BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Bahkan
dalam Undang- Undang Dasar UUD 1945 dijamin hak setiap warga negara dalam politik tanpa kecuali. Ketentuan perundang-undangan melindungi siapapun
warga negara itu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang kandidat atau wakil rakyat “right to vote and right to be candidate”
1
. Hal ini dapat kita lihat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28-D ayat 3 yang
menyebutkan : “setiap warga negara berhak memproleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Perempuan pun memiliki hak sama besar dengan laki-laki
dalam tiap peri kehidupan di Indonesia. Namun kenyataan yang ada dan berbagai hambatan sistemik maupun kultural jelas-jelas menghambat kemajuan peran
perempuan untuk maju ke area publik, minimal untuk mewakili golongannya .
1
Dapat dilihat pada : http:kompas.com200502.
Transisi demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, membangkitkan tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi
setiap warganegara. Dalam kaitan ini terjadi tarik menarik dan proses negosiasi yang ketat antara ideologi politik dominan dengan aspirasi yang berkembang.
Misalnya, saja dalam menetapkan wakil-wakil rakyat di setiap partai politik,
Universitas Sumatera Utara
perempuan masih di tetapkan pada nomor paling bawah. Hal ini menandakan masih adanya hegemoni kaum laki-laki untuk tetap menguasai di parlemen.
Dunia politik di Indonesia identik dengan dunia laki-laki atau politik maskulin. Hal ini terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan kekuasaan yang
dianggap kotor, penuh intrik dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan. Politik menjadi suatu kegiatan yang identik dengan kekuasaan yang bersifat
negatif, kesewenangan, kekerasan, pengerahan massa dan kompetisi, dimana kondisi-kondisi itu tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan
perdamaian.
2
2
Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press, 2007, hal. 34.
Isu politik begitu penting untuk perempuan, tidak lain karena perempuan adalah bagian terbesarmayoritas di negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai
warga negara yang sah belum mendapat perhatian selayaknya, disamping itu mereka terus menerus dipinggirkan dimarjinalkan di dalam proses-proses
pembuatan keputusan. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan terhadap permasalahan
politik sangatlah diperlukan. Hal ini disebabkan apabila keterwakilan di lembaga politik formal diserahkan kepada laki-laki sebagai wakil perempuan akan
menghasilkan bias gender. Hal ini terjadi karena sangat kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa
yang dirasakan oleh perempuan. Masalah keterwakilan politik political representativeness bagi
perempuan adalah suatu hal yang sangat cukup penting, khususnya dalam peristiwa penting dan besar seperti pemilu. Alasan mendasar bagi tuntutan
Universitas Sumatera Utara
representatif politik yang lebih adil ini seperti “Gender sebagai suatu kategori politik yang penting yang harus terwakili secara penuh dalam institusi-institusi
pemerintahan” Apapun pilihan politiknya, kaum perempuan memiliki hak untuk diwakili hanya oleh perempuan. Keterwakilan perempuan hanya oleh perempuan
adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar, karena laki-laki tidak akan pernah bisa memahami kepentingan dan nilai-nilai yang dipahami dan dipercaya oleh kaum
perempuan.
3
Rendahnya keterwakilan perempuan dalam struktur politik formal atau di arena pembuat keputusan publik disegala tingkatan di Indonesia menjadi
persoalan penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya. Situasi ini dapat dicermati dari persentasi keterwakilan perempuan dilembaga
legisltif periode 1999-2004 berturut-turut adalah DPR 8.8, DPRD Propinsi 6, dan DPRD KabupatenKota 2. Keterwakilan perempuan dalam Badan
Perwakilan Desa BPD juga menunjukkan angka yang cukup rendah yaitu 2.
4
Pada Pemilu 2004 yang lalu dan telah membangkitkan gairah baru bagi perempuan untuk lebih lagi berkiprah dalam dunia politik. Gairah ini sebetulnya
telah dimulai saat pemilu 1999 diselenggarakan, dimana berbagai kelompok perempuan telah berperan aktif dalam melakukan pendidikan pemilih yang antara
lain mengkampanyekan agenda politik perempuan dan strategi dasar
3
Ani Widyani Sociepto, Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen, dikutip dari Alida Alida Brill A Rising Pulbic Voice : Women In Politics World Wide, New York : The Feminist,
1995. hal. 188-190, dalam Julia I. Suryakusumah, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta : Yayasan API. 2001. hal. 235.
4
Indriyati Suparno, dkk., Masih Dalam Posisi Pinggiran, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan keterwakilan perempuan dilembaga-lembaga pengambilan keputusan.
5
Ketetapan kuota 30 sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan.
Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI 11,27. Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi,
hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih 9. Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No 10
Tahun 2008 tentang Pemilu mengamanatkan perlunya pendidikan politik dan memperhatikan kesetaraan gender. Hal demikian ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran akan hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia. Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan
rakyat sendiri bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30 bagi keterwakilan perempuan dalam politik
penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta
lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah
keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan
kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian.
5
Himawan S. Pambudi, Menuju Demokrasi Terkonsilidasi, Yodyakarta : Lappera Pustaka Utama, 2003, hal 21
Universitas Sumatera Utara
Sehubung dengan kesetaraan gender tersebut, pada UU No 2 Tahun 2008 telah ditentukan secara tegas mengenai porsi keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan suatu partai politik. Sementara pada UU No.10 Tahun 2008 memiliki prinsip yang sama, adanya affirmative action dimana minimal harus
terdapat 30 persen perempuan calon legislatif. Dengan demikian dapat dikatakan UU No.2 Tahun 2008 dan UU No.10 Tahun 2008 merupakan media hukum yang
revolusioner dibidang politik di Indonesia. Lahirnya pengaturan prinsip keterwakilan perempuan atau bisa disebut
juga sistem kuota perempuan, bersumber dari ketidakpuasan beberapa kalangan. Hal itu khususnya dari kelompok feminis ysng melihat betapa memprihatinkan
porsi atau persentase kalangan perempuan di dunia politik dan partai politik. Kalangan perempuan dilingkungan atau bisa dikatakan dengan istilah feminis
partai politik terdiri dari aktivis partai politik, pengurus partai politik, calon legislatif caleg dan anggota legislatif parlemen dari kaum perempuan.
Dengan sistem kuota sedikitnya 30 perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada
kualitas legislasi berperspektif perempuan dan gender yang adil; perubahan cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan
mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan; perubahan kebijakan dan peratura undang-undang yang ikut memasukan kebutuhan kebutuhan
perempuan sebagai bagian dari agenda nasional dan membuat perempuan berdaya untuk terlibat dalam berbagai permasalahan yang selama ini tidak mendapat
perhatian di Indonesia, yang sensitif gender
.
Oleh karena itu mematok angka 30 persen perempuan calon legislatif
Universitas Sumatera Utara
dalam Pemilu 2004, maka Pemilu 2009 dianggap penting dalam rangka tindakan affirmasi sekaligus memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan
berkiprah dalam politik. Basis pemikiran lainnya adalah keyakinan bahwa sangatlah penting bagi perempuan untuk meningkatkan partisipasi politiknya baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Maju ke ruang publik dan menduduki tempat-tempat strategis pengambilan keputusan adalah satu-satunya cara agar
kepentingan perempuan tercapai. Dalam Pemilu calon legislatif 2009 yang telah diselenggarakan 9 April
lalu, di Kota Medan terdiri dari 5 daerah pemilihan Dapil yang diikuti oleh 38 partai nasional. Dari 38 partai yang ikut ada beberapa partai yang tidak
mengikutkan perempuan dalam daftar calon legislatif bahkan ada partai yang ikut dalam pemilu namun tidak terdapat satu nama yang dicalonkan sebagai calon
anngota legislatif kota Medan. Hal ini dapat kita lihat pada Partai Penegak Demokrasi Indonesia yang tidak mencalonkan satu namapun sebagi calon
legislatif pada 5 daerah pemilihan kota Medan,sementara itu ada beberapa partai yang hanya mencalonkan laki-laki saja dalam beberapa daerah pemiliha seperti
Partai Serikat Indonesia Dapil 4 dan 5, Partai Kedaulatan Dapem 1, Partai Persatuan Daerah Dapil 5, dan PNI Marhaenisme Dapil 1.
6
Penetapan kuota 30 calon legislatif perempuan tahun 2009 di Kota Medan tidak tercapai, ini terlihat dari masih ada beberapa daerah pemilihan yang
tidak terpenuhinya kuota 30 perempuan oleh partai politik di Kota Medan terutama oleh Partai PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia. Maka dengan
6
Data diambil dari : Komisi Pemilihan Umun KPU Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
demikian dapat dilihat implementasi kuota perempuan 30 Kota Medan belum tercapai.
B. Perumusan Masalah