Faktor-faktor yang mempengaruhi asertifitas

17 Kemudian Tindal Daud, 2004 mendefinisikan asertifitas sebagai kemampuan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara langsung dan jujur, seraya menunjukkan penghargaan terhadap orang lain. Sementara Lazarruz Rakos, 1991 mendefinisikan asertifitas sebagai kemampuan mengatakan “tidak”, kemampuan untuk meminta sesuatu, kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif dan negatif, kemampuan untuk memulai, menyambung, dan mengakhiri percakapan umum. Myers dan Myers 1992 mengatakan asertifitas adalah salah satu gaya komunikasi dimana individu dapat mempertahankan hak dan mengekspresikan perasaan, pikiran, dan kebutuhan secara langsung, jujur, dan bersikap berterus terang. Williams 2002 mengatakan asertifitas adalah kemampuan mengungkapkan diri sendiri, meyakinkan opini dan perasaan, dan mempertahankan haknya. Hal ini tidak sama dengan agresifitas. Individu dapat menjadi asertif tanpa menjadi kuat dan kasar. Sebaliknya, asertif mempertimbangkan pengungkapan dengan jelas apa yang diharapkan dan meminta dengan tegas hak-haknya. Pada prinsipnya asertifitas merupakan pengendalian terhadap hak-hak pribadi seseorang. Berdasarkan definisi asertifitas di atas, dapat disimpulkan bahwa asertifitas adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengemukakan perasaan, kebutuhan, hak, dan opini yang dimiliknya secara langsung, jujur, dan terbuka pada orang lain, dengan tidak melanggar hak-hak orang lain.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi asertifitas

Hollandsworth dan Wall Rakos, 1991 berpendapat asertifitas berhubungan dengan jenis kelamin seorang individu. Fukuyama dan Greenfield 1985 Universitas Sumatera Utara 18 mengatakan bahwa laki-laki lebih asertif dibandingkan perempuan. Shaevitz 1993 mengatakan bahwa ada dua penyebab perempuan lebih tidak asertif dibandingkan laki-laki, yaitu perempuan sulit untuk mengatakan ”tidak” dan sulit untuk meminta tolong. Rakos 1991 mengemukakan bahwa konsep asertifitas berkaitan dengan kebudayaan dimana seseorang tumbuh dan berkembang. Dapat dikatakan bahwa pada suatu budaya suatu perilaku dipandang asertif dan sesuai dengan budaya setempat. Akan tetapi hal yang sama tidak dapat ditolerir oleh masyarakat dengan latar belakang budaya lain. Supratiknya Daud, 2004 mengatakan kebudayaan Timur pada umumnya dan kebudayaan Indonesia-Jawa khususnya, sering menuntut anggota masyarakatnya menyangkal atau menekan perasaannya dalam rangka alasan tertentu, sedangkan Suku bangsa Batak memiliki budaya yang mengarahkan individu untuk menyatakan pendapat dengan apa adanya, sesuai dengan keinginan dan perasaannya Masinambow, 1997. Menurut Daud 2004 komunikasi antara orangtua dan anak dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Berbedanya pola asuh yang diberikan orangtua dapat mengakibatkan berbedanya tingkat asertifitas anak. Apabila orangtua cenderung menggunakan pola pengasuhan otoriter maka anak tidak dapat meningkatkan asertifitasnya. Sebaliknya, apabila orangtua cenderung menggunakan pola pengasuhan demokratis, maka anak dapat meningkatkan asertifitasnya. Bidulp 1992 mengatakan orangtua yang asertif atau tegas cenderung menghasilkan anak yang Universitas Sumatera Utara 19 berperilaku asertif, sebab orangtua yang asertif selalu terbuka, mantap dalam bertindak, penuh kepercayaan diri, dan tenang dalam mendidik anak-anaknya. Baer 1976 menyatakan karena self-assertiveness berkembang sepanjang kehidupan seseorang, maka faktor usia diasumsikan juga berpengaruh terhadap perkembangan asertifitas seseorang.

3. Karakteristik asertifitas