Sengketa Hukum atas Tanah

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 29 dihindari pemindahan penduduk dicegah adanya pencemaran

B. Sengketa Hukum atas Tanah

Timbulnya sengketa hukum atas tanah adalah bermula dari pengaduan suatu pihak orangbadan yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. 22 22 Rusmadi Murad, S.H., Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, Alumni, Bandung, 1999, Hal. 22. Akan tetapi, dari alasan-alasan tersebut di atas, sebenarnya tujuannya akan berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari yang lain prioritas atas tanah sengketa. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari sifat atau masalah yang diajukan, sehingga prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan. Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara lain : Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 30 a. Masalahpersoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya. b. Bantahan terhadap suatu alas hakbukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak perdata. c. Kekeliruankesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurangtidak benar. d. Sengketamasalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis bersifat strategis. Kita sering dibingungkan dengan istilah “masalah” di samping istilah “sengketa”. Suatu masalah dapat bersifat teknis semata-mata yang penyelesaiannya cukup berupa petunjuk-petunjuk teknisinstruksi dinas yang biasanya merupakan cara pemecahan apabila suatu aparat pelaksana menemukan kesulitan teknis peraturan. Ini adalah fungsi dari Bimbingan Teknis, akan tetapi apabila yang mengajukan usul tersebut seorang warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh karena suatu penetapan seorang pejabat, misalnya seorang pemohon hak milik ternyata hanya dikabulkan dengan Hak Guna Bangunan atau hak lain, maka ini adalah tugas Pelayanan Masyarakat yang merupakan fungsi penyelesaian sengketa hukummasalah hak-hak atas tanah. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 31 Sengketa pertanahan mencakup jumlah yang cukup besar dan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Jika dirinci, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa pertanahan tersebut terdiri dari orang-perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum, badan hukum dengan Instansi Pemerintah termasuk di dalamnya TNI dan Polri serta masyarakat dengan masyarakat. Sedangkan sengketa pertanahan tersebut dapat dikelompokkan dalam 8 delapan tipe, yakni : penguasaan dan pemilikan tanah, penetapan hak dan pendaftaran tanah, batasletak bidang tanah, pembebasanpengadaan tanah, tanah objek landreform, tuntutan ganti rugi tanah partikelir, tanah ulayat dan pelaksanaan putusan pengadilan. Rumitnya penyelesaian kasus pertanahan diakui Kepala BPN sebab sengketa tanah bersifat sosial, sehingga penyelesaiannya harus ditangani tidak parsial, tetapi sistematik antara aturan dan kelembagaan. Penyelesaian sengketa akan dilakukan dengan program Reforma Agraria. Dalam penyelesaian kasus-kasus pertanahan memang diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan konsisten serta berkesinambungan. Penyelesaian atas sengketa tanah tidak bisa dilakukan secara instan. Sehubungan makin mencuatnya kasus-kasus pertanahan tersebut, Pakar Hukum Agraria, Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, S.H. MLI., mengusulkan perlunya dibentuk Pengadilan Ad-hoc khusus yang menangani kasus-kasus pertanahan. 23 Ide itu sudah lama dilontarkan sekitar tahun 2000 lalu. Ide serupa juga pernah dilontarkan Prof. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 32 Maria dari UGM. Menurut Guru Besar Hukum Agraria dari UI ini, kalau kasus kepailitan bisa dibawa ke Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri, kenapa tidak bisa dibentuk adanya Pengadilan Khusus Tanah. Apalagi ini menyangkut perdata khusus yang setengahnya masalah administrasi. Jika diadakan sendiri Pengadilan Tanah dengan hakim-hakim yang benar-benar terdidik dan menguasai pertanahan, maka akan lebih baik. Dengan demikian, nantinya tuntutan akan lebih ke materinya, bukan ke formalitasnya saja. Dengan tuntutan itu pula, hakim-hakim nantinya perlu ditraining melihat kasus-kasus tanah yang ada. Dalam banyak putusan kasus tanah, sama sekali tidak mendasar pada substansi hukum tanah, melainkan lebih ke arah pembuktian, prosedur dan masalah administrasi negara. Pendapat serupa juga disampaikan anggota DPR, M. Nasir Djamil dan Ny. Moestokoweni Moerdi, untuk menangani kasus-kasus pertanahan yang makin meningkat dan kompleks, maka perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pertanahan. 24 23 http:dpr.go.idmajalahparlementariaindex.php?option=com_contennttask=viewid=24........ Pasalnya, hampir 90 kasus pertanahan di Indonesia dimenangkan oleh pihak swasta dan disinyalir hakim-hakim di pengadilan kurang menguasai masalah pertanahan. Menurut Ny. Moestokoweni, adanya Pengadilan Khusus, maka bisa mempercepat penyelesaian sengketa pertanahan. Di pihak BPN sendiri juga perlu melakukan pembenahan-pembenahan, seperti memperbaiki administrasi pertanahan secara on line system, mempercepat pemetaan tanah dan menghilangkan biaya tinggi, pungli dan semacamnya sebab membebani rakyat yang akan mengurus surat-surat tanah. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 33 Pembentukan Pengadilan Pertanahan sebaiknya dengan dasar hukum keppres, sifatnya sementara untuk mempercepat penyelesaian sengketa tanah. Dengan adanya Pengadilan Khusus, maka sengketa bisa cepat diselesaikan sejalan dengan tekad Pemerintah melakukan Reforma Agraria. Dengan Pengadilan khusus juga diharapkan para mafia tanah yang selama ini membuat kisruh kasus pertanahan akan bisa diberantas. Terkait dengan banyaknya sengketa tanah ini, maka selain Pengadilan Khusus, juga diperlukan Penyelesaian Sengketa Alternatif PSA. Lembaga ini di Indonesia belum ada, sehingga kasus tanah langsung diselesaikan lewat pengadilan. Padahal dalam proses pengadilan banyak yang dikorbankan, baik waktu, tenaga, pikiran serta biaya yang mahal, sementara eksekusi tidak bisa langsung dilaksanakan. Alternatif penyelesaian lewat PSA ini, sebelum suatu kasus masuk ke pengadilan, perlu dibuat mekanisme PSA. Di antaranya, membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan. Kalau lembaga mediasi mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa, sedangkan arbitrase melakukan penyelesaian di luar pengadilan, tetapi berkas ada di pengadilan. Sebagaimana diketahui, masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat konstan tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah semakin 24 http:dpr.go.idmajalahparlementariaindex.php?option=com_contennttask=viewid=24........ Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 34 menambah tingginya nilai tanah. Dalam prakteknya, pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum, baik yang dilakukan Pemerintah maupun swasta sering kali menjadi salah satu penyebab sengketa atas tanah yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik berupa konflik yang disebabkan oleh pengalihan hak milik warga atau hak ulayat masyarakat adat untuk kegiatan pembangunan atau investasi mapun sengketa tanah yang melibatkan pihak aparat seperti TNI dan kepolisian. Potensi konflik yang diakibatkan sengketa tanah hingga sekarang masih kerap terjadi. Sengketa tanah berawal dari sisi regulasi dan implementasi yang belum bisa berjalan dengan semestinya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu pemikiran kritis dan konstruktif guna mengantisipasi persoalan dan perkembangan hukum pertanahan. Melalui pemikiran konstruktif dan kritis, maka produk hukum pertanahan yang dihasilkan diharapkan benar-benar bijak, bertanggung jawab dan tidak memihak. Untuk menyelesaikan sengketa tanah diperlukan penanganan menyeluruh dan sistematis. Nasir Djamil menilai penyebab terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia karena masih lemahnya manajemen pengelolaan tanah. Menurutnya, semua aturan yang terkait dengan pertanahan perlu ditinjau kembali supaya ke depan tidak terjadi lagi konflik atau sengketa tanah di masyarakat. Manajemen pengelolaan tanah dan sistem informasi pertanahan serta regulasi pertanahan UUPA masih lemah dan perlu dilihat kembali. Menurutnya, dalam UUPA ada beberapa pasal yang sudah tidak efektif dan ada beberapa hal yang belum diakomodir di undang-undang tersebut. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 35 Tidak efektifnya UUPA untuk diterapkan disebabkan lamanya umur UUPA, perubahan dinamika kehidupan manusia, perkembangan tanah dan besarnya kepentingan orang akan tanah. Guna meminimalisir sengketa pertanahan yang kemungkinan dapat terjadi di kemudian hari, Nasir Djamil mendesak Pemerintah melalui BPN untuk melakukan pembenahan. Pembenahan yang harus segera dilakukan BPN, yaitu pembenahan politik dan hukum pertanahan serta pemetaan tanah. Pemetaan tanah menjadi urusan dari BPN karena berkaitan dengan pengukuran dan menggunakan teknologi untuk pemetaan tanah. Sementara, untuk pembenahan politik dan hukum, lebih kepada DPR ikut membantu Pemerintah untuk membuat aturan-aturan agar permasalahan tanah dapat terselesaikan. Jika dalam perjalanan, ada beberapa kelemahan yang timbul, itu adalah konsekuensi dari lemahnya UUPA. Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan Pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan Penyelesaian Sengketa Alternatif PSA. Saat ini di Indonesia, belum ada langkah PSA. Selama ini, permasalahan sengketa pertanahan selalu diselesaikan di pengadilan. Persoalan sengketa pertanahan di Indonesia harus sebisa mungkin dihindari prosesnya di pengadilan. Untuk meningkatkan kinerja BPN, khususnya dalam meminimalisir kasus sengketa pertanahan, BPN melakukan restrukturisasi dengan menambah Deputi di dua bidang, yaitu Deputi Sengketa dan Deputi Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 36 Pengukuran Tanah. Menurut Nasir Djamil, pengukuran tanah juga sering menjadi salah satu faktor sengketa tanah. Munculnya Keppres Nomor 65 Tahun 2006 adalah revisi dari Keppres Nomor 36 Tahun 2005. Keppres Nomor 36 Tahun 2005 mendapat penolakan dari berbagai kalangan, khususnya para petani. Penolakan atas keppres itu bermunculan karena dinilai tidak berpihak kepada petani. Alasannya, aturan itu tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. DPR pun memberi rekomendasi agar keppres itu ditunda dan direvisi. Namun, bagi para petani dan pemerhati hak asasi manusia, revisi itu isinya setali tiga uang. Sebagaimana pendahulunya, Keppres Nomor 65 Tahun 2006 tetap dianggap berpihak pada kepentingan kapital, khususnya dunia infrastruktur. Koalisi lembaga swadaya masyarakat seperti YLBHI, PBHI, KPA, dan FSPI dengan tegas menolak keppres tersebut. Mereka, misalnya menunjuk Pasal 13 dalam keppres itu sebagai salah satu contoh ketidakberpihakan Pemerintah terhadap rakyat, khususnya petani. Pasal itu hanya menyatakan, untuk pelepasan tanah, ganti rugi yang diberikan bisa berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, dan atau gabungan dari itu atau bentuk ganti kerugian lain. Padahal, harusnya penggantian kerugian menjamin mereka yang dirugikan untuk tidak mengalami penurunan kualitas hidup. Ganti kerugian itu mestinya juga mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pemerintah dianggap kurang peka terhadap tuntutan rakyat, khususnya petani yang membutuhkan tanah. Koalisi LSM itu kemudian merujuk UUPA yang dianggap lebih memberi tempat dan jaminan bagi petani. Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 37 Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia PBHI mengemukakan, dalam UUPA itu hak petani untuk memperoleh dan memiliki tanah dijamin. Ada konsolidasi tanah yang kemudian menjadi subjek Reforma Agraria. Dalam Pasal 11 misalnya, disebutkan jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa Pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat. Dalam ayat berikutnya, bahkan Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi dan perorangan yang bersifat monopoli swasta. Gunawan mengungkapkan, UUPA itu memang memberi jaminan kepada rakyat kecil kepemilikan tanah dan mencegah munculnya tuan tanah. 25 25 http:dpr.go.idmajalahparlementariaindex.php?option=com_contenttask=viewid=24.......... Namun, kelemahan dari UUPA adalah idiom-idiom sosialisme Indonesia yang tentu saja tidak lagi berlaku untuk saat ini. Namun, aturan itu dalam banyak hal, tetap cocok untuk saat ini karena mampu meredam munculnya konflik agraria dan dapat menjadi dasar bagi strategi pembangunan ekonomi yang lebih luas. Usep Setiawan mengatakan, Keppres Nomor 65 Tahun 2006 jelas-jelas menjadi karpet merah bagi investor. Keppres Nomor 65 Tahun 2006 dilihat dalam posisi yang lebih memihak pemilik modal. Kebijakan itu dilihat sebagai komitmen Pemerintah yang berencana menggelar Infrastructure Summit II. Saragih mengemukakan, dari Pasal 5 Keppres Nomor 65 Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 38 Tahun 2006 itu tampak bahwa semua proyek yang disebutkan dalam pasal itu adalah proyek-proyek dalam bidang infrastruktur. Ada beberapa ketentuan peraturan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum mengenai fungsi penyelesaian sengketa hukum, antara lain Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan pada Pasal 12 dan 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 serta dasar operasionalnya yang dapat kita temukan di dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Agraria Propinsi dan Kantor Agraria KabupatenKotamadya, yaitu pada Pasal 35. Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum ini belum diatur secara konkrit, seperti mekanisme permohonan hak atas tanah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973. Oleh karena itu, penyelesaian kasus per kasus tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam. Akan tetapi, dari beberapa pengalaman yang ada, pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih samar-samar. Mekanisme penanganan sengketa 26 1. Pengaduan tersebut lazimnya diselenggarakan dengan pola sebagai berikut : 26 Rusmadi Murad, S.H., Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991, Hal. 24. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 39 Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohonpengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan lampirannya bukti-bukti dan mohon penyelesaian disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya. 2. Penelitian Terhadap penanganan tersebut kemudian dilakukan penelitian, baik berupa pengumpulan dataadministratif maupun hasil penelitian fisik di lapangan mengenai penguasaannya. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut. Jika ternyata terdapat dugaan kuat bahwa pengaduan tersebut dapat diproses, maka lebih lanjut diselesaikan melalui tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan mutatis mutandis menyatakan tanah tersebut dalam keadaan sengketa. Namun, apabila pengaduan tersebut mengandung alasan-alasan yang kuat atau masalahnya terlalu prinsipil dan harus menempuh proses lembaga atau instansi lain, maka kepada yang bersangkutan diberitahukan hal-hal Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 40 tersebut dan ternyata dinyatakan bahwa pengaduan tidak atau belum dapat dipertimbangkan. 3. Pencegahan Mutasi Status Quo Sebagai tindak lanjut dari penyelesaian sengketa tersebut di atas, kemudian baik atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah-langkah pengamanan berupa pencegahanpenghentian untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan mutasi. Maksud dari pencegahan adalah menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan. Kegunaannya yang pertama adalah untuk kepentingan penelitian di dalam penyelesaian sengketa status quo. Kalau tidak demikian, penyelesaian sengketa akan mengalami kesulitan di dalam meletakkan keputusannya nanti. Misalnya, tanah yang dalam keadaan sengketa diperjualbelikan, sehingga keputusannya akan merugikan pihak pembeli yang beritikad baik. Kegunaan yang kedua adalah untuk kepentingan pemohon sendiri. Sebab apabila tidak dilakukan penghentian, sudah tentu pengaduan tersebut tidak akan ada gunanya. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 41 Istilah-istilah sehubungan dengan pencegahan kita mengenal istilah “pembeslahan”, biasanya dalam kaitannya dengan proses di pengadilan. “penyegelan” yang lazim dipergunakan oleh instansi kepolisian atau kejaksaan untuk keperluan penyidikan dan istilah “pemblokiran”, yaitu istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat umum, yang maksud dan artinya adalah sama dengan pencegahan mutasi. Yang berwenang untuk menyatakan atau memerintahkan pencegahan mutasi menurut ketentuan peraturan yang berlaku adalah : 1. Menteri Dalam Negeri ic. Direktur Jenderal Agraria 2. Instansi pengadilan sehubungan dengan penetapan suatu sita terhadap tanah PP Nomor 10 Tahun 1961 3. Secara tidak langsung instansi lain yang berkepentingan dengan perizinan bangunan atau instansi penyidikan kepolisian, kejaksaan. Yang terakhir, di dalam menempatkan pemblokiran atau pembeslahan seyogianya memberitahukan hal tersebut kepada Instansi Agraria, akan tetapi sering hal itu jarang dilaksanakan, sehingga sering menimbulkan kesulitan penyelesaian. Syarat-syarat untuk dapat dilakukan pencegahan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian : Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 42 a. Terdapat alasan yang sah, misalnya si pemohon atau pengadu akan terancam haknya, apabila tidak dilakukan pencegahan. b. Demi kepentingan hukum perlu dilakukan pencegahan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian. Apabila syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, misalnya si pengadu ternyata tidak mempunyai kepentingan terhadap tanah yang bersangkutan, maka pengaduan tersebut harus dijawab dengan memberikan pertimbangan penolakan. 4. Musyawarah Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah. Tindakan ini tidak jarang menempatkan pihak Instansi Pemerintah ic. Direktur Jenderal Agraria untuk menempatkan dirinya sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan. Untuk itu, diperlukan sikap tidak memihak serta tidak melakukan tekanan-tekanan, akan tetapi tidak berarti bahwa mediator tersebut harus bersikap pasif. Pihak Agraria harus mengemukakan beberapa cara penyelesaian, menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kesulitan- kesulitan yang mungkin timbul, yang dikemukakan kepada para pihak. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 43 Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga. Hal-hal semacam ini biasanya kita temukan dalam akta perdamaian, baik yang dilakukan di muka hakim maupun di luar pengadilan atau notaris. 5. Penyelesaian melalui Pengadilan Apabila usaha-usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu, atau ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh instansi lain yang berwenang misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan. Hal tersebut di atas tidak menutup kemungkinan bagi Instansi Agraria untuk dapat memutuskan sengketa dengan mengeluarkan suatu keputusan administrasi sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Jadi, pada umumnya sifat dari sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatanprioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 44 Adakalanya pihak warga yang bersangkutan tidak dapat menerima suatu keputusankebijaksanaan yang ditetapkan Pemerintah dengan alasan antara lain: penetapan tersebut memiliki kekurangan dan dipandang tidak adil, sehingga sangat merugikan dirinya. Dasar yang digunakan sebagai alasan gugatan di pengadilan biasanya berupa dalil bahwa Pemerintah di dalam menerbitkan keputusan tersebut, telah melakukan perbuatan melawan hukum onrechtmatige overhidsdaad. Gugatan atau tuntutan warga masyarakat terhadap Pemerintah ini pada hakekatnya merupakan salah satu jenis sengketa di bidang hukum administrasi. Sering dipersoalkan, lembaga lembaga peradilan mana yang berwenang memeriksa gugatan seperti tersebut di atas. Yurisprudensi menjawab masalah ini dengan pendapat bahwa selama lembaga peradilan administrasi negara belum dibentuk, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa gugatan-gugatan tersebut, dengan menggunakan hukum acara yang berlaku bagi pengadilan tersebut Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 28JS1983G. Sebagaimana diketahui, hukum acara bagi pemeriksaan sengketa-sengketa perdata dengan berpedoman kepada HIR, R.bg dan RV Surat Edaran Mahkamah Agung Tahun 1963 timbul suatu keganjilan, yaitu terhadap materi gugatan yang menyangkut hukum administrasi, akan tetapi diselenggarakan dengan menggunakan ketentuan hukum acara perdata. Di dalam Ilmu Hukum, yang dimaksud dengan hak pada hakekatnya adalah suatu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap suatu benda Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 45 maupun orang, sehingga di antaranya menimbulkan hubungan hukum. Jadi, apabila seseorang memperoleh hak atas tanah, maka terhadap orang tersebut telah melekat kekuasaan atas tanah tersebut dengan dibatasi kewajiban yang diperintahkan oleh hukum. Pembatalan pada dasarnya adalah suatu perbuatan yang bermaksud memutuskan, menghentikan atau menghapuskan suatu hubungan hukum. Di dalam hukum peraturan kita mengenal ajaran kebatalan nietigheid, nulliteit, yaitu yang membedakan antara pengertian : 1. Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut kebatalan demi hukum, yaitu suatu perbuatan harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak atau tidak perlu dituntut secara tegas. Ini disebut absolute nietigheid. 2. Kebatalan nisbi adalah suatu kebatalan perbuatan yang terjadi apabila diminta oleh orang tertentu. Jadi, ada syarat bagi orang tersebut untuk memohonmenuntut secara tegas. Ini disebut relatif nietigheid. Biasanya tuntutan yang diajukan oleh salah satu pihak karena cacat hukum berupa paksaan, kekeliruan, penipuan, dan lain-lain. Pembatalan nisbi ini terbagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Batas atas kekuatan sendiri nietig van rechtswege, dimana kepada hakim dimintakan agar menyatakan batal nietig verklaard misalnya, perbuatan tersebut di kemudian hari ternyata mengandung cacat. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 46 2. Dapat dibatalkan vernietigbaar, dimana hakim akan membatalkan apabila terbukti perbuatan tersebut mengandung hal-hal yang menyebabkan batal, misalnya, paksaan, kekeliruan, penipuan, dan lain- lain. Di dalam buku KUH Perdata BW pada Pasal 1320 s.d. Pasal 1337 dinyatakan bahwa suatu persetujuan mengakibatkan batal apabila mengandung paksaan, penipuan, kekhilafan, ketidakcakapan si pembuat dan tanpa sebab kausa tidak halal. Sedangkan mengenai kebatalan dalam arti “nietigheid” diberikan dalam hal : a. Kebatalan sebagaimana ditegaskan oleh undang-undang atau kebatalan resmi textuela of formela nulliteit, yaitu kebatalan yang didalilkan oleh pembuat undang-undang secara tegas sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan peraturan. b. Kebatalan pokok hakiki atau yang sebenarnya essentiele, substantif, vertrek nulliteit yang karena sifat masalah dan kepentingan suatu peraturan walaupun tidak dinyatakan secara tegas oleh hakim adalah batal. Sebelumnya telah diuraikan bahwa dengan diberikannya hakdiperolehnya hak atas tanah tersebut kepada seseorang, maka terjalinlah hubungan hukum antara pemegang hak tersebut dengan tanahnya. Perolehan hak tersebut dapat dibedakan dalam hal : Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 47 a. Orang tersebut memperoleh haknya secara originair. Misalnya, okupasi, membuka hutan, pemberian hak dari Pemerintah. b. Pemberian dengan cara derivatief, yaitu yang dicabut oleh UUPA dan PP Nomor 10 Tahun 1961, maka stelsel yang digunakan dalam administrasi pendaftaran tanah kita adalah stelsel negatif. Di dalam stelsel ini terkandung pengertian bahwa tanda bukti hak sertifikat yang dipegang seseorang belum menunjukkan orang tersebut sebagai pemegang hak yang sebenarnya. Dengan perkataan lain, tanda bukti terkuat atas tanah, oleh sertifikat tersebut setiap waktu dapat dibatalkan apabila ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik yang sebenarnya. Lain halnya di dalam sistem yang positif, yaitu tanda bukti hak seseorang atas tanah adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila ternyata terdapat bukti yang cacat, menunjukkan cacat hukum dari perolehan hak tersebut, maka ia tidak dapat menuntut pembatalan kecuali tuntutan pembayaran ganti kerugian. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA yang memberikan wewenang hak menguasai negara terhadap bumi, air dan ruang angkasa khususnya tanah, tersirat di dalamnya mengatur hubungan hukum seseorang terhadap tanah yang dalam hal ini adalah termasuk pemutusan hubungan atau pembatalan hak seseorang atas tanah. Maka demikianlah suatu prosedur “uitwijzing” Stb. 1872 Nomor 118, yaitu suatu penetapan hakim yang menyatakan bahwa seseorang ditetapkan sebagai pemilik tanah sejak berlakunya UUPA telah tidak berlaku lagi, oleh karena wewenang untuk Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 48 mengatur hubungan hukum dan menetapkan hak seseorang atas tanah telah ditegaskan dalam undng-undang tersebut, yaitu menjadi wewenang Pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, pembatalan hak atas tanah adalah secara struktural organisatoris merupakan wewenang Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan hukum tidak sah dengan akibat dokumensurat-surat bukti tersebut dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan, secara umum ketentuannya dapat kita temukan dalam beberapa pasal KUH Perdata BW, misalnya : Pasal 617 : Setiap akta yang bermaksud memindahkan kebendaan tidak bergerak, harus dibuat dalam bentuk otentik dengan ancaman pembatalan. Pasal 1312 : Suatu persetujuan adalah tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Pasal 1323 : Paksaan merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, apabila hal tersebut dilakukan oleh pihak ketiga. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 49 Pasal 1328 : Penipuan juga merupakan alasan untuk pembatalan persetujuan. Pasal 1330 : Ketidakcakapan di dalam membuat persetujuan dapat dituntut pembatalannya. Pasal 1341 : Setiap debitur boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang diwajibkan, dan lain-lain pasal yang tidak cukup disebutkan di sini. Dari beberapa uraian pasal-pasal tersebut, jelas bahwa banyak sekali pengertian batal yang harus diteliti secara seksama sebelum kita menilai batalnya suatu perbuatandokumen hukum tersebut. Yang penting bagi kita adalah bagaimana menarik kesimpulan bahwasanya suatu perbuatan oleh sesuatu peraturan dinyatakan batal, apabila telah diperoleh suatu keputusan hakim atau pernyataankesepakatan para pihak pembuat persetujuan. Sudah barang tentu, dengan pembatalan ini tidak dapat untuk mengesampingkan begitu saja, seandainya barang yang menjadi objek persetujuan tersebut telah dimilikidialihkan kepada pihak lain. Boedi Harsono berpendapat bahwa setelah berlakunya UUPA, maka di dalam suatu permohonan hak tanah, sesuatu hak kebendaan beralih secara kontanserentak pada saat terjadi jual beli akta PPAT. Pengertian itikad baikburuk seorang pihak ketiga di dalam memperoleh benda yang kemudian menjadi objek sengketa merupakan masalah penafsiran terhadap suatu perbuatan hukum, dimana penilaian Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 50 atau dugaan hukumnya hanya dapat disimpulkan oleh hakim melalui pemeriksaankeputusan pengadilan. Bagi kita, hal tersebut hanya dapat dinilai dari segi administratifnya. Apabila peralihan benda tersebut dilakukan melalui proses yang benar, maka dapat disimpulkan peralihan seorang tersebut telah mengandung itikad baik. Sebagaimana diketahui, berdasarkan UUPA ditentukan bahwa suatu hak atas tanah akan hapus apabila : a. Karena berakhir jangka waktu haknya b. Dibatalkan, disebabkan suatu syarat tidak dipenuhi oleh pemegang hak atas tanah tersebut c. Dicabut haknya onteigening d. Secara sukarela dilepaskan oleh pemegang haknya Kita mengenal lembaga perbuatan pencabutan hak atas tanah onteigening sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961. Di dalam undang-undang tersebut, disyaratkan bahwa pencabutan hak harus dilaksanakan dengan suatu Keputusan Presiden setelah memenuhi ketentuan bahwa pencabutan hak tersebut dilakukan untuk kepentingan umum seperti yang ditetapkan di dalam Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1971. Kekeliruan pendapat tersebut umumnya adalah : Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 51 a. Mencampuradukkan pengertian lembaga pembebasan tanah, yang tata caranya diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, yang berhasil dari pembaruan Bijblad no. 11372, 18476 yang kesemuanya iu dianggap seolah-olah sama dengan lembaga pencabutan hak, sehingga sering disimpulkan adanya kejumbuhan overlapping peraturan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa peraturan di atas bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961. Apabila kita lebih teliti mempelajari maksud dan tujuan dari Penjelasan Umum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tersebut, maka yang ditonjolkan dalam peraturan tersebut adalah segi musyawarahnya dan segi kesukarelaan dari si pemilik tanah di dalam melepaskan hak atas tanahnya. Oleh karena itu, pembatalan tanah tersebut tidak lain adalah sama dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud dalam UUPA di atas. b. Sering orang mempersamakan pengertian pencabutan hak tersebut dengan pembatalan hakpencabutan Surat Keputusan pemberian hak atas tanah. Di dalam Penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang wewenang Pemberian Hak atas tanah, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan suatu haknya atas tanah, bukan berarti pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun 1961, yaitu untuk kepentingan umum, melainkan pembatalan suatu Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 52 hak yang disebabkan karena penerimaan hak tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pemberian Haknya atau terdapat kekeliruankesalahan di dalam pemberian haknya. Khusus mengenai kekeliruan dimaksud adalah bukan semata-mata kekeliruan adminitrasi saja, melainkan juga meliputi kekeliruan hukum misalnya, penerapan peraturannya atau alasan hak yang diajukan sebagai alasan permohonannya dalam keadaan tidak mempunyai kekuatan hukum, yang kemudian diketahui dengan atau tanpa melalui hasil putusan pengadilan. Di dalam setiap Surat Keputusan pemberian hak yang bentuknya telah ditetapkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973, selalu dicantumkan syarat-syarat yang harus dipatuhi dan diterima oleh pemohonpenerima hak, yaitu bahwa segala akibat untung rugi yang timbul karena pemberian hak ini maupun dalam segala tindakan penyelesaian atas sebidang tanah tersebut adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penerima hak. Dengan diterimanya Surat Keputusan pemberian hak tersebut oleh yang bersangkutan, maka syarat tersebut di atas telah mengikat secara hukum dan harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dari hal-hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya pencabutan hak, pembebasan tanah dan pembatalan hak tersebut masing-masing adalah lembaga- lembaga yang berdiri sendiri dengan maksud dan tujuan hukum yang berlainan. Bertitik tolak dari adanya 2 dua macam perolehan hak atas tanah yang originair dan deritatief, maka dengan sendirinya menimbulkan beberapa Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 53 caraprosedur pembatalan. Di dalam hal suatu hak yang diperoleh secara originair, besar kemungkinannya terjadi kesalahan di dalam penetapan yang dikarenakan misalnya, cacatnya bukti perolehan, kesalahan penerapan peraturan, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak lain yang sebenarnya menurut asas umum pemberian hak adalah yang berhak. Mekanisme permohonan pembatalan hak belum diatur secara terinci dan lengkap sebagaimana tata cara permohonan hak atas tanah negara PMDN Nomor 5 Tahun 1973 atau konversi hak PMPA Nomor 2 Tahun 1962. Akan tetapi, sesuai dengan kebiasaan dalam praktek permohonan tersebut dapat diajukan melalui daerah dengan poses seperti permohonan hak biasa untuk selanjutnya diajukan ke Direktorat Jenderal Agraria untuk memperoleh keputusan atau yang bersangkutan mengajukan secara langsung kepada Direktorat Jenderal Agraria. Tata cara yang baik adalah permohonan dilakukan secara berjenjang mulai dari daerah. Oleh karena dengan demikian, diharapkan seluruh informasi secara lengkap dan kelengkapan- kelengkapan data tanah sudah termuat di dalam permohonan pembatalan haknya. Kelengkapan-kelengkapan yang diperlukan untuk bahan pertimbangan suatu keputusan pembatalan hak adalah : 1. Keputusan lengkap pengadilan apabila kasus tersebut sudah diperiksa di pengadilan disertai Berita Acara Eksekusi, apabila keputusan tersebut bersifat condemnatoir atau keterangan mengenai telah tetapnya keputusan tersebut dari pengadilan yang bersangkutan. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 54 2. Hasil pemeriksaan ke lapangan, yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk dari Kantor Agraria Daerah. 3. Berita Acara perdamaiankesepakatan apabila memang kasus tersebut diselesaikan secara musyawarah. 4. Petagambar situasi. 5. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah. 6. Surat-surat lain yang mendukung data tanah tersebut. Oleh karena kemungkinan sertifikat hak yang dibutuhkan tersebut masih beredar di masyarakat, maka unuk menghindarkan kerugian lebih lanjut bagi mereka yang tidak mengetahui adanya sengketa, keputusan pembatalan tersebut harus diumumkan di dalam suatu mass media yang beredar umum dengan maksud agar masyarakat mengetahui dan tidak ada alasan bagi mereka yang membeli untuk menunjuk dirinya sebagai pembeli yang beritikad baik. Sering kita menemui suatu keadaan, dimana sertifikat yang dibatalkan tersebut telah beralih kepada pihak ketiga dengan suatu titel hukum tertentu secara sah. Akan tetapi, oleh karena pengalihan tersebut tidak diikuti segera dengan perbuatan balik namanya, maka dalam administrasi pendaftaran tanah untuk hak tersebut masih tertulis atas nama pemilik yang lama penjual. Apabila timbul hal yang demikian, maka kepada pembeli tersebut diberikan kesempatan untuk mengajukan bantahannya Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 55 di Pengadilan Negeri. Akibatnya Surat Keputusan pembatalan hak tersebut tertunda pelaksanaannya, menunggu keputusan Pengadilan Negeri dimaksud. Di samping penyelesaian sengketa hukum yang dilakukan secara fungsional, sebagaimana diuraikan di atas, kita juga mengenal sarana penanganan sengketa yang dilakukan secara khusus, baik melalui suatu tim berupa sekumpulan aparat fungsional antar departemen maupun aparat fungsional antar komponen Departemen Dalam Negeri atau aparat teknis yang merupakan kelompok kerja lapangan antar sub-sub komponen Direktorat Jenderal Agraria. Tujuan penanganan khusus ini adalah untuk mencapai sasaran penyelesaian secara koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simultan dengan maksud agar hasil penyelesaian dapat dilaksanakan secara baik, terpadu dan konsisten. Sengketa- sengketa yang ditangani secara khusus ini adalah jenis-jenis sengketa yang menurut sifatnya mengandung hal-hal yang strategis dan memerlukan penanganan secara koordinasi dan secara multifungsi. Kelompok penanganan khusus tersebut, antara lain : 1. Tim Khusus Agraria Tim ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1979, tanggal 28 April 1979, untuk tingkat pusat dan propinsi berfungsi sebagai alat untuk membantu Menteri Dalam Negeri dalam melaksanakan tugas pengendalian di bidang keagrarian. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 56 Tugas Tim adalah untuk : Menampungmenerima laporan permasalahansengketa mengadakan pemeriksaan dan penelitian terhadap kasus-kasus yang berupa penyimpanganpelanggaran atas berbagai peraturan perundangan agraria yang berlaku, mengadakan analisis dan saran-saran penyelesaian dan tindakan-tindakan terhadap masalah-masalahsengketa-sengketa serta kasus-kasus yang bersifat strategis. Susunan Keanggotaan Tim Pusat, terdiri atas : a. Direktur Jenderal Agraria sebagai Ketua merangkap anggota b. Wakil Opstib Pusat sebagai Wakil Ketua merangkap anggota c. Wakil dari Menteri Penertiban dan Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai anggota d. Wakil Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri sebagai anggota e. Wakil dari Biro Hukum Sekretariat Jenderal Departemen Dalam Negeri f. Wakil dari Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri sebagai anggota Tim yang berada di tingkat Propinsi adalah : Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 57 a. Kepala Direktorat Agraria sebagai Ketua merangkap anggota b. Wakil Opstida sebagai Wakil Ketua merangkap anggota c. Inspektur Wilayah Daerah Propinsi sebagai anggota d. Wakil Pemerintah Daerah sebagai anggota Tim-tim tersebut di atas dilengkapi dengan Dewan Sekretariat Gabungan yang dipimpin oleh seorang sekretaris bukan anggota. 2. Tim Koordinasi Penanganan Masalah Pertanahan Dalam rangka menangani masalah-masalah di bidang pertanahan, yang sifatnya lintas sektoral dan lintas instansional yang menyangkut program pembangunan Pemerintah, maka dibentuk Tim Koordinasi Penanganan Masalah Pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1979, tanggal 17 Oktober 1979, yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1985, tanggal 12 Juni 1985, dengan keanggotaan sebagai berikut : a. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai Ketua b. Menteri Muda Sekretaris Kabinet sebagai Wakil Ketua c. Staf Ahli Bidang Pertanahan Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai Sekretaris Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 58 d. Direktur Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri sebagai anggota e. Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri Departemen Keuangan sebagai anggota f. Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum sebagai anggota g. Sekretaris Menko EKUIN sebagai anggota h. Koordinator Opstib Pusat sebagai anggota i. Asisten II Kantor Menteri Lingkungan Hidup sebagai anggota j. Kepala Bidang Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan sebagai anggota k. Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Bappenas sebagai anggota 3. Team Task Force Penyelesaian MasalahSengketa Hak atas Tanah Direktorat Jenderal Agraria Dengan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat yang berkaitan dengan tugas-tugas keagrariaan khususnya penyelesaian permohonan dan pengaduan masalah atau sengketa hak atas tanah, maka untuk mempercepat dan menterpadukan penanganan tugas-tugas dimaksud, diperlukan koordinasi antara perangkat sub komponen Direktorat Jenderal Agraria, maka dibentuklah Team Task Force, Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 59 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri ic. Direktorat Jenderal Agraria Nomor SK.245DJA1983, tanggal 4 Oktober 1983, yang disempurnakan dengan Surat Keputusan Nomor 18DJA1985, tanggal 28 Oktober 1985. Tim ini bertugas membahas dan mengajukan saran-saran penyelesaian kepada Direktur Jendral Agraria atas permohonanpengaduan dan permasalahansengketa tanah. Permasalahan tersebut meliputi hal-hal : − Penyelesaian tunggakan permohonan hak atas tanah, yang menyangkut pelayanan masyarakat − Penyelesaian sengketa yang berakibat pembatalan hak dan sertifikat tanah − Penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan pelaksanaan landreform − Penyelesaian tugas-tugas lain yang secara khusus ditugaskan oleh Direktorat Jenderal Agraria 4. Tim Penanganan Kasus antar Komponen dan antar Departemen Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 60 Tim ini biasanya dibentuk secara insidentil, tergantung kepada kasus- kasus yang timbul yang perlu segera ditangani. Komponen yang sering terlibat dalam kegiatan ini adalah Inspektorat Jenderal Agraria untuk menangani kasus tertentu, dengan maksud penyelesaian selanjutnya akan diikuti tindakan-tindakan yang tidak terbatas kepada penyelesaian untuk tanahnya, tapi dapat diikuti dengan langkah-langkah aparaturnya dengan langkah-langkah pembinaan aparaturnya. Di samping itu, kadang-kadang dibentuk suatu tim antar departemen, yang biasanya adalah bermaksud untuk memperoleh hasil yang secara konsensuil dapat dilaksanakan bersama-sama oleh departemen masing-masing, secara fungsional dengan berpijak pada landasan yang telah digunakan dalam tim. 5. Forum Komunikasi Direktorat Jenderal Agraria dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia Forum ini belum dilembagakan secara yuridis, namun demikian dalam kenyataan pernah diselenggarakan beberapa kali. Maksud dan tujuan dari diselenggarakannya forum ini adalah mengingat bahwa antara kedua lembaga tersebut membutuhkan tukar menukar informasi, baik berupa langkah kebijaksanaan Pemerintah di bidang keagrariaan yang sedang ditempuh maupun hubungan kasus perkara di pengadilan, tentang apakah keputusan pengadilan tersebut apabila dilaksanakan akan menimbulkan Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 61 kesulitan bagi Pemerintah, oleh karena akan bertentangan dengan peraturan keagrariaan yang berlaku. Seperti diketahui, surat keputusan pengadilan yang baik adalah apabila keputusan tersebut terjamin pelaksanaannya. Demikian pula sebaliknya, Pemerintah akan memperoleh citra yang baik, apabila tugasnya sebagai pihak berperkara di pengadilan tidak dapat atau dianggap tidak mampu melaksanakan keputusan tersebut. Pada akhirnya, penyelesaian tersebut senantiasa harus memperhatikanselalu mendasarkan kepada peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan- kepentingan-kepentingan para pihak, menegakkan keadilan hukumnya serta penyelesaian ini diusahakan harus tuntas. C. Cara Penuntutan Pengembalian Tanah yang Dilakukan Masyarakat Mariah Hombang kepada PT. Kwala Gunung Masyarakat yang yakin tanahnya dikuasai oleh orang-orang yang tidak berhak atas tanah tersebut mulai resah dan membuat perkumpulan, selanjutnya membangun organisasi bernama Forum Petani Nagori Mariah Hombang FPNMH. 27 27 Masyarakat, melalui Forum Petani Nagori Mariah Hombang melakukan pengaduan ke DPRD Tk. http:binadesa.or.idindex2.php?option=com_contentdo_pdf=1id=50- Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 62 II Kabupaten Simalungun dalam bentuk audiensi di bulan April 2006. Namun, hal ini tidak mendapat respon yang serius. Lalu pada hari Sabtu, 22 April 2006, unjuk rasa pertama dilakukan dengan sasaran aksi DPRD Kabupaten Simalungun dan Pemkab Simalungun. Salah satu hasil unjuk rasa adalah janji kesediaan pihak DPRD untuk membuka ruang dialog antara rakyat, PT. Kwala Gunung, Dinas Kehutanan, BPN Kabupaten Simalungun, Camat, dan Kepala Desa. Jumat, 28 April 2006, berlangsunglah pertemuan yang dihadiri oleh Tata Pembangunan Kabupaten Simalungun, BPN Simalungun, Dinas Kehutanan Kabupaten Simalungun, Kepala Desa Mariah Hombang. Pihak camat tidak dapat menghadiri pertemuan tersebut. Kesepakatan yang dicapai bahwa DPRD akan membentuk Pansus Pengembalian Tanah Rakyat. Menurut salah seorang anggota dewan bahwa izin yang dimiliki oleh PT. Kwala Gunung telah gugur demi hukum. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Dinas Kehutanan bahwa lahan tersebut tidak termasuk ke dalam kawasan hutan Negara. Sementara menurut pihak BPN bahwa HGU untuk PT. Kwala Gunung tidak ada. Senin, 8 Mei 2006, masyarakat kembali berunjuk rasa ke Pemkab Simalungun untuk menuntut segera pengembalian tanah kepada rakyat. Dialog antara masyarakat dan Pemkab yang diwakili oleh Asisten I Tata Praja Pembangunan serta Komisi I DPRD Kabupaten Simalungun menghasilkan jadual pertemuan yang difasilitasi oleh Pemkab antara rakyat, DPRD, dan pihak PT. Kwala Gunung satu bulan ke depan. Dialog multipihak diadakan pada hari Selasa, 6 Juni 2006. Pemkab Simalungun yang Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 63 diwakili oleh Asisten I Tata Praja Pembangunan membuka ruang dialog penyelesaian kasus tanah tersebut. Namun pihak PT. Kwala Gunung tidak hadir melainkan digantikan oleh PT. Dita Fumindo yang tidak diketahui asal usul dan keterlibatannya terhadap kasus tersebut. Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Simalungun, Sabar Maruli Simarmata, mengusir perwakilan PT. Dita Fumindo dan mengecam Asisten I yang tidak konsisten dengan janjinya untuk menghadirkan pihak-pihak yang terkait kasus tersebut. Menurut informasi yang dihimpun Forum Petani Nagori Mariah Hombang, PT. Dita Fumindo mengantongi izin prinsip lokasi seluas 2.000 Ha di areal tanah rakyat Mariah Hombang dan sekitarnya dari Pemkab Simalungun bulan September 2005. Izin tersebut ditandatangani oleh Bupati Simalungun Periode 2000- 2005, Jhon Hugo Silalahi. Kamis, 15 Juni 2006, paling sedikit 5 lima buah truk yang diisi masyarakat melakukan unjuk rasa yang didampingi oleh Anggota Komisi A DPRD Tk. I Propinsi Sumut, Syamsul Hilal dari Fraksi PDIP, menuju gedung DPRD dan Pemkab Simalungun. Rakyat berhasil memaksa DPRD untuk menghadirkan Drs. Zulkarnain Damanik selaku Bupati Simalungun. Bupati berhasil dipertemukan dengan rakyat dan menyerahkan kepada rakyat untuk menduduki lahan tersebut sampai proses pengembalian tanah tersebut selesai. Aksi kali ini mendapat sokongan dari Komite Persiapan Wilayah Serikat Tani Nasional Sumatera Utara dan LSM Jagat Tanah Rakyat. Kasman Manurung selaku Ketua FPNMH melalui pernyataan sikap yang dikeluarkan pada tanggal 5 April 2007 menyatakan bahwa penundaan penyelesaian Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 64 tanah ini justru digunakan untuk meninabobokkan rakyat.. Menurutnya, pertemuan paska penangkapan dan kekerasan atas petani Nagori Mariah Hombang yang diselenggarakan oleh Pemkab Simalungun, 1 Mei 2007, pihak DPRD Simalungun dan Pemkab Simalungun justru menyudutkan petani. Tim yang diusulkan oleh masyarakat bertujuan menggali sejarah atas tanah, sehingga menemukan titik kesalahan yang sebenarnya. Namun, Pemkab Simalungun mengambil jalan pintas yang terjebak dalam proses surat-menyurat yang bisa direkayasa dengan mengatasnamakan hukum yang akhirnya merugikan petani. Surat- surat yang diperoleh Barita Doloksaribu pengusaha lokal atas tanah sengketa ditandatangani oleh Camat Hutabayu Raja, tanggal 12 Juni 2006. Padahal, pada pertemuan 28 Maret 2006, di DPRD Simalungun yang juga dihadiri oleh Camat Hutabayu Raja, ada penegasan untuk menghentikan segala bentuk jual-beli tanah yang dimaksud. Kasman Manurung juga mengatakan bahwa hal ini adalah bukti perselingkuhan dan pengkhianatan Pemerintah Simalungun atas rakyatnya sendiri. Tujuh belas orang yang berada dalam tahanan Polres Simalungun dijadikan penekan terhadap petani lainnya untuk mengikuti kemauan pengusaha. Hal ini diperburuk dengan sikap pihak kepolisian dalam menanggapi laporan masyarakat yang tergabung dalam FPNMH ke Polsek Tanah Jawa dan Polres Simalungun. Pengaduan masyarakat memang diterima oleh pihak kepolisian, tetapi hingga kini tidak pernah ditindaklanjuti, sementara pihak pengusaha, Barita Doloksaribu dan Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 65 pihak tuan tanah, Helarius Gultom yang merekayasa pengaduan ke Kepolisian Resort Simalungun langsung ditanggapi dengan baik. Bahkan, Pengadilan Negeri Simalungun memvonis 7 bulan penjara kepada 4 orang anggota FPNMH atas tuduhan pihak tuan tanah bahwa mereka melakukan perusakan. Tidak hanya itu, kekerasan atas masyarakat Mariah Hombang dan penangkapan 18 orang, dimana 1 orang telah dibebaskan pada 19 April 2007 menjadi bukti ketidaknetralan polisi dalam menanggapi permasalahan. Polres Simalungun sebenarnya mengetahui bahwa persoalan tanah di Mariah Hombang masih dalam sengketa dan sedang diselesaikan oleh Pemkab Simalungun. Tetapi, pengaduan masyarakat atas kepala desa ke Polsek Tanah Jawa, tanggal 14 Juli 2006 atas tuduhan penipuan lengkap dengan bukti-bukti, pengaduan masyarakat tentang penebangan hutan, tanggal 17 Juli 2006, pengaduan ke Polres Simalungun, tanggal 15 Agustus 2006 atas Manat Gultom, dan lain-lain sampai saat ini tidak ditindaklanjuti pihak kepolisian. Sementara, pengaduan tuan tanah, yaitu Helarius Gultom, Manat Gultom, dan Tualam Gultom langsung mendapat tanggapan. Tragedi petani Nagori Mariah Hombang, tanggal 19 April 2007 yang tidak terjadi apa-apa justru dijawab oleh dua buah truk bermuatan polisi dari Polres Simalungun sebagai pengawal pengusaha hingga berbuntut sedikitnya 19 petani luka- luka dan 18 lainnya ditangkap. Untuk itu, FPNMH yang mendapat dukungan, baik indivindu maupun organisasi, seperti Nursyahbani Katjasungkana, Serikat Petani Langkat, SPNSU, Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 66 Institut Pembaharuan Desa, Serikat Nelayan Sumatera Utara, Perbuni, Jagad Tanah Rakyat, APD, Bina Desa, Serikat Tani Nasional, Kontras Sumut, KWML, SRMK, FMN, LMND, SMM, dan JNPM menuntut, antara lain : 1. Kembalikan tanah rakyat Mariah Hombang kepada petani yang tengah menuntut tanah untuk kehidupannya. 2. Bebaskan tanpa syarat 17 petani yang sampai saat ini ditahan oleh Polres Simalungun. 3. Tangkap dan adili pelaku tindak kekerasan dan premanisme di Mariah Hombang oleh polisi dan kolaborasi pengusaha pada tanggal 19 April 2007. 4. Tarik aparat kepolisian dari Mariah Hombang yang justru menambah trauma berkepanjangan rakyat Mariah Hombang. Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007. USU Repository © 2009 BAB III ALASAN PENUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH

A. Sengketa Tanah di Desa Mariah Hombang