Hubungan Antara Harga Diri dengan Asertifitas pada Remaja
HUBUNGAN HARGA DIRI DENGAN ASERTIFITAS PADA REMAJA
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi
Oleh:
Sastra Harmy Yunita Simbolon (031301008)
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
(2)
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008
Sastra Harmy Yunita Simbolon : 031301008
Hubungan Antara Harga Diri dengan Asertifitas pada Remaja Vii + 57 halaman, 18 tabel + 2 gambar + lampiran
Bibliografi 45 (1967-2007)
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan asertifitas pada remaja. Harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh remaja tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana remaja tersebut menyukai dirinya sebagai individu yang merasa mampu mencapai tujuan yang diinginkannya dan merasa berguna dalam hidupnya, sedangkan Asertifitas adalah kemampuan komunikasi seorang remaja untuk dapat menyatakan dengan jelas, langsung, dan jujur tentang perasaan, kebutuhan, hak, dan opini yang dimilikinya kepada siapapun dan dimanapun remaja tersebut berada dengan tidak melanggar hak orang lain.
Subjek penelitian ini berjumlah 115 orang remaja bersekolah yang berusia 15-18 tahun dan tinggal bersama orangtua di Lingkungan VII Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik sampel acak sederhana. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan analisa korelasi Pearson Product Moment. Alat ukur yang digunakan adalah skala harga diri yang disusun berdasarkan dua komponen yang berhubungan yang dikemukakan oleh Frey dan Carlock (1987) dan skala asertifitas yang disusun berdasarkan elemen-elemen asertifitas yang dikemukakan oleh Williams (2002).
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara harga diri dengan asertifitas pada remaja dengan nilai korelasi rxy 0.682 dan
p=0.000 yang artinya semakin tinggi harga diri maka semakin tinggi asertifitas pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah harga diri maka semakin rendah asertifitas pada remaja.
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur peneliti ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah senantiasa memberikan kesehatan, kesabaran, dan kemampuan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Harga Diri dengan Asertifitas pada Remaja tepat pada waktunya.
Peneliti pun tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu, antara lain:
1. Bapak dr.Chairul Yoel, sp.A (K), sebagai dekan Fakultas Psikologi USU. 2. Dosen pembimbing seminar yaitu Ibu Meidriani Ayu, M.Kes yang telah sabar
dalam membimbing dan memberikan banyak masukan kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik.
3. Ibu Lili Garliah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, terima kasih atas nasehat, dukungan, dan bimbingannya selama peneliti menjalankan studi di Fakultas Psikologi USU.
4. Ayahanda dan ibunda yang tercinta, Abang Ciol, adik Tatil, adik Muel, dan saudara-saudara terima kasih atas doa, dukungan, dan bantuannya sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.
5. Ibu Sukaesih, M.Si, Ibu Etty Rahmawati, M.Si, dan Ibu Filia Dina, S.Sos terima kasih atas kesediaannya memberi kritik, saran, bimbingan, serta diskusi untuk penyelesaian skripsi ini.
(4)
6. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara terima kasih untuk semua bimbingan, dukungan, dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Tim Labsos “BARR! Plus”, Rio, Daree, Ayu, Astri, Morenda, Indra, Bobbye dan Suwarno, terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya, khususnya Marhanalom di akhir-akhir penyusunan skripsi.
8. Teman-teman angkatan 2003, khususnya teman seperjuangan dalam menyusun skripsi, Rio, Finanda, Sondang, Devi, Nina, Rospita, Suryati, Iyan, Iyun, dan teman lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu terima kasih atas semangat, kerjasama, dan pengalamannya untuk berbagi.
9. Abang dan Kakak senior, serta junior-junior yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata peneliti menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran akan menjadi bahan masukan yang berarti bagi peneliti. Semoga penelitian ini pada akhirnya akan memberikan manfaat berarti bagi semua pihak. Terima kasih.
Medan, Juni 2008
(5)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “hubungan harga diri dengan asertifitas pada remaja” adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi apapun dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Juni 2008
Sastra H.Y.Simbolon
(6)
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 7
C. Manfaat Penelitian ... 7
D. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri ... 10
1. Definisi harga diri ... 10
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri ... 11
3. Karakteristik harga diri ... 12
4. Komponen-komponen harga diri ... 14
5. Pembentukan harga diri ... 15
B. Asertifitas ... 16
1. Definisi asertifitas ... 16
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi asertifitas ... 17
(7)
C. Remaja ... 20
1. Definisi remaja ... 20
2. Asertifitas remaja ... 22
D. Hubungan Harga Diri dengan Asertifitas pada Remaja ... 24
E. Hipotesa Penelitian ... 26
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 27
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 27
1. Harga diri ... 27
2. Asertifitas ... 28
C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel ... 29
1. Populasi ... 29
2. Jumlah sampel ... 30
3. Metode pengambilan sampel ... 30
D. Metode Pengumpulan Data ... 31
1. Skala harga diri ... 32
2. Skala asertifitas ... 33
E. Uji Coba Alat Ukur ... 34
1. Validitas ... 34
2. Uji daya beda aitem ... 35
3. Reliabilitas ... 35
4. Hasil uji coba alat ukur ... 36
(8)
2. Pelaksanaan penelitian ... 40
3. Tahap pengolahan data ... 40
G. Metode Analisa Data ... 40
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 43
1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 43
2. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 44
3. Gambaran subjek penelitian berdasarkan suku bangsa ... 44
B. Uji Asumsi Penelitian ... 45
1. Uji normalitas sebaran ... 45
2. Uji linieritas hubungan ... 45
C. Hasil Utama Penelitian ... 46
D. Deskripsi Data Penelitian ... 47
1. Kategorisasi data penelitian ... 47
2. Gambaran asertifitas berdasarkan usia ... 51
3. Gambaran asertifitas berdasarkan jenis kelamin ... 52
4. Gambaran asertifitas berdasarkan suku bangsa ... 52
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN A.Kesimpulan ... 53
B. Diskusi ... 54
C. Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA
(9)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Skala Harga Diri Sebelum Uji Coba... 33
Tabel 2. Blue Print Skala Asertifitas Sebelum Uji Coba ... 34
Tabel 3. Distribusi Aitem-aitem Skala Harga Diri untuk Penelitian... 37
Tabel 4. Distribusi Aitem-aitem Skala Asertifitas untuk Penelitian ... 38
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 43
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44
Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku bangsa ... 44
Tabel 8. Normalitas Sebaran Variabel Harga Diri dan Asertifitas ... 45
Tabel 9. Uji Linearitas Hubungan ... 46
Tabel 10. Korelasi Harga Diri dan Asertifitas... 47
Tabel 11. Deskripsi Skor Harga Diri ... 47
Tabel 12. Kategorisasi Data Empirik Harga Diri ... 49
Tabel 13. Deskripsi Skor Asertifitas ... 50
Tabel 14. Kategorisasi Data Empirik Asertifitas ... 50
Tabel 15. Penyebaran Subjek Berdasarkan Hubungan Harga Diri dan Asertifitas ... 51
Tabel 16. Gambaran Skor Asertifitas Berdasarkan usia ... 51
Tabel 17. Gambaran Skor Asertifitas Berdasarkan Jenis Kelamin ... 52
(10)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Scatter plot Hubungan Harga Diri dengan Asertifitas ... 46 Gambar 2. Fluktuasi Skor Rata-rata Harga Diri ... 49
(11)
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008
Sastra Harmy Yunita Simbolon : 031301008
Hubungan Antara Harga Diri dengan Asertifitas pada Remaja Vii + 57 halaman, 18 tabel + 2 gambar + lampiran
Bibliografi 45 (1967-2007)
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan asertifitas pada remaja. Harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh remaja tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana remaja tersebut menyukai dirinya sebagai individu yang merasa mampu mencapai tujuan yang diinginkannya dan merasa berguna dalam hidupnya, sedangkan Asertifitas adalah kemampuan komunikasi seorang remaja untuk dapat menyatakan dengan jelas, langsung, dan jujur tentang perasaan, kebutuhan, hak, dan opini yang dimilikinya kepada siapapun dan dimanapun remaja tersebut berada dengan tidak melanggar hak orang lain.
Subjek penelitian ini berjumlah 115 orang remaja bersekolah yang berusia 15-18 tahun dan tinggal bersama orangtua di Lingkungan VII Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik sampel acak sederhana. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan analisa korelasi Pearson Product Moment. Alat ukur yang digunakan adalah skala harga diri yang disusun berdasarkan dua komponen yang berhubungan yang dikemukakan oleh Frey dan Carlock (1987) dan skala asertifitas yang disusun berdasarkan elemen-elemen asertifitas yang dikemukakan oleh Williams (2002).
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara harga diri dengan asertifitas pada remaja dengan nilai korelasi rxy 0.682 dan
p=0.000 yang artinya semakin tinggi harga diri maka semakin tinggi asertifitas pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah harga diri maka semakin rendah asertifitas pada remaja.
(12)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Harga Diri
1. Definisi harga diri
Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh Baron dan Byrne (2000) bahwa harga diri merupakan penilaian yang dibuat oleh setiap individu yang mengarah pada dimensi negatif dan positif.
Sementara menurut Frey dan Carlock (1987) harga diri adalah istilah penilaian yang mengacu pada penilaian positif, negatif, netral dan ambigu yang merupakan bagian dari konsep diri, tetapi bukan berarti cinta-diri sendiri. Individu dengan harga diri yang tinggi menghormati dirinya sendiri, mempertimbangkan dirinya berharga, dan melihat dirinya sama dengan orang lain. Sedangkan harga diri rendah pada umumnya merasakan penolakan, ketidakpuasan diri, dan meremehkan diri sendiri. Sedangkan Coopersmith (1967) mengatakan harga diri adalah penilaian yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang diekspresikan melalui suatu bentuk sikap setuju atau tidak setuju, sehingga terlihat sejauhmana individu menyukai dirinya sebagai individu yang mampu, penting, sukses dan berharga.
Berdasarkan beberapa definisi harga diri di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi individu yang bersifat positif atau negatif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri.
(13)
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri
Menurut Kozier dan Erb (1987) ada empat elemen pengalaman yang berhubungan dengan perkembangan harga diri, yaitu :
a. Orang-orang yang berarti atau penting
Seseorang yang berarti adalah seorang individu atau kelompok yang memiliki peran penting dalam perkembangan harga diri selama tahap kehidupan tertentu.Yang termasuk orang yang berarti adalah orang tua, saudara kandung, teman sebaya, guru dan sebagainya. Pada berbagai tahap perkembangan terdapat satu atau beberapa orang yang berarti. Melalui interaksi sosial dengan orang yang berarti dan umpan balik tentang bagaimana perasaan dan label orang yang berarti tersebut, individu akan mengembangkan sikap dan pandangannya mengenai dirinya.
b. Harapan akan peran sosial
Pada berbagai tahap perkembangan, individu sangat dipengaruhi oleh harapan masyarakat umum yang berkenaan dengan peran spesifiknya. Masyarakat yang lebih luas dan kelompok masyarakat yang lebih kecil memiliki peran yang berbeda dan hal ini tampak dalam derajat yang berbeda mengenai keharusan dalam memenuhi peran sosial. Harapan-harapan peran sosial berbeda menurut usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, etnik dan identifikasi karir.
c. Krisis setiap perkembangan psikososial
Disepanjang kehidupan, setiap individu menghadapi tugas-tugas perkembangan tertentu. Individu juga akan memiliki krisis disetiap tahap
(14)
perkembangannya. Hal ini dikemukakan oleh Erikson (Monks, dkk, 1999) dimana jika individu tersebut gagal menyelesaikan krisis tersebut dapat menyebabkan masalah dalam diri, konsep diri, dan harga dirinya. Menurut Erikson, tugas perkembangan pada periode remaja (usia 12-18 tahun) adalah pencarian identitas diri, yaitu periode dimana individu akan membentuk diri (self), gambaran diri (image), mengintegrasikan ide-ide individu mengenai dirinya, dan tentang bagaimana cara orang lain berfikir tentang dirinya. Untuk mencapai identitas diri yang positif atau “aku” yang sehat, remaja memerlukan orang-orang dewasa yang penuh perhatian serta teman-teman sebaya yang kooperatif (Monks, dkk,1999).
d. Gaya penanggulangan masalah
Strategi yang dipilih individu untuk menanggulangi situasi yang mengakibatkan stress merupakan hal yang penting dalam menentukan keberhasilan individu untuk beradaptasi pada situasi tersebut dan menentukan apakah harga diri dipertahankan, meningkat atau menurun.
3. Karakteristik harga diri
Frey dan Carlock (1987) mengungkapkan ciri-ciri individu dengan harga diri tinggi, yaitu:
a. Menghargai dirinya sendiri b. Menganggap dirinya berharga
c. Melihat dirinya sama dengan orang lain, d. Tidak berpura-pura menjadi sempurna e. Mengenali keterbatasannya
(15)
f. Berharap untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi Sedangkan ciri-ciri individu dengan harga diri rendah, yaitu: a. Secara umum mengalami perasaan ditolak
b. Memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri c. Memiliki perasaan hina atau jijik terhadap diri sendiri d. Memiliki perasaan remeh terhadap diri sendiri
Coopersmith (1967) mengemukakan ciri-ciri individu berdasarkan tingkat harga dirinya, yaitu:
a. Harga diri tinggi
1) Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya dan menghargai orang lain. 2) Dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat
menerima kritik dengan baik.
3) Menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu berjalan di luar rencana.
4) Berhasil atau berprestasi di bidang akademik, aktif dan dapat mengekpresikan dirinya dengan baik.
5) Tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya.
6) Memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. 7) Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan
b. Harga diri rendah
(16)
sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Hal ini sering kali menyebabkan individu yang memiliki harga diri yang rendah, menolak dirinya sendiri dan tidak puas akan dirinya.
2) Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya tehadap dunia luar dirinya dan kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain.
3) Tidak menyukai segala hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas baginya. 4) Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurang
berhasil dalam prestasi akademis dan kurang dapat mengekspresikan dirinya dengan baik.
5) Menganggap diri kurang sempurna dan segala sesuatu yang dikerjakannya akan selalu mendapat hasil yang buruk, walaupun dia telah berusaha keras, serta kurang dapat menerima segala perubahan dalam dirinya.
6) Kurang memiliki nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang kurang realisitis.
7) Selalu merasa khawatir dan ragu-ragu dalam menghadapi tuntutan dari lingkungan.
4. Komponen-komponen harga diri
Menurut Frey dan Carlock (1987) harga diri memiliki 2 komponen yang saling berhubungan. Komponen-komponen tersebut adalah :
a. Merasa mampu, yaitu perasaan bahwa individu mampu mencapai tujuan yang diinginkannya. Menjadi mampu berarti individu memiliki keyakinan pikiran,
(17)
perasaan dan perilaku yang sesuai dengan realita dirinya. Apabila individu mampu atau berhasil dalam tujuannya maka harga dirinya meningkat.
b. Merasa berguna, yaitu perasaan individu bahwa ia berguna untuk hidup. Merasa berguna berarti menguatkan diri dan menghormati dirinya sendiri. Individu yang memandang dirinya sebagai individu yang tidak layak akan menurunkan harga dirinya.
5. Pembentukan harga diri
Salah satu fungsi dari konsep diri adalah mengevaluasi diri, hasil dari evaluasi diri ini disebut harga diri. Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak kecil, tetapi faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman individu. Seperti yang dikatakan oleh Branden (Frey & Carlock, 1987) bahwa harga diri diperoleh melalui proses pengalaman yang terus menerus terjadi dalam diri seseorang. Menurut Mead (suryabrata, 1993) harga diri terbentuk secara sosial. Keluarga menjadi struktur sosial yang penting, karena interaksi antar anggota keluarga terjadi disini. Perilaku seseorang di dlam keluarga dapat mempengaruhi perilaku anggota keluarga yang lain.
Branden (1981) mengatakan bahwa proses terbentuknya harga diri sudah mulai dari saat bayi merasa tepukan pertama kali diterimannya dari orang yang menangani proses kelahiran. Dalam proses selanjutnya harga diri dibentuk dari perlakuan yang diterima individu dari lingkungannya, misalnya apakah individu selalu dirawat, dimanja, atau diperhatikan oleh orangtua atau perlakuan lain yang berlawanan dengan perlakuan tersebut.
(18)
Penelitian baru-baru ini mengenai harga diri sepanjang rentang kehidupan menyatakan bahwa harga diri pada masa kanak-kanak cenderung tinggi, menurun pada masa remaja, dan meningkat selama masa dewasa awal sampai dewasa madya, kemudian menurun pada masa dewasa akhir (Robins, dkk dalam Shaffer, 2005). Pada studi ini, ditemukan juga bahwa harga diri pria lebih tinggi daripada wanita pada hampir semua rentang kehidupan, dan khususnya harga diri pada wanita rendah selama masa remaja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri terbentuk melalui perlakuan-perlakuan yang diterima individu dari lingkungannya yang diperoleh melalui penghargaan, penghormatan, penerimaan,dan interaksi individu dengan lingkungannya.
B. Asertifitas
1. Definisi asertifitas
Menurut Sumintardja (Prabowo, 2001) asertif berasal dari kata assertive yang berarti tegas dalam pernyataannya, pasti dalam mengekspresikan diri atau pendapatnya.
Menurut McCullough dan Manna (Daud, 2004) asertifitas adalah cara berlaku jujur terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Adams (Daud, 2004) bahwa asertifitas adalah bersikap jelas, jujur, mengkomunikasikan yang benar tentang diri sendiri, sambil tetap mampu menghormati orang lain, bekerja dengan cara anda sendiri untuk memenuhi kebutuhan anda sendiri sambil tetap menunjukkan hormat kepada orang lain.
(19)
Kemudian Tindal (Daud, 2004) mendefinisikan asertifitas sebagai kemampuan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara langsung dan jujur, seraya menunjukkan penghargaan terhadap orang lain.
Sementara Lazarruz (Rakos, 1991) mendefinisikan asertifitas sebagai kemampuan mengatakan “tidak”, kemampuan untuk meminta sesuatu, kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif dan negatif, kemampuan untuk memulai, menyambung, dan mengakhiri percakapan umum. Myers dan Myers (1992) mengatakan asertifitas adalah salah satu gaya komunikasi dimana individu dapat mempertahankan hak dan mengekspresikan perasaan, pikiran, dan kebutuhan secara langsung, jujur, dan bersikap berterus terang.
Williams (2002) mengatakan asertifitas adalah kemampuan mengungkapkan diri sendiri, meyakinkan opini dan perasaan, dan mempertahankan haknya. Hal ini tidak sama dengan agresifitas. Individu dapat menjadi asertif tanpa menjadi kuat dan kasar. Sebaliknya, asertif mempertimbangkan pengungkapan dengan jelas apa yang diharapkan dan meminta dengan tegas hak-haknya. Pada prinsipnya asertifitas merupakan pengendalian terhadap hak-hak pribadi seseorang.
Berdasarkan definisi asertifitas di atas, dapat disimpulkan bahwa asertifitas adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengemukakan perasaan, kebutuhan, hak, dan opini yang dimiliknya secara langsung, jujur, dan terbuka pada orang lain, dengan tidak melanggar hak-hak orang lain.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi asertifitas
Hollandsworth dan Wall (Rakos, 1991) berpendapat asertifitas berhubungan dengan jenis kelamin seorang individu. Fukuyama dan Greenfield (1985)
(20)
mengatakan bahwa laki-laki lebih asertif dibandingkan perempuan. Shaevitz (1993) mengatakan bahwa ada dua penyebab perempuan lebih tidak asertif dibandingkan laki-laki, yaitu perempuan sulit untuk mengatakan ”tidak” dan sulit untuk meminta tolong.
Rakos (1991) mengemukakan bahwa konsep asertifitas berkaitan dengan kebudayaan dimana seseorang tumbuh dan berkembang. Dapat dikatakan bahwa pada suatu budaya suatu perilaku dipandang asertif dan sesuai dengan budaya setempat. Akan tetapi hal yang sama tidak dapat ditolerir oleh masyarakat dengan latar belakang budaya lain. Supratiknya (Daud, 2004) mengatakan kebudayaan Timur pada umumnya dan kebudayaan Indonesia-Jawa khususnya, sering menuntut anggota masyarakatnya menyangkal atau menekan perasaannya dalam rangka alasan tertentu, sedangkan Suku bangsa Batak memiliki budaya yang mengarahkan individu untuk menyatakan pendapat dengan apa adanya, sesuai dengan keinginan dan perasaannya (Masinambow, 1997).
Menurut Daud (2004) komunikasi antara orangtua dan anak dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Berbedanya pola asuh yang diberikan orangtua dapat mengakibatkan berbedanya tingkat asertifitas anak. Apabila orangtua cenderung menggunakan pola pengasuhan otoriter maka anak tidak dapat meningkatkan asertifitasnya. Sebaliknya, apabila orangtua cenderung menggunakan pola pengasuhan demokratis, maka anak dapat meningkatkan asertifitasnya. Bidulp (1992) mengatakan orangtua yang asertif atau tegas cenderung menghasilkan anak yang
(21)
berperilaku asertif, sebab orangtua yang asertif selalu terbuka, mantap dalam bertindak, penuh kepercayaan diri, dan tenang dalam mendidik anak-anaknya. Baer (1976) menyatakan karena self-assertiveness berkembang sepanjang kehidupan seseorang, maka faktor usia diasumsikan juga berpengaruh terhadap perkembangan asertifitas seseorang.
3. Karakteristik asertifitas
Menurut Myers dan Myers (1992) karakteristik orang-orang asertif, adalah : a. Mereka merasa bebas untuk mengekspresikan diri mereka, untuk
mengungkapkan perasaan mereka
b. Mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam segala tingkatan – orang asing, keluarga dan teman-teman – dan komunikasi mereka terbuka, langsung, jujur, dan tepat untuk situasi tersebut
c. Mereka memiliki orientasi yang positif dan aktif terhadap hidup, mereka bertanggung jawab atas situasi-situasi dan kejadian-kejadian, dan mencari pengalaman baru.
d. Mereka bertindak dalam cara yang menunjukkan bahwa mereka menghormati diri mereka, mereka menerima keterbatasan tingkah laku mereka tetapi tetap berusaha untuk mendapatkan keinginan-keinginan atau cita-cita mereka. Menurut Adams (Daud, 2004) ciri-ciri orang yang asertif adalah:
a. Bergaul dengan jujur dan langsung
b. Mampu menyatakan perasaan, pikiran, kebutuhan, ide, dan mempertahankan hak mereka dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak melanggar hak dan kebutuhan orang lain
(22)
c. Otentik, apa adanya, terbuka, dan langsung d. Mengambil inisiatif demi memenuhi kebutuhan e. Mampu bertindak demi kepentingannya sendiri
f. Meminta informasi dan bantuan dari orang lain bilamana membutuhkannya g. Apabila berkonflik dengan orang lain, bersedia mencari penyelesaian yang
memuaskan kedua pihak
4. Elemen-elemen asertifitas
Williams (2002) mengungkapkan 4 elemen asertifitas, yaitu: a. Perasaan
Individu dapat mengekspresikan perasaannya secara langsung, jujur, dan dengan cara yang sesuai
b. Kebutuhan
Individu dapat mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan yang individu inginkan terjadi, jika tidak individu merasa dinilai rendah, ditolak, marah atau sedih c. Hak
Individu dapat mengekspresikan haknya dan dapat menyatakan hak-haknya dengan cara yang tepat dengan tidak melanggar hak orang lain
d. Opini
(23)
C. Remaja
1. Definisi remaja
Remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan” (Hurlock, 1999). Remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, namun tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Remaja adalah individu yang berada pada peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Monks, dkk, 1999). Piaget (Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa istilah adolescence mempunyai arti lebih luas yaitu mencakup kematangan emosional, mental, sosial dan fisik. Santrock (1998) mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial.
Batasan usia yang ditetapkan para ahli untuk masa remaja berbeda-beda. Menurut Hurlock (1999), usia remaja dibagi dua bagian, yaitu awal masa remaja yang berlangsung dari usia 13 sampai 17 tahun, dan masa akhir remaja yang bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun. Monks, dkk (1999) menyatakan bahwa batasan usia remaja antara 12 hingga 21 tahun, yang terbagi dalam tiga fase, yaitu remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/ madya (usia 15 hingga 18 tahun), dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun).
Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut (Konopka dalam Agustiani, 2006):
a. Masa remaja awal (12-15 tahun)
(24)
pada orangtua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisikserta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya.
b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendirI (self direct). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
c. Masa remaja akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.
2. Asertifitas remaja
Remaja madya menurut Kanopka (Agustiani, 2006) dan Monks, dkk (1999) berada pada rentang usia 15-18 tahun. Individu yang berada pada rentang usia tersebut, menurut Kanopka (Agustiani, 2006), memiliki karakteristik yang ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting di masa remaja madya, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Remaja sudah mulai
(25)
mengembangkan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai.
Perkembangan yang dialami oleh remaja madya ini juga didukung oleh Pikunas (Agustiani, 2006) yang mengemukakan beberapa tugas perkembangan yang penting pada tahap pertengahan masa remaja. Tugas perkembangan tersebut yang berkaitan dengan asertifitas adalah mengembangkan keterampilan dalam komunikasi interpersonal; belajar membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, baik secara individu maupun dalam kelompok; menemukan model untuk identifikasi; menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang ada pada dirinya; memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ada.
Asertifitas merupakan salah satu pola komunikasi. Lazarruz (Rakos, 1991) mendefinisikan asertifitas sebagai kemampuan mengatakan “tidak”, kemampuan untuk meminta sesuatu, kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif dan negatif, kemampuan untuk memulai, menyambung, dan mengakhiri percakapan umum. Alberti dan Emmons (Rakos, 1991) secara detail menyebutkan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku yang memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman, ataupun untuk menggunakan hak-hak pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain.
Keterampilan asertifitas ini dapat diperoleh dan berkembang melalui proses belajar. Willis dan Daisley (Rakos, 1991) menyatakan bahwa asertif merupakan
(26)
suatu bentuk perilaku dan bukan merupakan sifat kepribadian seseorang yang dibawa sejak lahir, sehingga dapat dipelajari meskipun pola kebiasaan seseorang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut. Meskipun hal ini tidak mudah bagi remaja, namun berdasarkan karakteristik dan tugas perkembangan remaja diharapkan mereka telah memiliki keterampilan asertifitas tersebut melalui proses belajar dalam lingkungan sosialnya. Seperti yang diungkapkan oleh Elliot dan Gramling (1990) bahwa seorang remaja harus mampu bersikap asertif pada diri sendiri maupun pada orang lain.
D. Hubungan Harga Diri dengan Asertifitas pada Remaja
Pearl Bailey (Deaux, 1993) mengatakan bahwa harga diri adalah evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri yang diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersifat positif dan negatif. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini. Sebaliknya, seorang remaja yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia.
Remaja yang memiliki kelompok sosial baru, di luar keluarga, yaitu teman sebaya, melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan perilaku teman sebayanya. Pengaruh teman sebaya cukup besar terhadap remaja. Selain dampak positif, teman sebaya juga dapat
(27)
mengarah pada perilaku yang negatif. Remaja madya menurut tugas perkembangannya sudah mencapai kemandirian emosional dari figur-figur otoritas, memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ada, dan meskipun teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Berdasarkan tugas perkembangan tersebut, remaja diharapkan dapat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, dan tentunya menghindari perilaku negatif.
Beberapa karakteristik remaja yang melakukan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat, akibat pengaruh teman sebaya, diantaranya adalah patuh karena ingin diterima dan khawatir diejek kalau tidak mengikut kelompok, takut ditolak dan dikucilkan dari kelompok. Kemudian, mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan pihak lain pada setiap masalahnya, mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Remaja tersebut juga kurang bisa mengekspresikan diri, menerima umpan balik, menyampaikan kritik, menghargai hak dan kewajiban, tidak merasa memiliki kekuatan, cemas memikirkan pendapat orang lain, berupaya menyenangkan orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, penghargaan diri rendah, dan mengkritik diri sendiri. Karakteristik tersebut di atas merupakan karakteristik individu yang memiliki harga diri rendah.
Kecemasan individu akan penolakan kelompok, mengakibatkan remaja tidak dapat mengungkapkan apa yang diinginkan dirinya sendiri. Dan hal ini erat
(28)
kaitannya dengan asertifitas. Williams (2002) mengatakan asertifitas adalah kemampuan mengungkapkan diri sendiri, meyakinkan opini dan perasaan, dan mempertahankan haknya. Asertifitas bukan merupakan sifat kepribadian seseorang yang dibawa sejak lahir, sehingga dapat dipelajari meskipun pola kebiasaan seseorang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut. Remaja perlu memiliki kemampuan asertifitas ini agar dapat mengurangi stress ataupun konflik sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal yang negatif (Alberti & Emmons dalam Widjaja & Wulan, 1998). Oleh sebab itu, asertifitas penting bagi remaja untuk perkembangannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri memiliki kaitan dengan asertifitas pada remaja. Dimana penghargaan terhadap dirinya sendiri akan berdampak pada asertifitas remaja tersebut, sehingga remaja dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam lingkungan sosialnya, termasuk teman sebaya, dan menghindari perilaku-perilaku yang negatif.
E. Hipotesa Penelitian
Hipotesa dalam penelitian adalah ada hubungan positif antara harga diri dengan asertifitas pada remaja. Artinya, semakin tinggi harga diri remaja maka semakin tinggi asertifitas pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah harga diri remaja semakin rendah asertifitas pada remaja.
(29)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam serangkaian masa yang berurutan, mulai dari periode pranatal hingga lanjut usia. Salah satu tahap perkembangan yang akan dilalui oleh individu dalam hidupnya adalah masa remaja. Masa ini ditandai dengan adanya perubahan yang besar, yaitu perubahan fisik dan seksual, membutuhkan kemampuan beradaptasi, pencarian identitas, dan membentuk hubungan baru, termasuk dalam mengekspresikan perasaan seksual (Santrock, 1998). Monks, Knoers, dan Haditono (1999) menyebutkan bahwa terdapat dua macam gerak dalam perkembangan sosial remaja, yaitu gerak memisahkan diri dari orangtua dan gerak menuju ke arah teman-teman sebaya.
Intensitas hubungan sosial remaja dengan teman sebaya akan semakin meningkat. Remaja sudah mulai merasa ingin mendapat dukungan dari teman sebaya dan berusaha untuk dapat diterima dengan baik oleh teman-temannya dan tidak disisihkan dalam pergaulan. Keinginan remaja untuk terpisah secara individu dari keluarga menguatkan pengaruh teman sebaya dalam remaja itu sendiri (Dacey & Kenny, 1997) dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan melakukan konformitas terhadap teman-teman sebaya, dengan tujuan agar diterima oleh teman-teman sebayanya (Conger, 1991).
Pergerakan remaja ke kelompok teman sebaya tidak dapat dihindari. Hal ini membuat remaja menyesuaikan diri dengan kelompok dan menyebabkan mereka
(30)
mengikuti sikap, pendapat, dan perilaku yang berlaku dalam kelompok. Keinginan seorang remaja adalah untuk diterima masuk sebagai anggota kelompok dan rasa takut mereka dari ketidaksamaan atau terkucil (Mappiare, 1990). Menurut Psikolog dan Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Ninuk Widyantoro (GloriaNet, 2007), tekanan teman sebaya dapat memberikan pengaruh positif atau negatif. Remaja akan menerima pengaruh yang positif, jika teman sebaya memiliki sifat-sifat positif, sebaliknya remaja akan menerima pengaruh yang negatif, jika teman sebaya memiliki sifat-sifat yang negatif.
Menurut Psikolog Winarini (Mulamawitri, 2007), ada sebagian remaja yang rela menuruti bujukan kelompoknya. Alasan-alasan remaja menuruti kelompok teman sebaya adalah karena tertarik mencoba sesuatu yang baru, karena ingin diterima dan khawatir akan diejek jika tidak mengikut kelompok, takut ditolak dan dikucilkan dari kelompok, padahal remaja tersebut sadar akan dampak yang mungkin ditimbulkan dari perbuatannya. Hal inilah yang kemudian dapat menjadi persengketaan dalam diri individu itu sendiri mengenai keputusan yang akan diambil. Apabila remaja tersebut mengambil tindakan yang tidak mendapat dukungan dari teman-teman sebaya, maka remaja tersebut akan dijauhi oleh teman-temannya. Akibatnya, remaja tersebut tidak berani mengekspresikan emosinya yang tepat, tidak mampu mengungkapkan keinginan dan pendapatnya secara terbuka dan jujur, dengan kata lain remaja tersebut tidak asertif.
Banyak studi yang telah dilakukan oleh universitas dan lembaga penelitian di negara maju sehubungan dengan tekanan teman sebaya, seperti kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, napza, serta hubungan seksual yang dilakukan
(31)
oleh remaja. Menurut hasil riset Family and Consumer Sciene di Ohio, Amerika Serikat, menunjukkan kebanyakan remaja merokok, kasus penggunaan alkohol, narkoba, bahkan seks bebas dipengaruhi oleh temannya, terutama sahabat atau
gang-nya (Utamadi, 2002). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hal itu berkaitan dengan kemampuan remaja yang bersangkutan dengan perilaku asertif.
Ketidakmampuan dalam asertif sering berdampak pada terjadinya perilaku-perilaku negatif oleh remaja, yang pada umumnya berumur antara 15-18 tahun. Fakta yang ditemui oleh dr. Agustin Kusumayanti, MSc (Ketua Pokdi Mutu Yankes dan pengajar program studi kesehatan reproduksi FKM UI), dalam seminar kesehatan, mengatakan sekitar 5-20% remaja pernah melakukan hubungan seksual pranikah (Endriana, 2007). Menurut Psikolog Rima Olivia, terjadinya hubungan seksual pra nikah karena remaja putri tidak merasa memiliki kekuatan, cemas memikirkan pendapat orang lain, berupaya menyenangkan orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, penghargaan diri rendah, dan mengkritik diri sendiri (Olivia, 2005).
Menurut Psikiater Diwanto (1998), perilaku negatif juga ditemui dalam pergaulan anak laki-laki. Sering ditemui remaja, yang awalnya bukan seorang perokok, mendapat tekanan takut dicap “banci”, takut dikira melawan kelompok, takut dianggap aneh oleh teman- temannya bila menolak untuk merokok, sehingga tidak dapat mengatakan “tidak” terhadap perilaku yang sebenarnya tidak ingin dilakukan. Perilaku penggunaan napza yang lebih mengancam, juga sering kita temui karena alasan yang sama.
(32)
Kasus-kasus yang berhubungan dengan asertifitas juga sering dijumpai dalam dunia pendidikan Indonesia. Faktor penghambat proses pembelajaran di kelas adalah ketidakpercayaan diri siswa dalam menyampaikan pendapat atau bahkan mengajukan pertanyaan, yang pada akhirnya siswa lebih memilih diam daripada membuka dialog dengan guru atau teman-temannya. Kasus lainnya adalah remaja yang tidak tegas atau takut menolak teman yang ingin mencontek. Biasanya siswa yang mengalami situasi tersebut merasa takut, malu atau sungkan mengemukakan keinginan atau pendapatnya secara terbuka, tidak percaya diri, takut dijauhi, dan disepelekan oleh teman-teman (Kusmayadi, 2007).
Nunally dan Hawari (Ekowarni, 2002) mengatakan bahwa penyebab para remaja tersebut terjerumus ke hal-hal negatif, salah satunya adalah karena kepribadian yang lemah, seperti kurang bisa mengekspresikan diri, menerima umpan balik, menyampaikan kritik, menghargai hak dan kewajiban, kurang bisa mengendalikan emosi dan agresifitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik, yang erat kaitannya dengan asertifitas. Rini (2001) menambahkan bahwa kebanyakan orang tidak asertif karena dalam dirinya ada rasa takut mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya dirinya tidak lagi disukai ataupun diterima, oleh sebab itu asertifitas sangat penting untuk perkembangan remaja.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dengan berperilaku asertif, individu dapat mengurangi atau menghilangkan kecemasan, juga dibutuhkan untuk menjaga dan menghindari perilaku yang merusak (Workshops, Inc., 1998). Alberti dan Emmons (Widjaja & Wulan, 1998) mengatakan bahwa asertifitas
(33)
merupakan aspek yang penting untuk mewujudkan pribadi yang sehat. Remaja perlu memiliki asertifitas agar dapat mengurangi stress ataupun konflik, sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal yang negatif. Rathus (Kusmayadi, 2007) menambahkan bahwa siswa yang asertif adalah siswa yang memiliki keberanian mengekspresikan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya, mempertahankan hak-hak pribadinya, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak beralasan.
Williams (2001) mengatakan asertifitas adalah kemampuan mempertahankan diri sendiri, meyakinkan pendapat dan perasaan diri, dan tidak membiarkan orang lain selalu mendapatkan yang diinginkannya. Individu dapat asertif tanpa harus memaksa, namun dapat menyatakan dengan jelas apa yang diharapkan dan meminta haknya untuk dipertimbangkan. Meskipun perilaku asertif tidak muncul dalam semua situasi yang dihadapi individu, namun menurut Willis & Daisley (1995) individu dapat memilih bentuk perilaku yang tepat dan konstruktif dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, remaja juga diharapkan dapat memiliki asertifitas dari proses belajar dilingkungannya. Seperti yang diungkapkan oleh Elliot dan Gramling (1990) bahwa seorang remaja harus mampu bersikap asertif pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Berdasarkan fenomena perilaku-perilaku yang dilakukan remaja di atas, beberapa ciri-ciri remaja yang tidak dapat asertif adalah tidak adanya keyakinan, tidak percaya diri, atau merasa dirinya tidak berharga. Remaja tersebut merasa tidak mampu untuk mengutarakan apa yang ingin disampaikan, ia takut akan kritikan, merasa malu, tidak menghargai haknya, dan mereka menganggap kelompok teman sebaya lebih penting dibandingkan diri sendiri sebagai individu,
(34)
sehingga ia harus ikut dengan perilaku yang sama dengan teman sebaya. Merasa mampu adalah perasaan bahwa individu mampu mencapai tujuan yang diinginkannya serta dapat membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang tepat. Remaja tersebut juga menganggap bahwa kelompok merupakan faktor tunggal yang harus diikuti, sehingga individu merasa tidak penting, tidak mengakui keberadaan dirinya, dan tidak menghargai hak dan kewajibannya sebagai individu. Merasa mampu dan merasa berguna merupakan komponen dari harga diri (self esteem) (Frey & Carlock, 1987).
Kemampuan remaja dalam mengontrol diri sangat terkait erat dengan kepribadian remaja itu sendiri dan harga diri merupakan aspek penting dalam perkembangan remaja (Myles dalam Mayasari & Hadjam, 2000). Baron dan Bryne (2000) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian terhadap diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain yang menjadi pembanding. Branden (1981) berpendapat bahwa harga diri berperan dalam proses berpikir, dan emosi, keputusan-keputusan yang akan diambil, bahkan berpengaruh pula terhadap nilai-nilai, cita-cita, serta tujuan yang akan dicapai. Hal serupa juga diungkapkan oleh Frey dan Carlock (1987) bahwa harga diri mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain. Townend (Prabowo, 2001) menambahkan, orang yang asertif adalah orang yang mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang cukup, ia menghargai dirinya dan juga orang lain. Penelitian Cohen (dalam Mayasari & Hadjam, 2000) menemukan bahwa seseorang yang memiliki harga diri tinggi cenderung lebih percaya diri dalam hidupnya dibandingkan orang yang mempunyai harga diri
(35)
dan perilakunya. Master dan Johnson (Utamadi, 1999) mengatakan harga diri berpengaruh terhadap sikap seseorang terhadap statusnya sebagai remaja. Seorang remaja yang memiliki harga diri yang positif, maka ia tidak akan terbawa godaan yang banyak ditawarkan oleh lingkungan dan dapat mengutarakan serta mengambil sikap apa yang sebenarnya ingin dilakukan, yang pada akhirnya akan menghindari perilaku-perilaku negatif.
Berdasarkan kajian permasalahan di atas, dapat dilihat bahwa harga diri berhubungan dengan asertifitas yang memiliki peran bagi remaja agar dapat berkembang sesuai dengan harapannya dan sosial serta terhindar dari perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma di masyarakat. Melalui uraian tersebut, peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan asertifitas pada remaja.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan harga diri dengan asertifitas pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu Psikologi khususnya Psikologi Perkembangan yaitu memperkaya teori tentang
(36)
2. Manfaat Praktis
a. Bagi remaja diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan remaja tentang hubungan harga diri dengan asertifitas, sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindak lanjut sebagai prevensi terhadap masalah-masalah yang akan muncul.
b. Bagi orangtua, guru, dan masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan masukan yang berarti terhadap pentingnya bimbingan asertifitas dan penghargaan terhadap remaja sebagai individu, agar remaja juga dapat menerima dan menghargai dirinya sendiri.
c. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, khususnya penelitian yang berhubungan dengan harga diri dan asertifitas.
D. Sistematika Penulisan
Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang harga diri, asertifitas, dan remaja. Dalam bab ini juga akan
(37)
dikemukakan hubungan harga diri dengan asertifitas pada remaja dan hipotesa penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
Berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari masing-masing variabel, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data
Pada bab ini akan diuraikan mengenai gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, diskusi tentang hasil penelitian, dan saran-saran
(38)
BAB III
METODE PENELITIAN
Hadi (2000) mengatakan bahwa metode penelitian dalam suatu penelitian ilmiah merupakan unsur penting, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat korelasional, yang bertujuan untuk melihat hubungan satu variabel dengan variabel lain.
A. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel X : harga diri 2. Variabel Y : asertifitas
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Harga diri
Harga diri adalah suatu evaluasi yang dibuat oleh remaja tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana remaja tersebut menyukai dirinya sebagai individu yang merasa mampu mencapai tujuan yang diinginkannya dan merasa berguna dalam hidupnya.
Harga diri dalam penelitian ini akan diungkap dengan menggunakan alat ukur berupa skala yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan komponen-komponen harga diri yang dikemukakan oleh Frey dan Carlock (1987), yaitu :
(39)
a. Merasa mampu, yaitu perasaan bahwa individu mampu mencapai tujuan yang diinginkannya. Menjadi mampu berarti individu memiliki keyakinan pikiran, perasaan, dan perilaku yang sesuai dengan realita dirinya.
b. Merasa berguna, yaitu perasaan bahwa individu berguna untuk hidupnya. Menjadi berguna berarti individu menguatkan diri dan menghormati dirinya sendiri.
Skor total skala harga diri menunjukkan tingkat harga diri individu tersebut. Remaja akan dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan skor harga dirinya, yaitu tinggi dan rendah. Semakin tinggi skor total skala harga diri, artinya semakin tinggi harga diri yang dimiliki individu. Sebaliknya, semakin rendah skor total skala harga diri, maka semakin rendah harga diri yang dimiliki individu.
2. Asertifitas
Asertifitas adalah kemampuan komunikasi seorang remaja untuk dapat menyatakan dengan jelas, langsung, dan jujur tentang perasaan, kebutuhan, hak, dan opini yang dimilikinya kepada siapapun dan dimanapun remaja tersebut berada dengan tidak melanggar hak orang lain.
Asertifitas dalam penelitian ini akan diungkap dengan menggunakan alat ukur berupa skala asertifitas yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan elemen-elemen asertifitas yang dikemukakan oleh Williams (2002), yaitu :
a. Perasaan, yaitu individu dapat mengekspresikan perasaannya secara langsung, jujur, dan dengan cara yang sesuai.
b. Kebutuhan, yaitu individu dapat mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan yang individu inginkan terjadi, jika tidak individu merasa dinilai rendah, ditolak,
(40)
c. Hak-hak, yaitu individu dapat mengekspresikan hak-haknya dengan cara yang tepat.
d. Opini, yaitu individu dapat berkontribusi menyatakan pendapatnya terhadap sesuatu.
Skor total skala asertifitas menunjukkan tingkat asertifitas remaja. Remaja akan dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan skor harga dirinya, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Semakin tinggi skor total skala asertifitas, artinya semakin tinggi tingkat asertifitasnya. Sebaliknya, semakin rendah skor total skala asertifitas, maka semakin rendah tingkat asertifitas yang dimiliki remaja.
C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi
Menurut Hadi (2000) populasi adalah objek, gejala atau kejadian yang diselidiki, terdiri dari semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu hendak digeneralisasikan. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja bersekolah dan tinggal bersama orangtua di Lingkungan VII Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan yang berjumlah 165 orang.
Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah :
a. Remaja yang berusia 15-18 tahun. Menurut Pikunas dan Kanopka (Agustiani, 2006) remaja di usia ini memiliki karakteristik dan tugas perkembangan yang berkaitan dengan asertifitas.
(41)
asertifitas secara alami dari lingkungan sosialnya, terutama lingkungan keluarga dan orangtua sebagai modelnya.
c. Bersekolah. Diasumsikan, berdasarkan fenomena, lingkungan sekolah merupakan lingkungan dimana remaja dapat berinteraksi dengan guru dan teman sebaya.
d. Warga Lingkungan VII Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan
2. Jumlah sampel
Sampel merupakan wakil dari populasi yang diambil untuk penelitian. Menurut Hadi (2000) syarat utama agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan maka sebaiknya sampel penelitian harus representatif. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 115 orang.
3. Metode pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampel acak sederhana. Hadi (2000) mengatakan bahwa teknik acak sederhana adalah teknik pengambilan sampel dimana setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel, jadi semua orang di dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian.
(42)
Teknik ini dilakukan dengan mendata jumlah remaja yang sesuai dengan karakteristik populasi untuk dijadikan populasi penelitian, yaitu sebanyak 165 orang. Selanjutnya diambil secara acak berdasarkan undian yang akan menjadi sampel penelitian, sebanyak jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu sebanyak 115 orang.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan skala. Skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi, 2000). Skala merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek. Skala merupakan suatu bentuk pengukuran terhadap performansi tipikal individu yang cenderung dimunculkan dalam bentuk respon terhadap situasi-situasi tertentu yang sedang dihadapi (Azwar, 2000).
Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya
2. Apa yang dinyatakan oleh subjek adalah benar dan dapat dipercaya.
3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya sama dengan yang dimaksudkan peneliti.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala yaitu, skala harga diridan skala asertifitas.
(43)
1. Skala harga diri
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur harga diri adalah skala harga diri yang dirancang sendiri oleh peneliti berdasarkan komponen-komponen harga diri yang dikemukakan oleh Frey dan Carlock (1987), yaitu merasa mampu dan merasa berguna.
Metode skala yang digunakan adalah metode rating yang dijumlahkan atau dikenal dengan metode Likert. Skala Likert yang disusun terdiri dari dua kategori aitem yaitu aitem favorable (aitem yang mendukung variabel yang mau diukur) dan aitem unfavorable (yaitu aitem yang tidak mendukung variabel yang mau diukur). Terdapat 4 alternatif jawaban yang terdiri dari sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4, skor untuk setiap respon pada pernyataan favorable yaitu SS diberi nilai 4, S diberi nilai 3, TS diberi nilai 2, STS diberi nilai 1. Sedangkan untuk skor pernyataan unfavorabel yaitu SS diberi nilai 1, S diberi nilai 2, TS diberi nilai 3, dan STS diberi nilai 4. Semakin tinggi skor skala harga diri, maka semakin tinggi harga diri seseorang. Sebaliknya, semakin rendah skor skala harga diri, maka semakin rendah harga diri seseorang.
Perincian aitem-aitem skala harga diri yang disusun berdasarkan komponen-komponen harga diri yang dikemukakan oleh Frey dan Carlock (1987) dapat dilihat pada Tabel 1.
(44)
Tabel 1. Blue Print Skala Harga Diri Sebelum Uji Coba
No Komponen Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1 Merasa mampu Pikiran 8, 15, 25, 35, 46 6, 16, 33, 34, 37 10 Perasaan 13, 19, 23, 45,
0 5, 17, 26, 27, 38
10 Perilaku 7, 11, 24, 36,
4 3, 21, 22, 28, 40
10 2 Merasa berguna Menguatkan diri 4, 14, 18, 39,
44
12, 20, 29, 32, 48
10 Menghormati diri 1, 9, 10, 30, 41 2, 31, 42, 43, 49 10
Jumlah 25 25 50
Skala harga diri dalam penelitian ini berjumlah 50 aitem, yaitu terdiri dari 30 aitem komponen merasa mampu dan 20 aitem komponen merasa berguna.
2. Skala asertifitas
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur asertifitas adalah skala asertifitas yang dirancang sendiri oleh peneliti berdasarkan elemen-elemen asertifitas yang dikemukakan oleh Williams (2002).
Skala disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri dari dua kategori aitem yaitu aitem favorable (aitem yang mendukung variabel yang mau diukur) dan aitem unfavorable (yaitu aitem yang tidak mendukung variabel yang mau diukur). Terdapat 4 alternatif jawaban yang terdiri dari sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4, skor untuk setiap respon pada pernyataan favorable yaitu SS diberi nilai 4, S diberi nilai 3, TS diberi nilai 2, STS diberi nilai 1. Sedangkan untuk skor pernyataan unfavorabel yaitu SS diberi nilai 1, S diberi nilai 2, TS diberi nilai 3, dan STS diberi nilai 4. Semakin tinggi skor skala asertifitas, maka semakin tinggi tingkat asertifitas seseorang. Sebaliknya, semakin rendah skor skala asertifitas, maka semakin rendah tingkat asertifitas seseorang.
(45)
Perincian aitem-aitem skalaasertifitas yangdisusun berdasarkan elemen-elemen asertifitas yang dikemukakan oleh Williams (2002) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Blue Print Skala Asertifitas Sebelum Uji Coba
No Elemen Favorable Unfavorable Jumlah
1 Perasaan 1, 15, 22, 29, 37 14, 16, 23, 28, 38 10 2 Kebutuhan 6, 13, 17, 30, 36, 42, 43 2, 7, 24, 31, 35, 44 13 3 Hak-hak 3, 8, 12, 25, 34, 41 5, 9, 21, 26, 33, 45 12 4 Opini 10, 19, 20, 27, 39 4, 11, 18, 32, 40, 46 11
Jumlah 23 23 46
Skala asertifitas dalam penelitian ini berjumlah 46 aitem, yaitu terdiri dari 10 aitem elemen perasaan, 13 aitem elemen kebutuhan, 12 aitem elemen hak-hak, dan 11 aitem elemen opini.
E. Uji Coba Alat Ukur 1. Validitas
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2000).
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas ini merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisa rasional atau lewat penilaian para ahli (Azwar, 2000). Setelah komponen atau elemen yang diukur ditentukan, peneliti akan menyusun aitem-aitem mengacu pada blue print yang telah dibuat sebelumnya. Selanjutnya peneliti meminta pertimbangan pendapat profesional dalam penelitian ini, yaitu dosen pembimbing penelitian ini.
(46)
2. Uji daya beda aitem
Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisa aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan. (Azwar, 2000).
Pengujian daya beda aitem dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan teknik koefisien korelasi Pearson Product Moment yang dianalisis dengan menggunakan bantuan komputer program
Statistical Product and Service Solution 15.0 version (selanjutnya akan disebut sebagai SPSS versi 15). Prosedur pengujian ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem dimana setiap aitem pada skala dikorelasikan dengan skor total skala (Azwar, 2000).
3. Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan, bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan
(47)
Reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan koefisien formula Alpha dari Cronbach dengan bantuan komputer program SPSS versi 15. Pendekatan konsistensi internal hanya memerlukan satu kali pengenaan tes tunggal pada sekelompok individu sebagai subjek dengan tujuan untuk melihat konsistensi di dalam tes itu sendiri. Teknik ini dipandang ekonomis dan praktis (Azwar, 2000).
4.Hasil uji coba alat ukur
Uji coba skala harga diri dilakukan pada 101 orang dan skala asertifitas dilakukan pada 120 orang. Uji coba dikenakan kepada individu yang memiliki kemiripan dengan karakteristik populasi, yaitu remaja bersekolah berusia 15-18 tahun dan tinggal bersama orangtua.
a. Skala harga diri
Hasil uji coba skala harga diri menunjukkan reliabilitas sebesar 0.906 dengan nilai korelasi aitem-total bergerak dari 0.303 sampai 0.647. Jumlah aitem yang diujicobakan adalah 50 aitem dan dari 50 aitem terdapat 35 aitem yang memiliki indeks daya beda yang tinggi yakni aitem-aitem yang memiliki nilai korelasi aitem-total lebih besar atau sama dengan 0,3 (rix≥ 0.3). Kemudian, dari 35 aitem
yang diterima dilakukan penyusunan kembali nomor-nomor aitem untuk kemudian digunakan dalam pengambilan data penelitian.
Aitem-aitem yang digunakan untuk penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Aitem-aitem di bawah yang diberikan tanda kurung dan cetak tebal merupakan penomoran aitem yang baru yang akan digunakan untuk skala penelitian.
(48)
Tabel 3. Distribusi Aitem-aitem Skala Harga Diri untuk Penelitian
No Komponen Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1 Merasa mampu
Pikiran 8, 15, 25, 35, 46
(9),(10),(18),(24),(26)
6, 16, 33, 34, 37
(5),(16),(29),(31),(34) 10
Perasaan 13, 19, 45, 50
(1),(15),(19),(27)
5, 17, 27
(4),(11),(30) 7
Perilaku 7, 24, 36, 47
(3),(8),(20),(35)
21, 28, 40
(12),(28),(33) 7
2 Merasa berguna Menguatkan diri 18, 44 (2),(32)
12, 29, 48
(6),(14),(22) 5
Menghormati diri
9, 30, 41
(7),(21),(23)
2, 31, 42
(13),(17),(25) 6
Jumlah 18 17 35
b. Skala asertifitas
Hasil uji coba skala asertifitas menunjukkan reliabilitas sebesar 0.85 dengan nilai korelasi aitem-total bergerak dari 0.289 sampai 0.63. Jumlah aitem yang diujicobakan adalah 46 aitem dan dari 46 aitem terpilih 25 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (rix ≥ 0.275). Kemudian, dari 25 aitem yang diterima dilakukan
penyusunan kembali nomor-nomor aitem untuk kemudian digunakan dalam pengambilan data penelitian.
Aitem-aitem yang digunakan untuk penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Aitem-aitem di bawah yang diberikan tanda kurung dan cetak tebal merupakan penomoran aitem yang baru yang akan digunakan untuk skala penelitian.
(49)
Tabel 4. Distribusi Aitem-aitem Skala Asertifitas untuk Penelitian
No Elemen Favorable Unfavorable Jumlah
1 Perasaan 1, 29, 37
(2),(15),(18)
28
(1) 4
2 Kebutuhan 6, 13, 30, 36, 42, 43
(5),(6),(20),(22),(23)
2, 7, 24, 31, 35, 44
(3),(4),(12),(16) 9
3 Hak-hak 41
(10)
21, 33
(11),(19) 3
4 Opini 10, 19, 20, 27, 39
(8),(9),(17),(21),(24)
18, 32, 40, 46
(7),(13),(14),(25) 9
Jumlah 14 11 25
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tahap prosedur yang akan dilaksanakan, yaitu tahap persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.
1. Tahap persiapan penelitian
Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan adalah : a. Pembuatan alat ukur
Penelitian ini menggunakan dua alat ukur yang berbentuk skala yang disusun sendiri oleh peneliti. Skala yang pertama yaitu skala harga diri disusun berdasarkan komponen-komponen harga diri yang dikemukakan oleh Frey dan Carlock (1987). Skala yang kedua yaitu skala asertifitas yang disusun berdasarkan elemen-elemen asertifitas yang dikemukakan oleh Williams (2001). Penyusunan skala ini dilakukan dengan membuat blue print dan kemudian dioperasionalisasikan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan. Skala tersebut terdiri dari 96 aitem yang terdiri dari 50 aitem untuk skala harga diri dan 46 aitem untuk skala asertifitas, selanjutnya dilakukan validitas alat ukur yaitu validitas isi oleh dosen pembimbing peneliti.
(50)
b. Uji coba alat ukur
Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba alat ukur. Uji coba dilakukan pada remaja bersekolah yang berusia 15-18 tahun mulai tanggal 14 Mei 2008 – 21 Mei 2008. Uji coba dilakukan terhadap 120 orang untuk skala asertifitas dan 101 orang untuk skala harga diri. Uji coba dilakukan dengan cara memberikan skala baik secara langsung kepada subjek maupun melalui perantara teman.
c. Revisi alat ukur
Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur, maka peneliti menguji daya beda aitem dan reliabilitas skala. Setelah diketahui aitem-aitem yang sahih dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS versi15, maka kemudian peneliti menyusun aitem-aitem yang sahih tersebut menjadi alat ukur yang disajikan dalam skala penelitian, yang terdiri dari 25 aitem untuk skala asertifitas dan 35 aitem untuk skala harga diri.
d. Penentuan sampel
Sebelum penelitian, dilakukan pendataan terlebih dahulu untuk mengetahui jumlah populasi. Setelah mengetahui jumlah populasinya, selanjutnya peneliti menentukan subjek penelitian dengan menggunakan teknik acak sederhana sebanyak 115 orang. Penentuan sampel dilakukan mulai tanggal 19 Mei 2008 – 23 Mei 2008.
(51)
2. Pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian diadakan setelah semua tahap persiapan penelitian dilakukan. Penelitian dimulai dengan menyebarkan skala pada sampel penelitian yang dilakukan mulai tanggal 24 Mei 2008 – 31 Mei 2008.
Peneliti akan menanyakan kesediaan sampel dalam penelitian ini. Setelah sampel bersedia, maka peneliti selanjutnya memberikan skala harga diri dan asertifitas beserta memberi penjelasan yang berhubungan dengan penelitian ini, termasuk didalamnya kerahasiaan identitas sampel, pemberian instruksi untuk mengisi alat ukur, dan bagaimana prosedur pengembaliannya.
3. Tahap pengolahan data
Pengolahan data pada penelitian ini seluruhnya menggunakan bantuan program SPSS versi 15.
G. Metode Analisa Data
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah analisa statistik. Alasan yang mendasari dipakainya analisa statistik adalah karena statistik bekerja dengan angka, statistik bersifat objektif, dan bersifat universal (Hadi, 2000). Seluruh analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer program SPSSversi15.
Analisa data yang digunakan adalah :
1. Uji daya beda aitem
Indeks daya diskriminasi aitem merupakan indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang
(52)
disebut dengan konsistensi aitem-total. Besarnya koefisien korelasi aitem-total dimulai dari 0 – 1 dengan tanda (+) atau (-). Semakin baik daya diskriminasi aitem maka koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1. Kriteria pemilihan aitem berdasar korelasi aitem-total, biasanya digunakan batasan rix≥ 0.30 (Azwar,
2000). Namun, apabila aitem yang sahih ternyata tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka peneliti menurunkan batas kriteria menjadi rix ≥ 0.275.
2. Reliabilitas
Pada umumnya, reliabilitas telah dianggap memuaskan bila koefisien formula alpha dari Cronbach mencapai minimal r = 0,90. Namun, koefisien yang tidak setinggi itu masih dapat dianggap cukup berarti (Azwar, 2000).
3. Uji normalitas sebaran
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data dari variabel harga diri dan variabel asertifitas telah terdistribusi secara normal. Uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov. Data penelitian dapat dikatakan terdistribusi secara normal jika nilai p > α, dimana α = 0,05 (Hadi, 2000).
4. Uji linearitas hubungan
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah data pada variabel X (harga diri) berkorelasi secara linear terhadap data pada variabel Y (asertifitas). Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan uji F (Anova) dan metode interactive graph yang akan menghasilkan diagram pencar (scatter plot). Variabel-variabel dalam penelitian dikatakan linear jika p < α, dimana α = 0,05.
(53)
5. Uji korelasi
Uji korelasi dilakukan untuk menguji hipotesa penelitian ini. Uji korelasi menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment untuk menguji apakah variabel harga diri berhubungan dengan variabel asertifitas pada remaja.
(54)
BAB IV
ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
Bab ini akan menguraikan analisa data dan interpretasi hasil sesuai dengan data yang diperoleh pembahasan diawali dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian.
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Populasi penelitian ini adalah remaja bersekolah dan tinggal bersama orangtua di Lingkungan VII Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan. Subjek penelitian adalah remaja di Lingkungan VII Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan yang berjumlah 115 orang yang memenuhi karakterisitik populasi penelitian. Dari 115 orang yang terpilih, diperoleh gambaran subjek berdasarkan usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia
Berdasarkan usia subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada Tabel 5.
Tabel 5.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Usia Jumlah (N) Persentase (%)
15 tahun 25 21,7
16 tahun 32 27,8
17 tahun 24 20,8
18 tahun 34 29,7
Total 115 100
Berdasarkan data pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa jumlah subjek berdasarkan usia yang terbanyak pada usia 18 tahun sebanyak 34 orang (29,7%),
(55)
diikuti dengan subjek yang berusia 16 tahun sebanyak 32 orang (27,8%), kemudian subjek dengan usia 15 tahun sebanyak 25 orang (21,7%), dan jumlah subjek yang paling sedikit pada usia 17 tahun yaitu 24 orang (20,8%).
2. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada Tabel 6.
Tabel 6.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase (%)
Laki-laki 41 35,6
Perempuan 74 64,4
Total 115 100
Berdasarkan data pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin perempuan, yakni sebanyak 74 orang (64,4%), sedangkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 41 orang (35,6%).
3. Gambaran subjek penelitian berdasarkan suku bangsa
Berdasarkan suku subjek penelitian maka dapat digambarkan penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa
Suku Jumlah (N) Persentase (%)
Minang 13 11,3
Jawa 51 44,3
Melayu 13 11,3
Batak 38 33,1
Total 155 100
Berdasarkan data pada Tabel 7, suku Jawa memiliki jumlah subjek terbanyak, yakni sebanyak 51 orang (44,3%), diikuti jumlah subjek suku Batak sebanyak 38 orang (33,1%), kemudian suku Minang dan Melayu, masing-masing sebanyak 13 orang(11,3%).
(56)
B. Uji Asumsi Penelitian
Ada beberapa syarat yang harus dilakukan sebelum analisa data, yaitu uji asumsi normalitas sebaran pada kedua variabel penelitian, baik variabel X (harga diri) dan variabel Y (asertifitas). Selain itu dilakukan juga uji linieritas untuk mengetahui bentuk korelasi antara masing-masing variabel. Pengujian asumsi dan analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 15.
1. Uji normalitas sebaran
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian mengikuti distribusi normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan metode one-sample Kolmogorov Smirnov. Kaidah yang digunakan yaitu jika p>0.05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p<0.05 maka sebaran data tidak normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Normalitas Sebaran Variabel Harga Diri dan Asertifitas
Variabel Kolmogorov Smirnov Z p Keterangan
Harga Diri 0.956 0.320 Terdistribusi secara normal Asertifitas 0.808 0.531 Terdistribusi secara normal
Data harga diri mengikuti distribusi normal dimana nilai Z = 0.956 dengan nilai p = 0.320 (p>0.05) pada tes Kolmogorov Smirnov. Berikut juga data asertifitas yang mengikuti distribusi normal, dimana nilai Z = 0.808 dengan nilai p = 0.531 (p>0.05) pada tes Kolmogorov Smirnov.
2. Uji linieritas hubungan
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah variabel harga diri dan asertifitas memiliki hubungan linear. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan uji F (Anova). Data dikatakan linear jika p<0.05. Hasil uji linearitas dapat dilihat pada Tabel 9.
(57)
Tabel 9. Uji Linearitas Hubungan
Harga Diri*Asertifitas df F p Keterangan
1 113.773 0.000 Linear
Berdasarkan data pada Tabel 9., disimpulkan bahwa variabel harga diri dan asertifitas memiliki hubungan yang linier, hal ini dibuktikan dari nilai signifikansi (p) sebesar 0.000 (p<0.05).
Hubungan linier dapat juga dilihat dari pola penyebaran skor skalanya dengan menggunakan teknik Interactive Graph yang menghasilkan diagram pencar
(scatter plot), seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Scatter plot Hubungan Harga Diridengan Asertifitas
asertifitas
90 80
70 60
50
har
g
adi
ri
120
100
80
60
Berdasarkan Gambar 1. dapat dilihat bahwa skor-skor pada kedua variabel berkelompok mengikuti pola garis linear positif, sehingga data penelitian selanjutnya dapat dianalisa dengan korelasi Pearson Product Moment.
C. Hasil Utama Penelitian
Pengujian Hipotesa dilakukan dengan menggunakan Teknik Analisa Korelasi
(58)
hipotesa alternatif dapat diterima apabila p<0.05. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Korelasi Harga Diri dengan Asertifitas
r p Keterangan
0.682 0.000 Berkorelasi positif
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Pearson Product Moment, diperoleh nilai rxy= 0.682 dengan nilai p = 0.000 (p<0.05), yang berarti ada hubungan positif
yang signifikan antara harga diri dan asertifitas pada remaja. Hubungan positif artinya, jika harga diri tinggi, maka asertifitas remaja juga tinggi. Sebaliknya, jika harga diri rendah, maka asertifitas remaja juga rendah.
D. Deskripsi Data Penelitian 1. Kategorisasi data penelitian
Berdasarkan deskripsi data penelitian, dapat dilakukan pengelompokan terhadap yang mengacu pada kriteria kategorisasi. Kategorisasi ini berdasarkan asumsi bahwa skor populasi terdistribusi normal.
a. Variabel harga diri
Deskripsi data yang diperoleh dari skor skala harga diri dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Deskripsi Skor Harga Diri
Variabel Skor Empirik Skor Hipotetik Min Max Mean SD Min Max Mean SD
Harga Diri 62 126 99.18 11.78 35 140 87.5 17.5
Berdasarkan data pada Tabel 11. dapat dilihat bahwa rata-rata skor empirik skala harga diri adalah 99.18 dengan standar deviasi sebesar 11.78 dan rata-rata skor hipotetik 87.5 dengan standar deviasi 17.5. Hal ini menunjukkan bahwa
(59)
rata-rata empirik lebih tinggi daripada rata-rata-rata-rata hipotetik. Artinya adalah bahwa harga diri pada subjek penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan populasi.
Pada penelitian ini, subjek penelitian akan dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan skor harga dirinya, yaitu tinggi dan rendah. Untuk mengelompokkan subjek penelitian ke dalam masing-masing kelompok terlebih dahulu akan dihitung besarnya standar eror pengukuran dengan rumusan sebagai berikut:
)
1
(
' xx xe
S
r
S
Besarnya nilai Se akan memperlihatkan kisaran estimasi skor sebenarnya pada
taraf kepercayaan tertentu. Selanjutnya nilai Se akan digunakan untuk melihat
nilai Z pada tabel deviasi normal.
S
eZ
X
2
rxx’ = koefisien reliabilitas skala
Sx = deviasi standar skor
Se = eror standar dalam pengukuran
= taraf kepercayaan pengukuran
Untuk Skala Harga Diri dengan rata-rata = 99.18 yang dibulatkan menjadi 99, standar deviasi = 11.78 dan rxx’ = 0.906 pada taraf kepercayaan 95%, maka nilai Z
tabel adalah 1.96, sehingga diperoleh standar eror pengukuran harga diri sebesar:
61
.
3
906
.
0
1
78
.
11
e eS
S
(60)
Gambaran kecermatan skor skala harga diri adalah (1.96)(3.61) = 7.07 yang dibulatkan menjadi ± 7, maka fluktuasi skor menjadi 99 ± 7, sehingga diperoleh skor X ≥ 106 untuk skor harga diri tinggi dan X ≤ 92 untuk skor harga diri rendah.
Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan maka gambaran skor harga diri dapat dilihat dalam Gambar 2. Adapun untuk kasus membagi kategori ke dalam dua kategori dapat dilakukan dengan menggunakan batas kisaran skor atau fluktuasi skor mean seperti ilustrasi di bawah ini.
Gambar 2. Fluktuasi Skor Rata-rata Harga Diri
__...__...__...__...__...__...__...__...__...__...__...__...__...__...__...__...__ 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
Pada ilustrasi di atas, dengan mean skor sebesar 99, maka batas skor untuk kategori harga diri tinggi dimulai dari skor 99 + 7 = 106, sedangkan batas skor untuk kategori harga diri rendah dimulai dari skor 99 – 7 = 92. Remaja yang memperoleh skor 107 misalnya, dapat dikatakan memiliki harga diri yang tinggi, sedangkan siswa yang memiliki skor 90 misalnya, dapat dikatakan memiliki harga diri yang rendah. Sementara itu, siswa yang memiliki skor diantara 92 dan 106 tidak perlu diklasifikasikan, karena tujuan semula memang hanya untuk memisahkan subjek ke dalam dua kategori saja.
Berdasarkan data di atas, maka kategorisasi skor harga diri dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Kategorisasi Data Empirik Harga Diri
Variabel Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase
Harga Diri X ≤ 92 Rendah 33 28.69
(1)
46
4 136
3 133
3 126
4 132
2 115
3 129
2 115
4 142
2 119
3 100
2 122
3 118
2 97
3 113
2 120
3 131
3 124
2 116
3 132
1 143
1 118
2 120
2 147
1 106
2 121
3 129
1 118
3 131
3 140
2 118
2 142
2 132
3 131
3 135
3 136
2 114
3 133
2 119
2 136
3 116
2 119
3 142
3 132
3 141
2 102
3 126
2 100
3 129
2 110
(2)
3 133
3 114
2 116
2 120
2 112
2 136
1 140
1 103
3 150
3 128
3 138
2 119
2 114
2 129
2 117
1 107
3 113
2 132
3 122
4 121
1 100
2 108
3 123
4 119
1 125
2 121
1 116
1 116
2 126
2 125
2 126
2 127
3 126
2 131
2 135
3 128
2 124
3 128
3 123
2 124
4 125
3 131
3 121
3 126
4 129
2 119
4 126
2 122
3 134
3 124
(3)
3 121
1 107
1 134
3 128
2 115
1 117
4 137
1 115
3 131
1 100
3 114
2 108
1 118
3 134
3 105
2 111
3 134
2 127
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. (2006). Psikologi Perkembangan. Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung : Refika Aditama.
Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. _______. (2000). Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Baer, J. (1976). How To Be Assertive (Not Aggressive) Women in Life, in Love, and on the Job. New York: New American Library Inc.
Baron, R. A., & Byrne, D. (2000). Social Psychology (10th ed). USA: Pearson Education Inc. Bidulp. (1992). Menciptakan Anak Bahagia. Jakarta: Mitra Utama.
Branden, N.(1981). How To Raise Your Self Esteem. Jakarta: Delapratasa Publishing
Conger, J.J. (1991). Adolescent & Youth: Psychological Development in A Changing World (4th ed). New York: Harper Collins.
Coopersmith, S. (1967). The Antecedents of Self-Esteem. San Fransisco: W. H. Freeman.
Dacey, J., & Kenny, M. (1997). Adolescent Development (2nd ed). Dubuque: Brown and Benchmark.
Daud, M. (2004). Mengasah perilaku Asertif dalam Kehidupan Bersama. Jurnal Intelektual Vol.2 No.2.
Deaux, K. (1993). Social Psychology in the ‘90s (6th ed). California: Belmont. Wadsworth Inc. Diwanto, M. (1998). Kasus Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau dari Ilmu Kesehatan Jiwa
(Psikiatri). [On-Line]. http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/p4/bk/murcuant.htm
Diakses tanggal 20 november 2007.
Ekowarni, E. (2002). Mengembangkan kepribadian Remaja Agar Bebas Narkoba. [On-Line]. http://www.bethanyr4.or.id/narkoba/indo/artikel/bebas%20narkoba.htm Diakses tanggal 22 November 2007.
Elliot, T.R., & Gramling S.E. (1990). Personal Assertiveness & the Effect of Social Support among College Student. Journal of Counseling Psychology Vol. 37 No.4.
Endriana, H. (2007). Lifestyle: Kalo Pacar Jadi Partner Seks. [On-line]. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/lifestyle/index.html Diakses tanggal 4 Februari 2008.
(5)
Frey, D., & Carlock, C. J. (1987). Enhancing Self Esteem. Indiana: Accelerated Development Inc.
Fukuyama, & Greenfield. (1985). Dimension of Assertiveness in an Asian American Student Population. Journal of Counseling Psychology Vol.30 No.3.
GloriaNet. (2007). Waspadai, Tekanan Teman Sebaya Menjerumuskan. [On-line]. http://www.glorianet.org/mau/serabi/index.html Diakses tanggal 10 November 2007. Hadi, S. (2000). Metodologi Research, Jilid 1. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
______. (2000). Metodologi Research, Jilid 2. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
______. (2000). Metodologi Research, Jilid 3. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kozier, B.B., & Erb, G. (1987). Fundamentals of Nursing: Concepts and Procedures (3rd ed). Massachussets: Eddison Wesley.
Kusmayadi, I. (2007). Menumbuhkan Kepercayaan Diri Siswa. [On-Line]. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/07/99forumguru.htm Diakses tanggal 20 November 2007. Mappiare, A. (1990). Psikologi Perkembangan Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Masinambow, E.K.M. (1997). Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (Edisi Pertama). Jakarta : Asosiasi Antropologi Indonesia & Yayasan Obor Indonesia.
Mayasari, F., & Hadjam, N. R. (2000). Perilaku Seksual Remaja dalam Berpacaran Ditinjau dari Harga Diri Berdasarkan Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi No.2.
Monks, F. J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S. R.. (1999). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mulamawitri, T. (2007). Nge-geng, Antara Tekanan dan Keinginan Pribadi. [On-Line]. http://kompas.com/kompas-cetak/0308/01/muda/466337.htm Diakses tanggal 20 November 2007.
Myers, G. E., & Myers, M. T. (1992). The Dynamics of Human Communication (6th ed). New York: McGraw Hill Book Company
Olivia, R. (2005). Keperawanan dan Keterampilan Berkata Tidak. [On-Line]. http://www.kompas.com/kirim_berita/print.cfm?nnum=80565 Diakses tanggal 20 Oktober 2007.
(6)
Prabowo, S. (2001). Membangun Perilaku Asertive pada Komunikasi Terapeutik Antar Perawat dan Pasien. Psikodimensia Vol.1 No.1.
Rakos, R. F. (1991). Assertive Behavior: Theory, Research & Training. New York: Routledge, Chapman & Hall Inc.
Rini, J. (2001). Asertivitas. [On-Line]. http://www.e-psikologi.com/dewasa/assertif.htm. Diakses tanggal 20 Oktober 2007.
Santrock, J.W. (1998). Adolescence (11th ed). New York: McGraw Hill. Shaevitz, M.H. (1993). Wanita Super. Yogyakarta: Kanisius.
Shaffer, R. D. (2005). Social and Personality development (5th ed) USA: Thomson Learning Inc. Suryabrata, S. (1993) Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Utamadi, G. (2002). Lawan Sikap Membeo dengan Asertif. [On-Line]. http://segitiga.stikom.edu/v.01/main.php?act=kup&xid=200208 Diakses tanggal 10 November 2007.
Utamadi, G. (1999). Self Esteem dan Peer Pressure Pada Remaja. [On-Line]. http://www.bkkbn.or.id/dokumen/visi.pdf Diakses tanggal 10 November 2007
Widjaja, P.D.C., & Wulan, R. (1998). Hubungan Antara Asertivitas dan Kematangan dengan Kecenderungan Neurotik pada Remaja. Jurnal Psikologi No.2.
Williams, C. (2000). Being Assertive. [On-Line]. http://www.leeds.ac.uk/ahead4health/ assets/Beingassertive.pdf Diakses tanggal 1 Desember 2007.
Willis & Daisley, J. (1995). The Assertive Trainer. London: McGraw Hill.
Workshops, Inc. (1998). Life Skills for Vocational Success: Assertiveness. [On-Line]. http://www.workshopsinc.com/manual/Ch1L1.3.html Diakses tanggal 15 November 2007.