Pembatalan Perkawinan PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TUNTUTAN PEMBATALAN

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TUNTUTAN PEMBATALAN

PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN

A. Pembatalan Perkawinan

Sudah menjadi Sunnatullah bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini diciptakan Allah SWT dan suatu kenyataan pula dalam keberadaan mahluk hidup di muka bumi ini adalah mereka terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan, kedua jenis mahluk hidup ini baik pada segi fisik maupun psikis mempunyai sifat yang berbeda, namun secara biologis, kedua jenis mahluk tersebut adalah saling membutuhkan, sehingga menjadi berpasang-pasangan atau berjodoh-jodoh. 68 Perbedaan ini bukan merupakan perbedaan yang ditimbulkan oleh hukum dan sejarah, tetapi perbedaan tersebut mengandung hikmah yang dalam sebagai bentuk ketentuan Allah SWT. Untuk menyatukan kedua jenis manusia dalam suatu ikatan yang sah maka disyari’atkan perkawinan, adapun pengertian perkawinan menurut hukum Islam secara ekplisit di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 adalah: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. 69 68 M. Zufran Sabrie, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor. 19 Th. 1995, hal. 49 69 Instruksi Presiden RI No. 1 Th. 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, 2000, hal. 14 69 Universitas Sumatera Utara Baik istilah fasad maupun istilah batal sama-sama berarti suatu pelaksanaan ibadah atau nikah misalnya yang dilaksanakan dengan tidak mencukupi syarat atau rukunnya. Ibadah yang tidak sah, baik karena tidak lengkap syarat atau rukunnya atau karena ada penghalang mani bisa disebut akad fasad dan boleh pula disebut akad batal. 70 Kata sah berasal dari bahasa Arab Sahih yang secara etimologi berarti suatu dalam kondisi baik dan tidak bercacat. Menurut istilah Ushul Fiqh kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi segala syarat dan rukunnya. Fasad dan batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bila mana suatu akad tidak dinilai sah berarti fasad atau batal. 71 Menurut bahasa fasid atau fasad berasal dari bahasa Arab yang berarti rusak. 72 Andi Tahir Hamid juga berpendapat: bahwa suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan terlanjur dilangsungkan dapat dimohonkan pembatalannya fasid. 73 Batalnya akad pernikahan juga disebut fasakh. Adapun pengertian fasakh nikah menurut pendapat Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah adalah bahwa memfasakh nikah berarti membatalkan dan melepaskan ikatan tali perkawinan antar suami isteri. 74 70 Satria Effendi M. Zein, Probematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 21. 71 Ibid., hal 20-21. 72 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya 1997, hal. 92 dan 1055. 73 Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 22. 74 Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis Menurut al-Quran-as-Sunnah dan Pendapat para Ulama, Mizan Media Utama, Buku II Cet. I, Bandung 2002, hal. 242. Universitas Sumatera Utara Dari pengertian di atas, maka tidak berlebihan kiranya apabila penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud pembatalan nikah adalah usaha membatalkan nikah yang telah sah antara suami isteri disebabkan suatu alasan yang dibenarkan oleh syara’ atau dibenarkan dalam ketentuan UU Perkawinan. Hukum perkawinan nasional mengenal adanya perkawinan yang sah dan perkawinan yang tidak sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya, jika perkawinan dilaksanakan, tapi ada sebagian dari syarat atau rukun yang tidak terpenuhi maka perkawinan yang demikian dianggap tidak sah. 75 Banyak syarat dan rukun perkawinan yang menyebabkan suatu perkawinan terpaksa harus dibatalkan, bila pelanggaran itu dibawa ke Pengadilan Agama dinyatakan fasid dan terhadap pernikahan dianggap sejak semula tidak pernah terjadi. 36 Maka akibatnya segala sesuatu yang dihasilkan dari pernikahan itu menjadi batal dan semuanya dianggap tidak pernah terjadi pula. Kemudian karena fasid nikah atau pembatalan pernikahan ini dapat mengakibatkan pasangan suami isteri itu terpisah untuk selamalamanya, tetapi dapat juga menjadi pasangan suami isteri lagi, artinya berpisahnya hanya untuk sementara, hal ini tergantung melihat penyebab terjadinya fasid nikah. 76 75 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, Jakarta ,1995, hal. 75. 76 Gatot Suparmono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 37. Universitas Sumatera Utara Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya juga sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Mengenai batalnya perkawinan banyak faktor penyebabnya, dimana jika dilihat dari sudut pandang UU Perkawinan, hal ini terdapat pada Pasal 22 yang berbunyi “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Ketentuan ini ditujukan pada adanya kekurangan-kekurangan dalam memenuhi persyaratan perkawinan dan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan sehingga perkawinan menjadi tidak sah. Dengan berlakunya UU Perkawinan, sah tidaknya perkawinan oleh Negara ditentukan oleh sah tidaknya perkawinan itu menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu, maka pembatalan perkawinan juga menggunakan ketentuan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya itu. 77 Adapun hal-hal yang menyebabkan perkawinan itu dapat dibatalkan, hal ini sesuai dengan isi Pasal 24, Pasal 26 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut : 77 Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 63. Universitas Sumatera Utara 1. Pihak yang melakukan perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan itu mereka dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru Pasal 24 UU No. I1974. 2. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri 2 dua orang saksi Pasal 26 ayat 1 UU No. 11974. Menurut hukum Islam, wali nikah yang tidak sah itu apabila wali nikah adalah anak angkat dan tidak memenuhi enam syarat untuk sahnya menjadi wali. Sedangkan syarat sahnya menjadi wali adalah : a. Beragama Islam b. Dewasa c. Sehat fikirannya d. Merdeka, bukan budak e. Laki-laki bukan banci f. Adil yaitu baik menurut agama yaitu tidak pernah melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan atau sembunyi zina, judi, membunuh orang dan tidak terus menerus dengan terang-terangansembunyi melakukan dosa- dosa kecil minum-minuman keras. 78 3. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau pada waktu perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau 78 A.B. Loebis, UU Perkawinan Yang Baru Komentar dan Analisa. Jakarta, tanpa tahun, hal. 26. Universitas Sumatera Utara isteri Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. I1974. Maksud dari di bawah ancaman yang melanggar hukum ialah ancaman dengan itikad buruk. Misalnya ancaman dari orang tua si gadis yang sudah dihamili oleh seorang pemuda, agar pemuda mengawini anaknya maka bukanlah ancaman yang melanggar hukum. Sedangkan salah sangka mengenai diri suami bisa saja terjadi apabila disangka ia masih bujanganjejaka tetapi kemudian diketahui sudah mempunyai isteri lain. Sesuai dengan peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal 27 ayat 1 sebagai berikut: “Apabila perkawinan telah berlangsung kemudian dapat larangan menurut hukum munakahat atau perundang-undangan tentang perkawinan, maka pengadilan agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU Perkawinan. Pasal 25 UU Perkawinan menentukan bahwa pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Hal ini disebabkan karena terdapatnya kata ‘dapat’ dibatalkan, penjelasan undang-undang perkawinan mengatakan “Pengertian ‘dapat’ pada Pasal ini maksudnya Pasal 22 UU Perkawinan diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Tegasnya, dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan ini pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mereka yang Universitas Sumatera Utara perkawinannya dimintakan pembatalannya. Bagaimanapun jika menurut ketentuan agama perkawinan itu sah, pengadilan tidak dapat membatalkan perkawinan itu. 79 Batalnya suatu perkawinan tidak batal dengan sendirinya. Tetapi, perkawinan itu dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama bagi orang yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi selain Islam. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah yang diatur dalam Pasal 6 hingga Pasal 12 UU Perkawinan. 80 Atau seperti yang diterangkan oleh Elis T. Sulistini dalam bukunya: Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata: bahwa syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan dengan sah adalah sebagai berikut: a. Kedua belah pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan oleh undang-undang, yaitu untuk seorang pria sudah berumur 18 Tahun dan untuk wanita sudah berumur 15 Tahun. b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua belah pihak c. Untuk seorang wanita yang sudah kawin, harus lewat 300 hari sesudah putusnya perkawinan yang pertama. d. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak. 79 Lili Rosjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, cet. I, Bandung, 1991, hal. 83. 80 Lihat Pasal 6 hingga 12 Undang-undang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara e. Harus ada izin dari orang tua atau walinya kalau belum berumur lewat 30 tahun. f. Kalau tidak dapat izin dari orang tua atau wali, maka anak dapat minta perantara hakim. 81 Selama perkara pembatalan itu dalam proses di pengadilan, sebaiknya pengadilan mengusahakan agar supaya suami isteri yang bersangkutan berpisah tinggal, demi menghindari wati subhat, yaitu persetubuhan yang diragukan sahnya. 82 Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan, hal ini mengingat bahwa pembatalan perkawinan dapat membawa akibat yang jauh lebih baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarga. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi di luar pengadilan. 83 Pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suamiisteri atau isteri. 84 Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan Pasal 28 ayat 1, keputusan pengadilan itu tidak berlaku surut terhadap: 81 Elise T. Sulistini, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara Perdata, Bina Aksara, cet. I, Jakarta, 1978, hal. 77..0 82 Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 65. 83 A. Mukti Arto, Op.Cit., hal. 231. 84 Lihat Pasal 25 Undang-undang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau isteri tersebut di atas sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 85

B. Alasan Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan

Dokumen yang terkait

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Medan)

0 31 131

Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan kaitannya dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama: studi tentang praktek pelaksanaannya di DKI Jakarta

0 5 91

Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Semarang)

0 18 159

Perkawinan Dibawah Umur Menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (studi di Pengadilan Agama Klaten)

0 9 183

Akibat Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas dan Kaitannya Dengan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Pada Pengadilan Agama Medan Kelas-IA)

3 26 124

AKIBAT HUKUM DAN SOSIAL TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 ( Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta ).

0 0 16

ANALISIS YURIDIS PERCERAIAN TANPA PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 1 12

Akibat Hukum Adanya pembatalan perkawinan kedua yang perkawinannya tanpa izin istri pertama yang dilangsungkan menurut Hukum Agama berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1 1 1

PERBANDINGAN HUKUM TENTANG AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 0 12