Kesepian Dan Depresi Pada Penderita Kanker Paru
KESEPIAN DAN DEPRESI PADA PENDERITA
KANKER PARU
Skripsi
Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi
Oleh:
LINDA Y S SIREGAR
031301091
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Oktober 2008
(2)
ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Kesepian dan depresi merupakan kondisi psikologis yang dapat terjadi pada setiap orang. Saat kesepian seseorang akan merasa putus asa (desperation), bosan dan tidak sabaran (impatient boredom), mengutuk diri sendiri
(self-deprecation) dan depresi. Depresi merupakan gangguan perasaan (afek) yang
ditandai dengan afek disforik (kehilangan kegembiraan/gairah) disertai dengan gejala-gejala lain seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan. Kesepian dan depresi bisa terjadi karena penyakit kronis seperti kanker. Ada beberapa alasan kenapa penyakit kanker dapat menyebabkan seseorang menderita kesepian dan depresi, antara lain: kanker merupakan salah satu penyakit serius yang dapat menimbulkan kematian, pengobatan penyakit yang dapat menimbulkan perubahan permanen pada bentuk fisik seseorang, perubahan dalam hubungan, perubahan dalam ketertarikan dan orang lain mungkin akan melihat penderita kanker tersebut sebagai orang yang berbeda. Pada dasarnya kesepian dan depresi yang terjadi terkait erat dengan minimnya dukungan sosial yang diperoleh penderita kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesepian dan depresi pada penderita kanker paru ditinjau dari perasaan yang dirasakan saat kesepian, penyebab kesepian, reaksi terhadap kesepian, gejala depresi, penyebab depresi dan reaksi terhadap depresi.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang penderita kanker paru, apa yang terjadi pada mereka saat mengalami kesepian dan depresi. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam Penelitian ini melibatkan sebanyak 2 orang dewasa yang didiagnosa kanker paru dan berada/ dirawat di Kotamadya Medan sebagai subjek penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden mengalami kesepian dan depresi. Masing-masing responden menunjukkan kesepian dan depresi dengan fenomena yang unik dan tersendiri.
Implikasi dari penelitian ini berguna bagi penderita kanker paru agar tidak berputus asa dalam menghadapi penyakitnya dan juga bagi orang-orang disekitar seperti dokter, suster, keluarga, dan lain-lain untuk memberikan dukungan yang lebih bagi penderita kanker paru.
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkar dan karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi ini sampai selesai.
Skripsi yang penulis selesaikan ini berjudul “KESEPIAN DAN DEPRESI PADA PENDERITA KANKER PARU” yang diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucap syukur pada Tuhan, atas keluarga yang mendukung perkuliahan penulis. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan, serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp. A (K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Namora Lubis, BA(Horn), MSc selaku dosen pembimbing. Penulis mengucapkan terima kasih atas segala pelajaran, semangat dan waktunya. 4. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, Msi, psikolog dan Ibu Hasnida sebagai dosen
penguji, terima kasih atas kesempatan dan waktunya.
5. Ibu Bapak Aswan, SE dan Drs. Iskandar Muda atas dukungannya sehingga penulis bersemangat dalam menyelesaikan skripsinya.
6. Kedua partisipan yaitu, Pak Amir Munthe dan Pak Sukanto atas kesediannya menjadi partispan dalam skripsi ini. Saya belajar banyak dari kalian, tidak hanya tentang skripsi tetapi belajar mengenai hidup.
(4)
7. Teman-teman penulis dan pihak lain, yang memungkinkan untuk disebutkan satu persatu, yang mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih buat semua pihak yang telah membantu. Semoga Tuhan memberkati, memberikan yang terbaik dalam hidup kita semua, amin.
Sebagai manusia yang masih dalam proses belajar, penulis menyadari kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, Juni 2008
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... 2
KATA PENGANTAR ... 3
DAFTAR ISI ... 5
DAFTAR TABEL ... 9
BAB I PENDAHULUAN ... 10
I.A.Latar Belakang Masalah ... 10
I.B. Permasalahan ... 20
I.C.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 20
I.D. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II LANDASAN TEORI ... 23
II.A.Kesepian ... 24
II.A.1.Definisi Kesepian ... 25
II.A.2.Tipe-tipe Kesepian ... 24
II.A.3.Karakteristik Orang yang Kesepian ... 25
II.A.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian ... 27
II.A.5.Penyebab Kesepian ... 30
II.A.6.Reaksi terhadap Kesepian ... 33
II.B. Depresi ... 34
II.A.1. Definisi Depresi ... .... 34
II.A.2. Faktor-faktor Penyebab Depresi ... .... 35
(6)
II.C. Kanker ... 36
II.C.1. Gambaran Umum Kanker ... 38
II.C.2. Kanker Paru ... 38
II.C.3. Gejala Kanker Paru ... 39
II.C.4. Faktor Penyebab Kanker Paru ... 40
II.C.5. Stadium Kanker Paru ... 41
II.C.6. Diagnosa dan Pengobatan Medis Kanker Paru ... 42
II.D. Kondisi Psikologis yang Dialami Penderita Kanker Paru ... 43
II.E.Paradigma... 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 48
III.A. Pendekatan Kualitatif ... 48
III.B. Metode Pengumpulan Data ... 48
III.B.1. Wawancara Terbuka dan Mendalam ... 49
III.B.2. Observasi ... 50
III.C. Alat Bantu Pengumpulan Data Penelitian ... 51
III.D.Subjek Penelitian ... 53
III.D.1. Prosedur Pengambilan Subjek Penelitian ... 53
III.D.2. Jumlah Subjek Penelitian ... 53
III.D.3. Kriteria Subjek Penelitian ... 54
III.E. Prosedur Penelitian ... 55
III. E.1. Tahap Persiapan ... 55
(7)
III.E.3. Tahap Pencatatan Data ... 56
III.E. Prosedur Analisis Data ... 56
BAB IV HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN... 58
IV.A. Analisis Kasus Responden A ... 58
IV.A.1 Gambaran Diri Responden A ... 58
IV.A.2 Gambaran Kesepian yang Dialami Responden A ... 62
IV.A.3 Gambaran Penyebab Kesepian yang Dialami Responden A 68 IV.A.4 Gambaran Reaksi Responden A terhadap Kesepian ... 69
IV.A.5 Gambaran Depresi yang Dialami Responden A ... 71
IV.A.6 Gambaran Penyebab Depresi yang Dialami Responden A . 77 IV.A.7 Gambaran Reaksi Responden A terhadap Depresi ... 78
IV.B. Interpretasi Data Responden A ... 79
IV.C. Analisis Kasus Responden B ... 89
IV.C.1 Gambaran Diri Responden B ... 89
IV.C.2 Gambaran Kesepian yang Dialami Responden B ... 89
IV.C.3 Gambaran Penyebab Kesepian yang Dialami Responden B 101 IV.C.4 Gambaran Reaksi Responden B terhadap Kesepian ... 102
IV.C.5 Gambaran Depresi yang Dialami Responden B ... 103
IV.C.6 Gambaran Penyebab Depresi yang Dialami Responden B . 108 IV.C.7 Gambaran Reaksi Responden B terhadap Depresi ... 109
IV.D. Interpretasi Data Responden B ... 110
(8)
IV.E.1 Analisis Banding Antar Responden Berdasarkan Gambaran
Kesepian ... 123
IV.E.2 Analisis Banding Antar Responden Berdasarkan Gambaran Penyebab Kesepian ... 124
IV.E.3 Analisis Banding Antar Responden Berdasarkan Gambaran Reaksi Responden Terhadap Kesepian yang Dialami ... 125
IV.E.4 Analisis Banding Antar Responden Berdasarkan Gambaran Depresi yang Dialami ... 126
IV.E.5 Analisis Banding Antar Responden Berdasarkan Gambaran Gambaran Penyebab Depresi yang Dialami Responden B ... 127
IV.E.6 Gambaran Reaksi Responden B terhadap Depresi ... 128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 130
V.A Kesimpulan ... 130
V.B Diskusi ... 137
V.C Saran ... 141
V.C.1 Saran Praktis ... 141
V.C.1 Saran Penelitian Lanjutan ... 142
(9)
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Rasio Penderita Kanker Paru pada Pria Di Indonesia (1995-1999)
Ditinjau dari Rentang Usia ... 12
Tabel 1.2 Rasio Penderita Kanker Paru pada Pria Di Medan (1995-1999) Ditinjau dari Rentang Usia ... 13
Tabel 2.1 Perasaan Yang Dirasakan Ketika Mengalami Kesepian ... 26
Tabel 2.3 Stadium Kanker Paru ... 23
Tabel 2.2 Reaksi Terhadap Kesepian ... 23
Tabel 4.1 Analisa banding antar responden berdasarkan gambaran kesepian .. 116
Tabel 4.2 Analisa banding antar responden berdasarkan penyebab kesepian ... 118
Tabel 4.3 Analisa banding antar responden berdasarkan reaksi terhadap kesepian ... 119
Tabel 4.4 Analisa banding antar responden berdasarkan gambaran depresi ... 120
Tabel 4.5 Analisa banding antar responden berdasarkan penyebab depresi ... 122
Tabel 4.6 Analisa banding antar responden berdasarkan reaksi terhadap depresi ... 122
(10)
ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Kesepian dan depresi merupakan kondisi psikologis yang dapat terjadi pada setiap orang. Saat kesepian seseorang akan merasa putus asa (desperation), bosan dan tidak sabaran (impatient boredom), mengutuk diri sendiri
(self-deprecation) dan depresi. Depresi merupakan gangguan perasaan (afek) yang
ditandai dengan afek disforik (kehilangan kegembiraan/gairah) disertai dengan gejala-gejala lain seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan. Kesepian dan depresi bisa terjadi karena penyakit kronis seperti kanker. Ada beberapa alasan kenapa penyakit kanker dapat menyebabkan seseorang menderita kesepian dan depresi, antara lain: kanker merupakan salah satu penyakit serius yang dapat menimbulkan kematian, pengobatan penyakit yang dapat menimbulkan perubahan permanen pada bentuk fisik seseorang, perubahan dalam hubungan, perubahan dalam ketertarikan dan orang lain mungkin akan melihat penderita kanker tersebut sebagai orang yang berbeda. Pada dasarnya kesepian dan depresi yang terjadi terkait erat dengan minimnya dukungan sosial yang diperoleh penderita kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesepian dan depresi pada penderita kanker paru ditinjau dari perasaan yang dirasakan saat kesepian, penyebab kesepian, reaksi terhadap kesepian, gejala depresi, penyebab depresi dan reaksi terhadap depresi.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang penderita kanker paru, apa yang terjadi pada mereka saat mengalami kesepian dan depresi. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam Penelitian ini melibatkan sebanyak 2 orang dewasa yang didiagnosa kanker paru dan berada/ dirawat di Kotamadya Medan sebagai subjek penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden mengalami kesepian dan depresi. Masing-masing responden menunjukkan kesepian dan depresi dengan fenomena yang unik dan tersendiri.
Implikasi dari penelitian ini berguna bagi penderita kanker paru agar tidak berputus asa dalam menghadapi penyakitnya dan juga bagi orang-orang disekitar seperti dokter, suster, keluarga, dan lain-lain untuk memberikan dukungan yang lebih bagi penderita kanker paru.
(11)
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Penyakit kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu sangat diperlukan perhatian yang sangat serius, karena penyakit kanker yang sudah pada tahap stadium tinggi biasanya berujung kepada kematian. Diperkirakan pada tahun 2015 mendatang, penyakit kanker akan menjadi penyebab 54% kematian di semua negara (Pikiran Rakyat, 2005). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap 11 menit, ada satu penduduk dunia meninggal karena kanker dan setiap tiga menit, ada satu penderita kanker baru. Data WHO menyebutkan setiap menit di dunia terdapat penambahan 6,25 juta penderita kanker baru dan dua pertiga penderita kanker di dunia berada di negara berkembang (Badan Litbang Kesehatan, 2001). Di Indonesia, masalah penyakit kanker menunjukkan lonjakan yang luar biasa. Dalam jangka waktu 10 tahun, terlihat bahwa peringkat kanker sebagai penyebab kematian, naik dari peringkat dua belas menjadi peringkat enam. Setiap tahun diperkirakan terdapat 190 ribu penderita baru dan seperlimanya akan meninggal akibat penyakit ini (Mediasehat, 2005).
Kanker menjadi momok bagi semua orang, hal ini karena angka kematian akibat kanker yang sangat tinggi. Angka harapan hidup penderita kanker hanya 60% dibandingkan dengan bukan penderita (Mediasehat, 2005). Kanker merupakan suatu proses pertumbuhan dan penyebaran yang tidak terkontrol dari
(12)
sel yang abnormal, yang mempunyai kecenderungan menyebar pada bagian tubuh yang lain. Sel kanker ini bertindak sebagai penghambat dan perusak bagi organ-organ tubuh dimana ia berkembang, terutama jika sel tersebut tumbuh pada organ-organ vital seperti otak, hati dan paru-paru, yang pada akhirnya sering kali menyebabkan kematian pada penderitanya(Sarafino, 1998).
Kanker bisa menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Ada beberapa jenis yang sifatnya lebih spesifik dan lebih sering menyerang pria seperti kanker prostat dan kanker paru (Medicastore, 2004). Berdasarkan laporan tengah tahunan catatan medik RS Dr. Soetomo kurun waktu Juni sampai dengan Desember 1984, didapatkan bahwa karsinoma bronkogenik (kanker paru) telah menduduki peringkat pertama untuk kasus kanker pada pria (Amin, Alsagaff & Saleh, 1989). Kanker paru menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian bagi kaum laki-laki di Indonesia (Gatra, 2001).
Lebih dari 1,3 juta kasus baru kanker paru dan bronkus di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya. Dari jumlah insiden dan prevalensi di dunia, kawasan Asia, Australasia, dan Timur Jauh berada pada tingkat pertama dengan estimasi kasus lebih dari 670 ribu dengan angka kematian mencapai lebih dari 580 ribu orang. Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian utama kaum pria dan lebih dari 70 % kasus kanker itu baru terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium IIIb atau IV) sehingga hanya 5 % penderita yang bisa bertahan hidup hingga 5 tahun setelah dinyatakan positif (Medicastore, 2004).Hal tersebut ini didukung dengan data statistik pada Tabel 1. yang didapat dari Yayasan
(13)
Kanker Indonesia di bawah ini. Kita dapat melihat perkembangan jumlah penderita kanker paru yang terdapat di Indonesia selama 5 tahun.
Tabel 1.1
Rasio Penderita Kanker Paru pada Pria Di Indonesia (1995-1999) Ditinjau dari Rentang Usia
Tahun <15 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 >75 Jumlah
Usia
Bandingan
1995 0 1 6 8 22 44 28 5 118 6.35
1996 2 4 16 40 71 131 114 26 417 4.94
1997 0 3 6 28 60 81 86 22 289 3.93
1998 0 5 9 40 69 120 96 18 366 4.92
1999 0 4 12 48 105 193 154 42 563 7.28
(Sumber : Data Histopatologik Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I, 1995-1999)
Tabel 1.1 di atas menunjukkan bahwa jumlah penderita kanker paru di Indonesia pada tahun 1996 sampai tahun 1997 mengalami penurunan. Pada tahun 1998 jumlah penderita kanker paru meningkat, disusul dengan meningkatnya jumlah penderita kanker sebesar 1997 orang pada tahun 1999. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jumlah penderita kanker paru meningkat selama 5 tahun, sejak tahun 1995. Jika dilihat dari kelompok umur, penderita kanker paru di Indonesia yang paling banyak berasal dari kelompok umur 55 – 64 tahun.
Penderita kanker umumnya banyak ditemukan di kota-kota besar. Salah satunya adalah kota Medan yang merupakan kota ketiga terbesar di Indonesia. Di kota, mobil merupakan sumber karsinogen terpenting selain industri. Umumnya
(14)
bahan karsinogen (penyebab kanker) mencemari udara, terutama di kota-kota besar dan di kawasan industri sehingga penduduk kota berisiko lebih tinggi untuk menderita kanker. Selain itu, lingkungan di kota lebih tercemar oleh buangan air dan sisa produksi industri yang sering mengandung berbagai macam karsinogen (Sjamsuhidajat & de Jong, 2005). Polusi udara lingkungan dan tempat kerja tidak diragukan lagi dapat meningkatkan kemungkinan mengidap kanker paru (Robbins & Kumar, 1995). Kita dapat melihat perkembangan jumlah penderita kanker paru yang ada di Medan melalui Tabel 2. di bawah ini
Tabel 1.2
Rasio Penderita Kanker Paru pada Pria Di Medan (1995-1999) Ditinjau dari Rentang Usia
Tahun <15 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 >75 Jumlah
Usia
Bandingan
1995 0 0 1 2 6 9 7 0 26 5.71
1996 0 1 0 4 3 12 3 1 27 5.72
1997 0 0 0 0 1 1 2 0 4 1.03
1998 0 0 1 3 0 5 2 0 11 2.38
1999 0 0 2 6 4 4 2 0 18 6.64
(Sumber : Data Histopatologik Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I, 1995-1999)
Melalui data tabel di atas dapat kita lihat jumlah penderita kanker paru dari tahun 1995-1999. Data menunjukkan bahwa dari terjadi penurunan dari segi jumlah dari tahun 1996 dan 1997, dan sejak tahun 1998-1999 penderita kanker paru di Medan meningkat. Dari kelompok umur, dapat dilihat bahwa penderita
(15)
kanker paru di Medan yang paling banyak umumnya berada pada kelompok umur 55-64 tahun (Yayasan Kanker Indonesia, 1999). Sesuai dengan data statistik yang ada, survey epidemiologis kanker paru umumnya melaporkan bahwa kurang lebih 90% kasus, didapatkan pada penderita di atas 40 tahun(Amin, Alsagaff & Saleh, 1989).
Kanker paru merupakan pertumbuhan abnormal sel malignant dalam jaringan paru dan atau saluran pernafasan yang tidak terkendali dan menghancurkan sel yang sehat (Everydayhealth, 2004). Kebanyakan kanker paru berawal pada saluran bronchi, yang membuat kanker paru juga dikenal dengan
bronchogenic cancer. Kanker paru menyebar sangat cepat dan seringnya tidak
terdeteksi sampai kanker paru telah menyebar pada area lain di dalam tubuh. Kesimpulan lain yang tak terelakkan yakni, merokok adalah penyebab dominan kanker paru. Kurang lebih dari 80% penderita kanker paru adalah perokok atau mereka yang telah berhenti merokok (Robbins & Kumar, 1995). Hal ini didukung dengan hasil studi yang dilakukan oleh Dr Shouichiro Zugane dari Pusat Kanker Nasional Jepang. Dari hasil kalkulasi ditemukan bahwa peluang munculnya kanker paru bagi perokok adalah 1,6 kali dari orang yang tidak merokok untuk pria, dan 1,5 kali untuk wanita (Utama, 2004). Selain itu, menurut informasi dari Yayasan Kanker Indonesia, risiko terkena kanker paru akan meningkat bila jumlah batang rokok yang diisap setiap hari lebih banyak, umur mulai merokok lebih muda, mengisap lebih dalam, dan kebiasaan merokok berlangsung lebih lama (Pikiran Rakyat, 2003). Risiko kanker paru akan menurun bagi perokok yang menghentikan kebiasaan merokoknya setelah lima tahun
(16)
(Mangoenprasodjo & Hidayati, 2005). Berhenti merokok akan menurunkan risiko ini menjadi sama dengan bukan perokok setelah jangka waktu kurang lebih 10 tahun (Amin, Alsagaff & Saleh, 1989).
Gejala kanker paru tergantung pada letak tumor, penyebaran dan anak sebar kanker paru. Sebagian pasien bahkan terdiagnosis dengan sebelumnya tanpa ada gejala. Adapun gejala yang sering ditemukan adalah batuk lama, sesak napas, nyeri dada dan penurunan nafsu makan, penurunan berat badan dan lekas lelah (Mangoenprasodjo & Hidayati, 2005).
Masalah kesehatan pada penderita kanker paru sering menyertai perawatan atau treatment yang dijalani. Selama menjalani perawatan, pasien penderita kanker akan mengalami pendarahan, rambut rontok, rasa sakit di mulut dan reaksi kulit yang menimbulkan rasa tidak suka pada orang lain (Steams, Lauria, Hermann dan Fogelberg, dalam Rokeach, 2000). Tubuh berubah secara permanen, baik dari segi penampilan dan fungsi tubuh. Kapasitas paru yang terbatas menghalangi aktivitas sosial, pasien menjadi mudah lelah (DiMatteo, 1991).
Pada penderita kanker perubahan kesehatan yang terjadi mengakibatkan pasien cenderung untuk tidak membicarakan penyakitnya, khususnya dengan anggota keluarga dan paramedis, yang mengakibatkan kurangnya interaksi sosial (Cohen, 1985; Holland, 1977; Schwartz, 1977; Silberfarb dan Greer, 1982, dalam Rokeach, 2000). Kondisi kesehatan pasien mungkin mempengaruhi persepsi mereka terhadap teman dan keluarga. Dalam beberapa kasus, pasien mulai menarik diri dari kontak sosial karena merasa malu dan aneh dengan kondisi mereka, khususnya jika tubuh mereka terlihat cacat. Sebuah studi melaporkan
(17)
bahwa ada hubungan yang positif antara kanker dan ketidakmampuan di dalam mengekspresikan emosi (Fox, Harper, Hyner, & Lyle, 1994). Di lain pihak, orang-orang mungkin mulai menghindari dan membatasi diri dengan pasien. Walaupun kadang ini terjadi karena ketakutan dan ketidaktahuan mereka, contohnya ketika orang percaya kanker menular. Dengan demikian, banyak pasien penyakit kanker mengalami masalah psikososial karena berubahnya hubungan dengan keluarga dan teman (Wortman dan Dunkel dalam Sarafino, 1998).
Selain itu, salah satu perubahan yang berdampak pada aspek psikososial adalah masalah seksual. Kepuasan seksual dan sensual sangat penting artinya bagi pria. Bagi beberapa pria, fakta bahwa dirinya dan pasangan mengalami orgasme berarti bahwa ia telah melakukan aktivitas seksual secara adekuat. Masalah seksual sering terjadi pada pasien laki-laki dan perempuan yang menderita kanker yang berhubungan dengan organ seksual, tetapi banyak pasien dengan kanker jenis lain juga mengalami masalah seksual sebagai akibat dari aturan medis seperti kemoterapi, salah satunya adalah kanker paru (Sarafino, 1998). Treatmen ini dapat mempengaruhi seksualitas pasien, dalam hal bagaimana kemampuan fisik dalam memberi dan menerima kepuasan seksual, pemikiran dan perasaan mengenai tubuhnya (body image) (American Cancer Society, 2007).
Selain masalah seksual, kesepian merupakan masalah kejiwaan yang sering dialami oleh pasien kanker paru. Kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada interpretasi individu terhadap suatu kejadian (Wrigstman & Deaux, 1993). Cappioco et al. (dalam Hawkley, dkk, 2003) menemukan bahwa individu yang merasa kesepian memandang dunia sebagai
(18)
suatu hal yang mengancam dan melakukan coping secara pasif. Banyak penderita kanker yang benar-benar menerima kondisi mereka sebagai penyakit yang berakhir dengan kematian dan menganggap dirinya tidak bisa sembuh kembali (Gawler, 1997). Kondisi ini tergambar melalui hasil wawancara dengan salah satu pasien kanker paru yakni Bapak Simanjuntak (56 tahun) yang mengatakan
“Pertama-tama istri saya sangat sedih dan menangis, cuma dibilangnya sabarlah pak…sembuhnya itu. Dalam hatiku ah..mana mungkin bisa lagi sembuh, tinggal tunggu waktu saja”
Perasaan kesepian pada penderita kanker berasal dari perasaan tidak berpengharapan, tidak tertolong dan takut akan kematian yang muncul di dalam pikiran pasien dan kekurangan dukungan sosial dan emosional yang sangat dibutuhkan (Cohen, Friedman, Florian dan Zernitsky Shurka, dalam Rokeach, 2000). Kondisi ini dialami oleh Bapak Simanjuntak (56 tahun), yang ia ceritakan sebagai berikut:
”Semenjak dibilang dokter saya menderita kanker paru saya merasa bahwa hidup saya tinggal sebentar dan saya akan meninggalkan orang-orang yang saya sayangi. Hidup saya berubah..orang-orang di sekitar saya pun berubah. Saya merasa mereka memandang aneh dan menganggap saya penyakitan. Apalagi kalau saya batuk-batuk..pasti mereka memandang sinis dan menjauh, bahkan untuk dekat dengan cucu saya udah engga bisa lagi. Apalagi kalau sedang dirawat di Medan, jarang ada yang mau mengunjungi saya...yah mungkin karena jauh dari kampung (Kutacane). Saya merasa sendiri, tapi untung ada istri saya.”
Selain itu, kurangnya hubungan interpersonal baik secara kualitas maupun kuantitas dapat menyebabkan perasaan kesepian (Perlman dan Peplau dalam Sears, dkk, 1999). Kesepian yang dialami oleh Bapak Simanjuntak (56 tahun) yang menderita kanker paru, diceritakannya sebagai berikut:
“Apalagi jauh dari kampung…tak ada yang menjenguk. Dulu pernah waktu aku dirawat, anak-anakku ke sini sama cucu. Kalau kali ini, paling ada satu dua saudara jauh yang tinggal di Medan yang datang menjenguk.”
(19)
Kesepian yang dialami akan terasa lebih menyakitkan dengan adanya diagnosa terminal illness, salah satunya adalah kanker (Rokach, 2000). Penderita kanker sering mengalami ketakutan terhadap penolakan yang akan didapat dari orang lain. Penolakan dapat mengurangi hubungan mereka dengan keluarga dan teman-teman, membatasi jarak emosi dengan mereka (Gawler, 1997). Ironisnya, orang yang kesepian cenderung menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk (Anderson & Snogdgrass dalam Myers, 1999). Dengan demikian, kesepian dapat menimbulkan perasaan sengsara yang hebat dan menetap (Sears dkk. 1999).
Menurut Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Bhrem, 2002) salah satu perasaan yang berhubungan dengan kesepian adalah depresi, dimana individu merasakan kesedihan, empty, isolasi, dan terasing. Depresi dikaitkan dengan mood negatif (seperti sadness dan despair), self esteem yang rendah, pesimis, kurangnya inisiatif dan lamban (Holmes, dalam Bhrem, 2002). Depresi juga melibatkan gangguan tidur dan pola makan, serta mengurangi hasrat seksual. Individu yang depresi terlihat semakin memuruk dalam hal perilaku interpersonal, menolak kehadiran orang lain, menurunnya kemampuan sosial dan ditolak oleh orang lain (Burchill & Stile, Gurtman et al., Hokanson, Loeweinstein, Hedeen & Howes, Strack & Rook, dalam Bhrem, 2002).
Aass dan keloganya (dalam Massie, 2004) melaporkan bahwa kehidupan sosial yang terganggu, pekerjaan serta berbagai masalah psikiatri yang dialami sangat berhubungan dengan depresi pada penderita kanker. Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Hopwood dan Stephens terhadap 987 pasien penderita
(20)
kanker paru dan menemukan bahwa depresi merupakan hal yang umum, dengan gejala dan keterbatasan fungsi tubuh (dalam Massie, 2004). Pembatasan dan rasa tidak leluasa yang berhubungan dengan penyakitnya menyebabkan penderita kanker mengalami kesulitan di dalam hubungan interpersonal (Dunkel-Schetter, 1984; Engleberg dan Hilborne, 1982; Revenson, Wollman dan Felton, 1983, dalam Bhrem, 2002). Menurut Cavanaugh dan Blanchard (2006) individu yang depresi cenderung menarik diri, tidak berbicara pada orang lain, dan tidak mempedulikan fungsi tubuh sehingga mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.
Gawler (1997) penderita kanker sekaligus penulis buku ”Anda Dapat Mengatasi Kanker: Pencegahan dan Penatalaksanaan” menyatakan bagaimana ia menghadapi penyakit kanker secara positif dan ia berjuang mengatasi penyakitnya dengan optimis. Pada awalnya ia merasa down dan tidak menerima kenyataan, namun akhirnya ia menyadari bahwa hidupnya sangat berarti untuk dijalani dengan sebaik-baiknya. Ia tidak rela hidupnya diambil alih oleh penyakitnya, ia merasa bahwa ia mampu mengendalikan hidup dan penyakitnya.
Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kanker paru berhubungan dengan kesepian dan depresi. Namun, tidak semua penderita kanker paru mengalami hal tersebut sehingga peneliti tertarik untuk meneliti Kesepian dan Depresi pada Pria Penderita Kanker Paru khususnya di Medan.
(21)
I.B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana gambaran kesepian dan depresi yang dialami oleh pria yang menderita kanker paru. Gambaran tersebut dilihat dari:
1. Perasaan yang dirasakan ketika kesepian, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kesepian dan bagaimana individu bereaksi terhadap kesepian. 2. Gejala-gejala yang muncul saat depresi, faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan depresi dan bagaimana individu bereaksi terhadap depresi.
I.C. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.C.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam tentang gambaran kesepian dan depresi pada pria penderita kanker paru.
I.C.2. Manfaat Penelitian I.C.2.a. Manfaat Teoritis
Menambah khasanah ilmu psikologi terutama ilmu psikologi klinis khususnya tentang dinamika kesepian dan depresi yang dialami oleh pria yang menderita kanker paru.
I.C.2.b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap dinamika kesepian dan depresi dalam diri pria yang menderita kanker paru. Dengan begitu, hasil penelitian ini
(22)
dapat memberi sumbangan bagi penderita kanker paru dan juga pihak-pihak yang terlibat dengan penderita kanker paru.
I.D. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri atas 5 bab, dengan perincian sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Berisikan latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Berisikan teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian, yang meliputi landasan teori kesepian, landasan teori depresi, landasan teori kanker secara umum dan kanker paru.
BAB III : Metodologi Penelitian
Berisikan pendekatan yang digunakan, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data penelitian, subjek penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data.
BAB IV : Analisis dan Interpretasi Data
Bab ini menguraikan analisis data, hasil dari data utama berupa data wawancara dan data tambahan berupa data observasi yang dilakukan terhadap subjek penelitian saat wawancara berlangsung.
(23)
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini merupakan bab terakhir dalam skripsi ini, di dalamnya dibahas kesimpulan, diskusi dan saran berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.
(24)
BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Kesepian
II.A.1. Defenisi Kesepian
Menurut Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni, 2003), kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada. Sesuai dengan Hogg (1995), yang mengatakan bahwa kesepian merupakan ketidakpuasaan dalam suatu hubungan. Kesepian juga berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan–perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno dalam Dayakisni, 2003).
Kesepian merupakan emosi yang tidak menyenangkan dan pemikiran yang didasari oleh keinginan berhubungan dekat tapi mereka tidak dapat memperolehnya (Baron dan Bryne, 2000)
Wrigtsman & Deaux (1993) mengatakan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada interpretasi individu terhadap suatu kejadian. Berdasarkan definisi tersebut, Wrigtsman & Deaux menyimpulkan ada tiga elemen penting dari kesepian, yaitu:
a. Kesepian merupakan pengalaman subjektif yang tidak bisa diukur dengan observasi sederhana
(25)
c. Secara umum kesepian merupakan hasil dari kurangnya atau terhambatnya hubungan sosial
Peplau & Perlman (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) mengatakan bahwa kesepian terjadi sebagai akibat kurangnya hubungan yang berarti dengan orang lain dan hal ini dapat menyebabkan keadaan yang tidak menyenangkan. Baron & Byrne (2000) mengatakan bahwa kesepian muncul ketika terjadi kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan dalam kehidupan interpersonal individu.
Kesepian mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan seseorang ketika beberapa kriteria penting dari hubungan sosial individu tersebut terhambat atau tidak terpenuhi. Kekurangan tersebut dapat bersifat kuantitatif seperti tidak memiliki teman seperti yang diinginkan dan bersifat kualitatif seperti merasa bahwa hubungan sosial yang dibina hanya bersifat seadanya atau kurang memuaskan (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000).
Dengan demikian, kesepian merupakan pengalaman subjektif dan perasaan yang tidak menyenangkan akibat kurangnya hubungan interpersonal baik secara kualitas maupun kuantitas dan ketidakpuasan akan hubungan sosial yang ada karena kurangnya hubungan yang berarti dengan orang lain.
II.A.2. Tipe-tipe Kesepian
Weiss (dalam Bhrem 2002) mengatakan ada dua tipe kesepian, yaitu:
1. Emotional Isolation, yaitu kesepian yang disebabkan oleh terbatasnya
(26)
2. Social Isolation, yaitu kesepian yang dihasilkan dari tidak adanya teman atau
saudara atau orang lain dari jaringan sosial untuk berbagi aktivitas dan kesenangan
II.A.3. Karakteristik Orang yang Kesepian
Karakteristik orang yang kesepian antara lain cenderung menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk (Anderson & Snogdgrass dalam Myers, 1999), menerima orang lain secara negatif (Jones, Wittenberg & Reiss dalam Myers, 1999), kesulitan dalam berteman dan berpartisipasi dalam kelompok (Rock, Spitzberg & Hurt, dalam Myers, 1999), serta cenderung menjadi pemalu, tidak asertif (Jones & Cutrona, dalam Saks & Krupart, 1998), memiliki harga diri yang rendah dan cenderung menyalahkan diri sendiri daripada yang seharusnya atas kekurangan mereka (Frankel & Prentice-Dhun dalam Santrock, 1999), memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial (Riggio, Trockmorton & DePaola; Jones, Hobbs & Hockenbury dalam Santrock, 1999).
Orang yang kesepian cenderung menjadi pemalu, sadar diri (self
conscious), introvert, memiliki harga diri yang rendah, tidak asertif (Jones &
Cutrona, dalam Saks & Krupart, 1998). Orang yang kesepian kesulitan dalam menikmati sebuah pesta, memperkenalkan diri, berpartisipasi dalam berkelompok dan berteman (Horowitz & French, dalam Saks & Krupart, 1988). Menurut Anderson, Horowitz & French (dalam Saks & Krupart, 1988) orang yang kesepian cenderung menganggap kegagalan hubungan interpersonal merupakan cacat yang tidak dapat diubah dalam kepribadian daripada faktor mood.
(27)
Rubenstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm, 2002) menjelaskan ada empat set perasaan yang dirasakan oleh seseorang ketika mengalami kesepian, yaitu desperation, impatient, boredom, self-deprecation dan depression. Berikut perasaan spesifik ketika seseorang mengalami kesepian:
Tabel 2.1
Perasaan Yang Dirasakan Ketika Mengalami Kesepian
Desperation Impatient Boredom Self-deprecation Depression
Putus asa Tidak sabaran Merasa tidak menarik
Sedih
Merasa tidak tertolong
Bosan Benci pada diri
sendiri
Depresi
Takut Ingin berada di tempat lain
Bodoh Empati
Tanpa pengharapan
Gelisah Malu Terisolasi
Merasa ditinggalkan
Marah Merasa tidak aman Merasa bersalah terhadap diri sendiri Rapuh Sulit berkonsentrasi Melankolis Terasing Ingin bersama orang special
(28)
II.A.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesepian
Menurut Brehm (2002) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian, yaitu:
1. Usia
Stereotip yang berkembang dalam masyarakat yang beranggapan bahwa semakin tua seseorang, maka akan semakin merasa kesepian, tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa stereotip tersebut keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling kesepian justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti oleh Perlman pada tahun 1990 (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) dan menemukan hasil yang sama, dimana kesepian lebih tinggi pada remaja dan dewasa awal dan lebih rendah pada yang lebih tua.
Menurut Brehm (2002) hal tersebut disebabkan orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, misalnya merantau, memasuki dunia kuliah, memasuki dunia kera secara full time untuk pertama kalinya yang dapat menimbulkan kesepian. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial mereka menjadi semakin stabil. Bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan mereka menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang mereka harapkan.
2. Sosioekonomi
Weiss (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa kelompok dengan penghasilan yang lebih rendah cenderung mengalami kesepian. Hal yang sama
(29)
juga ditemukan oleh Page & Cole (dalam Brehm, 2002) berdasarkan survey yang dilakukan ditemukan bahwa anggota keluarga dengan penghasilan rendah lebih mengalami kesepian daripada anggota keluarga dengan penghasilan yang lebih tinggi. Berdasarkan studi, tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kesepian (Brehm, 2002).
3. Status Perkawinan
Secara umum, orang yang menikah kurang merasa kesepian daripada orang yang tidak menikah (Page & Cole, 1991; Perlman & Peplau, 1981; Stack 1998, dalam Brehm, 2002). Tidak menikah dikategorikan dalam subgrup (tidak pernah menikah, bercerai, atau janda) diperoleh hasil yang berbeda, dimana orang yang tidak pernah menikah lebih tidak kesepian. Kesepian dilihat sebagai reaksi hilangnya hubungan pernikahan daripada respon ketidakhadiran (Bhrem, 2002).
4. Gender
Walaupun banyak sekali studi tentang kesepian tidak mengindikasikan adanya perbedaan menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki memiliki skor kesepian yang lebih tinggi daripada perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Bhrem, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan stereotip peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotip peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi
(30)
laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (Borys & Perlman dalam Wrightsman & Deaux, 1993)
Brehm (2002) menambahkan bahwa gender berinteraksi dengan status pernikahan. Berdasarkan studi cross-national (Stack 1998, dalam Brehm, 2002) pernikahan mengurangi kemungkinan laki-laki mengalami kesepian. Di antara pasangan yang menikah dilaporkan bahwa perempuan lebih sering mengalami kesepian dibandingkan dengan perempuan (Peplau & Perlman, Rubenstein & Shaver, dalam Brehm, 2002).
Brehm (2002) mengatakan penemuan ini menunjukkan bahwa laki-laki cenderung mengalami kesepian ketika tidak memiliki pasangan yang intim. Sementara perempuan cenderung mengalami kesepian ketika ikatan perkawinan mengurangi akses untuk terlibat pada jaringan yang lebih luas. Dengan demikian, laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
emotional isolation, sedangkan perempuan memiliki resiko lebih tinggi untuk
mengalami social isolation (Brehm, 2002). 5. Karakteristik latar belakang yang lain
Karakteristik ini dilihat dari perkembangan rentang kehidupan seseorang. Brehm (2002) mengatakan hubungan antara anak-orangtua serta struktur keluarga berhubungan dengan kesepian. Berdasarkan struktur keluarga, Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan bahwa orang dengan orangtua bercerai lebih merasa kesepian daripada orang dengan orangtua tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai, maka semakin tinggi tingkat kesepian yang akan dialami individu tersebut ketika
(31)
dewasa. Selain itu, dikatakan juga bahwa hubungan antara orangtua-anak penting dalam mengidentifikasi kesepian.
II.A.5. Penyebab Kesepian
Brehm (2002) mengatakan bahwa secara umum kesepian disebabkan oleh kurangnya hubungan sosial. Berikut merupakan penyebab kesepian, yaitu:
1. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki
Brehm (2002) mengatakan ada sejumlah alasan mengapa seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang dimiliki. Rubenstein & Shaver, 1982 (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang kesepian, yaitu:
a. Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki patner
seksual, berpisah dengan pasangan atau kekasih.
b. Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak
dibutuhkan, dan tidak memiliki teman dekat.
c. Being alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut.
d. Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di
rumahsakit, tidak bisa kemana-mana.
e. Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau
sekolah baru, sering pindah rumah, dan sering melakukan perjalanan jauh.
2. Perubahan dalam hubungan yang diinginkan seseorang
Berdasarkan model Perlman & Peplau (dalam Brehm, 2002) kesepian dapat juga berkembang karena perubahan dalam ide seseorang tentang apa
(32)
yang diinginkan seseorang dalam suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi pada saat yang lain, dimana hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkan dari hubungan tersebut.
Menurut Perlman & Peplau, dkk (dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu perubahan mood dan jenis hubungan yang diinginkan seseorang. Ketika dalam keadaan senang jenis hubungan yang diinginkan seseorang mungkin berbeda dengan jenis hubungan saat sedih; usia, seiring dengan bertambahnya usia akan membawa berbagai perubahan yang mempengaruhi harapan atau keinginan seseorang terhadap suatu hubungan. Selain itu, perubahan situasi juga dapat berperan. Banyak orang yang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang membina karir.
3. Harga diri
Kesepian berhubungan dengan harga diri yang rendah (Brehm, 2002). Orang yang memiliki harga diri yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yag berisiko secara sosial, misalnya berbicara di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus, akibatnya individu tersebut akan mengalami kesepian.
(33)
4. Perilaku interpersonal
Menurut Brehm (2002) seseorang yang mengalami kesepian akan menyebabkan individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan dengan orang lain. Orang yang kesepian cenderung menilai orang lain secara negatif, kurang menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan orang lain secara negatif, dan cenderung memiliki sikap yang bermusuhan. Perilaku tersebut menyebabkan individu memiliki kesempatan yang terbatas bersama-sama dengan orang lain sehingga menyebabkan pola interaksi yang tidak memuaskan.
5. Social anxiety & Shyness
Kesepian merupakan salah satu masalah dari sejumlah permasalahan yang termasuk dalam distress individu dan ketidakpuasan sosial (Brehm, 2002). Masalah lainnya seperti social anxiety (kecemasan sosial) merupakan perasaan tidak nyaman akan kehadiran orang lain. Ada beberapa tipe kecemasan sosial seperti ketakutan berbicara di depan umum, dan shyness (malu) yang digabungkan dengan social inhibition dan menghindari perasaan tidak nyaman dalam hubungan interpersonal. Kesepian, rasa malu dan kecemasan sosial saling berhubungan.
6. Depresi
Depresi merupakan karakteristik dari perasaan negatif (seperti perasaan sedih), harga diri yang rendah, pesimis, kurangnya inisiatif, dan proses berpikir yang lambat (Holmes, 1991 dalam Brehm 2002). Brehm (2002)
(34)
mengatakan kesepian dan depresi sering terjadi secara bersamaan, namun tidak pada kondisi yang identik.
7. Causal atribution
Menurut Perlman & Peplau (dalam Brehm, 2002) atribusi individu seperti harga diri, dan keterampilan sosial dapat diklasifikasikan sebagai predisposisi penyebab kesepian. Bagaimana seseorang mengatribusikan penyebab kesepiannya dapat membuat kesepian individu tersebut semakin kuat dan menetap.
(35)
II.A.6. Reaksi Terhadap Kesepian
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rubenstein & Shaver (1982 dalam Brehm, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap kesepian.
Tabel. 2.2
Reaksi Terhadap Kesepian
Sad Passivity Active Solitude Social Contact Distraction
Menangis Belajar atau bekerja
Menelpon teman Menghabiskan uang
Tidur Menulis Mengunjungi
seseorang
Berbelanja
Duduk dan berpikir
Mendengarkan musik
Tidak melakukan apa-apa
Memainkan alat musik
Makan secara berlebihan
Olahraga
Memakan
tranquiliziers
Melakukan hobi
Menonton televisi
Pergi ke bioskop
(36)
Rubenstein & Shaver (1982, dalam Brehm, 2002) mengelompokkan reaksi seseorang terhadap kesepian ke dalam empat kelompok. Dua diantaranya bersifat positf karena merupakan coping yang konstuktif yaitu active solitude dan social
contact. Kemudian sad passivity dikelompokkan sebagai respon-respon yang
bersifat negatif karena berpotensi untuk merusak diri. Sedangkan respon-respon yang sulit untuk diklasifikasikan ke dalam respon yang positif maupn respon yang negatif dikelompokkan sebagai distration.
II.B. DEPRESI
II.B.1. Definisi Depresi
Depresi merupakan istilah yang samar-samar dan tidak jelas. Orang awam menggunakannya untuk menggambarkan tentang spektrum tingkah laku yang luas yaitu segala sesuatu yang berasal dari gangguan hati yang ringan sampai kepada penyakit kejiwaan atau psikosis. Depresi merupakan kesakitan yang menghancurkan sehingga bisa mempengaruhi seluruh tubuh baik fisik, emosi maupun spiritual. Derita emosional akibat depresi jauh lebih berat daripada penderitaan fisik dan penderitaan akibat depresi datangnya secara berangsur-angsur dan bertahan lebih lama (Minirth, 2000).
Secara sederhana Hadi (2004) mengatakan bahwa depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan-suatu perasaan tidak ada harapan lagi.
Whybrow (1984), menuliskan bahwa kata “depresi” digunakan untuk menggambarkan pengalaman perasaan (mood). Untuk menggambarkan gangguan
(37)
mood dengan adekuat harus mempertimbangkan hadirnya emosi yang menyakitkan (painful) dan ketidakhadiran rasa kesenangan (anhedonia).
II.B.2. Faktor-faktor Penyebab Depresi
Hadi, 2004 menyatakan bahwa untuk menemukan penyebab depresi kadang-kadang sulit karena sejumlah penyebab dan mungkin beberapa diantaranya bekerja pada saat yang sama. Namun dari sekian banyak penyebab dapatlah dirangkumkan sebagai berikut :
1. Karena kehilangan. Kehilangan merupakan faktor utama yang mendasari depresi. Archibald Hart (dalam Hadi, 2004) menyebut empat macam kahilangan : pertama, kehilangan abstrak; kehilangan harga diri, kasih sayang, harapan atau ambisi. Kedua, kehilangan sesuatu yang konkrit; rumah, mobil, orang atau bahkan binatang kesayangan. Ketiga, kehilangan hal yang bersifat khayal; tanpa fakta tapi ia merasa tidak disukai atau dipergunjingkan orang. Keempat; kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang; menunggu hasil tes kesehatan, menunggu hasil ujian, dan lain-lain.
2. Reaksi terhadap stress. 85% depresi ditimbulkan oleh stres dalam hidup. 3. Terlalu lelah atau capek karena terjadi pengurasan tenaga baik secara fisik
maupun emosi.
4. Gangguan atau serangan dari kuasa kegelapan. 5. Reaksi terhadap obat.
(38)
II.B.3. Gejala-gejala Depresi
Dalam DSM IV-TR dapat diperoleh simptom-simptom depresi, antara lain:
1. Depresi mood hampir seharian, hampir setiap hari (seperti perasaan sedih atau hampa, menangis)
2. Ditandai dengan berkurangnya minat dan kesenangan dalam seluruh atau hampir seluruh aktivitas sehari-hari atau hampir setiap hari
3. Kehilangan atau bertambah berat badan secara signifikan ketika tidak sedang diet atau juga penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari
4. Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari
5. Pergerakan atau retardasi psikomotor hampir setiap hari 6. Lelah dan kehilangan energi setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau berlebihan terhadap rasa bersalah tidak pada tempatnya hampir setiap hari.
8. Berkurangnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi atau merasa bimbang hampir setiap hari.
9. Pikiran-pikiran berulang tentang kematian, ide-ide berulang tentang bunuh diri tanpa rencana atau usaha yang spesifik untuk menetapkan bunuh diri.
(39)
II.C. Kanker
II.C.1 Gambaran Umum Kanker
Pada tubuh yang sehat terdapat mekanisme alamiah yang mengatur pembuatan, pertumbuhan dan kematian sel yang disebut dengan apoptosis. Ketika apoptosis mengalami malfungsi maka sel tumbuh tak terkontrol sehingga akan terakumulasi menjadi sekumpulan sel yang disebut dengan tumor atau
neoplasm (Tortore dan Grabowski dalam Sarafino, 1998). Ada dua jenis tumor
yaitu tumor jinak (benign) dan tumor ganas (malignant) atau disebut juga kanker. Kanker adalah penyakit sel dan ditandai dengan perkembangan sel yang tidak terbatas yang biasanya membentuk neoplasma berbahaya. Sel kanker berbahaya karena dapat menyebabkan kematian baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sel kanker menyebar sampai ke organ vital seperti otak atau paru lalu mengambil nutrisi yang dibutuhkan oleh organ tersebut akibatnya organ itu rusak dan akhirnya mati. Secara tidak langsung, penyakit itu sendiri melemahkan penderitanya, dan penyakit serta pengobatannya dapat menurunkan gairah hidup dan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit (Laszlo dalam Sarafino, 1998). Selain itu seiring dengan makin berkembangnya penyakit, maka tumor semakin menekan sel-sel dan saraf-saraf normal atau semakin menghambat aliran cairan tubuh sehingga menimbulkan rasa sakit (Melzack dan Wall dalam Sarafino, 1998). Rasa sakit ini dirasakan oleh 40% penderita kanker dengan stadium menengah, dan oleh 70 - 90% penderita dengan stadium lanjut (Ward dkk, dalam Sarafino, 1998).
(40)
Banyak ahli mengemukakan bahwa kanker disebabkan oleh banyak faktor, bisa dari makanan, kekurangan vitamin, lingkungan alam, zat kimia, juga gaya hidup, merokok dan tekanan (stressor) psikologis. Faktor-faktor psikologis yang dapat dianggap sebagai sumber timbulnya penyakit kanker baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti konflik-konflik yang tidak disadari yang belum terselesaikan, kejadian-kejadian traumatis yang sifatnya pribadi (kehilangan pasangan), dan faktor-faktor kepribadian. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi sistem endokrin atau hormonal yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh (Hadjam, 2000). Di Indonesia dikenal sepuluh jenis kanker terbanyak: kanker serviks uteri, kanker kulit, kanker nasofaring, kanker limfoma, kanker kolon dan rektum, kanker paru, kanker ovarium, kanker kelenjar tiroid, kanker rongga mulut, kanker payudara (Tambunan, 1995).
II.C.2. Kanker Paru
Kanker paru sebagian besar (95%) terdiri dari kanker bronkogenik. Kanker ini dikenal juga sebagai penyakit modern dan merupakan salah satu problema medis yang sifatnya universal. Dewasa ini kanker paru mendapat sorotan medis lebih tajam sehubungan dengan penggunaan rokok yang semakin meningkat dan masalah polusi udara. Di negara maju, merupakan penyebab kematian terbanyak karena penyakit pada laki-laki adalah kanker paru, sedang pada wanita kanker paru merupakan urutan ketiga setelah kanker payudara dan kolorektal. Di Indonesia, kanker paru mungkin merupakan penyebab kematian terbanyak setelah
(41)
kanker nasofaring, mengingat frekuensi kanker nasofaring pada laki-laki lebih banyak dibanding dengan kanker paru. Insiden kanker paru berhubungan erat dengan rokok (Tambunan, 1995).
Tumor paru merupakan salah satu bagian dari tumor dada (tumor of the chest). Mayoritas dari tumor paru mengadakan anak sebar, yang paling sering adalah karsinoma bronkogenik, yang dikenal dengan kanker paru. Karsinoma bronkogenik terbagi atas kategori histologi yang mempunyai implikasi klinik yang berbeda (Robbins & Kumar, 1995). Secara histologik tumor ini sangat bervariasi, ada yang berdiferensiasi baik (well differentiated), ada pula yang sama sekali anaplastik (undifferentiated). Tumor ini dapat dibagi atas 3 jenis:
1. carcinoma planocellulare
Tumor ini selalu terdapat pada pria. Jenis inilah yang dihubungkan dengan asap rokok. Tumor ini cenderung untuk bermetastasis lokal, melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan terjadi agak lambat. Walau demikian, kecepatan tumbuh tumor primernya lebih cepat daripada jenis lain, yaitu diduga dibutuhkan waktu 9 tahun untuk mencapai ukuran garis tengah 2 cm. 2. adenocarcinoma
Tumor ini terdapat sama banyak pada pria maupun wanita. Tumor jenis ini kadang-kadang tumbuh pada daerah parut, sehingga diduga proses radang menahun merangsang pembentukannya. Waktu yang dibutuhkan tumor primer untuk mencapai ukuran 2 cm adalah lebih kurang 25 tahun.
(42)
Dinamakan juga anaplastic carcinoma atau oat-cell carcinoma. Tumor ini ada yang terdiri dari sel besar (large cell carcinoma) dan sel kecil (small cell
carcinoma). Pertumbuhannya paling cepat dan prognosis kedua-duanya sama
buruknya (terburuk). II.C.3 Gejala kanker paru
Kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala sebelum sel kanker menyebar, namun beberapa gejala berikut ini merupakan pertanda awal (American Cancer Society, 2007):
1. batuk yang tidak kunjung sembuh
2. sakit pada bagian dada, diperparah dengan sesak ketika bernafas, batuk atau tertawa
3. serak
4. mengeluarkan darah ketika meludah atau batuk 5. nafas pendek
6. kambuhnya infeksi seperti bronchitis dan pneumonia 7. bunyi mengi
Ketika kanker paru menyebar pada organ lain, akan menyebabkan: 1. nyeri tulang
2. lengan dan kaki mati rasa 3. sakit kepala, pusing
(43)
II.C.4 Faktor Penyebab Kanker Paru
Di dalam tubuh kita terjadi siklus setiap hari. Melalui proses ini muncul sel-sel yang berpotensi kanker, tumbuh dan kemudian menghilang. Sejauh ini, penyebab pasti kanker paru masih belum diketahui, namun diperkirakan bahwa inhalasi jangka panjang dari bahan-bahan karsinogenik (pemicu kanker) merupakan faktor utama, tanpa mengesampingkan kemungkinan peranan predisposisi hubungan keluarga ataupun suku bangsa/ ras serta status imunologis. Bahan inhalasi karsinogenik yang banyak disorot adalah rokok (Amin, Alsagaff & Saleh, 1989).
1) Rokok
Secara statistik, ada korelasi yang hampir linear antara frekuensi kanker paru dan lamanya merokok. Risiko naik 20 kali lebih besar pada perokok berat (40 atau lebih rokok sehari untuk jangka waktu beberapa tahun). Kurang lebih 80% dari kanker paru terjadi pada perokok atau pada mereka yang telah berhenti merokok. Perokok pasif juga meningkatkan risiko, tetapi seberapa banyak masih belum pasti (Robbins & Kumar, 1995).
2) Pengaruh paparan industri
Yang paling banyak dihubungkan dengan karsinoma bronkogenik adalah asbestos, yang dinyatakan meningkatkan risiko kanker 6 -10 tahun (Amin, Alsagaff & Saleh, 1989). Insiden neoplasia cenderung meningkat pada pertambangan radioaktif, pada pekerja asbes (terutama bila ditambahi dengan merokok) dan pada mereka yang banyak berhubungan dengan debu yang
(44)
mengandung arsen, kromium, uranium, nikel, vinil klorida dan mustar di tempat kerja (Robbins & Kumar, 1995).
3) Pengaruh adanya penyakit lain
Tuberkulosis paru banyak dikaitkan sebagai faktor predisposisi kanker paru, sebagai akibat adanya jaringan parut tuberkulosis (Amin, Alsagaff & Saleh, 1989). Hal ini merupakan salah satu bentuk kanker paru adenokarsinoma (Robbins & Kumar, 1995).
4) Pengaruh genetik dan status imunologis
Pada tahun 1954, Tokuhotu membuktikan adanya pengaruh keturunan yang terlepas dari adanya faktor paparan lingkungan, hal ini membuka wacana bahwa kanker paru dapat diturunkan. Penelitian akhir-akhir ini condong bahwa faktor yang terlibat berkaitan dengan enzim Aryl Hidrokarbon Hidrokilase (AHH). Karsinoma bronkogenik lebih banyak didapatkan pada orang dengan aktivitas AHH yang sedang atau tinggi.
Status imunologis menggambarkan bahwa terdapat hubungan derajat diferensiasi sel, stadia penyakit, tanggapan terhadap pengobatan, serta prognosis. Penderita yang alergi umumnya tidak memberikan tanggapan yang baik terhadap pengobatan dan lebih cepat meninggal (Amin, Alsagaff & Saleh, 1989).
(45)
II.C.5 Stadium kanker paru
Penyakit kanker leher rahim dibagi menjadi beberapa stadium diantaranya (American Cancer Society, 2007) :
Tabel 2. 3 Stadium kanker paru
Stadium Kriteria I Pertumbuhan kanker hanya terbatas pada paru-paru dan dikelilingi
oleh jaringan paru-paru.
II Kanker telah menyebar dekat kelenjar getah bening. III Kanker telah menyebar keluar paru-paru.
IV Kanker telah menyebar dari tempat pertumbuhan awal ke bagian tubuh lainnya.
II.C.6 Diagnosa dan pengobatan medis kanker leher rahim
Diagnosa kanker paru dilakukan dengan menggunakan sinar X, bidang magnetis atau zat radioaktif untuk mendapatkan gambar bagian tubuh dan mencari kaner paru-paru dan melihat penyebarannya.
Pasien penderita kanker paru biasanya dirawat tidak hanya dengan satu terapi tetapi dengan menggunakan kombinasi dari berbagai terapi, yakni:
1. bedah, yakni dengan mengangkat sel-sel kanker.
2. radioterapi, teknik yang menggunakan sinar X dosis tinggi. Penyinaran ini dapat dilakukan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh dengan mendekatkan zat radioaktif pada tumor.
3. kemoterapi, pengobatan dengan menggunakan obat keras yang daat membunuh sel kanker namun juga dapat membunuh sel normal.
(46)
5. immunoterapi, penggunaan obat-obatan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh agar menyerang kanker dalam tubuh.
6. terapi gen merupakan metode membasmi mutasi genetika yang menjadi penyebab kanker.
7. penggunaan obat.
II.D Kondisi Psikologis yang Dialami Penderita Kanker Paru
Manusia mempunyai sifat yang holistik, dalam artian manusia adalah makhluk fisik yang sekaligus psikologis, yang mana kedua aspek ini saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Sehingga apa yang terjadi dengan kondisi fisik manusia akan mempengaruhi pula kondisi psikologisnya, dengan kata lain setiap penyakit fisik yang dialami seseorang tidak hanya menyerang manusia secara fisik saja tetapi juga dapat membawa masalah-masalah bagi kondisi psikologisnya.
Kondisi fisik mempunyai pengaruh langsung terhadap kesehatan emosi manusia, misalnya penyakit-penyakit tertentu sekaligus penggunaan obat-obatan tertentu untuk mengobati problema-problema fisik dapat menimbulkan gejala-gejala atau simptom depresi. Penyakit- penyakit yang dapat menyebabkan depresi di antaranya adalah penyakit kanker paru. Kecemasan juga akan meningkat ketika individu membayangkan terjadinya perubahan dalam hidupnya di masa depan akibat dari penyakit yang diderita atau pun akibat dari proses penanganan suatu penyakit serta mengalami kekurangan informasi mengenai sifat suatu penyakit dan penanganannya
(47)
Pada dasarnya, perasaan yang pertama timbul pada diri seseorang yang didiagnosis sebagai pengidap kanker adalah rasa shock, takut, cemas, stres yang berkembang menjadi berat, bahkan depresi. Individu akan dibayangi oleh ketakutan akan adanya perubahan dalam hidupnya dan bahkan dibayangi oleh kematian. Kecemasan juga akan selalu timbul selama proses penyakit sedang berlangsung (Popkin dkk., 1988). Dapat dipastikan diri yang bersangkutan akan mengalami stres berkepanjangan yang berakibat pada gangguan-gangguan emosional dan fisik yang melelahkan.Untuk itulah dukungan moril dan empati dari anggota keluarganya, terutama yang berhubungan dekat secara emosional seperti suami, istri, anak, ibu, dan bapak akan sangat dibutuhkannya. Demikian juga dengan sahabat-sahabat dekatnya meskipun hubungan emosionalnya tidak terlalu dekat. Dukungan dan perhatian yang diperoleh penderita akan membantu meringankan penderitaannya.
Kesepian merupakan masalah kejiwaan yang sering dialami oleh pasien kanker paru. Perasaan kesepian pada penderita kanker berasal dari perasaan tidak berpengharapan, tidak tertolong dan takut akan kematian yang muncul di dalam pikiran pasien dan kekurangan dukungan sosial dan emosional yang sangat dibutuhkan (Cohen, Friedman, Florian dan Zernitsky Shurka, dalam Rokeach, 2000).
(48)
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. Pendekatan Kualitatif
Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, dimana pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik atau keutuhan (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena ingin melihat pengalaman subjektif laki-laki dewasa madya yang menderita kanker paru, yaitu pengalaman kesepian dan depresi yang dihadapi, apa yang ia rasakan dan pikirkan tentang dirinya saat ini dan untuk masa mendatang (dalam konteks menghadapi penyakitnya), bagaimana ia memaknai setiap kemunduran fungsi tubuhnya serta rasa sakit yang dirasakannya, dan bagaimana ia memaknai sikap dan perilaku orang-orang di sekelilingnya terhadap penyakit yang sedang dideritanya.
III.B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka dan mendalam, serta observasi sebagai data pendukung. Peneliti menganggap bahwa metode wawancara terbuka dan mendalam sangat penting dalam penelitian ini karena dapat mengungkap sekaligus mengeksplorasi (menggali lebih mendalam) pengalaman-pengalaman pribadi subjek penelitian, dan memaknai pengalaman-pengalaman tersebut secara subjektif. Observasi
(49)
digunakan sebagai data pendukung karena tidak semua hal dapat terungkap melalui wawancara, dan observasi dapat membantu mengamati gerak-gerik, ekspresi dan bahasa tubuh subjek, yang mewakili perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikirannya.
III.B.1. Wawancara Terbuka dan Mendalam
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk dalam Poerwandari, 2001).
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka dan mendalam. Wawancara terbuka adalah jenis wawancara dimana subjek tahu bahwa dirinya sedang diwawancara dan mengetahui pula apa maksud wawancara tersebut (Guba dan Lincoln dalam Moleong, 2000), sedangkan wawancara mendalam berusaha untuk mengungkap data yang dibutuhkan secara mendalam dan personal (Creswell dalam Poerwandari, 2001).
Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara sebagai panduan agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang terlewat dan penelitian tetap pada jalur yang direncanakan sesuai kerangka teori. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.
(50)
Bentuk pertanyaan yang digunakan pada umumnya adalah pertanyaan terbuka (open ended question), yang memungkinkan partisipan bebas mengekspresikan diri mereka.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
funnelling, dimana peneliti memulai pertanyaan dari hal-hal umum dan makin
lama makin khusus (Smith dalam Poerwandari, 2001). III.B.2. Observasi
Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Banister dkk, dalam Poerwandari, 2001)
Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. (Poerwandari, 2001). Minauli (2002) menyatakan metode observasi dan wawancara memiliki kaitan yang sangat erat. Hal ini dikarenakan perilaku non verbal merupakan bagian terpenting dalam metode wawancara. Mengobservasi aspek-aspek non verbal selama melakukan wawancara akan sangat bermanfaat terutama saat menggali dan melihat sinkronisasi antara apa yang dikatakan subyek (bahasa verbal) dengan apa yang secara tersirat sebenarnya ingin disampaikannya (bahasa nonverbal). Oleh karena itu, observasi menjadi metode pengumpulan data yang esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Patton dalam Poerwandari, 2001).
(51)
Jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi tidak terkendali (uncontrolled observation) dan non partisipan. Observasi tidak terkendali (uncontrolled observation) adalah jenis observasi yang mengamati perilaku subjek dalam situasi alami (Arken dalam Minauli, 2002), sedangkan observasi non partisipan merupakan jenis observasi dimana observer, dalam hal ini adalah peneliti, hanya bertindak sebagai peneliti total yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut (Abdullah dalam Minauli, 2002).
Observasi dapat digunakan sebagai data pendukung dalam penelitian ini karena melalui observasi, berbagai hal yang tidak terungkap melalui wawancara dapat diamati oleh peneliti, seperti ekspresi wajah subjek saat menceritakan tentang apa yang dirasakan dan dipikirkannya (yang berkaitan dengan ketakutannya), intonasi suara subjek yang terkadang terdapat penekanan-penekanan di dalamnya (yang dapat menggambarkan tentang apa yang sesungguhnya dirasakan subjek), gerakan-gerakan anggota tubuh tertentu dari subjek, dan sebagainya.
III.C. Alat Bantu Pengumpulan Data Penelitian
Alat bantu pengumpul data dalam penelitian ini digunakan pada saat melakukan wawancara dengan subyek penelitian yaitu menggunakan peralatan bantu sebagai berikut:
1. Alat perekam (tape recoder), kaset dan baterai
Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkipnya secara verbatim (kata demi kata),
(52)
sehingga tidak bijaksana bila peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subyek kembali apabila masih ada hal yang belum lengkap atau belum jelas. Dengan adanya alat perekam ini, hasil wawancara yang direkam juga merupakan data yang utuh karena sesuai dengan apa yang disampaikan subyek dalam wawancara. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek.
2. Pedoman umum wawancara
Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema-tema tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan agar tidak menyimpang dari tujuan wawancara. Selain itu, pedoman wawancara berfungsi sebagai alat bantu untuk mengkategorikan jawaban sehingga peneliti mudah di dalam melakukan analisis data (Poerwandari, 2001). 3. Lembar Observasi dan catatan subyek
Lembar observasi dan catatan subyek digunakan untuk mempermudah proses observasi yang dilakukan. Observasi yang dilakukan seiring dengan wawancara. Lembar observasi dan catatan subyek antara lain memuat tentang penampilan fisik subyek, setting
(53)
wawancara, suasana lingkungan, sikap dan reaksi subyek, serta hal-hal yang menarik maupun yang menggangu dalam pelaksanaan wawancara.
III.D. Subjek penelitian
III.D.1. Prosedur Pengambilan Subjek Penelitian
Pada penelitian ini, prosedur pengambilan subjek penelitian dilakukan dengan menggunakan prosedur snowball sampling, yaitu pengambilan subjek penelitian yang bisa bertambah dalam dan selama proses penelitian berlangsung (Poerwandari, 2001). Dalam hal ini peneliti menanyakan kepada subjek penelitian yang telah didapat tentang informasi individu yang dapat dihubungi untuk diminta menjadi subjek dalam penelitian ini, yang memiliki kriteria yang sama dengan subjek penelitian tersebut.
III.D.2. Jumlah Subjek Penelitian
Prosedur penentuan subjek dalam penelitian kualitatif menurut Sarkantos (dalam Poerwandari, 2001) memiliki karakteristik berikut ini: (1) tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik dalam hal jumlah maupun karakteristik subjek, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (2) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah maupun peristiwa random) melainkan kecocokan konteks; (3) subjek tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Seperti dinyatakan oleh Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2001), dengan fokusnya pada kedalaman dan proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu kasus tunggal
(54)
pun dapat dipakai, bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti untuk memperoleh kasus lebih banyak, dan bila dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan informasi yang memang mendalam. Apabila data yang dikumpulkan telah cukup mendalam maka dapat diambil subjek penelitian dalam jumlah kecil.
Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 orang. III.D.3. Kriteria Subjek Penelitian
Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah : 1. Laki-laki dewasa madya.
Masa dewasa madya merupakan suatu masa dimana seseorang banyak mengalami kemunduran fisik yang akan menyebabkan tubuhnya rentan terhadap penyakit, dimana akhirnya penyakit tersebut akan mempengaruhi kondisi psikologis individu (Hurlock, 1999). Usia dewasa madya juga merupakan usia dimana resiko berkembangnya kanker semakin meningkat (Sarafino, 1998). Selain itu, berdasarkan data statistik yang diperoleh, jumlah penderita kanker paru di Medan paling banyak berada pada kelompok umur 55-64 tahun.
Menurut Hurlock (1980), masa dewasa madya dimulai dari usia 40 tahun sampai 60 tahun. Oleh sebab itu, kriteria usia subjek yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah 40-60 tahun.
2. Berdomisili/dirawat di kota Medan.
Peneliti memilih subjek penelitian yang berdomisili/dirawat di kota Medan karena alasan yang bersifat teknis, yaitu dekat dengan tempat tinggal peneliti, sehingga memudahkan berjalannya proses penelitian.
(55)
III.E. Prosedur Penelitian III.E.1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini, peneliti mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk berjalannya penelitian, antara lain :
1. Mengumpulkan teori-teori yang dibutuhkan untuk penelitian, yaitu teori-teori
loneliness, depresi dan kanker paru.
2. Membuat pedoman wawancara (interview guide) yang bermanfaat dalam membantu peneliti selama proses wawancara dengan subjek penelitian. Pertanyaan dalam pedoman wawancara berkaitan dengan pengalaman atau perilaku, pendapat atau nilai, respon emosional dan pengetahuan, indera serta latar belakang (Moleong, 2000).
3. Mencari informasi tentang laki-laki dewasa madya yang menderita kanker paru pada stadium lanjut. Informasi ini diperoleh dari Rumah Sakit, teman-teman, dan saudara.
4. Menghubungi subjek penelitian untuk menanyakan kesediaannya diwawancarai, sekaligus membina rapport.
III.E.2. Tahap Pelaksanaan
Salah satu karakteristik dalam penelitian ini adalah bahwa subjek penelitian berdomisili/dirawat di kota Medan. Hal ini ditetapkan untuk memudahkan penelitian secara teknis, dimana lokasi penelitian dekat dengan tempat tinggal peneliti. Peneliti berusaha mencari informasi tentang penderita kanker paru yang berdomisili di kota Medan, melalui berbagai sumber seperti rumah sakit dan beberapa sumber informal seperti teman-teman peneliti.
(56)
Pada saat wawancara dimulai, peneliti mulai melakukan percakapan ringan dengan subjek, untuk menciptakan suasana yang santai. Setelah itu, peneliti mulai melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Pertanyaan yang diajukan kepada subjek dimulai dari pertanyaan yang sifatnya umum, kemudian mengarah pada pertanyaan yang sifatnya khusus.
Wawancara yang dilakukan peneliti terhadap subjek penelitian direkam dengan menggunakan tape recorder. Peneliti juga harus cermat mengobservasi hal-hal apa saja yang muncul selama proses wawancara, misalnya ekspresi wajah subjek, bahasa tubuh subjek, dan sebagainya. Hasil observasi tersebut dicatat dengan menggunakan kata-kata kunci (key words) yang akan disempurnakan setelah wawancara selesai.
III.E.3. Tahap Pencatatan Data
Semua data yang telah disampaikan oleh subjek selama proses wawancara ditranskripkan secara verbatim untuk dianalisis. Verbatim adalah mendengarkan lalu menulis kata per kata hasil rekaman wawancara, kemudian diketik.
III.F. Prosedur Analisis Data
Prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut (Poerwandari, 2001) :
1. Mencatat data menjadi bentuk teks.
Peneliti mendengarkan kembali rekaman hasil wawancara, kemudian menuliskannya ke dalam bentuk teks yang disebut dengan verbatim hasil wawancara. Kemudian pencatatan data tersebut dilakukan secara berurutan
(57)
2. Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok permasalahan yang ingin dijawab.
Dalam tahap ini, pertama-tama dilakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok permasalahan dan tahap kedua dilakukan koding atau pengelompokan data dalam berbagai kategori.
3. Melakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data.
Setiap kelompok data yang diperoleh kemudian dianalisa dan diinterpretasi secara terpisah (tanpa dikaitkan dengan kelompok data yang lain) untuk memperoleh gambarannya.
4. Mengidentifikasi tema utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran apa yang paling utama tampil dan dirasakan oleh subjek penelitian.
5. Menulis hasil akhir.
Analisis dari ke-3 subjek tersebut kemudian dirangkum dalam satu kesimpulan yang menjadi hasil akhir dari penelitian yang dilakukan.
(58)
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
IV. A Analisis Kasus Responden A
Tempat wawancara : Rumah Sakit
Tanggal : 30 Juli 2008
20 Agustus 2008
Nama : Amir Munthe
Usia : 57 tahun
Agama : Islam
Suku : Batak
Pekerjaan : Petani
Status perkawinan : Menikah
Jumlah anak : 7 orang
Tahun diagnosis : 2007
Stadium kanker : Stadium IIB
Pengobatan medis : Kemoterapi
Pengobatan lain : -
IV.A.1 Gambaran diri responden A
Responden A dalam penelitian ini adalah Amir, seorang pria berumur 57 tahun dan suku Batak. Amir adalah seorang penderita kanker paru stadium II-B. Peneliti mengenal Amir dari salah seorang kenalan peneliti yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit tempat Amir dirawat.
(59)
Amir dilahirkan dan dibesarkan di Aek Kanopan. Amir hanya sempat mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP karena kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Sejak remaja, Amir harus bekerja untuk membantu kehidupan keluarganya. Amir bersama dengan ayahnya bekerja sebagai buruh tani di ladang karet milik tuan tanah di kampungnya. Pekerjaan ini terus dilakoninya hingga ia menikah dan punya anak. Selain itu, Amir juga pernah bekerja sebagai penebang kayu. Sejak bekerja pula Amir memulai mengenal kebiasaan merokok, ia terbiasa menghisap rokok 4-5 batang perhari bahkan sebungkus dalam sehari.
Amir menikah 30 tahun yang lalu dan memiliki 7 orang anak. Amir tinggal di Aek Kanopan bersama 4 orang anaknya, sementara 3 anak yang lain tinggal di luar kota. Salah seorang dari anaknya kuliah di Rantau Parapat. Amir merasa bangga karena dapat membiayai pendidikan anak tersebut hingga perguruan tinggi. Amir bertekad dan memiliki keinginan kuat agar anaknya dapat menyelesaikan kuliahnya hingga selesai. Namun hal ini terhambat oleh kondisi kesehatannya sendiri. Sejak menderita gejala kanker paru, Amir tidak dapat bekerja seperti sedia kala dan harus beristirahat agar sembuh. Keadaan ini membuat Amir merasa khawatir, terutama mengenai biaya kuliah anaknya. Ia khawatir tidak dapat membiayai kuliah anaknya hingga selesai.
Kondisi ekonomi keluarga Amir semakin buruk karena harus membiayai pengobatan, terlebih sejak Amir didiagnosa menderita kanker paru stadium II-B. Amir harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan yang harus dijalaninya. Untungnya anak-anak Amir bersedia membantu biaya pengobatan yang dijalaninya. Selain itu, Amir juga mendapat bantuan dari pihak Rumah Sakit
(60)
dengan tidak dikenakan biaya kemoterapi. Amir hanya perlu mengeluarkan uang untuk membeli obat penahan rasa sakit dan vitamin. Mengingat segala kemudahan yang didapatnya, Amir berharap dapat menjalani kemoterapi hingga selesai.
Kanker paru tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi, namun juga mempengaruhi hubungan Amir dengan orang lain, khususnya dengan teman-temannya. Sejak mengalami gejala batuk yang berkepanjangan, Amir menarik diri dari pergaulan. Amir merasa tidak enak apabila batuk-batuk di depan teman-temannya. Sebaliknya dari pihak teman-teman Amir juga menjaga jarak karena tidak ingin tertular batuk. Kesan bahwa teman-teman menghindar dan menjaga jarak membuat Amir merasa dikucilkan. Perasaan dikucilkan semakin membuat Amir menghindari kontak dan menjauhi teman-temannya. Berkurangnya interaksi dengan teman-teman membuat Amir merasa kesepian.
Kesepian yang dirasakan berlanjut hingga Amir menjalani rawat inap di rumah sakit. Selama menjalani perawatan di rumah sakit, interaksi yang dilakukan Amir semakin terbatas. Ia harus dirawat di rumah sakit tanpa interaksi dengan teman-teman. Ia hanya ditemani oleh istrinya. Amir tidak memiliki teman untuk berbagi cerita dan penderitaan sehingga membuat Amir merasa sendiri dan sedih. Amir sering menangis karena memikirkan penyakit dan juga nasib keluarganya apabila ditinggalkan olehnya.
Peneliti mengenal Amir dari salah satu kenalan yang bekerja di rumah sakit tempat Amir menjalani pengobatan kemoterapi. Pertemuan pertama peneliti dengan Amir terjadi pada tanggal 27 Juli 2007, peneliti datang tanpa sepengetahuan Amir. Peneliti datang berkunjung ke rumah sakit bersama dengan
(61)
perawat tersebut. Awalnya Amir merasa canggung dan merasa bingung sampai akhirnya peneliti menjelaskan maksud kedatangannya. Pertemuan pertama ini dimanfaatkan peneliti untuk membangun rapport. Setelah itu peniliti segera mengatur pertemuan berikutnya untuk melakukan wawancara.
Wawancara pertama dilakukan pada 30 Juli 2007. Pertemuan ini diawali
dengan melakukan rapport agar tercipta hubungan yang baik. Setelah Amir
merasa nyaman dengan peneliti, peneliti mulai menanyakan mengenai penyakit kanker paru yang dideritanya. Amir mengawali dengan menceritakan bagaimana ia mengetahui dengan pasti penyakit yang dideritanya serta pengobatan yang dijalaninya. Pertemuan pertama berlangsung selama kurang lebih satu jam. Sebelum mengakhiri pertemuan, peneliti dan Amir mengadakan temu janji untuk pertemuan berikutnya.
Pertemuan kedua berlangsung pada tanggal 20 Agustus 2007 di rumah sakit, tepatnya di bangsal tempat ia dirawat. Suasana rumah sakit kali ini lebih sunyi karena peneliti berkunjung pada malam hari. Amir menyambut peneliti dengan ramah. Awalnya Amir masih merasa sungkan untuk menceritakan mengenai penyakitnya, hal ini mungkin dikarenakan adanya pihak ketiga, namun setelah pihak ketiga pergi Amir bisa bercerita dengan lebih leluasa. Amir adalah seorang yang mampu mengekspresikan perasaannya dengan baik. Hal ini terlihat dari kata-kata yang diucapkannya. Sewaktu menceritakan mengenai anak-anaknya matanya terlihat berkaca-kaca. Ia mengungkapkan kesedihannya karena tidak dapat menjadi kepala keluarga yang baik. Ia merasa tidak dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Amir juga merasa sedih karena penyakit kanker yang
(1)
V.C Saran
V.C.1 Saran praktis
1. Bagi penderita kanker paru agar dapat lebih optimis dan mengubah pola pikirnya bahwa penyakit kanker yang dideritanya bukanlah merupakan vonis kematian. Penderita kanker paru diharapkan memiliki semangat untuk berjuang melawan penyakit yang dideritanya. Selain semangat dari dalam diri tentunya diharapkan penderita kanker paru juga menjalani pengobatan medis untuk mencapai kesembuhan.
2. Bagi dokter, suster, dan pihak-pihak medis lainnya diharapkan lebih memperhatikan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit kanker paru serta memberikan perhatian dan dukungan terhadap penderita. Diharapkan pihak medis tidak sekedar memperhatikan dampak fisik tetapi juga dampak psikologis, ekonomi dan sosial. Bagi keluarga penderita kanker diharapkan dapat memberikan perhatian dan dukungan yang lebih kepada penderita kanker karena dukungan keluarga merupakan suatu hal yang penting dalam kesembuhan penderita kanker tersebut.
3. Penelitian ini sebaiknya dilakukan dengan tatap muka lebih dari dua kali agar lebih mampu memberikan gambaran yang lebih utuh terhadap kesepian dan depresi yang dialami penderita kanker paru.
(2)
4. Peneliti lebih perlu meningkatkan kemampuan membina rapport dan wawancara mendalam agar lebih dapat menghayati penghayatan responden.
V.C.2 Saran penelitian lanjutan
1. Untuk menyempurnakan penelitian ini, sebaiknya dilakukan penelitian dengan topik yang masih berhubungan dengan kesepian, depresi, dan kanker paru. Disarankan pada penelitian berikutnya hal-hal yang berkaitan dengan bahan diskusi di atas dapat diperhatikan lebih mendalam lagi. Terutama mengenai topik depresi yang dirasakan kurang di dalam hal referensi.
2. Keterampilan dalam melakukan wawancara sangat penting untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai pikiran dan perasaan responden. Keterampilan ini menentukan seberapa banyak dan dalam data yang bisa diperoleh melalui wawancara. Oleh karena itu, penulis selanjutnya perlu memiliki kemampuan wawancara yang baik, sehingga data lebih akurat dan mendalam bisa tergali.
(3)
143
DAFTAR PUSTAKA
Utama, Andi. (2004). Bahaya Rokok, Mari Kita Pikirkan Lagi!. [on-line] http://www.republika.co.id/detail.asp?id=170651
American Cancer Society. (2007). For The Person Who Has Cancer. [on-line] http://www.cancer.org/docroot/MBC/content/MBC_4_1X_for_the_pers on_who_has_cancer.asp?sitearea=MBC
Amin, Alsagaff & Saleh. (1989). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia. (1995). Kanker Di Indonesia Tahun 1995
Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan R.I
Brehm,S.S. (2002). Intimate Relationship, 2nd ed. New York: McGrew-Hill.
Dayakisni, H. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
DiMatteo, M. Robin. (1991). The Psychology of Health, Illness, and Medical
Care: An Individual Perspective. California: Brooks/Cole Publishing
Company.
Everydayhealth. (2005). Lung Cancer. [on-line]
http://www.everydayhealth.com/PublicSite/index.aspx?puid=3DA46228 -905A-47BB-BB1C-A847D57422B&ContentID=283984.1
Felman, Robert S. (1995). Social Psychology. New Jersey: Prentice-, Inc.
Fox, Harper, Hyner & Lyle. (1994). Loneliness, Emotional Repression, Marital Quality, and Major Life Events In Women Who Develop Breast Cancer.
Journal of Community Health Vol 19, No. 6. Human Sciences Press, Inc.
(4)
Gatra.(2001). Asap Rokok Kandung Karsinogen Penyebab Kanker Ganas. [on-line] http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=13075
Gawler, Ian. (1997). Anda Dapat Mengatasi Kanker: Pencegahan dan
Penatalaksanaan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hadi, Pranowo. (2004). Depresi dan Solusinya. Tugu Publisher. Yogayakarta.
Hadjam, M.N.R. (2000). Tinjauan Psikologis Tentang Kanker. Laporan
Penelitian Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gajah Mada.
Hawkley, dkk. (2003). Loneliness in Everyday Life: Cardiovasculer Activity, Psychosocial Contex, and Health Behavior. Journal of Personality and
Social Psychology, 2003. Vol. 85, No. 1, 105-120. New York: APA.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Mangoenprasodjo & Hidayati. (2005). Hidup Sehat Tanpa Rokok. Yogyakarta: Pradipta Publishing.
Mary Jane Massie. (2004). Prevalence of Depression in Patient With Cancer.
Journal of Clinical Oncology Vol.2004. Number 32. Oxford University:
Oxford University Press.
Mediasehat.(2005). Mengenal Kanker. [on-line]
http://www.mediasehat.com/utama07.php
Medicastore. (2004). Kanker Paru. [on-line] http://wwww.mediacsore.com/med/detail_pyk.php?iddtl=6&idktg=2&U
ID=20070526090748125.162.42.71
(5)
145
Minirth, Frank B [et al]. (2000). Kebahagiaan Sebuah Pilihan : Gejala,
Penyebab dan Pengobatan Depresi ; diterjemahkan oleh Daniel S
Simamora. Cet 2. Gunung Mulia. Jakarta.
Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Myers, D.G. (1999). Social Psychology, 5th ed. New York: McGrew-Hill
Companies, Inc.
Pikiran Rakyat. (2005). Kanker Jadi Penyakit Paling mematikan. [on-line] http:// wwww.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/09/0305.htm
Pikiran Rakyat. (2006). Rokok yang Mengandung Formalin. [on-line] http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006.092006/14/0202.htm
Poerwandari, Kristi. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku
Manusia, (edisi revisi), Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana
Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Rokach, Ami. (1998). The Relation of CulturalBackground to the Causes of Loneliness. Journal of Social and Clinical Psychology, Vol. 17, No. 1, 1998, pp. 75-88.
Rokach, Ami. (2000). Terminal Illness and Coping With Loneliness. Journal of
Social and Clinical Psychology, Vol. 134, lss. 3; pg. 283, 14 pgs
Robbins & Kumar. (1995). Buku Ajar Patologi II, Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Santrock, Jhon W. (1999). Life Span Development, 7th ed. New York:
McGrew-Hill Companies, Inc.
Saks & Krupart. (1998). Social Psychology and It’s Aplication. New York: Herper & Row Publicher.
(6)
Sears, Freedman & Peplau. (1999). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Sjamsuhidajat & de Jong. (2005). Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tambunan, G.W. (1995). Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia. Jakarta: EGC
Taylor, S.E. (1999). Health Psychology 4th Edition. Boston: McGraw-Hill
Taylor, E, Peplau & David O. Sears. (2000). Social Psychology, 10th ed. New
Jersey: Prentice, Inc.
Whybrow, Peter C. 1984. Mood Disorder. Plenum Press. New York.
Wrightsman & Deaux. (1993). Social Psychology in the 90’s. USA: Brooks/Cole Pub. Co.