Proses Keluarnya Penetapan 30 Kuota Perempuan

BAB II Konteks Historis Penetapan 30 Kuota Calon Legislatif Perempuan

A. Proses Keluarnya Penetapan 30 Kuota Perempuan

Dari berbagai pemberitaan tentang perempuan Indonesia, banyak dijumpai masalah. Seperti banyaknya perempuan yang berpendidikan yang rendah terutama di pedesaan, masalah tindakan kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi dan pornografi, TKW dan perdagangan perempuan dan lainnya. Padahal peranan perempuan sama pentingnya bagi pembangunan pembangunan nasional disamping laki-laki. Dalam kenyataannya saat ini peran perempuan, kehidupan publik kaum perempuan dapat dilihat data ststistik berikut ini: 1. Bidang politik dan legeslatif perempuan sebagai politisi masih sangat sedikit, karena konon profesi ini sangat memerlukan waktu dan tenaga dan pikiran yang penuh sehingga menyulitkan bagi perempuan untuk melakukannya. 2. Perempuan yang menjadi anggota DPR dari periode ke periode kuantitasnya menurun terlihat dari angka pada tahun 1992 sebanyak 12, 1997 sebanyak 11,2 sedangkan 1999 hanya sebanyak 8,8. 3. Lembaga ekskutif perempuan yang terlibat di pemerintahan masih sangat sedikit, walaupun stigma masyarakat terhadap pembagian kerja di pemerintahan sudah berubah, namun pandangan masyarakat terhadap suatu jabatan atau posisi tertentu masih bias gender. Semakin tinggi eselon semakin Universitas Sumatera Utara sedikit yang dijabat perempuan seperti: eselon V ada 17, eselon IV ada 14, eselon III ada 8, eselon II dan I kurang dari 5. Jabatan menteri pun sangat terbatas, dalam kabinet hanya ada 2 orang menteri yang dijabat perempuan. Begitu pula duta besar dan konjen tidak sampai 0,5 yang dijabat perempuan. 4. Lembaga yudikatif hakim agung perempuan hanya 13, sedangkan hakim perempuan ada 25, dan jaksa perempuan 20,3. 5. Jurnalistik, wartawan perempuan ada sekitar 10,9 Berdasarkan hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan sebenarnya merupakan isu politik yang masih harus diperjuangkan oleh kaum perempuan. Para pemerhati perempuan sangat yakin dan optimis bahwa dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan kebijakan, akan sangat berdampak pada kesdilan politik itu sendiri karena perempuan lebih sensitif pada kepentingan keluarga, anak, dan perempuan. Namun impian keadilan politik itu masih sangat jauh untuk dapat diraih mengingat kesadaran hak politik perempuan masih sangat rendah. Akses informasi yang dapat menambah wawasan perempuan untuk mengetahui dan menyadari hak-hak politiknya masih sangat kecil. Rendahnya kesadaran politik bagi perempuan menyebabkan terjadinya manipulasi suara perempuan pada pemilu yang lalu, dimana perempuan memilih partai politik tidak berdasarkan atas pilihannya sendiri. Dengan kata lain, kontrol perempuan terhadap hak pilihnya dalam pemilu, masih sangat lemah. Adanya streotip bahwa politik itu urusan laki-laki, karena selama ini laki- laki yang mendominasi arena politik, memformulasikan aturan main dan Universitas Sumatera Utara mendefenisikan standar evaluasi yang mempersulit posisi perempuan. Oleh karena itu perempuan dapat dikatakan bahwa perempuan menjadi kelompok marginal dalam gelanggang politik, membutuhkan perhatian untuk diperjuangkan. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengharustamaan Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk pembangunan politik yang bewawasan gender. Ketidakadilan mengertian, kurangnya empati, dan kurangnya perhatian para personel negara yang kebanyakan laki-laki terhadap persoalan perempuan maupun kesejahteraan rakyat yang berwawasan gender. Jumlah perempuan anggota dalam pembuatan kebijakan dan hukum-hukum formal negara Indonesia yang sangat minim untuk dapat mempengaruhi sistem. 25 Dalam Perpres No. 7 Th. 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional th 20042009 salah satu sasaran utama untuk mencapai Indonesia yang adil dan demokratis adalah: Penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk termasuk diskriminasi dibidang hukum dengan menegakan hukum secara adil serta mengahapus peraturan yang diskriminatif, ketidakadilan gender serta melanggar prinsip keadilan agar setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam bidang hukum . 26 25 http:www.uninus.ac.id 26 Peraturan Presiden No.7 Th 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Thn 20042009. Pembangunan nasional dalam era demokratisasi ini perempuan dan laki- laki merupakan suatu sistem, dimana perempuan dan laki-laki punya fungsi dan Universitas Sumatera Utara perananya masing-masing yang saling mengisi. Jika perempuan tidak berperan secara optimal, tentu bangsa Indonesia lambat untuk menjadi bangsa yang besar dalam menghadapi globalisasi, apalagi untuk bersaing dengan bangsa lain. Agar kesempatan itu terisi secara optimal, maka untuk situasi tertentu perlu diberlakukannya kuota. Artinya kuota ini diberlakukan tidak lain adalah untuk mempersiapkan bangsa kita dalam pembangunan. Kuota ini pun bukan berarti ancaman bagi laki-laki dan bukan berarti hanya mengutamakan jumlah perempuan, namun dalam pengisian kuota itu kualitaspun wajib menjadi persyaratan. Bila sudah sampai saatnya perempuan mencukupi syarat minimal, kuota sudah tidak diperlukan dan dapat dicabut. Jadi kuota diperlukan selama perempuan sedang mempersiapakan dirinya. Kuota ini sangat diperlukan pada beberapa tempat, jika memperjuangkan agar jumlah perempuan meningkat, dan calon legisltif dari setiap partai perlu diberlakukan kuota. Sehingga nanti dalam pengambilan keputusan diharapkan mereka kan memperjuangkan perempuan. Tepatnya, pengisian kuota ini harus hati-hati, sebab belum tentu perempuan memperjuangkan perempuan dan belum ada atau masih jarang pula laki-laki yang memperjuangkan perempuan. Kendati berbagai perangkat hukum telah melegetimasi partisipasi politik bagi perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembaga- lembaga politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan dengan laki- Universitas Sumatera Utara laki. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya dimana mayoritas masyarakat di dunia masih kental dengan ideologi patriarki. Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik seperti pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral. Sementara itu, peranan laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Perpanjangan dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut maka arena politik yang sarat dengan peranan pengambilan kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan identik dengan dunia laki-laki. Apabila perempuan masuk ke panggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia keras sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat membius. Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik ditataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, mengambil keputusan dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki. Perjuangan aktivis perempuan dalam mengeleminasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah dengan melakukan tindakan affirmasi affimattive action. Salah satu tindakan affirmasi adalah dengan penetapan sistem kuota sedikitnya 30 dalam institusi-institusi pembuat kebijakan negara. 27 27 ibid Berkat perjuangan gigih koalisi para aktivis permasalahan perempuan dan koalisi Universitas Sumatera Utara perempuan anggota parlemen, ditengah berseminya alam demokrasi dan keterbukaan di era reformasi ini secara menagerial implementasi tindakan affirmasi ini dalam hal perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil di undangkan secara fundamental dalam pasal 65 UU pemilu No.12 tahun 2003. Pasal tersebut adalah 65 ayat 1 dan 2 yang dikenal dengan sebutan kuota untuk perempuan berbunyi: 1 Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD KabupatenKota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30. 2 Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan. Sementara itu dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2008 kuota 30 perwakilan perempuan diatur dalam pasal 53 yang berbunyi: Daftar bakal calon sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 52 memuat paling sedikit 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan. Dengan adanya sistem kuota sedikitnya 30 perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legalisasi berperspektif perempuan dan gender yang adil; perubahan cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan, perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ikut memasukan kebutuhan- kebutuhan perempuan sebagai bagian dari agenda-agenda nasional. Isu yang merebak mengenai calon legislatif peremnpuan justru berhembus Universitas Sumatera Utara oleh partai politik sendiri tentang ketidak tersediaan sumber daya manusia perempuan yang memadai untuk dijadikan calon legislatif dari partai politik. Sangatlah diskriminatif mempermasalahkan kelangkaan sumber daya manusia perempuan yang berkualitas padahal pada kenyataan selama ini bahwa laki-laki yang tidak.berkualitas yang duduk di kursi legeslatif.

B. Sistem Zipper Dalam Penentuan Calon Legeslatif