Pemasmian atau pembakaran Sawa

48 Narpana untuk menentramkan Sang Pitra dilakukan melewati hari Purnama dan Tilem. Artinya pada hari Purnama dan Tilem sebelum pengabenan wajib mempersembahkan tarpana, dengan upakara bebanten seperti telah diuraikan di muka.

6. Matetangi

Upacara ini dilakukan tiga hari menjelang peNgabenan. Upacaranya juga menghaturkan tarpana, dengan bebanten seperti telah diuraikan di muka. Upacara ini bertujuan membangun Sang mati untuk segera di Samskara.

7. Memberikan Sekul Liwet

Sekul liwet yaitu bubur yang dibuat dengan beras yang dibersihkan diseruh 11 kali. Air yang dipakai menanak didapat dengan membeli di waktu tengah malam di suatu kelebutan di sungai. Setelah hari tengah malam bubur ini dipersembahkan oleh pretisantana yang terkemuka.

8. Upacara Kebeji dan Narpana

Upacara kebeji yang bertujuan menyucikan Sang Pitra berjalan terus sampai hari PeNgabenan. Sedangkan upacara Narpana atau mempersembahkan perangkatan juga berjalan setiap hari kecuali hari pasah.

9. Pemasmian atau pembakaran Sawa

Pagi-pagi diadakan upacara mlaspas Wadah Bade, Petulangan dan Bale Gumi. Mlaspas bale gumi ditandai dengan pertama membeli gumi 49 dan kedua menanam pijer pada bale gumi itu. Hal ini mendandung maksud agar gumi yang akan dipakai agar betul-betul milik sendiri. Bersamaan dengan Mlaspas bade juga diadakan upacara memanah Naga Banda bagi bade yang memakai Naga Banda. Upacara ini bertujuan membunuh keinginan-keinginan mereka yang meninggal agar jangan menghalangi perjalanan bagi Sang Pitra. 66 Setelah upacara mlaspas selesai, lalu bersiap-siap berangkat ke setra. Pertama-tama yang diturunkan adalah peralatan upacara, seperti ganjaran, jemek, tiga sampir, kotak, tigasan, canang sari. Lalu disusul dengan adegan, angenan, sok bekel, pangrekan sampai dengan kajang, dengan ulon lebih dulu. Setelah itu baru tatukon, lis pering, panjang hilang dan lain-lain. Kamudian dimuka Sawa, berjejer tah mabakang-bakang, cegceg dan sekarura. Terakhir baru Sawa, diturunkan perlahan-lahan. Baru turun Sawa dipendak dengan Segehan Agung dengan Caru penghalang Dewasa. Dengan menginjak Segehan Agung ini Sawa digotong ke luar, dengan upacara berjalan lebih dulu. Berikutnya Sawa dinaikkan ke Wadah atau Bade. Ikut juga dinaikkan kajang, dengan pangrekan dan angenan. Setelah siap bade diberangkatkan. Cegceg dipasang lebih dulu di sepanjang jalan. Orang yang memanjang menaburkan Sekarura. Sawa yang ada pada bade dituntun dengan penuntun oleh pretisantananya. 66 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 136-137. 50 Peralatan upacara hendaknya berjalan lebih dulu. Tetabuhan seperti angklung, gong dengan tabuh bebatelan mengiringi bade. Sedangkan gender dan wayang ada pada bade, digelar berjejer melakonkan Bhima Swarga. Setiap sampai pada simpang empat, bade diputar tiga kali, mapasawya namanya. Sebagai simbolik untuk kembali ke asalnya pralina. Demikian juga ketika sampai di pemasmian, juga berputar tiga kali, setidak-tidaknya penuntunannya saja. Sesudah berhenti dimuka petulangan Sawa diturunkan. Lebih dulu diturunkan upakaranya, seperti pangrekan dengan kajang, angenan. Pangrekan dan kajang dijunjung dan ditungguh disebelah hulu bale pemasmian. Selanjutnya Sawa diturunkan perlahan-lahan. Petulangan disapu dengan rambut pretisantananya, sebagai bukti hormat dan cinta yang mendalam. Setelah itu Sawa diangkat dan diletakkan perlahan-lahan pada petulangan itu. Tah yang mebakang-bakang dipakai membuka bandusa dan pembungkus Sawa itu. Tinggalkan hanya pakaian yang putih saja. Monmon yang ada pada mulutnya diambil. Sawa dapat dibungkus lagi dengan kain yang ikut dibakar. Lalu disertakan pakaian anyar untuk segera diperciki tirta. Setelah siap Sawa lalu diperciki tirtha. Mula-mula toya panembak yakni toya yang diambil oleh salah seorang putranya ditengah malam yang gelap seorang diri pada sebuah sungai. Hal ini mengandung maksud akan kesungguhan dan keikhlasan pretisantana untuk mengentaskan leluhurnya dari kesengsaraan. Berikutnya menyusul tirtha 51 panglukatanpebersihan, yang berfungsi untuk melenyapkan dan membersihkan segala mala yang ada pada Sawa. Terakhir barulah tirtha pangentas. Sebelum tirtha pangentas ini dicipratkan, ulantaga yang bertuliskan dasaksara terlebih dulu dibuka dan digelar pada kepala Sawa. Lalu tirthanya dicipratkan dengan mempergunakan kusa yang telah tersedia pada tirtha itu. Setelah tirtha pangentas menyusul tirtha yang dimohonkan di Sanggah Pameraja, di Ibu, di Sanggah Gede, Dadia, Panti, Kawitan dan terakhir tirtha yang dimohon di kahyangan Tiga dan Prajapati. Setelah selesai metirtha Sawa ditutup dengan pangrekan, kajang, gagutuk, ponjen dan angenan. Di bawah Sawa diletakkan adegan, tatukon, panjang hilang dan angkeb nasi. Di bawah patulangan ditumpuk kayu api yang berasal dari kayu yang harum, seperti cendanan, majagau, sandat, cempaka dan lain-lain. Api yang dipakai membakar disebut Cittagni, dapat dimohon pada Pendeta, atau di Mrajapati. Pembakaran dilakukan oleh anak atau cucu dan keluarga yang terdekat. Begitu api dinyalakan, iber-iber dilepas. Sebagai simbolis kembalinya roh dan unsur-unsur yang menjadikan manusia ke asalnya. Selama proses pembakaran ini, patut dibacakan ceritra Bhima Swarga, atau wewacan lain yang mengisahkan roh mencapai alam sorga. 52 Setelah Sawa habis terbakar, maka dihaturkan ajengan geblagan. Ajengan geblagan ini ditujukan kepada energi kala, tulang galih yang telah hancur. Lalu apinya disiram dengan air biasa hingga mati. Menyiram api ini disebut ―nyeheb‖.

3. Sawa Wedhana