Sawa Wedhana Upakara dan Upacara Ngaben Sarat

52 Setelah Sawa habis terbakar, maka dihaturkan ajengan geblagan. Ajengan geblagan ini ditujukan kepada energi kala, tulang galih yang telah hancur. Lalu apinya disiram dengan air biasa hingga mati. Menyiram api ini disebut ―nyeheb‖.

3. Sawa Wedhana

Pelaksanaan Upacara Sawa-Wedhana, sebenarnya sama saja dengan Sawa Prateka. Perbedaannya hanya, pada Sawa-Wedhana, tidak ada yang diupakarakan. Sawa diganti dengan Karsian, yang bahannyya dari Cendana atau Majagau. Upacara ini dapat dilaksanakan di rumah atau membuat dunungan di setra atau di ujung desa. Bila pelaksanaannya di rumah, tulang atau tawulan tidak ikut ―muga beya‖ atau mendapat kunapabhinesika. Taulannya ditinggalkan di setra dibuatkan rarompok. Kalau pelaksanaannya mungah beya atu eteh-eteh di pedunungan, maka tawulannya juga ikut munggah tumpang salu atau munggah bade wadah. Sawa Wedhana adalah Upacara Ngaben bagi Sawa yang telah pernah dipendam atau dititipkan kepada Ibu Pertiwi, dan Bhatari Durga. Karena ia dititipkan, maka kalau akan diabenkan harus diadakan upacara khusus yang disebut ―ngulapin‖ atau munas pada Bhatari Durga, di pura Dalem. Upacara Ngeplugin 67 atau Ngulapin dilakukan di Jaba Pura Dalem. Peralatan Upakara di bawah serta. Upakara itu antara lain: Jemekkesi-kesi denganperarainya, Sawa Karsian, ganjaran, papecut, kotak, tatopong, kulambi tiga 67 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 51-52. 53 sampir, sangku, deling, tigasan, Canang SariRebong. Upacara bebanten yang disiapkan: 68 - Satu unit sorohan kedengan ditambah suci dan sesantun, serta 1 unit segehan. Satu unit bebangkit, untuk ayaban Bhatari Durga. Untuk piuning di Prajapati, disiapkan satu unit sorohan lengkap masuci dan sesantun, serta segehan. Kalau yang diaben itu belum satu tahun dititipkan di Pertiwi, maka disiapkan benten panebusan, yaitu terdiri dari: - Banten asoroh masuci, sesantun, jinah 800 kepeng dan beras 10 kulak. - Upacara Ngulapin atau Ngeplugin dapat dilakukan oleh Jero Mangku Dalem. Upacara ini dilakukan 3 hari sebelum pengabenan. Kemudian pada pagi-pagi hari PeNgabenan dilakukan upacara ngebet tulang di setra. Sebelum menggali disediakan pepaga kecil bertiang empat dan diisi leluhur di atasnya. Tulang yang telah digali ditempatkan pada pepaga ini. Tata cara menggali tulang adalah sebagai berikut: pertama, orang yang mati dibangunkan, tanahnya dicengkak secara simbolis ―dikedeti‖ oleh anak cucunya. Lalu penggaliannya dilanjutkan, tulang-tulang diangkat lalu dibersihkan dan digulung di atas pepaga tadi, dengan lebih dahulu dibersihkan dengan air biasa dan kumkuman. Bangbang bekas tulang tadi dihaturi suci selem dan pitik selem sebagai pengganti tulang yang diangkat. Tulang yang telah digulung itu ditutupi lagi dengan kain putih tipis dan daun telunjungan, lalu dipersembahkan dahar punjung. Menjelang pembakaran, tulang-tulang itu dimasukkan pada 68 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama, h. 144-145. 54 patulangan. Berikutnya tulang ini ikut dibakar bersama Sawa karsian. Ketentuan lain, sama dengan upacara Sawa-Prateka, seperti telah diuraikan di muka. 69 Demikianlah tata cara Ngaben Sarat dilakukan, baik terhadap Sawa yang baru meninggal Sawa-Prateka, maupun terhadap Sawa yang pernah dipendam Sawa-Wedhana.

D. Relevansi Ngaben Sarat di Masa Kini

Pada masa lalu, lebih-lebih sebelum masa kemerdekaan, Umat Hindu kondisinya memang sangat lemah. Sebagai masyarakat Agraris, mereka berpenghasilan sangat rendah. Pemahaman terhadap Agama Hindu sangat rendah. Lebih-lebih ketika itu, ajaran agama masih tabu untuk dipelajari secara umum. Motto aywa wera yang disalahtafsirkan menghantui pikiran umat. Akibatnya pemahaman Agama Hindu sangat rendah. Pengertian Ngaben disalahartikan. Ngaben identik dengan ngabehin. Kalau tidak mempunyai dana yang besar, umat tidak akan berani Ngaben. Umat tidak mengenal ada bentuk Ngaben sederhana. Lalu mereka jarang sekali Ngaben. Kalau toh ada Ngaben, mereka pasti golongan Mekel, golongan Menak, keluarga Puri, atau Geria. 70 Sewaktu-waktu umat kebanyakan juga ikut Ngaben. Namun secara kolektif, baik dengan cara ngiring pada puri ataupun geria. Kadang kala dari masyarakat yang berpikiran agak maju, melaksanakan Ngaben kolektif yang disebut Ngagalung. Biasanya disponsori oleh banjar. Akibat dari semua itu, Sawa leluhur umat lama terpendam. Bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip Ngaben. 69 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 145. 70 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama, h. 83.