72
Persoalan yang paling lama diceritakan adalah persoalan Syekh Burhanuddin menuntut ilmu agamanya, mulai berguru kepada Tuanku Madinah hingga Ia wafat lalu
Syekh burhanuddin berguru kepada Syekh Abdurrauf, dalam perjalanannya berguru ini lah sangat lama diceritakan sehingga dia kembali ke Nagari Ulakan. Dapat dilihat dari
cerita sebagai berikut: Tetapi amat disayangkan, Pono tidak sempat belajar dalam waktu yang
cukup panjang pada Syekh Madinah, karena hanya dalam jangka waktu tiga tahun Pono mengaji Syekh Madinah kemudian telah meninggal
dunia. Dan juga dalam kutipan cerita sebagai berikut : Disaat itu pulalah Ia ingat pesan gurunya ketika masih hidup bahwa ketika keadaan sudah
memungkinkan gurunya menyarankan agar Ia melanjutkan menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf di Sinkil Aceh, seorang Ulama besar yang
sangat terkenal pada masa itu.
Berdasarkan ketiga usnur tema diatas dapat diketahui bahwa tema dari cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin adalah sikap kepahlawanannya dalam
mngislamisasikan masyarakat Nagari Ulakan.
5.1.3 Latar Keberadaan latar atau
setting
di dalam karya sastra mempunyai hubungan yang erat dan saling menunjang dengan unsur-unsur karya sastra lainnya. Hal ini senada
dengan yang dikatakan Jakob Sumarjo dalam Rampan, 1984: 128 bahwa,
setting
bukan sekedar
background,
yaitu petunjuk tempat kejadian dan waktu terjadinya suatu peristiwa; tetapi
setting
adalah sesuatu yang kompleks yaitu mencakup semua unsur lainnya untuk menujang tema dan perwatakan.
Pendapat Jakob Sumarjo di atas menjelaskan bahawa latar tidak hanya merupakan tempat dan waktu suatu peristiwa dalam karya sastra melainkan merupakan
Universitas Sumatera Utara
73
sesuatu yang kompleks. Dikatakan kompleks karena berdasarkan latar dapat pula diketahui watak dan perwatakan seorang tokoh cerita, jalinan cerita, dan tema serta
suasana-suasana kemasyarakatan dan kejiwaan yang terdapat dalam karya sastra. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa latar memiliki hubungan yang sangat erat
dengan unsur-unsur pembentuk karya sastra lainnya seperti alur, watak, dan tema. Latar dalam karya sastra dapat dibedakan atas tiga unsur pokok yaitu tempat,
waktu, dan sosial. Latar tempat biasanya menjelaskan tentang lokasi terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya sastra atau drama.
18
Latar waktu dalam karya sastra drama biasanya berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya sastra.
Masalah “kapan” ini biasanya dihubungkan dengan waktu faktual atau waktu yang ada kaitannya dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
19
Adapun yang dimaksud dengan latar sosial dalam karya sastra, biasanya mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat
disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra.
20
Latar sosial ini mencakup tata cara kehidupan sosial masyarakat dan berbagai masalah dalam lingkup yang cukup
kompleks. Oleh karena itu, latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, bahasa dan lain-lain
yang dapat digolongkan sebagai latar spritual masyarakat.
21
18
Burhan Nurgiantoro, Pengkajian Fiksi, Bandung, Gadjah MAAda University Press, 1995, hal. 227
19
Ibid. Hal. 230
20
Ibid. Hal. 233
21
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, Jakarta, Rajawali Press, 1988. Hal. 44
Universitas Sumatera Utara
74
Ketiga elemen latar diatas terdapat di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin. Berikut akan dijelaskan ketiga elemen datar yang terdapat di dalam cerita
Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin.
Latar Tempat
Latar tempat yang terdapat di dalam cerita Tuanku Keramat syekh Burhanuddin adalah di Kuawek Galundi Nan Baselo Pariangan Padang Panjang, Tapakis Ulakan,
Nagari Malalo, Nagari Asam Pulau, Batang Anai, Sintuk Lubuk Alung, Tanjung Medan, Nagari Ulakan, Pulau Angso, Aceh dan Gunung Sitoli. Dapat dilihat dari
kutipan cerita sebagai berikut : 1.
Pada saat usia antara 9 sampai 11 tahun terjadi suatu peristiwa yang menarik, yaitu ketika pada suatu hari Dia sedang bersanda gurau sesama
teman sepermainan disebuah tempat ketinggian yang bernama
Kuweak Gulandi Nan Baselo.
Tanpa disadari harimau datang menerkam dari belakang dan dengan sigap Ia mengadakan perlawanan terhadap harimau
yang hampir saja menerkam itu. 2.
Riwayat lain menceritakan bahwa kepindahan Pono ke daerah rantau Tapakis Ulakan adalah faktor ekonomi orang tuanya yang kurang
memungkinkan di Pariangan Padang Panjang. 3.
Perjalanan keluarga pono dari kampung halaman Pariangan Padang Panjang ditempuh dengan menelusuri hutan melewati Nagari Malalo
turun gunung sampai ke Nagari Asam Pulau terus menghiliri anak sungai Batang Anai, maka sampai lah mereka di Nagari Sintuk Lubuk Alung.
4. Di Pengembalaan di Tapakis ini Pono bertemu dengan seseorang orang
Ulakan yang berasala dari Tanjung Medan yang Bernama Idris. 5.
Perjuangan beliau dalam mengislamisasikan dan mensejahterahkan masyarakat di Nagari Ulakan sangat dirasakan manfaatnya hingga
sekarang oleh masyarakat pendukungannya. 6.
Ia dapat melayari lautan Hindia dan mendara di pulau Angso dekat pantai Pariaman.
7. Ia melanjutkan menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf di Sinkil Aceh,
seorang Ulama besar yang sangat terkenal pada masa itu. 8.
Ketika dalam pelayaran pulang rombongan Syekh burhanuddin pernah merapat di Gunung Sitoli di sebuah pulau untuk menambah perbekalan
air bersih. Setelah sumur digali di pualau lalu airnya diambil dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan, sumur itu kelak dinamankan
sumur
niyah¸
kemudian berubah menjadi Nias, itulah asal nama pulau Nias itu.
Universitas Sumatera Utara
75
Latar Waktu
Latar waktu adalah latar yang mengungkapkan kapan sebuah peristiwa itu berlangsung atau terjadi. Adapun latar waktu yang terdapat di dalam cerita Tuanku
Keramat Syekh Burhanuddin adalah sebagai berikut. 1.
Pada saat usia antara 9 sampai 11 tahun : Syekh Burhanuddin melawan seekor harimau untuk melindungi teman sepermainannya.
2. Sejak usia dini : Syekh Burhanuddin telah mendapatkan pendidikan akhlak dan
budi pekerti yang baik. 3.
Ketika Ia berumur 7 tahun : Syekh Burhanuddin telah dibawa orang tuannya untuk belajar kepada seorang gurajat.
4. Setiap hari : Syekh Burhanuddin mengembalakan kerbau.
5. Sesampainya Syekh Burhanuddin di Aceh : untuk menuntut dan melanjutkan
ilmunya kepada syekh Abdurrauf.
Pemikiran
Pemikiran di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin adalah pemikiran beliau untuk mengislamisasikan masyarakat di Nagari Ulakan pada
umumnya. Yang pada masa itu masyarakat di Nagari Ulakan masih menganut Animisme. Perjuangan Syekh Burhanuddin untuk mengislamisasikan masyarakat
tidaklah begitu mudah Ia mendapat halangan dari berbagai lapisan masyaraakat terutama pemuka adat. Tidak sampai disitu saja, beliau mendapat ancaman yang
amatlah besar dari masyarakat bahwa kedua orang tuanya pun ikut teracam, nyawa beliau menjadi taruhannya. Tetapi beliau terus berusaha dengan isin Allah akhirnya
Universitas Sumatera Utara
76
semua masyarakat di Nagari ulakan dan pemuka adat pun menerima hadirnya agama baru ini yang dibawakan oleh Syekh Burhanuddin. Dapat dilihat dari kutipan cerita
sebagai berikut: Meskipun demikian dengan cara sembunyi dan berbisik-bisik Ia mulai
menyampaikan da’wah Islam kepada orang tua, keluarga, kerabat, serta
teman dekatnya perlahan-lahan agama Islam mulai diterima oleh orang Sintuk. Namun, kehadiran agama baru ini membawa ketidak puasan bagi
sebagian orang, terutama pihak penghulu adat. Akibatnya, Pono mendapat tantangan dari Sebagian besar masyarakat Sintuk, mereka
bahkan meminta agar Pono bersedia meninggalkan kegiatan da’wahnya, namum Pono tetap saja melakukannnya. Dampak dari aktivitas da’wah
yang dilakukan Pono menjadikan beliau terisolasi dari masyarakat dan malah mendapat ancaman akan dibunuh, demikian juga orang tuanya
yang dianiaya oleh penduduk setempat. Saat kritis yang dialami Pono itu menjadikannya kuat dan keinginannya kokoh untuk mendalami ilmu
agama.
Perwatakan
Pelakon atau tokoh cerita tidak dapat dilepaskan dalam penciptaan sebuah cerita di dalam karya sastra, terutama dalam naskah drama atau teater. Tanpa kehadiran tokoh
cerita atau pelakon dalam naskah drama maka tidak ada cerita dalam drama tersebut sebab tidak mungkin ada suatu karya drama tanpa memiliki tokoh yang diceritakan dan
tanpa adanya tokoh yang bergerak sehingga membentuk alur sebuah cerita. Berdasarkan keterangan diatas terlihat bahwa adanya hubungan antara tokoh
cerita dengan cerita atau peristiwa. Selain itu tokoh cerita adalah orang yang mengalami seluruh peristiwa atau bagian dari peristiwa yang digambarkan di dalam alur cerita atau
plot Sumardjo dan saini, 1988: 144. Melalui peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh cerita, pengarang menggambarkan secara lengkap watak masing-masing tokoh cerita.
Watak yang dimiliki tokoh-tokoh cerita disesuaikan pada watak yang terdapat dengan manusia secara umum seperti jahat, baik, ragu, murung, riang, berani, pengecut, licik,
Universitas Sumatera Utara
77
jujur, atau gabungan dari watak-watak tersebut. Dengan mengetahui dan memahami watak yang dimiliki oleh tokoh cerita maka dapat dimengerti mengapa suatu tindakan
atau kejadian dapat berlangsung. Di sisi lain, watak yang dimilki oleh tokoh cerita merupakan motivasi terhadap
jalinan peristiwa-peristiwa yang terdapat di dalam alur cerita. Dengan kalimat lain, perwatakan dapat berfungsi sebagai penopang alur dan cerita. Perwatakan juga bertugas
menyediakan alasan bagi tindakan-tindakan tertentu yang terjadi pada seluruh isi sebuah karya sastra. Gambaran mengenai hak tersebut sekaligus sebagai indikasi adanya
hubungan yang erat antara perwatakan, alur, dan cerita. Cara yang paling sederhana untuk mengetahui dan mengenal tokoh cerita adalah
dengan pemberian nama Wellek dan Werren, 1990: 287. Sedangkan untuk memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh didalam karya sastra ada dua cara yang
dapat diterapkan oleh pengarang yakni,
secara analik,
yaitu pengarang lansung memaparkan tentang watak dan karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh
tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya. Sedangkan
secara dramatik,
yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan secara langsung tetapi hal itu disampaikan melalui: 1 pilihan nama tokoh, 2 melalui penggambaran fisik
atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungannya, dan sebagainya, 3 melalui dialog, baik dialog tokoh yang
bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain, atau dialog antara tokoh- tokoh lain mengenai tokoh yang bersangkutan.
22
Berdasarkan fungsinya di dalam cerita, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh utama atau tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang
22
Atar Semi, 1987, Anatomo Sastra, Padang, Angkasa, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
78
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan Nurgiyantoro, 1995: 177. Berdasarkan fungsi penampilannya, tokoh utama dibedakan atas tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Sehubungan dengan itu menurut Panuti Sudjiman bahwa, protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam
kisahan. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, waktu yang digunakan untuk mengisahkan pengalaman protagonis lebih panjang. Protagonis dapat juga ditentukan
dengan memperhatikan hubungan antar tokoh. Protagonis berhubungan dengan tokoh- tokoh yang lain, sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak semua berhubungan satu
dengan yang lain.
23
Tokoh antagonis adalah tokoh yang barangkali dapat disebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin.
Dengan kalimat lain, tokoh antagonis adalah penantang utama dari tokoh protagonis.
24
Sementara itu tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya didalam cerita, tetapi kehadiranya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh
utama.
25
Berdasarkan seluruh keterangan di atas maka di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin dapat dikategorikan sebagai tokoh utama
cerita, serta Idris Khatib Majolelo, Syekh Abdulah Arif Tuanku Madinah, Syekh Abdurrauf Syekh kuala, Khatib Sangko, Kalik-kalik Jantan, Gaga Tangah Padang, Si
Hujan Paneh, dan Si Waman sebagai tokoh pembantu. Adapun mengenai perwatakan dari tokoh-tokoh cerita tersebut akan diberikan di bawah ini.
23
Panuti Sudjiman, 1988, Memahami Cerita Rekaaan , Jakart, Rajawali Press, hal. 18
24
Ibid. hal. 19
25
Ibid. hal. 20
Universitas Sumatera Utara
79
Syekh Burhanuddin digambarkan sebagai orang yang berwatak baik dan penuh
semngat untuk menuntut ilmu terutama ilmu agama. Sifat dan semangat Syekh Burhanuddin terlihat ketika dia melindungi kawan sepermainannya sampai Ia terluka
dan Ia sangat bersemangat menuntut ilmu sampai ke Aceh. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Sinar mata kecerdasan dan kearifan yang dimiliki Pono menjadikan gurunya Tuanku Madinah menyayangi dan memberikan pelajaran
padanya dengan baik dan sungguh. Tetapi amat disayangkan, Pono tidak sempat belajar dalam waktu yang cukup panjang pada Syekh Madinah,
karena hanya dalam jangka waktu tiga tahun Pono mengaji Syekh Madinah kemudian telah meninggal dunia. Kepergian guru yang amat
dicintainya menjadikan Ia selalu bersedih dan kembali ketempat orang tuanya di Sintuk. Disaat itu pulalah Ia ingat pesan gurunya ketika masih
hidup
bahwa ketika
keadaan sudah
memungkinkan gurunya
menyarankan agar Ia melanjutkan menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf di Sinkil Aceh, seorang Ulama besar yang sangat terkenal
pada masa itu.
Idris Khatib Majolelo digambarkan sebagai orang yang baik, Ia lah teman
pertama Syekh Burhanuddin di Tapakis, Idris ini lah yang menghantarkan Syekh Burhanuddin kepada guru yang dicarinya yaitu Tuanku Madinah, Ia merupakan guru
pertama dari Syekh Burhanuddin. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. Padang pengembalaannya tidak terbatas di Sintuk saja, tetapi Ia juga
mengembala sampai ke daerah Tapakis, daerah yang terletak antara Sintuk dan Ulakan. Di Pengembalaan di Tapakis ini Pono bertemu
dengan seseorang orang Ulakan yang berasala dari Tanjung Medan yang Bernama Idris. Di sini, Pono mendapatkan informasi yang lebih luas
tentang Tuanku Madinah di Tapakis. Sejak masa itu pula Ia mulai belajar agama sekaligus mengembalakan ternaknya. Pada masa itu penduduk
masih mempunyai kepercayaan animisme dan belum meyakini adanya Tuhan. Ketika Idris Majolelo mengenalkan Pono dengan seorang
ulamaSyekh yang berasal dari Aceh yang Bernama Syekh Abdullah Arif gelar Tuanku Madina, maka dengan segera pula Pono langsung
menerima agama Islam dengan mengucapkan
dau kalimah syahadat
dihadapan Tuanku Madinah. Sementara anak-anak lain di daerah itu memegang kepercayaan lama.
Universitas Sumatera Utara
80
Syekh Abdulah Arif Tuanku Madinah digambarkan sebagai orang yang
berwatak penyayang. Terlihat pada sikapnya panyayangnya terhadap murid-muridnya terutama kepada Syekh Burhanuddin, sehingga Syekh Burhanuddin merasa sangat
terpukul ketika gurunya ini meninggal dunia. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. Tuanku Madinah atau Syekh Abdullah Arief diduga sebagai
pengembang Islam pertama di daerah ini. banyaklah orang belajar agama Islam pada Tuanku Madinah tersebut. Diantara muridnya kelak yang
menjadi pilar penyebar Islam di Nagari itu adalah Pono. Pertemuan dan bergurunya Pono pada Tuanku Madinah merupakan babak baru
kehidupan Pono pribadi. Ia belajar dengan tekun dan cepat sekali mengerti setiap pelajaran yang diberikan gurunya. Guru yang
mengajarpun sangat senang pada pribadi muridnya ini karena kecerdasan dan kepatuhannya. Sinar mata kecerdasan dan kearifan yang dimiliki
Pono menjadikan gurunya Tuanku Madinah menyayangi dan memberikan pelajaran padanya dengan baik dan sungguh. Tetapi amat
disayangkan, Pono tidak sempat belajar dalam waktu yang cukup panjang pada Syekh Madinah, karena hanya dalam jangka waktu tiga
tahun Pono mengaji Syekh Madinah kemudian telah meninggal dunia. Kepergian guru yang amat dicintainya menjadikan Ia selalu bersedih.
Syekh Abdurrauf Syekh kuala digambarkan sebagai orang yang berwatak
baik. Sikap baiknya tergambar ketika Ia dengan senang hati menerima datangan Syekh Burhanuddin untuk berguru kepadanya bahkan ia mengizinkin Syekh Burhanuddin
tinggal dirmhnya dan seemua kebutuhan Syekh Burhanuddin Ia tanggu selama menuntut ilmu bersamanya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Sesampai Pono di Aceh sekitar tahun 1043 H, Ia langsung memperkenalkan diri dan menghadap Syekh Abdurrauf serta
menyampaikan niatnya untuk belajar ilmu agama Islam. Dengan segala senang hati Syekh Abdurrauf menerimanya dan menjadikan Pono
sebagai murid. Sebagaimana lazimnya seorang guru menerima murid untuk mempelajari ilmu pengetahuan agama, disediakan suatu tempat
yang khusus
surau .
Namun lain halnya dengan Pono, Ia tidak tinggal di Surau yang telah disediakan melainkan dibawa oleh Syekh Abdurrauf ke
rumahnya karena selain mengaji Dia juga membantu gurunya mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mengembalakn ternak dan
membuat kolam ikan sebagai sebagian dari kegiatan pesantren di masa
Universitas Sumatera Utara
81
itu.Berbeda dengan murid-murid yang lain, Pono mendapat perlakuan khusus dari gurunya, baik dari segi tempat belajar begitu juga dalam
biaya kehidupan sehari-hari yang berada dalam tanggungan gurunya.
Khatib Sangko digambarkan sebagai orang yang berwatak seorang yang kuat.
Ia tahan terhadapat sihir dan senjata tajam. Dan juga Ia panglima perang kerajaan aceh. Hal ini ini terlihat dalam kutipan berikut.
Kepulangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan diceritakan begitu dramatis, seolah-olah ia dipersiapkan dengan pengawal dan dukungan pasukan
yang kuat dan menunjukan adanya campur tangan kuasa Aceh terhadap Ulakan. Syekh Burhanuddin pulang ke Ulakan tahun 1020 H1611 M
dengan diberi pengawal 70 orang pasukan yang berani tahan terhadap sihir dan senjata tajam dibawah pimmpinan pang lima perang yang
bernama Khatib Sangko. Khatib Sangko adalah orang ulakan juga yang dulu dibawa orang Hindu ke Aceh kemudian Islam dan mengabdi untuk
kerajaan Aceh. Ia berasal dari Nagari Gunung Tigo Tandikat Kecamatan VII Koto Sungai Sarik Kabupaten Padang Pariaman. Ketika dalam
pelayaran pulang rombongan Syekh burhanuddin pernah merapat di Gunung Sitoli di sebuah pulau untuk menambah perbekalan air bersih.
Setelah sumur digali di pualau lalu airnya diambil dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan, sumur itu kelak dinamankan sumur
niyah¸
kemudian berubah menjadi Nias, itulah asal nama pulau Nias itu.
Kalik-kalik Jantan, Gaga Tangah Padang, Si Hujan Paneh, dan Si Waman
digambarkan sebagai orang-orang pemuka adat yang tidak senang dengan kedatangan Syekh Burhanuddin beserta rombongannya yang mereka anggap dapat mengalahkan
kewibawaan dan agama mereka. Hal ini dapat dilihat dari kutipan. Kabar kedatangan rombongan dari Aceh ini telah mashur di Pariaman
dan sekitarnya. Berita ini tidak direspon dengan baik malah mendapat tantangan dari
pemuka orang nan barampek
di VII Koto Sungai Sarik Pariaman, yaitu Kalik-Kalik Jantan, Gaga Tangah Padang, Sihujan
Paneh, dan Siwaman. Empat orang ini adalah panglima dan orang berani di Pariaman sekitarnya, Ia juga ahli sihir. Mereka menolak kedatangan
rombongan dari Aceh yang mereka anggap akan mengalihkan kewibawaan dan agama mereka, akhirnya Khatib Sangko tetap
bersikeras untuk mendarat walaupun mereka ditolak oleh orang Tepi
Universitas Sumatera Utara
82
Darat. Ujung dari perbedaan menimbulkan perperangan antara rombongan dari Aceh dibawah Pimpinan Khatib Sangko dan masyarakat
Pariaman sekitarnya dengan panglimanya empat orang besar yang tersebut diatas. Akibat peperangan ini menimbulkan korban yang besar
dikedua belah pihak. Rombongan dari Aceh semua pasukan tewa kecuali Khatib Sangko saja sedangkan dari masyarakat Pariaman tiga orang
pmpinannya tewas dan satu orang yaitu Kalik-Kalik Jantan masih dapat bertahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Syekh Burhanuddin berwatakan baik dan penuh semangat dalam berjuang untuk mengislamisasikan
masyarakat di Nagari Ulakan.
5.2 Nilai-nilai Kepahlawanan Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin