“progresif” suka dan menerima hal-hal baru. Salah satu wujud penolakan terhadap pengaruh kebudayaan asing dan pergeseran sosial budaya adalah gerakan-gerakan
kebatinan di mana warga “kolot” dapat mengundurkan diri dari kehidupan masyarakat yang bergeser itu dan bermimpi mengenai kejayaan kuno di masa lampau
sesuai dengan kebudayaannya. Reaksi berbeda dari warga progresif dimana mereka menerima hal-hal baru yang datang. Hal ini tidak jarang mengakibatkan perpecahan
masyarakat dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik Koentjaraningrat, 2002: 254-255.
II.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran
Kata asimilasi berasal dari kata Latin, assimilare yang artinya “menjadi sama”. Dari kata ini diturunkan kata assimilation yang diindonesiakan menjadi
asimilasi, yang berarti “pembauran” Koentjaraningrat, 2002: 255. Asimilasi didefenisikan sebagai suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih individu atau
kelompok saling menerima pola kelakuan masing-masing sehingga akhirnya menjadi satu kelompok baru yang terpadu. Pada proses asimilasi terjadi proses peleburan
kebudayaan, sehingga pihak-pihak atau warga-warga dari dua-tiga kelompok yang tengah berasimilasi akan merasakan adanya kebudayaan tunggal yang dirasakan
sebagai milik bersama. Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi mungkin merupakan
tujuan sepanjang hidup Mulyana, 2005: 139. Proses-proses asimilasi akan timbul apabila:
Universitas Sumatera Utara
1. Ada perbedaan kebudayaan antara kelompok-kelompok manusia yang hidup
pada suatu waktu dan pada suatu tempat yang sama. 2.
Para warga dari masing-masing kelompok yang berbeda-beda itu dalam kenyataannya selalu bergaul secara intensif dalam jangka waktu yang cukup
lama.
3. Demi pergaulan mereka yang telah berlangsung secara intensif itu, masing-
masing pihak menyesuaikan kebudayaan mereka masing-masing, sehingga terjadilah proses saling penyesuaian kebudayaan di antara kelompok-
kelompok itu Narwoko, 2004: 42.
Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal itu
golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari kebudayaannya dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat
laun kepribadian kebudayaannya hilang dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas Koentjaraningrat, 2002: 255.
Perspektif asimilasi adalah fungsional karena etnisitas akan hilang dan tidak berfungsi dalam suatu masyarakat multietnik. Dalam studi tentang adaptasi kaum
imigran dengan lingkungan baru mereka, para peneliti telah memfokuskan studi pada motif-motif migrasi yang mendorong orang-orang untuk bermigrasi dan tinggal di
suatu daerah baru, juga pada proses adaptasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Variabel-variabel seperti ciri-ciri sosial, budaya, dan ekonomi
mempengaruhi atau berkorelasi dengan derajat adaptasi kaum imigran, pemeliharaan atau hilangnya budaya asli. Banyak kajian tentang adaptasi kaum imigran di daerah
baru yang juga bertalian dengan konflik budaya. Salah satu konsep yang penting adalah gegar budaya. Gegar budaya sebagai akibat tak terhindarkan dari kontak
Universitas Sumatera Utara
antarbudaya kaum imigran dengan masyarakat pribumi mereka Mulyana, 2005: 163- 164.
Sebelum memasuki proses pembauran, masing-masing pihak hidup berdampingan menurut pola kelakuannya sendiri. Sejak mereka memutuskan untuk
menjadi satu kelompok, mereka memasuki suatu proses baru menuju penciptaan satu pola kebudayaan sebagai landasan tunggal untuk hidup bersama. Dalam merealisasi
pola tersebut hingga mencapai bentuk yang kuat dan mantap, faktor waktu memainkan peranan penting. Melalui proses asimilasi, proses pembauran berbagai
suku terjadi hingga membentuk kebudayaan baru yang merupakan identitas baru mereka. Proses ini akhirnya akan menghasilkan asimilasi psikologis, yaitu hilangnya
identitas etnik kelompok Mulyana, 2005: 163. Perbedaan-perbedaan yang ada akan digantikan oleh kesamaan paham budayawi, kesatuan pikiran, perilaku, dan mungkin
juga tindakan. Ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempermudah terjadinya asimilasi,
antara lain: 1.
Sikap dan kesediaan menenggang. Apabila toleransi dapat dihidupkan di antara kelompok-kelompok manusia yang berbeda budaya itu, maka proses
asimilasi akan mudah dilangsungkan tanpa banyak hambatan yang berarti.
2. Sikap menghadapi orang asing berikut kebudayaannya. Sikap demikian ini
akan memudahkan pendekatan-pendekatan warga dari kelompok-kelompok yang saling berbeda itu.
3. Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang. Kesempatan di bidang
ekonomi yang seimbang begini akan memberikan kemungkinan pada setiap pihak untuk mencapai kedudukan tertentu berkat kemampuannya. Hal yang
demikian jelas akan menetralisir perbedaan-perbedaan kesempatan yang terjadi akibat kebudayaan yang berlainan dan berbeda-beda, yang oleh karena
itu akan memudahkan asimilasi.
4. Sikap terbuka golongan penguasa. Sikap terbuka golongan penguasa akan
meniadakan kemungkinan diskriminasi oleh kelompok mayoritas terhadap
Universitas Sumatera Utara
kelompok minoritas, dan tiadanya diskriminasi antar kelompok akan memudahkan asimilasi.
5. Kesamaan dalam berbagai unsur kebudayaan. Sekalipun kebudayaan masing-
masing kelompok itu tidak sepenuhnya sama, namun sering kita saksikan bahwa dalam hal-hal atau unsur-unsur tertentu terdapat kesamaan. Semakin
banyak unsur-unsur kebudayaan kelompok-kelompok itu yang bersamaan akan semakin mudahlah prasangka-prasangka antar kelompok itu dihilangkan,
dan oleh karena itu asimilasi pun akan mudah diusahakan.
6. Perkawinan campuran. Misalnya, antara kelompok warga mayoritas dan
warga kelompok minoritas, atau antara golongan-golongan penjajah dan anggota golongan terjajah. Seringkali merupakan langkah penting di dalam
usaha-usaha penyelenggaraan asimilasi.
7. Musuh bersama dari luar. Ancaman musuh bersama dari luar sering pula
diperkirakan akan memperkuat rasa persatuan di dalam masyarakat. Sadar akan adanya ancaman musuh bersama, golongan di dalam masyarakat sering
melupakan perbedaan-perbedaannya, dan karenanya lalu mudah berasimilasi Narwoko, 2004: 42-43.
Proses penyatuan akan lebih sulit jika berada dalam konteks pernikahan berbeda suku. Menurut Cohen dalam Hariyono, 1993: 102, perkawinan campuran
dimaksudkan sebagai sebuah perkawinan yang berlangsung antara individu dalam kelompok etnis yang berbeda, atau dengan istilah lain disebut amalgamasi.
Amalgamasi ini merupakan peristiwa bertemunya sepasang suami isteri yang berlainan etnis, yang sama-sama bermaksud membentuk suatu rumah tangga
keluarga berdasarkan kasih sayang, yang disahkan secara resmi dengan upacara tertentu.
Oleh Hariyono, perkawinan campuran dikatakan sebagai puncak dari bentuk asimilasi, yang diistilahkan sebagai asimilasi perkawinan. Asimilasi perkawinan
memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan yang berlawanan jenis kelamin yang memiliki perbedaan etnis. Segala apa
yang ada pada pasangan hidupnya, dengan segala latar belakang yang berbeda dapat
Universitas Sumatera Utara
diterima untuk kemudian berjalan bersamasama secara serasi menjadi teman hidup untuk selamanya dalam satu wadah rumah tangga yang sama Hariyono, 1993: 17.
Dugan Romano dalam penelitiannya mengenai perkawinan antaretnis, atau antarbudaya, mengidentifikasikan empat kelompok dalam tipe perkawinan antaretnis
tersebut, yaitu patuhtunduk, kompromi, eliminasi, dan konsensus. Perkawinan dalam tipe patuh, individu bersedia menerima budaya pasangannya. Dan tipe inilah yang
sering dijumpai dalam pasangan yang menikah antarbudaya, banyak diantaranya yang berhasil. Tipe perkawinan kedua, yaitu kompromi, lebih bermakna negatif. Hal ini
dikarenakan salah satu akan mengorbankan kepentingannya, prinsip-prinsipnya demi pasangannya. Tipe eliminasi, berarti pasangan perkawinan antarbudaya tidak mau
mengakui budaya masing-masing, sehingga pasangan ini dapat dikatakan sangat miskin budaya. Tipe terakhir, konsensus, memuat persetujuan dan kesepakatan dalam
perkawinan antarbudaya, sehingga tidak ada nilai-nilai yang disembunyikan http:ums.ac.id.
Beulah Rohrlich Dodd, 1998: 71 menyatakan, bahwa dalam keluarga kawin campur, komunikasi merupakan isu utama yang lazim muncul. Karena itu, Rohrlich
memberikan beberapa alternatif dalam upaya penyesuaian: 1.
Penyesuaian satu arah one way adjustment: salah satu mengadopsi pola budaya pasangannya.
2. Penyesuaian alternatif alternative adjustment: pada satu kesempatan salah
satu budaya diterapkan, tapi pada kesempatan lain budaya lainnya diterapkan. 3.
Kompromi midpoin midpoint compromise: kedua pihak sepakat untuk menentukan posisi masing-masing sebagai jalan keluar.
4. Penyesuaian campuran mixing adjustment: kombinasi dari dua budaya yang
sepakat untuk diadaptasi. 5.
Penyesuaian kreatif creative adjustment: kedua pihak memutuskan untuk tidak mengadopsi budaya masing-masing tetapi mencari pola perilaku yang
baru.
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam kondisi. Dodd menggolongkannya ke dalam delapan kategori, yaitu:
1. Efek Romeo dan Juliet. Konsep ini merujuk pada pasangan kawin campur
yang saling tertarik, meskipun keluarga masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan menemui beragam persoalan,
seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan menurunkan
kepercayaan individu terhadap pasangannya.
2. Peran yang diharapkan. Beberapa studi memperlihatkan, bahwa para isteri
merasa dipaksa untuk menerima budaya suaminya. Para istri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap budaya para
suami. Hal ini mengakibatkan turunnya kepuasan dalam berkomunikasi.
3. Gangguan dari keluarga besar. Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar
ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya.
4. Budaya kolektif-individualistik. Beberapa budaya menganut pendekatan
saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok keluarga besar. Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan
kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.
5. Bahasa dan kesalahpahaman. Ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam
kehidupan sehari-hari keluarga kawin campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa
yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Sebagai catatan, jika seorang anak dipaksa untuk
memilih identitas kulturalnya, cenderung akan memilih budaya ibunya.
6. Model konflik. Perbedaan dalam cara memecahkan konflik juga merupakan
poin penting kehidupan pasangan kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks rendah, monokronik-polikronik dan jarak
kekuasaan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.
7. Cara membesarkan anak. Perilaku terhadap anak dan cara mendidik anak
merepresentasikan perbedaan budaya yang lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan yang ketat dibandingkan
budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan diberlakukan kepada
anak-anak.
8. Pandangan negatif dari komunitas. Bizman mengajukan pertanyaan kepada
549 orang tentang perkawinan orang Yahudi; Yahudi Barat dengan Yahudi Barat, Yahudi Timur dengan Yahudi Timur dan Yahudi Barat dengan Yahudi
Timur. Hasilnya, 25 persen beranggapan, bahwa perkawinan antara orang Yahudi Barat dengan Yahudi Timur tidak akan berhasil dalam perkawinannya
dalam Dodd, 1998: 70-71.
Universitas Sumatera Utara
Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif
saja, belum terjadi suatu proses asimilasi jika diantara kelompok-kelompok tersebut tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu sama lain. Orang Tionghoa yang ada
di Indonesia misalnya, mereka bergaul secara luas dan intensif dengan orang Indonesia sejak berabad-abad lamanya, namun mereka belum juga terintegrasi ke
dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, karena selama itu belum cukup ada sikap saling bertoleransi dan bersimpati Koentjaraningrat, 2002: 256.
Proses asimilasi tidaklah akan terjadi apabila antarkelompok tidak tumbuh sikap toleransi dan saling berempati. Faktor-faktor di atas kiranya akan mendorong
lahirnya kedua sikap yang diprasyaratkan itu. Selain faktor-faktor yang mempermudah asimilasi, ada pula beberapa faktor lain yang justru menghambat
terjadinya asimilasi. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1.
Terisolasinya kebudayaan sesuai golongan tertentu di dalam masyarakat. 2.
Kurangnya pengetahuan suatu golongan tertentu mengenai kebudayaan yang dipunyai oleh golongan lain.
3. Perasaan takut kepada kekuatan kebudayaan kelompok lain yang dirasakan
oleh kelompok tertentu. 4.
Perasaan superior dari suatu kelompok dan meremehkan kelompok lain. 5.
Perbedaan ras dan warna kulit antarkelompok. 6.
Perasaan in-group yang kuat merasa sangat terikat dengan kelompoknya. 7.
Gangguan diskriminatif kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. 8.
Perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi antarwarga yang akhirnya membawa kepada pertentangan antarkelompok Narwoko,
2004: 43-44. Asimilasi di Indonesia masih merupakan suatu masalah yang belum
terselesaikan. Asimilasi berarti menghilangkan identitas sebagai golongan minoritas. Percampuran darah melalui pernikahan campuran telah terjadi sejak dulu antara
Universitas Sumatera Utara
penduduk asli Indonesia dengan orang asing seperti dari Eropa dan Cina. Namun golongan minoritas tetap mempertahankan kesukuan asli mereka karena mereka
masih belum bisa mencintai Indonesia seutuhnya. Kesatuan baru yang bernama bangsa Indonesia masih merupakan kesatuan politis. Dari segi kebudayaan belum
terbentuk satu kesatuan yang terikat. Proses pengembangan kebudayaan daerah berjalan sejajar dengan proses pengembangan kebudayaan nasional. Namun
kenyataannya, masih banyak etnissuku yang lebih memprioritaskan kesukuannya. Kasus pelik yang masih dihadapi Indonesia adalah pembauran suku Tionghoa ke
dalam bangsa Indonesia. Sampai saat ini masih terdapat rintangan-rintangan yang belum teratasi. Suku
Tionghoa yang walaupun sudah turun-temurun tinggal di Indonesia, kenyataannya masih banyak dari mereka yang tidak merasakan “sense of belonging” cinta tanah
air terhadap negara Indonesia Rahardjo, 2005:1-2. Hal ini juga membuat suku asli Indonesia tidak menganggap mereka sebagai warga negara Indonesia. Bila timbul
keadaan krisis, baik krisis ekonomi, politik, dan lain-lain maka dengan segera konflik akan muncul seperti kerusuhan Mei 1998. Oleh kelompok mayoritas Indonesia asli
kelompok minoritas seperti suku Tionghoa dijadikan “kambing hitam” atas krisis- krisis yang terjadi. Diskriminasi dan ketegangan tidak dapat dihindarkan. Ketika
terjadi pernikahan campuran diantara suku Tionghoa dengan Batak Toba tentu saja menjadi hal menarik untuk diketahui lebih lanjut. Sikap tertutup Tionghoa terhadap
kebudayaan lain bisa jadi menyulitkan suku Batak Toba untuk memasuki kehidupan mereka. Dalam penelitian ini ingin dilihat apakah salah satu suku mengalah dan
Universitas Sumatera Utara
menerima suku lain atau terjadi proses dimana diciptakan kebudayaan baru hasil peleburan kedua kebudayaan itu yaitu kebudayaan Batak Toba dan Tionghoa.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Metode Penelitian
Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi adalah suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan suatu metode Usman, 2009: 41. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian studi kasus. Studi
kasus merupakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-
peristiwa kehidupan nyata, seperti siklus kehidupan seseorang, proses-proses organisasional dan manajerial, perubahan lingkungan sosial, hubungan-hubungan
internasional, dan kematangan industri-industri. Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang meyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-
batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan di mana multi sumber bukti dapat dimanfaatkan Yin, 2003: 4; 18.
Penelitian studi kasus dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu studi kasus eksplanatoris, studi kasus eksploratoris, dan studi kasus deskriptif. Studi kasus
eksplanatoris bertujuan untuk menjelaskan suatu rangkaian peristiwa yang sama dan menunjukkan bagaimana penjelasan tersebut mungkin dapat diterapkan pada situasi-
situasi yang lain. Sedangkan studi kasus ekploratoris bertujuan untuk mengembangkan hipotesis dan proposisi yang saling berkaitan dalam suatu situasi.
Universitas Sumatera Utara