Tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk
memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan, dan memperbaharui manajemen komunikasi yang efektif Liliweri, 2003: 19-20; 21-22.
II.2.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya
Menurut Liliweri, ada tujuh unsur dalam proses komunikasi antarbudaya, yaitu:
1. Komunikator. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang
memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Karakterisitik komunikator
berbeda-beda setiap budaya tergantung latar belakang etnis, ras, faktor demografis seperti umur dan jenis kelamin. Perbedaan karakterisitik
komunikator antarbudaya ditentukan oleh nilai dan norma, faktor-faktor makro seperti penggunaan bahasa, pandangan tentang pentingnya percakapan
dalam konteks budaya, dan faktor mikro seperti dialek, aksen serta nilai dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.
2. Komunikan. Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang
menerima pesan tertentu. Tujuan komunikasi akan tercapai jika komunikan dapat memahami pesan dari komunikator, dan memperhatikan serta menerima
pesan secara menyeluruh. Seorang komunikan ketika memahami isi pesan tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: 1 kognitif, komunikan
menerima isi pesan sebagai sesuatu yang benar; 2 afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar tetapi baik; dan 3 tindakan nyata,
komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorong tindakan yang tepat.
3. Pesan. Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau
perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang ditekankan
atau yang dialihkan komunikator kepada komunikan. Setiap pesan sekurang- kurangnya berisi dua aspek utama, yakni isi dan perlakuan. Isi pesan meliputi
daya tarik pesan disertai perlakuan meliputi penjelasan isi pesan oleh komunikator.
4. Media. Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat atau
saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa, dan media elektronik. Tetapi terkadang pesan itu tidak
Universitas Sumatera Utara
dikirim melalui media, terutama dalam komunikasi antarbudaya tatap muka. Para ilmuwan sosial menyepakati dua tipe saluran, yakni saluran sensoris
cahaya, bunyi, perabaan, pembauan, dan rasa. Yang kedua adalah saluran institusional, misalnya percakapan tatap muka, material cetakan, dan media
elektronik. Saluran institusional juga memerlukan saluran sensoris untuk memperlancar pertukaran pesan.
5. Efek. Efekumpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada
komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan
tidak bisa memahami ide, pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.
6. Suasana. Salah satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni
tempat, waktu, serta suasana sosial, psikologis ketika komunikasi antarbudaya berlangsung. Suasana itu berkaitan dengan waktu yang tepat
untuk bertemu, tempat rumah, kantor untuk berkomunikasi, dan kualitas relasi formal, informal yang berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya.
7. Gangguan. Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu
yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan
terjadi bila pesan yang disampaikan berbeda dengan pesan yang diterima. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan, pesan, dan media
yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama atas pesan. Gangguan dari komunikator dan komunikan misalnya karena
perbedaan status sosial, latar belakang pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa perbedaan
pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal isyarat tubuh. Sedangkan gangguan dari media dapat
berupa salah memilih media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi, situasi, dan kondisi yang kurang mendukung terlaksananya komunikasi
antarbudaya Liliweri, 2003: 25-31. Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka
sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan- kebiasaan dan tradisi-tradisi tersebut terus hidup dan berkembang serta diwariskan
oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Individu- individu tersebut cenderung menerima dan mempercayai apa yang diwariskan budaya
mereka. Mereka cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan
Universitas Sumatera Utara
dengan “kebenaran” yang mereka yakini. Ini seringkali menjadi landasan bagi prasangka yang tumbuh di antara anggota kelompok tertentu terhadap kelompok lain.
Ketika proses komunikasi antarbudaya telah berlangsung, seringkali ada gangguan dan terjadi kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Gangguan-
gangguan tersebut dapat menimbulkan kecemasan bagi individu-individu yang terlibat. Kecemasan tersebut mendorong individu yang terlibat komunikasi
antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih baik dari budaya lain. Hal ini dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang mempunyai kepercayaan bahwa
budayanya jauh lebih baik dari yang lain. Ting Toomey mendefinisikan identitas kultural sebagai perasaan emotional significance dari seseorang untuk turut
memiliki sense of belonging atau berafiliasi terhadap kultur tertentu Rahardjo, 2005:1-2. Ketika manusia menggunakan cara dimana budaya yang lain berbeda
dengan budayanya, mereka mungkin menganggap elemen budaya mereka sebagai yang normal, bermoral, dan lebih diinginkan dibandingkan elemen budaya lain. Sifat
etnosentrisme ini dapat menghalangi individu dalam menjalin komunikasi dengan budaya lain Samovar,dkk, 2010: 54-55.
Untuk mengurangi gangguan dalam komunikasi antarbudaya, kepekaan terhadap perbedaan budaya tersebut menjadi hal yang sangat penting. Melalui
pengalaman-pengalaman lintas budaya, manusia menjadi lebih terbuka dan toleran terhadap keganjilan budaya lain. Pemahaman budaya dapat mengurangi dampak
gegar budaya culture shock. Culture shock merupakan bentuk kecemasan berlebihan akibat pergaulan dengan budaya lain dan kehilangan pergaulan sosial
dengan budaya aslinya. Untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya lebih efektif
Universitas Sumatera Utara
adalah dengan meningkatkan kesadaran budaya individu secara umum. Individu harus memahami konsep dan ciri-ciri budayanya sebelum ia memperoleh studi
tentang aspek-aspek budaya asing Mulyana, 2005: 70. Kita harus dapat berperilaku dengan cara-cara yang diterima budaya lain dan juga diterima oleh budaya kita
sendiri.
II.2.4 Pandangan Dunia World View