A Analisis Kasus Responden A

1

BAB IV HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

IV. A Analisis Kasus Responden A

Tempat wawancara : Rumah Sakit Tanggal : 30 Juli 2008 20 Agustus 2008 Nama : Amir Munthe Usia : 57 tahun Agama : Islam Suku : Batak Pekerjaan : Petani Status perkawinan : Menikah Jumlah anak : 7 orang Tahun diagnosis : 2007 Stadium kanker : Stadium IIB Pengobatan medis : Kemoterapi Pengobatan lain : - IV.A.1 Gambaran diri responden A Responden A dalam penelitian ini adalah Amir, seorang pria berumur 57 tahun dan suku Batak. Amir adalah seorang penderita kanker paru stadium II-B. Peneliti mengenal Amir dari salah seorang kenalan peneliti yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit tempat Amir dirawat. Universitas Sumatera Utara 2 Amir dilahirkan dan dibesarkan di Aek Kanopan. Amir hanya sempat mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP karena kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Sejak remaja, Amir harus bekerja untuk membantu kehidupan keluarganya. Amir bersama dengan ayahnya bekerja sebagai buruh tani di ladang karet milik tuan tanah di kampungnya. Pekerjaan ini terus dilakoninya hingga ia menikah dan punya anak. Selain itu, Amir juga pernah bekerja sebagai penebang kayu. Sejak bekerja pula Amir memulai mengenal kebiasaan merokok, ia terbiasa menghisap rokok 4-5 batang perhari bahkan sebungkus dalam sehari. Amir menikah 30 tahun yang lalu dan memiliki 7 orang anak. Amir tinggal di Aek Kanopan bersama 4 orang anaknya, sementara 3 anak yang lain tinggal di luar kota. Salah seorang dari anaknya kuliah di Rantau Parapat. Amir merasa bangga karena dapat membiayai pendidikan anak tersebut hingga perguruan tinggi. Amir bertekad dan memiliki keinginan kuat agar anaknya dapat menyelesaikan kuliahnya hingga selesai. Namun hal ini terhambat oleh kondisi kesehatannya sendiri. Sejak menderita gejala kanker paru, Amir tidak dapat bekerja seperti sedia kala dan harus beristirahat agar sembuh. Keadaan ini membuat Amir merasa khawatir, terutama mengenai biaya kuliah anaknya. Ia khawatir tidak dapat membiayai kuliah anaknya hingga selesai. Kondisi ekonomi keluarga Amir semakin buruk karena harus membiayai pengobatan, terlebih sejak Amir didiagnosa menderita kanker paru stadium II-B. Amir harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan yang harus dijalaninya. Untungnya anak-anak Amir bersedia membantu biaya pengobatan yang dijalaninya. Selain itu, Amir juga mendapat bantuan dari pihak Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara 3 dengan tidak dikenakan biaya kemoterapi. Amir hanya perlu mengeluarkan uang untuk membeli obat penahan rasa sakit dan vitamin. Mengingat segala kemudahan yang didapatnya, Amir berharap dapat menjalani kemoterapi hingga selesai. Kanker paru tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi, namun juga mempengaruhi hubungan Amir dengan orang lain, khususnya dengan teman- temannya. Sejak mengalami gejala batuk yang berkepanjangan, Amir menarik diri dari pergaulan. Amir merasa tidak enak apabila batuk-batuk di depan teman- temannya. Sebaliknya dari pihak teman-teman Amir juga menjaga jarak karena tidak ingin tertular batuk. Kesan bahwa teman-teman menghindar dan menjaga jarak membuat Amir merasa dikucilkan. Perasaan dikucilkan semakin membuat Amir menghindari kontak dan menjauhi teman-temannya. Berkurangnya interaksi dengan teman-teman membuat Amir merasa kesepian. Kesepian yang dirasakan berlanjut hingga Amir menjalani rawat inap di rumah sakit. Selama menjalani perawatan di rumah sakit, interaksi yang dilakukan Amir semakin terbatas. Ia harus dirawat di rumah sakit tanpa interaksi dengan teman-teman. Ia hanya ditemani oleh istrinya. Amir tidak memiliki teman untuk berbagi cerita dan penderitaan sehingga membuat Amir merasa sendiri dan sedih. Amir sering menangis karena memikirkan penyakit dan juga nasib keluarganya apabila ditinggalkan olehnya. Peneliti mengenal Amir dari salah satu kenalan yang bekerja di rumah sakit tempat Amir menjalani pengobatan kemoterapi. Pertemuan pertama peneliti dengan Amir terjadi pada tanggal 27 Juli 2007, peneliti datang tanpa sepengetahuan Amir. Peneliti datang berkunjung ke rumah sakit bersama dengan Universitas Sumatera Utara 4 perawat tersebut. Awalnya Amir merasa canggung dan merasa bingung sampai akhirnya peneliti menjelaskan maksud kedatangannya. Pertemuan pertama ini dimanfaatkan peneliti untuk membangun rapport. Setelah itu peniliti segera mengatur pertemuan berikutnya untuk melakukan wawancara. Wawancara pertama dilakukan pada 30 Juli 2007. Pertemuan ini diawali dengan melakukan rapport agar tercipta hubungan yang baik. Setelah Amir merasa nyaman dengan peneliti, peneliti mulai menanyakan mengenai penyakit kanker paru yang dideritanya. Amir mengawali dengan menceritakan bagaimana ia mengetahui dengan pasti penyakit yang dideritanya serta pengobatan yang dijalaninya. Pertemuan pertama berlangsung selama kurang lebih satu jam. Sebelum mengakhiri pertemuan, peneliti dan Amir mengadakan temu janji untuk pertemuan berikutnya. Pertemuan kedua berlangsung pada tanggal 20 Agustus 2007 di rumah sakit, tepatnya di bangsal tempat ia dirawat. Suasana rumah sakit kali ini lebih sunyi karena peneliti berkunjung pada malam hari. Amir menyambut peneliti dengan ramah. Awalnya Amir masih merasa sungkan untuk menceritakan mengenai penyakitnya, hal ini mungkin dikarenakan adanya pihak ketiga, namun setelah pihak ketiga pergi Amir bisa bercerita dengan lebih leluasa. Amir adalah seorang yang mampu mengekspresikan perasaannya dengan baik. Hal ini terlihat dari kata-kata yang diucapkannya. Sewaktu menceritakan mengenai anak-anaknya matanya terlihat berkaca-kaca. Ia mengungkapkan kesedihannya karena tidak dapat menjadi kepala keluarga yang baik. Ia merasa tidak dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Amir juga merasa sedih karena penyakit kanker yang Universitas Sumatera Utara 5 dideritanya. Ia merasa takut karena menderita penyakit parah dan bisa mengakibatkan kematian. Selain itu, ia juga merasa marah karena banyak orang- orang di sekitarnya yang meninggalkannya. IV. A. 2 Gambaran Kesepian yang dialami Responden A Batuk merupakan salah satu gejala penyakit dialami Amir sebelum didiagnosa kanker paru. Gejala batuk tersebut disertai darah dan berlangsung selama kurang lebih setahun. Batuk yang dideritanya tidak hanya berdampak secara fisik, namun juga psikis. Amir merasa teman-temannya menjauh karena takut tertular batuk yang dideritanya. Teman-temannya menganggap Amir menderita TBC Tuberkolosis, sehingga enggan untuk berdekatan dengannya. Teman-temannya juga kerap menutup mulut mereka apabila Amir batuk di dekat mereka. Respon negatif yang diberikan oleh teman-temannya ini membuat Amir merasa bahwa teman-temannya mulai menjauh. “ya itulah kira-kira mengatakan benci. Perasaan bencilah nengok kita karena orang itu pula senang-senang kita pula batuk-batuk. Itulah membikinnya kita mundur diri sendiri karena penyakit itu. Itulah yang disesalkan sehingga kita tak bisa buat untuk berteman lagi seperti biasa.” Respon negatif yang diterima dari teman-temannya membuat Amir semakin menjauh karena merasa tidak enak jika harus batuk-batuk di depan teman-temannya. Ia mulai menarik diri dari pergaulannya di warung. Amir menarik diri karena menyadari kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk terlalu sering berada di luar rumah. Ia takut batuk yang dideritanya semakin parah. Ia juga menghindari teman-temannya yang merokok karena takut akan memperparah batuk yang dideritanya. Universitas Sumatera Utara 6 “iyalah jadi kita pun menghindari dari asap-asap rokok ini terpaksa menjauh juga. Umpamanya ketemu teman-teman dari warung. Itulah keluhan ketika sudah mengandung penyakit ini.” Berbagai usaha dilakukan untuk mengobati penyakit batuknya, mulai dari meminum obat batuk dari warung hingga berobat ke dokter di kota asalnya, namun batuk yang dideritanya tidak kunjung sembuh. Amir tidak berdaya karena berbagai usaha telah dilakukan namun tidak membawa kesembuhan. Saat tidak berdaya Amir sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, namun penyakitnya membuat orang-orang menjauh karena tidak ingin tertular batuk. Kondisi ini semakin membuat Amir merasa tidak ada satupun yang peduli akan perasaannya. Amir harus berjuang sendirian dengan penyakitnya. “Kadang memang saya merasa sudah tidak bisa lagi…apapun yang dilakukan sudah memang beginilah. Mudah-mudahanlah doktor bisa mengobati. Itu sajalah. Cuma itu. Kadang pun seperti tidak peduli dia, cuma ngobati saja. Seperti tidak peduli dia dengan saya, perasaan saya. Tuhan saja yang tahu semua itu, bagaimana saya harus berjuang sendiri.” Amir putus harapan, terlebih saat batuk yang dideritanya semakin parah dan mengeluarkan darah. Saat berobat ke dokter, Amir didiagnosa menderita TBC Tuberkolosis, namun setelah beberapa kali pengobatan dokter tersebut menyerah dan merekomendasikan agar Amir berobat ke Medan. Amir sempat merasa tidak berdaya dan putus harapan, karena dokter pun sudah tidak dapat menolongnya. Amir tidak tahu pasti penyakit apa yang dideritanya, namun ia menyadari kalau penyakit yang dideritanya cukup serius. Pada Juni 2007 akhirnya Amir memutuskan untuk memeriksakan penyakitnya ke salah satu rumah sakit yang ada di Medan. Amir kemudian menjalani berbagai pemeriksaan dan mengetahui bahwa dirinya menderita kanker Universitas Sumatera Utara 7 paru stadium II-B. Mendengar hal ini Amir merasa terkejut dan ngeri karena penyakit kanker yang kemungkinan dapat merenggut nyawanya. Dokter yang memeriksa Amir segera menyarankan untuk menjalani kemoterapi. Mendengar hal ini Amir segera mengkonsultasikannya dengan istri dan anaknya. Setelah mendapat persetujuan, Amir menyatakan bersedia untuk menjalani kemoterapi dan menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa ia bersedia menjalani kemoterapi dari awal hingga akhir. Kemoterapi yang dijalaninya membuat Amir harus pulang pergi Aek Kanopan – Medan setiap 2 – 3 minggu sekali. Perjalanan dari desanya menuju Medan harus ditempuhnya dengan dua kali naik bus. Perjalanan dari rumahnya di desa memakan waktu sekitar dua jam menuju kota Aek Kanopan. Setelah tiba di Aek Kanopan Amir dan istrinya baru bisa menumpang bus menuju Medan, yang memakan waktu sekitar 5 jam. Hal ini dirasakan sangat melelahkan, terlebih karena kondisi kesehatannya yang tidak baik. Kemoterapi pertama dijalani pada akhir bulan Juni 2007. Selama menjalani kemoterapi Amir merasa badannya terasa tidak berfungsi dan mati rasa. Ia juga merasakan panas di bagian dadanya dan merasa mual. Rasa mual yang dialami membuatnya tidak selera makan, sebaliknya jika makan, tidak berapa lama makanan tersebut dimuntahkan. Kondisi perutnya tidak baik dan sering menderita mencret. Selama menjalani kemoterapi, Amir hanya ditemani oleh istrinya. Jauh dari kota tempat tinggalnya membuat Amir harus jauh dari anak-anak dan juga teman-temannya. Amir harus tinggal di rumah sakit serta dirawat oleh orang- Universitas Sumatera Utara 8 orang yang tidak ia kenal. Hal ini sempat membuat Amir merasa tidak nyaman dan asing dengan keadaan rumah sakit. Hal ini lebih terasa karena Amir harus menjalani rawat inap selama berhari-hari bahkan lebih dari seminggu apabila kondisi kesehatannya kurang fit untuk menjalani kemoterapi. ”Pertama-tama waktu saya sakit memang belum biasa. Saya kadang masih entah cemana rasanya, yang biasanya saya tidur di kamar, di rumah saya sekarang jadi di rumahsakit sama orang yang tak ku kenal. Berasa lain memang.” Selama menjalani pengobatan di rumah sakit, Amir merasakan kesepian yang mendalam karena tidak ada sanak saudaranya yang menjenguk mengingat letak rumah sakit jauh dari kampung halaman. Amir merasa ditinggalkan sendirian tanpa ada satu pun saudara dan teman yang bersedia memberikan perhatian baginya. Amir merasa perhatian dan kasih sayang saudara dan teman- temannya berkurang sejak ia menderita kanker paru. ”Kalau di rumah sakit ini memang tidak ada yang melihat aku, jauh dari kampung pula. Sedih rasanya, seperti sebatang kara saya di dunia ini, padahal banyak saudara saya di kampung tapi macam inilah. Perasaan saya semua meninggalkan saya sendirian di sini. Tinggal saya sajalah di dunia ini. Macam itulah ngerinya. Sudah sakit saya, sakit pula hati saya. Kadang takut saya engga ada lagi siapa pun yang peduli sama saya, untunglah istri saya tetap mau mengawani saya di rumah sakit” Perawatan yang dijalani mengharuskan Amir untuk beristirahat dan berbaring hampir sepanjang waktu tanpa melakukan aktivitas yang berarti. Aktivitas ini dijalani setiap berhari-hari selama berada di rumah sakit. Hal ini membuat Amir merasa bosan dan ingin segera pulang berkumpul dengan anak-anaknya . Amir merasa sepi dan bosan karena hanya berdiam diri dan tidak bisa berbagi serta bercerita mengenai perasaannya. Universitas Sumatera Utara 9 ”Terkadang kalau saya turuti perasaan saya sudah pulang saya. Bosan saya di rumahsakit engga bisa ngapa-ngapai... Kalau di rumah masih bisa saya duduk-duduk di depan rumah melihat burung peliharaan. Ngobrol sama anak saya kalau orang itu sudah pulang dari ladang.” Rasa bosan membuat Amir bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Amir hanya menjalankan rutinitas pemeriksaan kesehatan dan kemoterapi. Selama berbaring, Amir memikirkan mengenai apa yang bisa dilakukannya untuk mengatasi rasa bosan. Seringnya yang terjadi adalah Amir hanya berpikir tanpa menemukan solusi apapun. Amir tidak tenang dan menjadi gelisah karena tidak suka hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apa-apa. Hal ini tentu saja berdampak negatif pada perasaannya, yang membuatnya marah tanpa alasan. ”Saya memang betul-betul tidak tahu mau ngapai di sini kecuali tidur. Saya pikir-pikir mau apa saya, jalan-jalan di sekitar rumah sakit sudah. Mau cakap-cakap sama orang-orang di sini saya tidak kenal. Ha..itu sajalah yang saya pikirkan kalau saya lagi tidur-tiduran. Kadang itu bikin saya kesal, entah kenapa saya kesal. Kadang mau saya marahi saja semua orang di sini, apalagi kalau saya lagi terasa sakit dada ini, kayaknya mau saya marahi saja.” Rasa marah juga timbul karena penyakit kanker yang dideritanya. Amir belum bisa menerima kenyataan bahwa ia menderita kanker paru, terlebih karena dampaknya terhadap kehidupannya. Amir merasa berbeda setelah menderita penyakit. Ia merasa tidak seimbang dengan teman-temannya sehingga tidak percaya diri ketika bergaul dengan teman-temannya. Selanjutnya, Amir mengurangi intensitas interaksi dengan teman-temannya sehingga ia merasa kesepian karena tidak punya teman. ”Saya ini kadang kalau sama-sama kawan sudah engga...Apa?? Minderlah gitu. Perasaan saya sudah engga imbang lagi sama mereka. Saya ini apalah...sudah penyakitan, engga tahu apa-apa, engga bisa ngapa-ngapai. Kadang saya malu kalau orang-orang tahu saya ini penyakitan. Kadang- kadang saya engga bisa sembunyikan kalau saya ini sakit, batuk-batuk Universitas Sumatera Utara 10 pula. Kalau sakit kepala kan engga ada yang tahu, kalau batuk ini semua orang tahu, semua orang dengar. Belum lagi rambut yang rontok.. Kayaknya sudah engga ada lagi lah guna saya.” Penyakit kanker paru yang dideritanya membuatnya tidak nyaman karena merasa ”berbeda” dengan teman-temannya. Amir merasa tidak diterima lagi di dalam kelompok karena berbagai perubahan hidup yang dialaminya sejak menderita sakit. Hal ini membuat Amir merasa tidak aman, baik ketika berada di komunitasnya pertemanan, baik ketika Amir berada di rumah sakit. Merasa sudah bukan bagian dari kelompoknya, membuat Amir malu karena sudah tidak tahu mengenai perkembangan yang terjadi di dalam kelompoknya. Amir merasa tidak percaya diri dan kehilangan harga dirinya bila berkumpul dengan teman-temannya. Perasaan ini membuat Amir merasa tidak menarik lagi, karena tidak bisa memberikan sesuatu untuk kelompoknya. Amir tidak suka pada dirinya yang penyakitan dan tidak dapat melakukan apapun, baik untuk dirinya, keluarganya maupun teman-temannya. Hal ini membuatnya merasa bodoh karena tidak dapat melakukan apapun untuk merubah keadaan. ”Selama saya sakit, saya jadi tidak bisa ngapa-ngapai padahal dulu dari jam 5 saya sudah kerja. Habis sholat subuh, saya sarapan dan langsung berangkat ke ladang. Kalau sekarang mau ngapain pun tidak bisa lagi, kadang memang karena takut makin parah sakit saya ini. Serba salah memang. Kadang saya merasa pengen seperti dulu saja, bisa kerja lagi engga seperti sekarang ini mau bergerak pun kayanya dijaga kali. Seperti engga saya. Kadang karena ini, saya engga enak kalau kumpul sama kawan-kawan yang kerja di ladang. Sudah lain saya sama mereka, sudah engga sama lagi. Orang itu bicara masalah harga karet, kalau saya kan sudah tidak tahu lagi. Seperti orang tidak tahu apa-apa lah saya ini. Itupun engga bisa lah saya apa-apai lagi.” Universitas Sumatera Utara 11

IV. A. 3 Penyebab Kesepian yang dialami Responden A