1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Epilog dari drama kehidupan manusia atau sebagai penutup perjalanan hidup manusia adalah soal kematian. Sebagaimana halnya dengan kehidupan,
sejak jasad mulai bernyawa di dalam rahim, telah diadakan ritual pranatal dan dilanjutkan dengan ritual-ritual sesudah lahir. Begitupun dengan bagian akhir
perjalanan kehidupan manusia memiliki ritual setelah mati. Tata cara atau semua peraturan yang mengatur upacara baca: ritual
kematian petrime-dha-yajna terhimpun dalam sebuah kitab Weda Smrti yang dikenal dengan nama kitab ―Petrimedha Sutra‖, dikumpulkan oleh Maha Resi
Budhayana. Lebih lanjut, sejak Agama Hindu mulai tersebar ke Asia Tenggara, pokok-pokok tata cara ritual penyelesaian mayat orang mati telah digubah
kembali dan disesuaikan berdasarkan kebiasaan dan fasilitas setempat. Tentunya, hal ini juga tertulis dalam rontal-rontal yang masih tersimpan sebagai warisan
kebudayaan bagi masyarakat Hindu di Indonesia.
1
Disebabkan tata cara ritual penyelesaian mayat telah berkembang dan mengikuti kebiasaan tradisi setempat, penting kemudian sedikit banyak
mengetahui nama atau istilah dari ritual penyelesaian mayat itu sendiri. Ritual penyelenggaraan atau penyelesaian mayat, dalam kepercayaan umat
Hindu di Bali, disebut dengan istilah Ngaben atau dalam istilah pada umumnya
1
Fatwa M.P.K.S. No. 201973, Kremasi Pembakaran Mayat, Jakarta: Majlis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara’ Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1973, h. 23
2 dikenal dengan istilah Kremasi atau pembakaran mayat. Pada dasarnya, ritual
Kremasi baca: pembakaran mayat yang dikenal familiar dalam dunia modern saat ini, merupakan ritual yang dapat ditemukan dalam praktek pra-sejarah, jaman
Sutra dan permulaan sejarah, atau telah dilakukan oleh sebagian bangsa di dunia sejak zaman sebelum Masehi dan juga pada masa Romawi.
Berdasarkan dengan bukti arkeologis yang dijelaskan oleh ahli Antropologi Inggris V. Gordon Childe, pembakaran mayat atau kremasi telah dijalankan oleh
masyarakat neolitik di kepulauan Inggris, Brittany, Switzerland, dan Jerman Tengah. Kremasi menjadi cara yang disukai di Inggris dan Eropa Utara dan
Tengah pada abad pertengahan sampai abad perunggu dari 1400 SM dan di Spanyol dan Itali Atas sejak permulaan abad besi dari 1000 SM. Juga dijalankan
di Troy Dardonelles, Carchenish dekat Euphratus dan kadang di Creta dan Yunani: antara 1400 dan 1000 SM. Kemudian kremasi atau pembakaran mayat
menjadi populer di India di kalangan Hindu.
2
Dalam kebudayaan primitif yang telah sampai saat modern ini, kremasi dijalankan secara luas. Pembakaran itu tidak hanya dimaksudkan untuk
menghancurkan jasmani mayat secara lebih efektif, dan karenanya untuk mencegah kembalinya hantu itu yang mungkin, tetapi sejak api menyala juga
sebagai suatu fungsi pensucian, pembakaran itu sering dianggap sebagai kebaikan untuk melindungi roh jahat.
Tetapi, jangan diartikan, bahwa tujuan kebiasaan kremasi itu sama dalam semua keadaan. Di samping itu, untuk mengurangi keberanian roh dari
2
Fatwa M.P.K.S. No. 201973, Kremasi Pembakaran Mayat, h. 12-13.
3 mendatangi bangkai mayat dan tempatnya semula, dan untuk memberikan
semacam pengertian pensucian dari roh jahat, maka kremasi itu juga dalam beberapa contoh, di kalangan orang Hindu dan Chukchi Siberia, telah
dihubungkan dengan kepercayaan tentang suatu tempat tinggi bagi roh dari orang yang meninggal. Nyala dari timbunan kayu pembakaran mayat itu, menjulang ke
atas, dianggap dapat memudahkan naiknya roh.
3
Sementara kremasi masih merupakan cara pembebasan mayat yang lebih disukai dikalangan bangsa-bangsa primitif, kekurangan bahan bakar sering
membawa orang untuk menggunakan cara-cara lain. Contohnya, orang-orang Chukchi sering menggunakan cara membiarkan mayat itu, sedangkan orang-orang
Koryak, yang hidup lebih jauh ke daerah selatan, mengambil kremasi bila dapat dilakukan, tetapi melemparkan mayat mereka itu ke dalam lautan dari sebuah batu
yang curam apabila kekurangan bahan bakar. Dalam zaman sutra pun, acara penyelesaian jenazah sebagaimana dalam
kitab-kitab Aranyaka dan kitab Yajur Weda, acara itu disebut dengan istilah ―Pitrimedha‖ atau upacara untuk membahagiakan orang-orang yang telah
meninggal. Mantra-mantra umumnya diambil dengan ayat Rg Weda. Acaranya lebih mendetail dan lebih sistematik dengan berbagai bentuk rituil sebagai
pelengkap acara. Diantara kitab-kitab yang memuat acara itu, kitab Hiranyakesi Grhiyasutra adalah kitab yang paling banyak dianut dan tersebar pemakaiannya,
3
Fatwa M.P.K.S. No. 201973, Kremasi Pembakaran Mayat, h. 13
4 sampai ke Indonesia dalam bentuk gubahan sastra. Acara inilah yang kemudian
disistimatisir disesuaikan menurut tradisi tempat setempat.
4
Kremasi dalam perkembangan selanjutnya telah menjadi cara penyelesaian mayat yang paling populer,
5
bahkan dengan perkembangan sifat dan sosial ekonomi masyarakat, upacara pembakaran mayat tidak lagi merupakan satu tradisi
rutin tetapi merupakan proyek prestise dengan segala kemegahannya. Kejadian- kejadian yang dapat kita amati seperti yang terjadi di kalangan umat Hindu di
Bali.
6
Lebih dari itu, pembakaran mayat menjadi tradisi dan diizinkan dalam hukum positif, bahkan merupakan sebuah kewajiban dalam hukum agama
sebagaimana halnya yang membudaya dalam agama Hindu. Hal ini mempunyai arti kejiwaan yang mendalam di samping mempercepat proses pemulangan atau
penyelesaiannya. Secara ekonomipun acara ini akan lebih menguntungkan dari acara lainnya dan karena itu oleh masyarakat Hindu di Bali telah dikeluarkan
anjuran kepada masyarakat Hindu untuk menempuh acara pembakaran seketika Swastha.
Dari aspek kejiwaan, pembakaran lebih mempercepat proses penyelesaian ikatan batin yang ditinggal, sehingga baik yang ditinggal maupun yang meninggal
tidak merasakan adanya rintangan batiniah misalnya karena merasa punya kuburan, terpaksa pula hari-hari tertentu harus pergi berkunjung untuk melakukan
terpana. Inilah yang disebut ikatan batin yang dapat mengganggu itu. Lain halnya
4
Fatwa M.P.K.S. No. 201973, Kremasi Pembakaran Mayat, h. 30.
5
Fatwa M.P.K.S. No. 201973, Kremasi Pembakaran Mayat, h. 26. Uraian tentang acara pembakaran ini dijelaskan pula dalam kitab Grhya sutra. Kebiasaan ini bersifat wajib dijaman
Weda.
6
Fatwa M.P.K.S. No. 201973, Kremasi Pembakaran Mayat, h. 30.
5 dengan mayat dibakar, begitu habis dibakar dan dibuang abunya ke laut, selang
beberapa hari kemudian pikiran kita sudah terbebaskan oleh ikatan-ikatan itu. Berdasarkan analisa itu, secara ilmiah perlu pula diusahakan pembuktian
tentang kebaikan pembakaran mayat itu didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan agama.
Dalam perkembangan agama Hindu selanjutnya dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan setempat, penyelesaian mayat orang meninggal
—kremasi dalam sebutan lainnya,
—dalam tradisi umat Hindu di Bali lebih populer dan biasa disebut dengan istilah Ngaben.
Bagi umat Hindu —khususnya di Bali—Ngaben atau pembakaran mayat
kemudian berkembang dengan pelbagai sajen dan alat-alat upakara sebagai sarananya. Ini pun tidak hanya menggambarkan sebagai sebuah kebutuhan mutlak
untuk mengantar arwah ke tempat yang membahagiakan yakni tatkala bersekutu dengan Sang Hyang Widi. Lebih dari itu, tradisi atau ritual Ngaben di Bali dengan
aneka upakara dan upacaranya bukan hanya sebagai ritual keagamaan, melainkan juga menjadi proyek prestise dengan segala kemegahannya.
Ngaben sebagai ritual keagamaan di Bali merupakan bagian dari Pitra Yadnya
7
, yakni
sebagai upacara
keagamaan yang
diadakan untuk
menyelenggarakan jenazah keluarga yang meninggal dengan menggunakan
7
Pitra Yadnya terdiri dari dua kata, yakni ―pitra‖ dan ―yadnya‖. ―Pitra‖ yang berarti orang tua bapak, ibu atau leluhur. Sedangkan ―yadnya‖ berarti berkorban atau pengorbanan dengan hati
tulus ihlas nan suci. Pitra Yadnya juga menjadi bagian dari Panca Yadnya: Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, Butha Yadnya dan Pitra Yadnya itu sendiri.
6 berbagai sesajen dan upakara di dalamnya. Melakukan Pitra Yadnya ini
merupakan sebuah kebutuhan mutlak dan kewajiban swadharma.
8
Tegasnya, Ngaben yang merupakan salah satu bentuk upacara Pitra Yadnya memiliki sasaran yang cukup luas yang tidak hanya bagi roh orang tua atau
leluhur, melainkan untuk segenap roh keluarga yang meninggal. Namun ada pula maknanya yang sempit, yakni hanya bermaksud pengorbanan dalam bentuk
upacara-upakara yang tidak merangkum pengorbanan dalam wujud lainnya. Jadi, Ngaben dalam kepercayaan umat Hindu di Bali disebut sebagai
upacara pembakaran mayat yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha
Bhuta
9
kepada asalnya. Artinya, setiap manusia terdiri dari unsur atau elemen pratiwi zat tanah, serba keras atau padat, apah zat air atau yang cair, teja zat
panas dan cahaya, bayu udara, dan akasa ether. Kendatipun demikian, Ngaben yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya
terdiri dari beberapa jenis yang pelaksanaannya beranekaragam berdasarkan tempat, tradisi dan kemampuan yang ada dalam pelaksanaannya. Jadi, ada tiga
jalan yang bisa ditempuh untuk menggelar yadnya, yakni Ngaben Nista kecilbiasa, Madya sederhana dan ngaben Sarat utama.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah