Review Studi Terdahulu Sistematika Penelitian

12 Dalam hal teknis penelitian, peneliti mengacu pada buku pedoman Penelitian skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Islam Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

G. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan dalam penelitian ini, peneliti membagi pembahasan dalam 5 bab, yaitu : Bab I Merupakan bab Pendahuluan dalam membuka memuat latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review studi terdahulu dan sistematika Penelitian. Bab II Merupakan landasan teori yang mencakup pengertian perkawinan, pengertian perceraian, pengertian hak asuh anak, serta pengertian hak-hak anak. Bab III merupakan eksistensi Komisi Nasional Perlindungan Anak, profil serta susunan pengurus Komisi Nasional Perlindungan Anak, dan tujuan berdirinya Komisi Nasional Perlindungan Anak. Bab IV Bab ini membahas mengenai hak-hak anak dalam hukum islam dan hukum positif, perlindungan anak korban perceraian di dalam Komisi Nasional Perlindungan Anak, pengawasan yang dliakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak KOMNAS PA terhadap korban perceraian, dan analisis Peneliti. 13 Bab V Merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dalam penyusunan sekripsi ini,sekaligus memberikan saran yang mungkin dapat membantu masyarakat. 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

A. Pengertian Perkawinan

Nikah menurut bahasa ialah berkumpul atau menindas 1 . Sedangkan menurut para ahli Ushul nikah yaitu, setubuh dan menurut arti majazi adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita demikian menurut golongan Hanafi, sedangkan menurut golongan Syafiiyah nikah itu sendiri sama demikian dengan golongan Hanafi dan arti majazi ilah setubuh. 2 Berdasarkan hal ini para ulama mengartikan perkawinan dengan makna suatu hubungan biologis. Wahbah al-Zuhaily mengartikan perkawinan dengan akad yang membolehkan terjadinya al- istimta persetubuhan dengan seorang wanita, atau melakukan wath’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan. 3 Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu Nikah dan Zawaj. Kedua kata ini yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam QS. An- Nisa’[4] : 3. 1 Al-Misbah al_Munawir 2 Abd Ar-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Al-Mazahib Al- Abgrba’ah, Jilid IV, h. 1 3 Kamarusdiana Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Lembaga Penilitian UIN Jakarta, 2007, h. 2. 14                                Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja,, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. QS. An- Nisa [4]: 3 Meskipun ada dua kemungkinan arti dari kata na-ka-ha itu namun mana di antara dua kemungkinan tersebut yang mengandung arti sebenarnya terdapat beda pendapat di antara ulama. Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad di dalam arti yang sebenarnya dapatnya berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam arti tidak sebenarnya. Sebaliknya, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut. Ulama golongan Hanabilah berpendapat bahwa penunjukan kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut adalah dalam arti sebenarnya. 4 Menurut jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing- masing rukun itu memeiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, h. 35. 15 pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut. 5 1 Calon suami, syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam. 2. Laki-laki. 3. Jelas orangnya. 4. Dapat memebrikan persetujuan. 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. 2 Calon istri, syarat-syaratnya: 1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani. 2. Perempuan. 3. Jelas orangnya. 4. Dapat diminta persetujuanya. 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. 3 Wali nikah, syarat-syaratnya: 1. Laki-laki. 2. Dewasa. 3. Mempunyai hak perwalian. 4. Tidak terdapat halangan perwalianya. 4 Saksi nikah. 1. Minimal dua orang laki-laki. 2. Hadir dalam ijab qabul. 5 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, h. 71 16 3. Dapat mengerti maksud akad. 4. Islam. 5. Dewasa. 5 Ijab qabul, syarat-syaratnya: 1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali. 2. Adanya pernyataan penerima dari calon memepelai. 3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kalimat tersebut. 4. Antara ijab dan qabul bersambungan. 5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya. 6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah. 7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakil-wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi. 6 Kendatipun didalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dan saksi masih ikhtilaf dikalangan ulama, namun mayoritas sepakat dengan rukun yang lima ini. Menurut hukum perdata itu sendiri pengertian perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan wanita utnuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara. Terdapat perbedaan konsepsi perkawinan antara BW dan UU perkawinan. BW menganut 6 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, h. 71