benda tersebut dilakukan melalui proses yang benar, maka dapat disimpulkan peralihan seorang tersebut telah mengandung itikad baik.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan UUPA ditentukan bahwa suatu hak atas tanah akan hapus apabila :

a. Karena berakhir jangka waktu haknya

b. Dibatalkan, disebabkan suatu syarat tidak dipenuhi oleh pemegang hak atas tanah tersebut

c. Dicabut haknya (onteigening)

d. Secara sukarela dilepaskan oleh pemegang haknya

Kita mengenal lembaga perbuatan pencabutan hak atas tanah (onteigening) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961. Di dalam undang-undang tersebut, disyaratkan bahwa pencabutan hak harus dilaksanakan dengan suatu Keputusan Presiden setelah memenuhi ketentuan bahwa pencabutan hak tersebut dilakukan untuk kepentingan umum seperti yang ditetapkan di dalam Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1971.


(62)

a. Mencampuradukkan pengertian lembaga pembebasan tanah, yang tata caranya diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, yang berhasil dari pembaruan Bijblad no. 11372, 18476 yang kesemuanya iu dianggap seolah-olah sama dengan lembaga pencabutan hak, sehingga sering disimpulkan adanya kejumbuhan (overlapping) peraturan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa peraturan di atas bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961. Apabila kita lebih teliti mempelajari maksud dan tujuan dari Penjelasan

Umum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tersebut, maka yang ditonjolkan dalam peraturan tersebut adalah segi musyawarahnya dan segi kesukarelaan dari si pemilik tanah di dalam melepaskan hak atas tanahnya. Oleh karena itu, pembatalan tanah tersebut tidak lain adalah sama dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud dalam UUPA di atas.

b. Sering orang mempersamakan pengertian pencabutan hak tersebut dengan pembatalan hak/pencabutan Surat Keputusan pemberian hak atas tanah. Di dalam Penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang wewenang Pemberian Hak atas tanah, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan suatu haknya atas tanah, bukan berarti pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun 1961, yaitu untuk kepentingan umum, melainkan pembatalan suatu


(63)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

hak yang disebabkan karena penerimaan hak tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pemberian Haknya atau terdapat kekeliruan/kesalahan di dalam pemberian haknya.

Khusus mengenai kekeliruan dimaksud adalah bukan semata-mata kekeliruan adminitrasi saja, melainkan juga meliputi kekeliruan hukum misalnya, penerapan peraturannya atau alasan hak yang diajukan sebagai alasan permohonannya dalam keadaan tidak mempunyai kekuatan hukum, yang kemudian diketahui dengan atau tanpa melalui hasil putusan pengadilan.

Di dalam setiap Surat Keputusan pemberian hak yang bentuknya telah ditetapkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973, selalu dicantumkan syarat-syarat yang harus dipatuhi dan diterima oleh pemohon/penerima hak, yaitu bahwa segala akibat untung rugi yang timbul karena pemberian hak ini maupun dalam segala tindakan penyelesaian atas sebidang tanah tersebut adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penerima hak. Dengan diterimanya Surat Keputusan pemberian hak tersebut oleh yang bersangkutan, maka syarat tersebut di atas telah mengikat secara hukum dan harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dari hal-hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya pencabutan hak, pembebasan tanah dan pembatalan hak tersebut masing-masing adalah lembaga-lembaga yang berdiri sendiri dengan maksud dan tujuan hukum yang berlainan.

Bertitik tolak dari adanya 2 (dua) macam perolehan hak atas tanah yang originair dan deritatief, maka dengan sendirinya menimbulkan beberapa


(64)

cara/prosedur pembatalan. Di dalam hal suatu hak yang diperoleh secara originair, besar kemungkinannya terjadi kesalahan di dalam penetapan yang dikarenakan misalnya, cacatnya bukti perolehan, kesalahan penerapan peraturan, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak lain yang sebenarnya menurut asas umum pemberian hak adalah yang berhak.

Mekanisme permohonan pembatalan hak belum diatur secara terinci dan lengkap sebagaimana tata cara permohonan hak atas tanah negara (PMDN Nomor 5 Tahun 1973) atau konversi hak (PMPA Nomor 2 Tahun 1962). Akan tetapi, sesuai dengan kebiasaan dalam praktek permohonan tersebut dapat diajukan melalui daerah dengan poses seperti permohonan hak biasa untuk selanjutnya diajukan ke Direktorat Jenderal Agraria untuk memperoleh keputusan atau yang bersangkutan mengajukan secara langsung kepada Direktorat Jenderal Agraria. Tata cara yang baik adalah permohonan dilakukan secara berjenjang mulai dari daerah. Oleh karena dengan demikian, diharapkan seluruh informasi secara lengkap dan kelengkapan-kelengkapan data tanah sudah termuat di dalam permohonan pembatalan haknya.

Kelengkapan-kelengkapan yang diperlukan untuk bahan pertimbangan suatu keputusan pembatalan hak adalah :

1. Keputusan (lengkap) pengadilan apabila kasus tersebut sudah diperiksa di pengadilan disertai Berita Acara Eksekusi, apabila keputusan tersebut bersifat condemnatoir atau keterangan mengenai telah tetapnya keputusan tersebut dari pengadilan yang bersangkutan.


(65)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

2. Hasil pemeriksaan ke lapangan, yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk dari Kantor Agraria Daerah.

3. Berita Acara perdamaian/kesepakatan apabila memang kasus tersebut diselesaikan secara musyawarah.

4. Peta/gambar situasi.

5. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.

6. Surat-surat lain yang mendukung data tanah tersebut.

Oleh karena kemungkinan sertifikat hak yang dibutuhkan tersebut masih beredar di masyarakat, maka unuk menghindarkan kerugian lebih lanjut bagi mereka yang tidak mengetahui adanya sengketa, keputusan pembatalan tersebut harus diumumkan di dalam suatu mass media yang beredar umum dengan maksud agar masyarakat mengetahui dan tidak ada alasan bagi mereka yang membeli untuk menunjuk dirinya sebagai pembeli yang beritikad baik.

Sering kita menemui suatu keadaan, dimana sertifikat yang dibatalkan tersebut telah beralih kepada pihak ketiga dengan suatu titel hukum tertentu secara sah. Akan tetapi, oleh karena pengalihan tersebut tidak diikuti segera dengan perbuatan balik namanya, maka dalam administrasi pendaftaran tanah untuk hak tersebut masih tertulis atas nama pemilik yang lama (penjual). Apabila timbul hal yang demikian, maka kepada pembeli tersebut diberikan kesempatan untuk mengajukan bantahannya


(1)

Berkaitan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap masyarakat yang menuntut haknya, maka penulis mengharapkan kepada pihak kepolisian agar memberikan perlindungan hukum kepada korban konflik agraria antara masyarakat petani Nagori Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung yang telah melimpahkan secara sepihak kewenangannya pada pengusaha lokal bernama Helarius Gultom dan Barita Doloksaribu. Perlindungan hukum menjadi sedemikian penting mengingat sengketa ini telah diupayakan menuju penyelesaiannya oleh pihak Pemkab Simalungun dan Pansus Tanah DPRD Simalungun. Penulis juga mengharapkan kepada pihak BPN, baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kotamadya, agar segera mengakomodasi penyelesaian konflik agraria Nagori Mariah Hombang dengan mengutamakan keadilan bagi masyarakat miskin dalam Program Pembaruan Agraria Nasional yang hendak di jalankan di Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Bahry, Zainal, S.H. 1993. Kamus Umum Khususnya di Bidang Hukum dan Politik. Angkasa Bandung : Bandung.

Collin, P.H. 2000. Dictionary of Law. Third Edition. Peter Collin Publishing : London.

Harsono, Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia. Jilid I Hukum Tanah Nasional. Djambatan : Jakarta.

Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita S.H., M.Hum. 2005. Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah, Edisi Revisi. Tugu Jogja : Yogyakarta.

Kalo, Syafruddin. 2004. Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pustaka Bangsa Press : Jakarta.

Murad, Rusmadi, S.H. 1999. Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah. Alumni : Bandung.

Parlindungan, A.P. 1993. Pencabutan dan Pembebasan Hak atas Tanah : Suatu Perbandingan. Mandar Maju : Bandung.

Ranuhandoko, I.P.M., B.A. 1996. Terminologi Hukum Inggris-Indonesia. Sinar Grafika : Jakarta.

Sarjita, S.H., M.Hum. 2005. Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah. Cet 10. Tugu Jogja Pustaka : Yogyakarta.


(3)

Peraturan Perundang-undangan

Undang–undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang–undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di atasnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1979 tentang Tim Koordinasi Penanganan Masalah Pertanahan.

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, digantikan oleh Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, kemudian digantikan oleh Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan.


(4)

Ketentuan-Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/2807/K Tahun 1991 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung.

Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sumatera Utara Nomor 275/II/Kwl-5/1992 tentang Pengukuran Lahan Inlijving/Areal Reboisasi.

Wawancara

Wawancara dengan Hiskia Simarmata selaku Kasi Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan pada BPN Simalungun, tanggal 5 Juni 2007.

Wawancara dengan Edward Pangaribuan selaku Staf Pegawai pada Balai Pengukuran dan Perpetaan Dinas Kehutanan Wilayah II Pematang Siantar, tanggal 28 Agustus 2007.

Wawancara dengan Luksen Manik selaku Sekretaris Desa Mariah Hombang, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.

Wawancara dengan Pak Samosir, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.

Wawancara dengan Muller Gultom, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.

Wawancara dengan W. Manurung, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.

Wawancara dengan Binahar Gultom, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.


(5)

Internet

http://www.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_content&task=blogca tegory&id=32&Itemid=32-16K

http://dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_content&task=view&id =24&Itemid=31

http://serikat-tani-nasional.blogspot.com/2007/06/sumatera-utara-kronik...

http://bantors-media.blogspot.com/2007/07/sidang-lanjutan-17-terdakwa-mariah...

http://binadesa.or.id/index2.php?option=com_content&do-pdf=1&id=50-

http://serikat-tani-nasional.blogspot.com/2007/08/sumatera-utara-17-petani...

http://hariansib.com/2007/10/25/kapolres-beri-jaminan-kepastian-hukum...

http://stn-sumedang.blogspot.com/2007/06-sengketa-tanah-petani-unjukrasa-di-dprd.

Surat Kabar

Posmetro Siantar, tanggal 21 April 2007 yang berjudul Palang Jalan Picu Konflik Petani-PT. Kwala Gunung.


(6)