35 untuk duduk. Pada awal wawancara Sukanto masih merasa sungkan menceritakan
mengenai penyakitnya. Setelah beberapa lama bercerita, Sukanto sudah merasa nyaman untuk bercerita. Sukanto tergolong pria yang terbuka dan mau
menceritakan masalah pribadinya kepada peneliti. Sewaktu bercerita mengenai penyakitnya matanya berkaca-kaca, terlebih ketika menceritakan masalah
kematian dan kemungkinan ia meninggalkan keluarganya. Wawancara kedua ini dilakukan pada tanggal 30 Maret 2008 di rumah
Sukanto. Wawancara kedua berlangsung di kamar tidur Sukanto. Pada kali ini, kondisi Sukanto sedang tidak baik sehingga wawancara harus berhenti beberapa
kali untuk memberikan Sukanto kesempatan untuk beristirahat. Beberapa kali Sukanto mengeluarkan airmata dan merasakan sakit di dada sebelah kanan.
Setelah berbicara beberapa lama, Sukanto juga merasakan sesak di dadanya dan meminta waktu untuk minum. Sukanto sedih dan berkaca-kaca ketika
membicarakan masalah yang berhubungan dengan anak dan istrinya. Ia merasa sedih jika harus meninggalkan keluarganya.
Wawancara ketiga dilakukan pada tanggal 31 Maret 2008 di rumah Sukanto. Kali ini wawancara juga berlangsung di kamar tidur Sukanto. Pada
wawancara kali ini, Sukanto lebih rileks walaupun kondisi kesehatannya tidak berubah. Selama wawancara, pembicaraan harus terhenti selama beberapa kali
karena Sukanto merasakan sesak di dadanya. Kali ini Sukanto bercerita dengan mata yang berkaca-kaca dan mengeluarkan airmata. Sukanto merasa sedih ketika
membicarakan konflik yang terjadi dalam keluarganya.
IV. C. 2 Gambaran Kesepian yang dialami responden B
Universitas Sumatera Utara
36 Gejala pertama penyakit Sukanto terjadi pada tahun 2006, yaitu Sukanto
mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh. Sukanto mencoba menyembuhkannya dengan meminum obat batuk yang beredar di pasaran, namun
tidak berhasil, bahkan batuk yang dideritanya semakin parah, yang berujung pada batuk darah. Setelah itu, Sukanto berobat ke beberapa dokter di kota asalnya di
Tanjung Morawa. Beberapa lama setelah menjalani pengobatan, dokter menyarankan Sukanto untuk memeriksakan penyakitnya ke rumah sakit di
Medan. Kurang lebih setahun setelah menderita batuk yang disertai darah, Sukanto
baru memeriksakan diri ke rumah sakit di Medan. Sukanto menjalani berbagai pemeriksaan di rumah sakit tersebut selama sebulan untuk mengetahui penyakit
apa yang dideritanya. Pemeriksaan yang dijalaninya, antara lain rontgen, bronkoskopi, scanning dan juga cek darah. Pemeriksaan tersebut memberi efek
negatif berupa rasa sakit yang membuatnya trauma, terutama suntikan-suntikan di tubuhnya. Selain merasa sakit secara fisik, Sukanto juga merasa tidak nyaman
secara psikis. Sukanto merasa lelah menjalani berbagai pemeriksaan dan juga merasa bahwa para dokter membuatnya sebagai bahan percobaan. Ia harus masuk
ke dalam satu ruangan, tidur dan diperiksa oleh banyak dokter, dan diperiksa berkali-kali. Menurutnya tidak perlu menghabiskan waktu selama sebulan untuk
mengetahui penyakit yang dideritanya. Bahkan ia merasakan penyakitnya semakin parah ketika dirawat di rumah sakit.
“Susternya nyuntik terus...pengambilan darah empat kali. Di paha, di sini menunjukkan lengan kirinya. Dua kali di paha, dua kali di sini
menunjukkan lengan kirinya. Nanti datang lagi, tambah lagi. Gitulah
Universitas Sumatera Utara
37 habis badan saya. Saya habis badannya di rumahsakit, bukannya tambah
sembuh.” Selama menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Sukanto merasa kesepian
karena harus tinggal jauh dari anak-anak dan saudaranya. Ia rindu dengan anak-
anak dan juga teman-temannya. Kerinduan ini membuatnya merasa sedih dan
memikirkan mengenai rumah, dimana ia bisa bersama dan melakukan segala
aktivitasnya bersama dengan anak-anaknya. Hal ini membuatnya tidak betah di
rumah sakit dan ingin segera pulang. “Saya engga betah di rumahsakit. Engga ada siapa-siapa. Sepi
rasanya..Saya ingin kumpul-kumpul lagi sama anak-anak, kawan-kawan, saudara. Pokoknya pulang ke rumah.”
Tidak betah di rumah sakit juga membuat Sukanto berbohong mengenai kondisi penyakitnya. Ketika dokter menanyakan mengenai gejala batuk yang
dideritanya, Sukanto mengatakan bahwa batuknya sudah tidak mengeluarkan darah lagi. Semua ini dilakukan Sukanto karena tidak suka dengan rumah sakit
dan ingin segera pulang. Ia beranggapan apabila sudah tidak batuk berdarah lagi maka Sukanto akan diberikan izin untuk pulang ke rumah.
“Dokter kan selalu bertanya, apa masih batuk darah saya bilang belumlah engga ada lagi darahnya karena mau cepat pulang.”
Di samping itu, selama di rumah sakit, Sukanto merasa sendiri, karena
tidak dekat dengan siapapun yang ada di sana. Rumah sakit membuat Sukanto
merasa terisolasi dan tidak bisa melakukan hal yang disukainya.
“Saya kalau di rumahsakit kayak di penjara, engga bisa kemana-mana cuma di tempat tidur. Engga bisa ngapa-ngapai. Lebih enak di rumah lebih
bebas. Mau ngapai aja bisa suka-suka.”
Universitas Sumatera Utara
38 Pada September tahun 2007, setelah selesai menjalani pemeriksaan dokter
memberikan diagnosa kanker paru Stadium III-B kepada Sukanto. Sebagai tindak lanjut, dokter menyarankan Sukanto untuk menjalani kemoterapi namun ia tidak
bersedia. Sukanto tidak bersedia menjalani kemoterapi disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah ia tidak percaya dengan pihak dokter, bahwa
kemoterapi dapat menyembuhkan penyakitnya. Kemoterapi dianggapnya hanya memperkecil sel kanker saja dan sebagai perawatan yang memakan waktu waktu
lama dan juga membutuhkan uang yang tidak sedikit. Karena tidak bersedia menjalani kemoterapi, akhirnya dokter mengizinkan
Sukanto untuk pulang. Selama di rumah, Sukanto beristirahat dan meminum obat yang diberikan oleh dokter. Setelah obatnya habis, karena tidak merasa cukup
sehat untuk ikut dalam perjalanan, istri Sukanto kembali ke rumah sakit untuk meminta obat. Namun karena Sukanto tidak ikut, pihak rumah sakit tidak
memberikannya obat. Akhirnya Sukanto hanya beristirahat di rumah dan sesekali menjalani pengobatan alternatif.
Diagnosa dokter membuat Sukanto merasa takut, sebab dia merasa bahwa harapan untuk sembuh dari penyakit tersebut sangat sedikit. Sukanto tidak begitu
paham mengenai penyakitnya, namun sejauh yang pernah ia tahu dan lihat dari pasien lain yang berada satu bangsal kamar rumah sakit adalah bahwa penyakit
yang dideritanya parah dan bisa menyebabkan kematian. Sukanto pernah mendengar cerita tentang pasien di bangsal tersebut meninggal karena
penyakitnya sudah parah.
Universitas Sumatera Utara
39 “Saya pun kurang tahu. Karena begini saya itu selama sakit itu sering-
sering merasa sakit, tapi yang saya dengar yang namanya tumor mengerikan gitu. Seperti yang harus dioperasi gitu itulah.”
Sejak menderita sakit, Sukanto merasa putus asa karena penyakit yang
dideritanya tidak kunjung sembuh. Sukanto tidak tahu dengan pasti mengenai penyakit yang dideritanya, ia hanya tahu bahwa ia bisa saja mati karena penyakit
kanker yang dideritanya. Karena alasan inilah maka Sukanto tidak bersedia untuk
menjalani kemoterapi ia merasa sudah tidak tertolong lagi, kemoterapi hanya
untuk memperlambat kematian saja. Bahkan orang yang mengobatinya secara alternatif pun mengatakan kemungkinan kecil bagi Sukanto untuk bisa sembuh.
Sukanto menganggap kematian pasti akan dijalaninya cepat atau lambat. Beban psikologis yang dialami oleh Sukanto membuatnya merasa sangat
membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, namun Sukanto merasa tidak mendapatkan hal tersebut. Istri dan anaknya sibuk dengan urusannya
masing-masing. Walaupun istrinya masih melayaninya; memberi makan, memandikan, dan juga memberi obat, namun Sukanto merasa tidak diperhatikan
secara psikologis. Istrinya tidak memiliki waktu untuk berbagi cerita dengannya
sehingga Sukanto merasa ditinggalkan. Semua orang tidak peduli lagi padanya
dan menganggap saudara dan kenalan hanya datang untuk mengasihaninya. “Yah..nengok dari pelayanan. Udah gitu yah nengok dari mengurus awak
inilah, ngasi makan, buang air besar, lap-lap air panas sudah berkurang.” ”Saya ini sedih tiap sakit. Saya pikirkan semuanya. Semua. Kalau begitu
memang tidak sanggup saya. Saya mau cerita sama siapa lagi sekarang. Kawan pun sudah tidak ada lagi sekarang.”
Sukanto merasa semakin sedih karena harus menanggung semua
penderitaannya sendiri. Sukanto merasakan kesedihan yang teramat dalam karena
Universitas Sumatera Utara
40 penderitaan dan rasa sakit yang ditimbulkan penyakit kanker paru yang
dialaminya. Sukanto sangat sedih terlebih ketika di dada sebelah kirinya terdapat
benjolan yang membesar. Sukanto merasa sedih dan takut terutama ketika dadanya berdenyut, Sukanto merasakan sakit yang teramat sangat. Sukanto
merasa sedih ketika sakit istri dan anaknya tidak senantiasa ada di sampingnya untuk merawatnya.
Rasa sakit pada dada semakin terasa pada malam hari, dada Sukanto terasa panas. Saat seperti ini Sukanto akan mengerang kesakitan hingga terdengar oleh
seluruh penghuni rumah. Sukanto sangat kecewa ketika ia merasa sakit, beberapa keluarganya malah menyuruhnya untuk menahan rasa sakit dan tidak ribut.
Sukanto merasa sangat tertekan karena bukan keinginannya untuk mengerang
kesakitan. Di saat ia membutuhkan dukungan dari keluarga dan teman, ia malah mendapat respon negatif karena sakitnya itu.
”sekarang saya nangis aja. Sakit rasanya. Apalagi kalau malam dada saya sesak. Panas kali. Saya engga kuat, jadi saya agak teriak-teriak, dengar itu
marahlah adek saya itu karena ribut. Engga bisa tidur orang itu karena saya.”
Saat sedang sendirian Sukanto sering merasa gelisah dan bingung
mengerjakan apa, sementara di luar kamar berbagai kegiatan sedang terjadi. Suasana di luar rumah ramai dan sibuk. Hal ini membuat Sukanto ingin turut
mengambil bagian, namun kondisi kesehatannya tidak memungkinkan baginya untuk bekerja. Bahkan untuk keluar kamar saja ia harus dibantu oleh istrinya.
Sepanjang hari berada di kamar membuat Sukanto merasa bosan. Sukanto
merasa muak dengan keadaan dimana ia hanya berada di kamar, berbaring tanpa melakukan apa-apa. Kegiatan ini dilakukannya setiap hari sejak pulang dari rumah
Universitas Sumatera Utara
41 sakit. Kebosanan membuatnya ingin memiliki teman bicara, supaya hari-harinya
terasa lebih menyenangkan. Teman bicara diharapkan bisa menemani hari-harinya sehingga Sukanto tidak merasa kesepian. Rasa bosan yang teramat sangat
membuat Sukanto merasa marah. Sukanto marah untuk menyalurkan emosi
negatif yang selama ini dipendam olehnya. Sukanto merasa marah karena tidak ada yang mau menemaninya berjuang melewati penyakit kanker paru. Setelah
marah Sukanto merasa lebih lega, walaupun kadang-kadang ia menyesal telah marah pada anak-anaknya tanpa alasan yang jelas.
Seringkali kebosanan membuatnya ingin berada di tempat lain.
Kebosanan di rumah membuat Sukanto ingin kembali ke rumah sakit yang dulu tidak sabar ingin ditinggalkannya.
“Kalau dulu ngumpul-ngumpul rame-rame sekarang di kamar. Sendirian. Mendingan di rumah sakit, kita ada kawan di sebelah. Sekarang yang
ngawani pun kayanya berkurang gitu.” Sukanto merasa bahwa perubahan yang terjadi di dalam keluarganya
terjadi karena ia menderita kanker paru. Sukanto menjadi lebih sensitif, emosional
dan cepat marah sejak ia terkena kanker paru. Ia menjadi lebih mudah marah
apabila keluarganya tidak mengurusnya ketika ia sakit. Sukanto merasa tidak berharga karena tidak ada yang peduli mengenai sakit yang dirasakannya.
“Karena udah itu tadi pengurusan udah kurang dan diri saya ini mudah selalu naik darah karena udah engga adalah harganyalah rasanya.”
Sukanto merasa stres jika istrinya mengomel ketika sedang beres-beres.
Mengomel merupakan hal yang biasa dilakukan istrinya, namun pada saat ia sakit hal ini menjadi satu hal yang membuatnya tidak nyaman. Namun, ia marah dan
tidak suka ketika istrinya pernah mengancam akan meninggalkan Sukanto dan
Universitas Sumatera Utara
42 anak-anaknya. Sukanto merasa bahwa hal seperti itu tabu untuk diucapkan.
Sukanto takut, tidak ada lagi yang mengurusnya. “Ku tinggalkan. Palak-palak ku tinggalkan kalian semua. Gitu. Pikiran
saya udah engga seperti dulu lagi.”
Responden terkadang ingin marah tapi tidak tahu marah kepada siapa,
sehingga ia hanya bisa memendam. Kadang-kadang Sukanto tidak dapat memendam perasaannya itu, dan marah kepada istri dan anak-anaknya. Setelah
melampiaskan amarahnya, Sukanto merasa lebih lega. Sukanto merasa bahwa penyakit yang dideritanya membuatnya menjadi orang yang lebih pemarah dan ia
tidak suka akan hal tersebut.
Sukanto semakin merasa bersalah karena istri dan anaknya sudah tidak
perhatian dan Sukanto menganggap itu merupakan salah satu hukuman yang diberikan padanya. Sukanto merasa pantas mendapat perlakuan apapun dari
keluarganya karena ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah.
”kadang-kadang sedih memang apalagi kalau kita mau lapar, istri lagi sibuk bisa marah dia itu sama saya, merepet. Tapi itulah saya mana bisa
bilang apa-apa, semua sudah orang itu yang urusi. Saya cuma tidur, engga kerja jadi begini sajalah, wajar kalau mereka begitu.”
Memikirkan penyakit yang dideritanya membuatnya merasa tidak
nyaman, merasa bersalah pada diri sendiri dan akhirnya mengutuk diri sendiri.
Sukanto seringkali tidak menerima keadaannya, mengapa dia harus mengalami penderitaan.
“Ya saya rasa sudah tidak ada artinya lagi. Sudah engga bisa lagilah. Entahlah kenapa saya bisa begini.”
Universitas Sumatera Utara
43 “Iyalah. Entah kenapa saya kena sakit ini. Beginilah nasib saya ini.
Mungkin ini sudah takdir dari Dia. Mungkin memang sudah nasib. Mungkin saya pernah salah. Mungkin saya memang pantas sakit ini”
Kesepian merupakan perasaan yang meliputi perasaan tidak menarik, merasa tidak suka pada diri sendiri, bodoh, malu dan merasa tidak aman. Setelah
menderita kanker paru, Sukanto merasa dirinya tidak menarik lagi sehingga
teman-temannya enggan untuk berteman lagi dengannya. Sukanto tidak memiliki sesuatu untuk dibanggakan lagi. Sukanto hanya seorang penderita kanker paru
yang tidak bisa bekerja dan hanya bisa bergantung pada istri dan anak-anaknya. Ia tidak lagi memiliki kebanggaan dalam dirinya.
Sukanto tidak suka dengan dirinya dan perubahan yang terjadi dalam
hidupnya. Sukanto harus berhenti bekerja karena penyakit kanker yang dideritanya sehingga kondisi ekonomi mereka semakin parah dan istrinya terpaksa
meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sekeluarga dan juga untuk membiayai pengobatan alternatif yang dijalani Sukanto. Istrinya juga masih
harus membiayai pendidikan anaknya yang duduk di bangku Sekolah Dasar SD.
Sebagai seorang kepala rumah tangga Sukanto merasa malu karena harus
membiarkan kehidupan keluarganya tidak menentu. Perasaan ini membuatnya menarik diri dari keluarganya. Sukanto menghukum dirinya dengan mengutuk
dirinya sehingga ia merasa sendiri tanpa kehangatan dan perhatian dari keluarganya.
”malu saya...sebagai kepala rumah tangga engga bisa ngurus bini, anak. Malahan mereka yang repot ngurusi saya. Saya rasa pantaslah saya seperti
ini. Sendiri.”
Universitas Sumatera Utara
44 Kesedihan Sukanto semakin bertambah ketika ia mengetahui istrinya
mengalami masalah dengan adik perempuannya yang juga tinggal serumah dengan mereka. Sukanto memikirkan bagaimana nasib anak dan istrinya jika ia
meninggal. Ia takut anak dan istrinya akan diusir dari rumah peninggalan orangtuanya. Masalah ini menambah beban pikirannya yang membuatnya
semakin sering merasakan sakit di dadanya. Selain masalah dengan anggota keluarga besarnya, Sukanto juga
mengalami masalah ekonomi. Setelah menderita kanker paru, Sukanto tidak lagi bisa bekerja untuk membiayai hidup anak dan istrinya. Biaya keluarga ditanggung
oleh istri dan anaknya. Namun tentu saja penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga untuk biaya pengobatan Sukanto.
Sehingga kadang-kadang jika biaya tidak ada, Sukanto tidak berobat.
IV. C. 3 Penyebab Kesepian yang dialami Responden B