Pengertian dan Tingkatan Ngaben

11

BAB II NGABEN DALAM AJARAN HINDU

A. Pengertian dan Tingkatan Ngaben

Ada yang mengira perkataan Ngaben yang kita kenal di Bali berasal dari kata ngaba+in yang menurut bahasa Bali berarti, membekali atau memberi bekal. Sudah tentu dalam hal ini bekal yang dimaksud dapat berbentuk materi yang diwujudkan dalam upakara-upakara dan benda-benda materi lainnya, dan juga bekal immateriil yang berwujud puja Mantra dari Ida Pedanda serta doa-doa dari sanak saudaranya. 10 Dari kata Ngaben yang berarti membekali inilah mungkin timbul anggapan yang mengarah kepada pembuatan upacara besar-besaran sebagai perwujudan rasa terima kasih dan hormatnya kepada alamarhum. Disamping itu terselip suatu anggapan atau pandangan yang seolah-olah orang yang meninggal itu memerlukan bekal sebanyak-banyaknya dalam perjalanannya kedunia sana. Perkiraan yang lebih tepat asal kata mengenai Ngaben itu dikira dari kata abu. Dari kata abu lalu menjadi ngabu-in dan disingkat menjadi Ngabon. Kata Ngabon ini mengandung arti bahwa mayat itu justru dibakar agar mnenjadi abu. Kemudian kata Ngabon ini berubah menjadi kata Ngaben. Bagi masyarakat Jawa dan Bali yang mengenal kromo inggil, yaitu bahasa kasar dan halus, bila mereka merubah kata-kata dari kasar ke halus cukup dengan cara mengubah beberapa 10 Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben Jakarta: Hanuman Sakti, 1993, h. 3. 12 huruf saja contohnya: ngonkon kasar –ngenken halus, metakon kasar – metaken halus, ngabon kasar –Ngaben halus. 11 Dalam istilah lain disebutkan bahwa Ngaben berasal dari kata beya 12 artinya biaya atau bekal. Beya berarti bekal ini berupa jenis upakara yang diperlukan dalam sebuah upacara Ngaben. Kata Beya yang berarti bekal, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa Bali. Orang yang menyelenggarakan beya dalam bahasa Bali disebut meyanin. Kata Ngaben, meyanin, sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wedhana. 13 Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya 14 —yang disebut-sebut dalam lontar —adalah atiwa-atiwa atau Malebuang. 15 Kata atiwa ini pun belum dapat dicari asal usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara Austronesia. Upacara sejenis ini baca: atiwa-atiwa juga bisa dijumpai pada suku Dayak, di Kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak dikenal dengan sebuthan tibal, untuk menyebutkan upacara setelah kematian. Upacara Ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok Ngaben di Bali. Yakni tirta pangentas yang berfungsi 11 Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben, h. 3-4. Lebih lanjut Cudamani menjelaskan bahwa dalam lontar-lontar penyelesaian mayat itu dikenal dengan istilah atiwa-atiwa. Pengertian atiwa-atiwa sudah mencakup pengertian apakah upacara itu berbentuk utama besar- besaran, madya sedang ataupun nista sederhana. 12 Kata beya ini dalam kalimat aktif melakukan pekerjaan menjadi meyanin. 13 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama Surabaya: Paramita, 2002, h. 21. 14 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 21-22. 15 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993, h. 35. 13 untuk memutuskan hubungan kecintaan sang Atman roh dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atman ke alam Pitra. Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, Ngaben itu disebut Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi abu. Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat. Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini. Dalam literatur lain disebutkan bahwa Ngaben berasal dari bahasa Bali dari asal kata ―api‖. Kata ―api‖ ini mendapat prefek sengau ―ng‖ dan suffik ―an‖, dari kata api menjadi ―Ngapian‖. Setelah disandhikan menjadi kata: Ngapen. Aksara P, B dan W adalah aksara satu warga. Dengan demikian hurup ―p‖ berubah menjadi huruf ―b‖. Dari perubahan itu kata Ngapen menjadi kata Ngaben, yang artinya menuju api. 16 Dalam ajaran Hindu api itu lambang kekuatan Dewa Brahma. Dengan demikian Ngaben berarti menuju Brahma. Jadinya maksud dan tujuan upacara Ngaben adalah mengantarkan Sanghyang Atman menuju alam Brahman. Karena 16 Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu Surabaya: Paramita, 2002, h. 25-26. 14 kita berasal dari Brahman. Atman yang berasal dari Brahman ini dilambangkan dalam upacara Nyambutin oleh umat Hindu di Bali. Berbagai pengertian Ngaben yang Penulis kemukakan di atas tidak berbeda dengan penjelasan salah satu Pandita yang Penulis wawancarai langsung bahwa: “Ngaben itu istilahnya muncul hanya di Bali yang lain itu tidak dikenal Ngaben, bahkan Hindu di India, di Jawa juga tidak dikenal Ngaben. Biasanya ada beberapa persepsi, yang pertama itu Ngaben bisa dikaitkan dengan a pi “ngapen”, ngapen itu menggunakan api untuk mengembalikan lima unsur, lima unsur itu yang membentuk tubuh manusia sewaktu hidup. Selama mati dia menjadi jenazah, jadi mayat, dia harus dikembalikan pada alamnya. Jadi unsur air dikembalikan kepada air, unsur tanah dikembalikan kepada tanah, unsur api dikembalikan kepada api, kemudian apa lagi, unsur udara dikembalikan kepada udara, dan unsur either dikembalikan kepada either. Nah, proses tercepat untuk mengembalikan lima unsur pembentuk manusia ya dengan pembakaran jenazah sehingga menjadi abu, nanti abunya dibuang ke laut. Itu dianggap sudah kembali ke semua unsurnya. Unsur kembali ke alam. Yang kedua, Ngaben itu diartikan sebagai ngabehin. Ngabehin itu biaya jadi menggunakan dan membutuhkan biaya atau banyak dana atau uang untuk proses itu dan Ngaben ini dikaitkan dengan Pitra Yajna. Pitra itu leluhur, Yajna upacara, jadi sebentuk penghormatan untuk leluhur itu sebetulnya. Dengan mempercepat mengembalikan lima unsur. Kemudian itu terkait dengan pembakaran jenazahnya, ya kremasinya sampai pembuangan abunya kelaut disebut Sawa Wedana. Itu proses untuk sawanya badan kasar. Nanti setelah itu ada proses yang namanya Atma Wedana. Atma Wedana itu terkait bagaimana kita menuntun si roh supaya pertama hubungan dengan dunianya putus. Jadi tidak ada hubungan dengan dunia lagi sehingga dia terpisah dengan kehidupan di dunia ini bahwa dia sekarang menuju sana menuju ke cahaya yang kita anggap sebagai cahaya Tuhan. Kesana arahnya untuk itu roh itu harus dituntun. Nah ini yang namanya atma wedana. Ini dilakukan oleh keturunan dari yang meninggal sebagai wujud bakti Dan penghormatan bahwa leluhur itu banyak membuat jasa kepada yang hidup. Sehingga ini dianggap kewajiban moral, kewajiban sebetulnya bahasa kasarnya utang padahal kewajiban sebetulnya bukan utang kalau saya bilang. Nah itu pemahaman Ngaben. Tapi Ngaben itu tidak semuanya menggunakan api atau dibakar dan sesungguhnya kalau kita bicara Ngaben. Ngaben itu bisa lewat api, udara, tanah, air. Nah jadi itu semua namanya Ngaben hanya walaupun perlakuannya berbeda-beda tetapi upacaranya sarana upacara tetep sarana upacara Ngaben karena di Bali pun tidak semua yang meninggal itu diaben, 15 dibakar jenazahnya. Ada berapa daerah seperti Tabanan di dekat gunung Batu. Nah, itu secara keseluruhan Ngaben bisa dipahami seperti itu. Secara umum ya Ngaben bisa dipahami. Ah tentu berbeda kalau misalnya di Jawa Ngaben itu tidak harus di bakar Karena orang Jawa katakanlah belum tega dia melihat orang tuanya, kakeknya dibakar utuh- utuh, secara seperti itu sehingga Ngaben di Jawa itu hanya menggunakan puspalingga. Jadi tidak dibongkar kalau di Jawa tidak dibongkar tapi kemudian ada ritual langsung pada Atman Wedana yang namanya entas- entas. itu Ngaben persi Jawa. Kalau di India ga dikenal istilah Ngaben walaupun jenazah di bakar kremasi disana malah di India itu kelihatan lebih ekstrim. Jadi kewajiban moral sebetulnya Ngaben itu jadi seperti itu. Nah caranya berbeda-beda kalau yang dikremasi ini mempercepat proses, ada yang dikubur namanya Ngaben juga. Di trunyan itu pake angin Ngabennya dibiarin aja sampai abis sendiri. Nah itu Ngaben lewat angin mengembalikan lima unsur pada pokoknya yang tanah kembali ke tanah, yang api balik ke api, yang angin Balik ke angin. Pancamahabuta lima unsur kekuatan alam semesta itu aja sebetulnya. Tidak ada yang istimewa logik aja. Ketika kita mau lahir lima unsur kan membentuk kita dan kita menerima lima unsur itu lewat kelahiran sebagai sesuatu yang suci sebetulnya. Nah kita harus kembalikan dengan status yang sama dengan suci juga kita kembalikan, ga bisa kita kemballikan dalam kondisi yang kotor.” 17 Jadi pada prinsipnya, Ngaben atau meyanin adalah penyelenggaraan upacara untuk sawa mayat orang yang sudah meninggal. Selain itu, Ngaben merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara pitra yajna yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Mahabutha kepada asalnya. Melaksanakan pitra yadnya merupakan sebuah kewajiban atau swadharma bagi umat Hindu. Begitu pula dengan upacara Ngaben yang merupakan bagian dari pitra yadnya, maka upacara Ngaben juga merupakan sebuah kewajiban untuk dilakukan. Ngaben ini merupakan langkah untuk menghormati leluhur dan merupakan suatu pembayaran utang kepada leluhur. 17 Hasil wawancara langsung dengan bapak Dewa Ketut Suratnaya, Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara pada tanggal 26 Oktober 2010. Lihat lampiran II. 16 Dalam melakukan upacara Ngaben ada perbedaan tingkatan —tergantung tempat, tradisi dan kemampuan —dari segi penyelenggaraan dengan tujuan agar semua orang bisa menikmati dan memakai dengan pas sesuai dengan seleranya, dengan catatan harus sesuai dengan etika yang berlaku dan esensinya tidak berubah. Jadi, ada tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menggelar yadnya, yakni Ngaben NistaAlit kecilbiasa, Madya sederhana dan Ngaben Sarat utama. 18 Perbedaan ini muncul juga dikarenakan ada tuntutan dalam melaksanakan yadnya sebagaimana tertulis dalam lontar-lontar. Bahwa umat boleh memilih satu di antara tiga jalan pokok yang ditempuh, yakni nista, madya dan utamasarat. Aneka sesajen dan upakara yang jumlahnya paling sedikit adalah yadnya pada tingkat nista. Yang lebih banyak ada pada tingkat madya dan yang paling banyak ada pada tingkat utamasarat. Artinya, tingkatan-tingkatan Ngaben yang muncul dalam realitas kehidupan masyarakat seperti halnya Ngaben pada tingkat Ngaben NgiritNgelanusMetandang Mantri, Ngaben Maprenawamadyasederhana, Ngaben Ngewangunutamasarat 19 muncul di lapangan dari Pandita yang muput atau dari tukang Banten yang membuat Bantennya. Bahkan tiap-tiap Pandita memiliki pegangan Lontar tersendiri dan penafsiran sendiri tentang Upacara Pitra Yajna tersebut. Ada yang menggunakan Lontar Yama Tattwa dan sejenisnya, ada juga yang menggunakan Lontar Sunari Gama PeNgabenan. 18 Kata pengantar Wayan Supartha. S.H. dalam bukunya I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993, h. xv-xvii. 19 Istilah-istilah Ngaben Ngerit sederhana, Ngaben Maprenawa menengah dan Ngaben Ngewangun besar bisa diperjelas dalam bukunya Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu Surabaya: Paramita, 2002, h. 27-28. 17 Ngaben merupakan salah satu yadnya yang paling banyak ragamnya, baik dari besar-kecilnya biaya dan wibawaprestis lahiriahnya. Dari segi banyaknya sesajen, ada Ngaben yang hanya menggunakan sesajen tiga sampai empat nyiru. Itu bagi yang ekonominya lemah atau orang yang ingin hemat-hematan. Tapi bagi mereka yang cukup berada atau yang ekonominya pas-pasan namun ingin hebat- hebatan, sesajennya bisa empat sampai lima truk. Dari segi biaya, ada yang hanya cukup mengeluarkan ratusan ribu sampai yang ratusan juta rupiah. Perbedaan tingkatan Ngaben ini demi menjawab beranekaragamnya penjelmaan manusia atau keadaan umat manusia selaku subyek yang akan beryadnya. Tidak saja bermacam-macam dalam hal bakat, kecerdasan, selera dan lainnya, melainkan pula dalam hal kedudukan dan kemampuan materianekonomi dalam masyarakat. Ada yang raja, menteri, punggawa, rakyat jelata dan ada pula yang kaya, setengah kaya, sedang-sedang saja, sampai yang gelandangan. 20 Artinya, tingkatan ini diadakan agar umat manusia dapat menempuh jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya masing-masing. Perbedaan itu bisa muncul dalam melaksanakan yadnya sebagaimana tertulis dalam lontar-lontar. Bahwa umat boleh memilih satu di antara tiga jalan pokok yang ditempuh, yakni nista, madya dan utama. Dalam bahasa Indonesia, istilah-istilah ini lebih diartikan kecil, menengah dan besar. 21 Bahkan tiga macam jalan itu bisa dirinci menjadi sembilan macam, dengan mengadakan tiga jenis jalan pula bagi setiap macamnya. Jadi dalam kelompok nista ada jenis nistaning nista, madyaning nista dan utamaning nista. Begitu pula 20 Lontar Wrehaspati Tatwa yang dikutip oleh I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h. 37. 21 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h. 36. 18 pada kelompok madya, mempunyai nistaning madya, madyaning madya dan utamaning madya. Begitu pula bagi kelompok utama ada nistaning utama, madyaning utama dan utamaning utama. 22 Hal ini kemudian mudah dibayangkan, bahwa macam sajen dan upakara yang jumlahnya paling sedikit adalah yadnya pada tingkat nista. Yang lebih banyak ada pada tingkat madya dan yang paling banyak ada pada tingkat utama. Kendatipun demikian, sukses atau gagalnya suatu Pitra Yadnya tidak bisa diukur dari penampilan luarnya. Misalnya jumlah bantennya yang besar dan banyak, badenya yang tinggi bagaikan menara pencakar langit, jumlah orang yang terlibat di dalamnya, jumlah dan kualitas tamu-tamu yang hadir. Upacara yang memakan biaya mahal, tanpa dilandasi pikiran bersih bisa digolongkan gagal. Kualitas manusia itu sendiri yang menentukan dalam sebuah upacara tersebut, bukan sekedar kuantitas alat-alat yang dipakainya. Namun, sebuah yadnya besar dengan dana besar tidak salah bila betul-betul dilandasi ketulusan suci dan kesungguhan. Bahkan perlu dikecam bila orang- orang yang hidupnya kaya raya tapi menggelar Pitra Yadnya dengan upacara kecil dengan maksud menghemat. Pitra yadnya harus dirasakan sebagai sebuah pengorbanan. Orang yang punya deposito beratus-ratus juta rupiah, tentu akan tidak merasa menanggung beban, bila upacara Pitra Yadnya-nya hanya menghabiskan ratusan ribu rupiah. Dengan demikian, jelas tidak perlu adanya keseragaman dalam hal besar kecilnya bentuk upacara Pitra Yadnya. Bisa dicontohkan dengan sebuah baju yang 22 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Harus Dibakar? Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993, h. 37. 19 ukuran dan warnanya sama tentu tidak pas bila dipakai oleh semua orang. Jadi, memang harus ada perbedaan agar semua orang bisa memakai dengan pas sesuai dengan seleranya. Tentunya saja harus sesuai dengan etika yang berlaku dan esensinya tidak berubah. Artinya, keanekaragaman kemampuan ekonomi, serta yadnya itu agar terasa sebagai ―beban‖, tetapi beban yang dapat dipikul. Para maha resi kemudian mengadakan jenis nista, madya, utama. Jenis itu diadakan, agar semua umat dapat menempuh jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya masing-masing. Maka dari itu, upacara pitra yadnya baca: Ngaben yang merupakan sebagai sebuah kewajiban haruslah dirasakan sebagai beban yang dapat dipikul. Beban dalam arti ada rasa pengorbanan, bukan dalam arti ―menyiksa diri‖. Bukanlah melakukan yadnya atau pengorbanan namanya bagi mereka yang standar pengeluarannya perhari ala tarif hotel internasional kalau upacara yang dipikulnya hanya menghabiskan dana senilai dua kuintal beras. Pengeluaran ―sekecil‖ itu, tentu tidak terasa sebagai beban di pundak mereka. Jumlah biaya atau besarnya sesajen bukan ukuran untuk tuntasnya sebuah yadnya. Bila bernama Ngaben dan telah memenuhi syarat esensial, maka upacara Mretaka Sawa itu sudah boleh dikatakan tuntas dalam arti puput. Tinggal hanya melanjutkan ke upacara Atman Wedana. Jadi, sebuah upacara Ngaben bisa dikatakan tuntas puput dan sukses tidak ditentukan oleh kecil-besarnya sesajen, material dan wibawa lahiriah dalam tingkatan Ngaben, melainkan tergantung syarat essensialnya dan kualitas manusia 20 itu sendiri. Kendatipun berbeda-beda dalam tingkatannya, upacara Ngaben itu tetap punya nilai yang sama dari segi spritual religius.

B. Landasan Umum