Jadi, trait atau sifat dapat timbul karena penyebab beberapa factor, yaitu factor lingkungan dan keturunan. Namun bisa juga karena factor campuran dari
kedua factor tersebut. Hal ini dikarenakan trait atau sifat merupakan suatu kecenderungan yang dapat mengarahkan perilaku seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain.
2.1.2 Pengaruh budaya terhadap sifat
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Allport mengemukakan bahwa sifat tidak dapat dilepaskan dari lingkungan dan terbentuknya selalu didasari oleh
hubungan yang aktif antara individu dengan lingkungannya. Maka dari itu sifat sebagai disposisi tingkah lagu tidak dengan sendirinya mendorong munculnya
tingkah laku tertentu tetapi membutuhkan stimulus dari lingkungan untuk dapat terwujud dalam tingkah laku.
Stagner Lie, 2004 mengungkapkan “…traits develop from an interaction
of heredity an environmental influences…”. Pernyataan Stagner ini mempunyai implikasi bahwa sifat sebagai bagian dari kepribadian individu juga tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh kultur dimana sifat itu barkembang. Menurutnya, didalam pengembangan sifat juga terlibat proses persepsi, belajar selektif yang
semuanya menunjukkan bahwa sifat itu semata-mata bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir.
Berry 1992, seorang antropolog, menyatakan bagaimana budaya dapat
berpengaruh terhadap sifat dapat dijelaskan melalui proses pewarisan budaya. Ia menyatakan bahwa dalam sebuah kebudayaan terdapat proses pewarisan budaya,
20
baik secara horizontal ataupun vertikal. Pewarisan secara vertikal datang dari orang tua, yang disebut dengan istilah enkulturasi dan sosialisasi dari orang tua.
Pewarisan secara horizontal datang dari proses enkuturasi dan sosialisasi dari teman sebaya.
Enkuturasi menurut Herkovits Lie, 2004 adalah adanya semacam
pelingkupan atau pengelilingan encompassing or surrounding budaya terhadap individu. Karena individu adalah bagian dari budaya maka ia tidak akan terlepas
dari proses pelingkupan atau pengelilingan ini. Secara langsung maupun tidak langsung ia akan bersentuhan dan dikelilingi oleh budaya yang ada di lingkungan.
Dengan adanya pengalaman dan proses pembelajaran, maka individu akan mengetahui dan dapat memperoleh hal-hal penting menurut pandangan
budayanya. Proses tersebut tidak selalu diberikan secara terencana proses pengajaran secara khusus melainkan terjadi tanpa direncanakan sehingga
seringkali terjadi tanpa direncanakan sehingga seringkali terjadi pembelajaran yang alami.
Meng Liang 1996; Hofstede 1991 yang dikutip oleh Riyanti 2003
mengidentifikasi empat cirri menonjol pada budaya Asia, termasuk Indonesia, yaitu:
1.
Power Distance Jarak kekuasaan Budaya power distance yang tinggi di Indonesia yang menyebabkan
adanya distribusi kekuasaan yang tak seimbang dalam institusi-institusi dan organisasi-organisasi. Budaya ini paling jelas tampak dalam wujud “Bapak-
21
isme” atau orientasi ke atas. Orang terbiasa diperlakukan berbeda karena perbedaan status dan pangkat. Kondisi ini menciptakan hubungan kerja
atasan-bawahan yang birokratis, dimana terdapat jarak dalam interaksi atasan dan bawahan. Jarak ini menghambat penyampaian ide kreatif dari atasan
kepada bawahan. Jarak ini menghambat penyampaian ide kreatif dari atasan kepada bawahan ataupun sebaliknya dari bawahan kepada atasan.
2.
Uncertainty avoidance penghindaran ketidakpastian Menurut Yee Riyanti 2003 salah satu ciri penting wirausaha yang
berhasil adalah keberanian untuk mengambil resiko. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa uncertainty avoidance ini menghambat terbentuknya
wirausaha yang inovatif. Dalam kaitannya dengan budaya Indonesia, masyarakat di Indonesia tampaknya masih menekankan nilai kehidupan yang
“aman”, dan terhindar dari ketidakpastian. Hal ini tergambar dari preferensi masyarakat Indonesia yang kebanyakan memilih bekerja sebagai pegawai.
Dari gambaran tersebut maka dapat disimpulkan bahwa budaya Indonesia cenderung memiliki tingkat avoidance yang tinggi yang dapat menghambat
berkembangnya kewirausahaan.
3.
Collectivism-individualism Dalam kaitan dengan ciri budaya collectivism-individualism, kita
merasakan kuatnya budaya kolektivisme di Indonesia. Dalam warna budaya seperti ini, masyarakat cenderung bersikap kompromistis sehingga munculnya
gagasan-gagasan baru terhambat. Jelas, ini bertolak belakang dengan sifat wirausaha sebagai seorang inovator Schumpeter dalam Meng Liang, 1996
22
yang memiliki self confidence tinggi Niehouse dalam Meng Liang, 1996 dan locus of control internal Rotter dalam Meng Liang, 1996
4.
Masculinity-feminity Dalam kaitan dengan ciri masculinity-feminity, di Indonesia kita lebih
merasakan budaya yang berorientasi feminity. Disini, hal terpenting dalam interaksi sosial adalah harmoni. Ciri ini menghambat tumbuhnya orientasi
materi
2.1.3 Wirausaha