C. Faktor Penyebab Terjadinya Tuntutan Pembatalan Poligami Tanpa Izin
Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa pada asasnya perkawinan itu monogami, suami masih dimungkinkan untuk berpoligami dengan ketentuan
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya suami menghendaki perkawinan dengan wanita lain itu, sedangkan istri tidak keberatan atas
perkawinan tersebut dengan alasan yang sifatnya alternatif, artinya hanya perlu dipenuhi salah satu saja, seperti istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri, Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila salah satu alasan di atas dipenuhi, maka suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 5 UUP, yang bersifat kumulatif, artinya
semua syarat itu harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah 1 adanya persetujuan dari istriistri-istri, 2 adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka dan 3 adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka. Mengenai
persetujuan dari
istriistri-istri, untuk menyatakan ada atau tidak ada persetujuan tersebut harus dibuat tertulis. Jika hanya persetujuan lisan, maka
persetujuan itu harus diucapkan di muka persidangan pengadilan. Persetujuan ini tidak diperlukan apabila istriistri-istri tidak mungkin dimintai persetujuan dan
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, misalnya karena sakit ingatan gila, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun
atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari hakim. Mengenai syarat kedua yaitu kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, suami harus memperlihatkan surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat ia bekerja, atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Mengenai ada atau tidak jaminan berlaku adil, suami membuat pernyataan atau janji dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Dalam praktek walaupun poligami menjadi hal yang ditentang oleh kaum wanita tetapi tetap saja ada yang telah merelakan suami untuk menikah lagi, isteri
yang semula merestui dan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Selain itu, ditemukan pula adanya perkawinan poligami tanpa izin dari pihak isteri
seperti halnya yang terjadi di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Medan, dimana pihak suami melakukan perkawinan poligami tanpa izin baik oleh pihak isteri
maupun pengadilan sehingga menyebabkan pihak isteri mengajukan pembatalan perkawinan.
Pengajuan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin tersebut dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan. Dalam hal ini UU perkawinan
Universitas Sumatera Utara
menentukan siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan seperti diatur dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 27 yang untuk singkatnya dapat disebut
sebagai berikut: a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau isteri
b. Suami atau isteri c. Pejabat yang berwenang
d. Pejabat yang ditunjuk e. Jaksa.
54
Di samping itu, sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam Pasal
24 UU Perkawinan salah satu dari kedua pihak dalam perkawinan yang masih terikat dapat juga mengajukan pembatalan ini dengan ketentuan bahwa isi
Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan diperhatikan. Di lain pihak, para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri
dapat memintakan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah,
atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.
55
Maksud dari ketentuan ini adalah oknum yang dapat memberi izin menjadi wali terhadap calon
mempelai.
56
54
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. 1, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 31.
55
Lihat Pasal 26 ayat 1 Undang-undang Perkawinan.
56
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, CV. Zahir, cet. I, Medan 1975,
hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi di dalam Pasal ini tidak menentukan apa macamnya garis keturunan itu patrilinealkah, matrilinealkah atau bilateralkah sehingga jika
kepercayaan atau agama yang dianut tidak menentukannya maka masih berlaku garis keturunan menurut adat setempat.
57
Khusus dalam hubungan suami atau isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yang
disebabkan karena keadaan-keadaan yang disebut dalam Pasal 27 UU Perkawinan yaitu; dalam perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri, tetapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu
enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak
mempergunakan haknya, untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur.
58
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan. Kedua unsur tersebut
adalah syarat dan rukun. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Apabila salah satu dari syarat perkawinan itu tidak terpenuhi maka
perkawinan itu tidak sah batal demi hukum.
59
57
Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang RI. No. 1 Tahun 1974,: Tintamas Indonesia, Jakarta cet. I, 1975, hal. 25.
58
Lihat ayat 2 Pasal 26 dan ayat 1,2 dan 3 Pasal 27 Undang-undang Perkawinan.
59
Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
UU Perkawinan Pasal 22 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak
memenuhi syarat-syaratnya.
60
Adapun dengan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut undang-undang ini ada 3 kategori:
a. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam b. Persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak ditentukan oleh
hukum Islam. c. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam dan sekaligus diatur dalam
undang-undang, misalnya: - Pasal 8 tentang larangan perkawinan
- Pasal 9 tentang masih terikat dengan perkawinan orang lain - Pasal 10 tentang ruju’kembali setelah talak tiga.
61
Ada beberapa bentuk perkawinan tertentu yang menurut Pasal 26 dan Pasal 27 dapat dikategorikan sebagai kasus pembatalan perkawinan,
antara lain:
60
R. Badri, Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan KUHP, Surabaya Amin Surabaya, 1985, hal. 70.
61
Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
a. Perkawinan yang dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang b.
Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nikah yang tidak sah c.
Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua saksi. d.
Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat yang
menghilangkan kehendak bebas dari salah seorang calon mempelai, yaitu segala macam ancaman apapun yang dapat menghilangkan hakekat bebas
seseorang calon mempelai. Termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Sebagai Contoh : seseorang menyerukan syarat, bahwa asal dia mau
menikah, hutang orang yang diajak kawin akan dihapus, kalau tidak bersedia dikawini, hutang ini akan digugat dan meminta dilelang semua
hartanya.
62
Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 UU Perkawinan, sifat ancaman berhenti apabila telah lewat masa 6 bulan sesudah dilangsungkan
perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum. Yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap hidup bersama
sebagai suami isteri. Apabila dalam jangka waktu 6 bulan itu telah lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan.
62
Ibid
Universitas Sumatera Utara
e. Terjadi salah sangka mengenai diri suami dan istri.
63
Salah sangka yang dimaksud disini adalah mengenai diri orangnya atau personnya dan bukan mengenai keadaan orangnya yang menyangkut
status sosial ekonominya dalam jangka waktunya pun tidak lebih dari 6 bulan.
Dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan batal apabila:
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i;
b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya;
c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya; d.
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut Pasal 8 undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu : 1.
Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas;
63
Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, Hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seoran dengan saudara neneknya;
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tiri; 4.
Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan;
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau
isteri-isterinya. Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri
pria yang mafqud. c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami li’an;
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Hasil penelitian pada Pengadilan Agama Medan diketahui bahwa
pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin terjadi adalah karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan
Universitas Sumatera Utara
Agama dan melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya, faktor wanita yang diperistri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor
perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan perkawinan dilakukan dengan keterpaksaan.
64
Hal ini ditunjukkan dari penelaahan pada kasus yang dipilih sebagai sampel diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan
poligami tanpa izin yaitu putusan Pengadilan Agama Klas I-A Medan No. 260Pdt.G2004PA.Medan lihat Lampiran, di mana dalam hal ini pihak isteri
mengajukan tuntutan pembatalan perkawinan adalah perkawinan poligami dilakukan tanpa izin baik izin isteri maupun izin pengadilan dan dalam perkawinan
yang dilakukan pada tanggal 4 April 2002 di KUA Kecamatan Binjai Timur tersebut telah mempunyai seorang anak.
Dari hasil penelaahan terhadap perkara tersebut kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, memutuskan membatalkan perkawinan yang
dilakukan pada tanggal 4 April 2002 di KUA Kecamatan Binjai Timur karena Tergugat I melakukan pernikahan untuk kedua kalinya tanpa seizin dan
sepengetahuannya dan juga pengadilan serta telah merekayasa status pribadinya sebagai jejaka. Hal ini selanjutnya juga diikuti, dengan dibatalkannya Kutipan
Akta Nikah Nomor 11306IV2006 Tanggal 4-3-2002 yang dikeluarkan KUA Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara.
65
64
Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Medan, Juni 2010.
65
Putusan Pengadilan Agama Klas I-A Medan No. 260Pdt.G2004 PA.Medan
Universitas Sumatera Utara
Hafifullah mengatakan bahwa dalam kasus tersebut pihak Tergugat I melakukan tanpa adanya izin dari isteri dan juga izin pengadilan. Bahkan ia
telah memanipulasi statusnya yang mengaku jejaka padahal Tergugat I, padahal ia telah terikat perkawinan dengan isterinya Penggugat dengan Akta Nikah
Nomor 2921987 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan Labuhan Deli. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengabulkan
tuntutan penggugat untuk membatalkan perkawinan kedua yang dilakukan Tergugat I.
66
Jadi dalam hal ini pada kasus tersebut faktor yang paling mendorong dilakukan tuntutan pembatalan adalah melakukan manipulasi atau merekayasa
statusnya. Pendapat ini juga dibenarkan oleh penggugat sebagai pihak isteri yang
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yang dilakukan suaminya yang telah melakukan pernikahan dengan tergugat kedua tanpa terlebih dahulu meminta
izin darinya dan telah merkayasa statusnya sebagai jejaka padahal suaminya Tergugat I jelas telah bukan lagi seorang jejaka karena telah memiliki seorang
isteri yang sah telah terikat perkawinan dengan isterinya Penggugat yang dibuktikan dengan adanya Akta Nikah Nomor 2921987 dan telah memiliki dua
orang anak.
67
66
Hasil Wawancara dengan, Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010
67
Sugiyem, Penggugat dalam Perkara Pembatalan Perkawinan No. 260Pdt.G2004PA.Medan
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa apabila dikaitkan dengan pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin terjadi
adalah karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan Agama dan melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya,
faktor wanita yang diperistri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali
yang tidak berhak dan perkawinan dilakukan dengan keterpaksaan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TUNTUTAN PEMBATALAN