28 kepada wujud kuasa Tuhan atau dewa-dewa dan hutang kepada Tuhan itu
sendiri. Jadi ga menjamin itu hanya sebuah upaya.”
29
C. Landasan Khusus
Landasan khusus ini merupakan landasan filosofis dari Ngaben. Secara filosofis mayat harus dibakar atau melaksanakan swadharma kewajiban,
dikarenakan pitra yadnya merupakan suatu upacara keagamaan. Maka sebuah keluarga yang melaksanakan upacara ini adalah berdasarkan ajaran agama.
30
Tegasnya, upacara ini bukanlah sekedar tradisi yang hambar begitu saja. Tradisi ini adalah suatu tugas suci, swadharma atau kewajiban yang mutlak,
karena sudah merupakan hutang. Artinya, ajaran atau upacara itu mengandung makna bahwa setiap orang bukan main besar hutangnya. Apalagi kalau yang
diupacarai itu adalah orang tua, ayah atau ibu, kakek dan garis lurus ke atas, maka bobotnya selaku dharmaning santhana sangat dirasakan oleh anak atau
keturunannya. Hal ini disebabkan karena pengikat utama yang menunggalkan sekelompok
keluarga terutama yang mempertautkan anak-anak dengan orang tua atau leluhurnya adalah ―tali sutra‖ yang maha halus yang bernama cinta kasih. Cinta
kasih yang dalam batas tertentu itu begitu kuat, sampai- sampai meluluhkan ―aku‖
menjadi ―kami‖. Bahkan dalam banyak hal, urutannya pun menjadi ―kami‖, susudah itu baru ―aku‖. Dengan kalimat lain, kepentingan keluarga kami
didudukkan jauh lebih di atas daripada kepentingan seseorang akunya. Tali kasih
29
Hasil wawancara langsung dengan Bapak Dewa Ketut Suratnaya Sebagai Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara pada tanggal 26 Oktober 2010. lihat pada lampiran II.
30
Alasan mengapa Agama Hindu menganjurkan agar mayat dibakar bisa juga dilihat dalam bukunya Cudamani, Arti Simbol Dalam Upacara Ngaben Jakarta: Hanuman Sakti, 1993, h. 6-8.
29 yang halus ini dipupuk dan dipersubur pula dengan ditanamkan ajaran tatwaning
dumadi, menurut tatwa agama.
31
Ajaran itu mengandung makna, bahwa setiap orang bukan main besar hutangnya. Pada mulanya, ketika kita berada di rahim ibu, tubuh kita hanya
sekedar dua sel yang teramat kecil. Kita sudah mempunyai utang yang besar kepada orang tua sejak berada di rahim ibu. Kita berhutang kepada ayah karena
kama putih-nya sperma, dan kita berutang kepada ibu karena kama bang-nya
ovum. Ibu melahirkan kita dengan susah payah, menahan rasa sakit yang tidak terperikan. Selanjutnya kita diberi susu baik ASI maupun susu kaleng dan
berbagai zat yang lain, sehingga badan kita tumbuh menjadi besar.
32
Menurut Agama Hindu, manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Dan manusia itu terdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira,
dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan
karena nafsu ragha antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu
Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atman Roh.
33
Pada hakikatnya, setiap stula sarira jasad makhluk manusia terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang
31
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993, h. 6.
32
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h. 6.
33
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama Surabaya: Paramita, 2002, h. 22-23.
30 ada di sekitar kita. Semuanya berasal dari unsur atau elemen yang sama, yaitu
Panca Maha Butha.
34
Jadi, ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri pratiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Pratiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang
padat. Apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan suhu, emosi.
Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah either, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.
35
Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut : sari-sari Panca Maha Butha yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari
enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura manis, Amla asam, Tikta pahit, Kothuka pedas, Ksaya sepet dan Lawana asin. Sad rasa tersebut
dimakan dan diminum oleh manusia laki dan perempuan. Didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang Ovumsel
telur dan kama putih sperma. Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya
menjadi air nyom, darah lamas kakere dan ari-ari.
36
Disamping Panca Maha Butha yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Butha itu. Panca Tan
Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira, yakni
34
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993, h. 7. Penjelasan detail tentang Panca Maha Butha juga bisa dilihat dalam
penjelasan Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 22-26.
35
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 23.
36
Proses terjadinya Ragha Sarira bisa diperjelas dalam bukunya Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 23-25.
31 Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu disebut Tri
Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara
adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh
badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atman roh yang akan pergi ke alam pitra.
Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atman akan pergi meninggalkan badan. Atman yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas
kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini
merupakan penderitaan bagi Atman roh. Untuk tidak terlalu lama atman terhalang perginya, perlu badan kasarnya
diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya di alam, yakni Panca Maha Butha. Demikian juga bagi sang atman perlu dibuatkan upacara
untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.
Sejatinya, dari Pancamahabutha setiap orang memperoleh pinjaman zat-zat yang membuat setiap orang hidup, hingga dari ―mereka‖ setiap orang berhutang.
Setiap orang berhutang selama Pancamahabutha itu terakit wungkul berbentuk stula sarira badan kasar baik sewaktu masih hidup maupun setelah meninggal.
Jelasnya, semasih Pancamahabutha berwujud tubuh manusia termasuk setelah meninggal selaku sawa jenazah, manu
sia ―pemakai‖ lima unsur zat itu dinilai
32 selaku pihak berhutang. Sebagai utang, maka tentu saja menjadi beban moral yang
pada saatnya nanti harus dibayar lunas hingga terhapuslah beban itu. Selama masih hidup, kita tentu berusaha mempertahankan badan kasar ini.
Penyebabnya, karena dianggap begitu penting meski benda itu pinjaman. Merupakan sebuah kewajaran dan keharusan dalam menjaganya. Namun ketika
tubuh kasar ini tidak diperlukan lagi karena tidak berfungsi lagi, unsur-unsur stula sarira itu harus dikembalikan kepada pemiliknya atau asalnya semula, yakni Sang
Pancamahabutha. Dengan kata lain, sawa harus dipercepat dihancurkan, hingga masing-masing unsurnya kembali menunggal dengan asalnya.
Sederhananya, orang yang meninggal tidak dapat berinisiatif untuk mengembalikan bahan tubuhnya kepada Sang Pancamahabutha. Itulah sebabnya,
sebagai anggota keluarga yang hidup membantu secepatnya mengembalikan utang itu. Apalagi, yang wafat itu, orang tua atau leluhur kita. Demi kasih, kita sebagai
anak membantu yang wafat itu mengembalikan utangnya. Apalagi kita telah berutang jasa kepada orang tua atau leluhur yang telah ―memberikan‖ kama bang
dan kama petak yang kemudian menjadi tubuh kita. Belum lagi jasa pemeliharaannya.
Inilah yang menjadi latar belakang adanya swadharma seorang anak untuk mengadakan Pitra Yadnya untuk orang tua atau leluhurnya. Dengan sebuah rumus
bahwa setiap ego berutang kama bang dan kama petak pada orang tuanya. Orang tua berutang unsur stula sarira pada Pancamahabutha. Bila orang meninggal,
keturunannyalah yang wajib membantu membakar membayari utang stula sarira orang tuanya hingga kembali menunggal dengan Panca Mahabutha.
33
BAB III NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA
A.
Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat
Pada hakekatnya, pengertian ataupun manfaat Ngaben Sarat tidak memiliki perbedaan dengan Ngaben lainnya
37
atau pada umumnya. Ngaben Sarat merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara Pitra Yajna. Ngaben Sarat
sebagai upacara pemberian beya atau bekel bagi roh untuk kembali kepada asalnya, dan pembakaran mayat, tawulan atau awak-awakan Sawa untuk
mempercepat proses kembalinya unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya. Dengan pengertian bahwa Ngaben Sarat adalah Ngaben yang penuh sarat dengan
perlengkapan-perlengkapan upakara bebanten dan peralatan lainnya.
38
Jadi, Ngaben Sarat merupakan Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara
Ngaben Sarat ini memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya .
Ngaben Sarat dilakukan terhadap Sawa yang baru meninggal maupun terhadap Sawa yang telah dipendam. Ngaben Sarat terhadap Sawa yang baru
meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan Ngaben Sarat terhadap Sawa yang pernah dipendam disebut Sawa Wedhana. Sawa Prateka dan Sawa Wedhana
memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya yang
37
Ngaben lainnya yang dimaksud oleh Penulis menyangkut tingkatan Ngaben yang variatif; nista, madya, utama atau sarat. Artinya, tingkatan Ngaben yang berbeda-beda yang juga memiliki
perbedaan dalam materi, namun manfaat dari tingkatan Ngaben tersebut sama saja.
38
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama Surabaya: Paramita, 2002, h. 158.